Tips Sufi untuk Mantan
Koruptor
Penulis: Ahmad Dairobi
وَكُلُّ
لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
Setiap daging yang tumbuh dari barang haram,
maka neraka lebih berhak terhadapnya. (HR at-Thabarani).
مَنْ
أَكَلَ الحَرَامَ عَصَتْ جَوَارِحُهُ شَاءَ أَمْ أَبَى ، عَلِمَ أَوْ لَمْ
يَعْلَمْ
Orang yang memakan barang haram, maka
tubuhnya akan bermaksiat, dia mau atau tidak mau, dia tahu atau tidak tahu.
(Imam Sahl at-Tustari).
*****
Hadis dan nasehat di atas menunjukkan betapa
beratnya konsekwensi makanan haram. Sebab, daging, darah, atau tenaga yang
berasal dari makanan haram secara otomatis memiliki kecenderungan kuat untuk
digunakan melakukan barang haram. Manusia, secara fisik dan psikis, sangat
dipengaruhi oleh apa yang dia makan. Jika makanannya halal, maka hal itu akan
menjadi pendorong kuat bagi dia untuk memegang teguh perilaku halal. Jika yang
dia makan haram, maka kekuatan imannya akan runtuh, dan dia menganggap perilaku
haram sebagai suatu yang lumrah serta wajar. Maka, merupakan suatu yang amat
rasional apabila disebutkan bahwa daging yang tumbuh dari makanan haram, lebih
layak berada di neraka.
Lalu, apakah pintu surga sudah terkunci untuk
orang yang pernah memakan barang haram!? Tidak demikian. Tidak ada dosa apapun
yang menyebabkan pintu harapan tertutup rapat. Sebesar apapun dosa yang
dilakukan oleh seseorang, pintu harapan masih terhampar luas, selagi dia masih
memiliki kesempatan untuk bertobat. Justru, putus harapan, merupakan suatu yang
dikutuk oleh Allah. Manusia harus memiliki harapan untuk mendapatkan
pengampunan, karena jika dia sudah hilang harapan, maka dia tidak akan berusaha
untuk menghilangkan dosa tersebut dengan cara bertobat.
Boleh jadi, daging, darah atau tenaga yang
awalnya tumbuh dari barang haram, lambat laun akan mengalami metamorfosis dari
hitam ke putih, dari hasrat buruk ke kecenderungan baik, dari neraka ke surga.
Dengan catatan, dia menjalani tobatnya dengan sungguh-sungguh.
Sebagaimana telah maklum, tobat hampir pasti
diterima jika memenuhi seluruh syaratnya; begitu pula hampir pasti ditolak jika
tidak memenuhi syarat-syaratnya. Ulama merumuskan syarat tobat ke dalam tiga
hal, yaitu: (1) Berhenti dari perbuatan dosanya; (2) Menyesal; dan (3) Berkomitmen
kuat untuk tidak mengulangi. Jika dosanya terkait dengan hak sesama manusia,
maka ada tambahan syarat keempat, yaitu istihlâl, yakni mendapatkan maaf dan
kerelaan dari pemiliknya, dengan cara meminta maaf dan mengganti jika berupa
harta benda.
Syarat yang keempat tidak terlalu sulit jika
si pemilik hanyalah satu orang yang masih hidup dan kadar hak milik yang harus
diganti masih terjangkau. Namun, akan menjadi berbeda jika misalnya orang yang
pernah ia ambil haknya sangatlah banyak, tidak jelas siapa saja orangnya, tidak
jelas apakah mereka masih hidup atau sudah mati, dan jumlah harta yang diambil
sangatlah banyak, atau bahkan seluruh harta yang dimilikinya berasal dari
mencuri, korupsi, menipu, merampok dan semacamnya.
Terkait dengan hal itu, Imam al-Ghazali dalam
Ihyâ’ Ulûmiddîn dan Imam al-Qurthubi dalam al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân
memberikan penjelasan, intinya sebagaimana berikut:
Pertama, orang yang seluruh hartanya berasal
dari barang haram, maka untuk bertobat dia harus melepaskan diri dari seluruh
harta tersebut, kecuali pakaian minimal untuk sekadar menutup aurat saat salat
dan makanan yang ia butuhkan pada hari itu. Imam al-Qurthubi menyatakan, kadar
inilah yang boleh diambil dari hak milik orang lain, saat kondisi darurat.
Kedua, jika sebagian hartanya berasal dari
barang haram, dan sebagian yang lain adalah harta halal, sementara keduanya
sudah bercampur baur sampai tidak dapat dibedakan, maka dia harus melepas kadar
dari harta yang haram sampai dia yakin bahwa yang tersisa benar-benar halal.
Kadar yang dia ragukan kehalalan juga harus dilepas. Jika misalnya yang dia
yakini halal hanya sepertiga, maka dua pertiga hartanya harus dia lepas.
Memang, ada sebagian sufi yang melepas
seluruh hartanya jika sudah bercampur dengan barang haram. Abu Thalib al-Makki
bercerita, ada seorang warak memiliki sekeping dinar. Dinar itu jatuh dari saku
bajunya ke tanah. Dia merundukkan tubuh untuk memungut. Ternyata, di tanah itu
ada dua keping dinar. Maka, dia meninggalkan semuanya.
Apakah langkah semacam ini harus diambil jika
harta kita tercampur barang haram?. Setidaknya, ada tiga pendapat ulama. Imam
al-Qurthubi tidak setuju dengan langkah tersebut, bahkan menyebutnya sebagai
bentuk ghuluw (berlebih-lebihan dalam agama). Beliau menyatakan, jika harta
sudah bercampur baur sehingga tidak bisa dibedakan, maka yang menjadi pedoman
kepemilikan adalah nilai nominalnya, bukan ‘ain atau personalia barangnya.
Pendapat al-Qurthubi berbeda jauh dengan Imam
Ahmad bin Hanbal. Beliau pernah ditanya mengenai kasus di atas. Beliau
menjawab, “Tinggalkanlah semua, sampai dia yakin mana uang yang merupakan
miliknya.” Beliau juga pernah menggadaikan sebuah perkakas. Ketika jatuh tempo,
penerima gadai membawa dua perkakas yang sama. Imam Ahmad tidak bisa membedakan
mana yang milik beliau dan mana yang bukan, maka beliau menolak semuanya.
Imam al-Ghazali lebih moderat, beliau
mengkompromikan dua kecenderungan ini. Meskipun pada dasarnya beliau memiliki
pendapat yang sama dengan al-Qurthubi, namun beliau menganggap langkah di atas
merupakan bentuk kehati-hatian yang patut diapresiasi. Standarnya, dalam kisah
itu, dia boleh mengambil satu dinar. Akan tetapi, tidak salah jika dia
meninggalkan semuanya, bahkan hal itu termasuk bentuk kewarakan.
Ketiga, cara melepaskan diri dari harta haram
adalah harus mengembalikannya kepada pemilik atau ahli warisnya jika masih bisa
diidentifikasi. Jika tidak bisa diidentifikasi atau pemiliknya sangat banyak
sehingga tidak mungkin mengembalikannya satu persatu, maka solusinya
disedekahkan kepada fakir miskin, dengan niat sebagai sedekah dari pemilik
aslinya. Menurut Imam al-Qurthubi, bisa pula ditasarufkan untuk kemaslahatan
umat Islam.
Imam al-Ghazali menyatakan bahwa
menyedekahkan kepada fakir miskin jauh lebih baik daripada meninggalkannya
begitu saja. Memang ada tokoh-tokoh sufi yang memilih untuk meninggalkan harta
haram yang jatuh ke tangan mereka dengan begitu saja, seperti yang dilakukan
oleh al-Fudhail bin Iyadh. Beliau pernah mendapatkan uang dua dirham. Sejurus
kemudian beliau tahu bahwa uang tersebut tidak jelas asal usulnya. Maka, beliau
membuangnya seraya berkata, “Aku tidak akan menyedekahkan sesuatu yang tidak
baik.”
Langkah al-Fudhail ini, kata Imam al-Ghazali,
sangat bisa dipahami. Namun, menurut beliau, ada banyak dalil Hadis dan Atsâr
yang menyatakan bahwa sebaiknya harta tersebut diberikan kepada fakir miskin.
Mengenai tidak bolehnya bersedekah dengan memakai uang haram, hal itu jika
bersedekah atas nama diri sendiri. Jika sedekah tersebut diniati sebagai
sedekah dari pemilik aslinya, maka persoalannya menjadi berbeda.
Nalarnya begini, jika uang itu kita lemparkan
ke laut, maka uang itu sia-sia, tidak ada manfaat yang kembali kepada diri
kita, kepada pemilik, dan juga kepada fakir miskin. Namun jika uang itu kita
‘lemparkan’ ke tangan fakir miskin, maka pemiliknya akan mendapatkan pahala dan
barakah doa dari si penerima, sementara si penerima bisa mendapatkan manfaat
dari harta tersebut.
Apakah pemilik aslinya bisa mendapatkan
pahala, padahal dia tidak berniat sedekah!? Bisa saja, karena dalam beberapa
Hadis diterangkan bahwa orang yang menanam pohon, dia mendapatkan pahala ketika
buah pohon itu dimakan oleh manusia atau hewan. Padahal, nyaris tidak ada
petani yang menanam padi dengan niat bersedekah kepada burung pipit. Iya kan!?
[]
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar