NU-Muhammadiyah di Tengah
Pusaran Pilpres
Oleh: Lilik Agus Purwanto
---Sebagai organisasi massa terbesar di
Indonesia, nampaknya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tidak lepas dari
katup tarik menarik kepentingan para kandidat calon presiden dan wakil
presiden. Sejumlah nama dan tokoh pun menjadi perebutan untuk digandeng sebagai
magnet untuk mendulang dukungan demi suksesnya para capres dan cawapres. Lantas
kemana NU dan Muhammadiyah berlabuh?
Pendaftaran calon pasangan capres dan
cawapres sudah ditutup, dan kandidat yang berlaga dalam pertarungan tinggal
head to head antara kubu Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Tentunya pertarungan
dalam pilpres mendatang akan menjadi hal yang menarik dan cukup memanaskan
konstelasi politik tanah air. Penggalangan dukungan dari masing-masing kubu pun
begitu menggeliat, drama manuver parpol pun seakan mengalahkan rating
acara-acara televisi lainnya, hingga menyedot banyak perhatian sampai pada last
minute deklarasi pasangan capres dan cawapres.
NU dan Muhammadiyah nampaknya pun tak
terlepas dari perhatian kedua kubu untuk ditarik-tarik dalam dukung mendukung
dalam pilpres mendatang. Adalah KH. Hasim Muzadi seorang tokoh NU yang secara
terbuka memberikan dukungan kepada kubu Jokowi, meskipun tidak atas nama
lembaga NU. Di sisi yang lain ada Prof Amien Rais seorang tokoh Muhammadiyah
sekaligus pendiri PAN secara terang-terangan turut memberikan dukungan kepada
kubu Prabowo.
Kedua basis massa terbesar ini sejatinya
telah mengikrarkan diri untuk memposisikan netral dalam politik praktis. Baik
NU Maupun Muhammadiyah adalah lembaga keumatan yang menarik diri dari politik
praktis, dan memposisikan diri pada politik kebangsaan (politik tinggi).
Masing-masing ormas ini menyatakan kenetralannya, bahkan melarang para
simpatisan yang merapat pada masing-masing kubu untuk menggunakan simbol-simbol
maupun nama ormas ini untuk dijadikan sebagai simbol dukungan kepada
masing-masing kubu.
Sejatinya baik Muhammadiyah maupun NU telah
membuat wadah politik praktis untuk masing-masing kadernya dengan membuat
partai. Ada PAN dari kalangan Muhammadiyah, dan PKB dari kalangan NU.
Seharusnya kedua partai itu mampu mengakomodasi aspirasi politik bagi
masing-masing kadernya.
Memang tidak bisa dipungkiri, karena dalam
pertarungan pilpres ini seakan-akan memang didesign untuk menghadap-hadapkan
masing-masing background ormas pendukungnya. Ada Jusuf Kalla yang memang
merepresentasikan NU, dan Hatta Rajasa yang merepresentasikan Muhammadiyah,
sehingga dimungkinkan akan terjadi benturan yang cukup keras dilapangan jika
tidak diantisipasi dari sisi keamanan dan kesadaran dari masing-masing
golongan.
Potensi Konflik, Siapa Diuntungkan?
Dalam sejarahnya antara NU dan Muhammadiyah
sebagai organisasi massa memang sering mengalami benturan dalam hal
pengaplikasian beberapa tata cara pelaksanaan cara beribadah (fiqih), dan tidak
jarang juga terjadi benturan baik dalam konteks perbedaan argumentasi maupun
kontak fisik dalam hal klaim kebenaran pelaksanaan tata cara peribadatan. Bukan
tidak mungkin jika situasi politik ini pun akan menjadikan jarak antara dua
ormas ini semakin renggang, karena figur yang diusung yang menjadi cawapres ini
merepresentasikan masing-masing kubu.
Ikhtiar politik tinggi yang dipraktekkan oleh
kedua ormas ini akhir-akhir ini sebetulnya telah membuahkan hasil yang signifikan,
banyaknya kesamaan pandangan tentang kebangsaan dan pembinaan umat sejatinya
telah mempersempit ruang perbedaan pada masing-masing ormas. Kedua ormas ini
telah sepakat untuk menjaga kebangsaan dari hegemoni Barat maupun Hegemoni
Islam garis keras, masing-masing telah memilih jalan tengah untuk membangun
ukhuwah persatuan demi bangsa dan negara. Namun dengan adanya kontestasi
pilpres kali ini ada kemungkinan untuk membuka ruang benturan demi memenangkan
kontes pilpres 9 juli mendatang.
Sebagai ormas yang telah matang dan memiliki
kesadaran tinggi tentang bangsa dan negara, harusnya posisi netral ini tetap
harus menjadi kunci pemersatu. Pengambilan posisi netral ini jangan sampai
hanya berhenti pada tataran normatif keorganisasian, namun juga bagi para tokoh
yang berada pada masing-masing ormas benar-benar menjadi simbol netral bagi
ormasnya masing-masing. Meskipun kebebasan menentukan pilihan ini dijamin oleh
undang-undang, namun sikap kenegarawanan dan keulamaan harusnya menjadi
simbolisme dalam tataran praktek pola prilaku masing-masing. Tidak lantas di
permukaan berbicara netral namun di belakang dan secara kasat mata lebih
condong bahkan terang-terangan memberikan dukungan kepada masing-masing capres.
Dikhawatirkan, jika simbolisme (tokoh ormas)
netralitas ini tidak benar-benar komitmen dalam pelaksanaannya, justru akan
membawa kerugian yang besar bagi kedua ormas. Kerukunan dan kesepahaman yang
dibangun dan dirintis akan menjadi sirna begitu saja, dan justru akan
menimbulkan medan pertarungan baru yang akan membangkitkan luka lama yang
sejatinya telah dilupakan. Yang lebih menghawatirkan lagi, jika benturan ini
tidak terhindarkan maka akan banyak pihak yang selama ini melakukan “degradasi”
terhadap bangsa Indonesia akan menemukan cela baru untuk masuk dan
memporak-porandakan tatanan kebangsaan yang telah rapi terbangun.
Disadari ataupun tidak bahwa NU dan
Muhammadiyah memiliki peran penting dalam menjaga Indonesia, dari serangan
ideology-ideologi hegemoni Barat maupun dari hegemoni garis keras yang
kecenderungan ingin merubah kultur bangsa Indonesia. Bukan tidak mungkin
potensi konflik ini pun akan dijadikan pemantik konflik yang berkepanjangan
demi memuluskan agenda-agenda politik yang selama ini memang telah menghantui
keutuhan bangsa Indonesia.
Dengan demikian dalam rangka menjaga keutuhan
bangsa Indonesia, hendaknya masing-masing kontestan mengeliminasi
potensi-potensi konflik yang bersumber dari perbedaan background ormas ini. Dan
yang lebih penting lagi, bagi para elit politik yang berkecimpung di lapangan
tidak menggunakan potensi benturan ini sebagai isue utama dalam memuluskan
agenda politik masing-masing.
Dibutuhkan adanya kesadaran kolektif kepada
semua pihak terutama tokoh-tokoh (simbol) masing-masing ormas untuk tetap
mengambil posisi netral dalam semua panggung. Keharusan ini menjadi penting
untuk diperhatikan. Akankah posisi tinggi sebagai negarawan dan agamawan
dipertaruhkan begitu saja dalam hal menang atau kalah. Bukankah masing-masing calon
kandidat pasangan capres cawapres inipun memiliki tugas mulia untuk menjaga
Indonesia dan memakmurkan bangsa. Masih perlukah politik pecah belah ini
dilakukan jika hanya akan membawa kerugian bangsa. Mari bertanya pada relung
terdalam masing-masing demi Indonesia yang lebih baik. []
*) Lilik Agus Purwanto, karyawan dan
pemerhati sosial politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar