Ungkapan Indah Tim Sukses
Oleh:
Mohamad Sobary
Apa yang
kita sebut tim “sukses” itu secara psikologis kelihatan, atau terasa,
melegakan. Mungkin bahkan membawa semangat pembebasan. Kita seperti dibujuk,
dan diberi jaminan, untuk tidak usah risau. Tim itu seolah meyakinkan
jaminannya: bila Anda ingin sukses, serahkan semua urusan pada kami.
Anda
cukup duduk manis. Kami yang bekerja keras, Anda yang memetik hasilnya.
Begitulah yang kita pahami dari tampilan simboliknya. Dan mereka membikin
jembatan antara dunia simbolik dan dunia nyata ini dengan penampilan
meyakinkan. Masingmasing berbusana rapi “jali”, kemeja mahal, dasi mahal, jas
mahal, yang kadang hanya untuk nampang , ditenteng melulu, dan dalam rapat
ditaruh di sandaran kursi. Dalam presentasi, jelas mereka mengesankan adanya
kemampuan orang profesional. Ungkapan-ungkapan yang digunakannya meyakinkan.
Mereka
selalu bicara tentang solusi, alternatif, terobosan, strategi, investigasi,
mencuri start, dan banyak “trik” lainnya yang memesona. Semua itu untuk
membungkam bos, yang dilayani, agar dia menaruh “trust “ yang besar pada
mereka. Tapi kalau diperhatikan secara cermat, terasa bahwa di sana sini
sebenarnya mereka tak terlalu yakin akan kata-kata mereka sendiri. Mereka bukan
manusia sempurna, yang mengerti segala hal. Ada banyak yang sebetulnya tak
mereka pahami. Tapi sisi gelap ini disembunyikan dengan rapi, serapi tampilan
lahiriah mereka.
Kita
memang memerlukan tim sukses. Tapi sebaiknya kita yang mengendalikan mereka,
dan bukan sebaliknya. Kita bukan konsumen benda-benda bikinan pabrik yang sudah
jadi, dan punya jaminan kesempurnaan. Kepada mereka, kita harus kritis. Kita
dilarang untuk sepenuhnya “pasrah bongkokan“ atau percaya seutuhnya, dengan
sikap taklid buta pada orangorang itu. Barangkali bagus diingat, bahwa dunia
ini merupakan kuburan tim sukses yang kebanyakan tidak meraih sukses. Kalau
dihitung sejak tim sukses dalam pilkades, pilcamat, pilkada, baik di tingkat
kabupaten, dan kabupaten kota maupun provinsi, dan pilpres, betapa banyak
jumlah mereka.
Makin
banyak pasangan yang bertarung, makin banyak tim sukses yang dilibatkan, dan
makin banyak jumlah mereka “gugur” di dalam pertarungan. Di tingkat organisasi
masyarakat sipil, juga di dalam lingkungan organisasi sosial keagamaan, banyak
sekali pemilihan ini pemilihan itu, yang juga melibatkan tim sukses. Sudah
jelas bahwa tak semua pasangan yang bersaing itu memperoleh kemenangan. Tim
sukses itu hanya sebuah nama, atau ungkapan. Namanya tampak positif, tapi
menjebak kita, karena kenyataannya, seperti sudah disebutkan di atas, tak semua
tim sukses meraih sukses.
Kita
mencatat, ada yang meraih cercaan, ada yang disesali, ada yang tak berkutik
ketika oleh jago yang didukungnya, yang marah besar karena kekalahannya itu,
mereka dicaci maki dan ditololtololkan, disebut otak udang, sok tahu, tak mau
mendengar suara orang lain, dan bukan hanya itu. Di mana-mana, di dalam
pertarungan apa pun, selalu ada tim sukses yang rontok. Dan ada orang-orang
yang kapok, dan bersumpah mati untuk tak mengulangi lagi menjadi tim sukses
apapun.
Tim
sukses bisa datang dari dalam lingkungan partai sang bos, bisa juga dari luar.
Mereka bisa suatu tim profesional yang didatangkan, teken kontrak dan minta
bayaran tinggi. Bisa juga orang-orang dari berbagai latar belakang, yang entah
bagaimana ceritanya, tiba-tiba “merapat” ke suatu pasangan yang bakal bersaing
di pentas politik. Tim sukses dari luar partai itu bisa saja menimbulkan
kemarahan dan rasa cemburu di kalangan orang-orang dalam. Bila tim sukses tak
mengantarkan bos ke pintu kemenangan, konflik itu bisa menjadi semakin ganas.
Caci
maki, kutukan, dan penghinaan, terpaksa ditelan dengan diam oleh tim sukses
itu. Beban, dan tanggung jawab moral tim sukses mungkin dapat disamakan dengan
pelatih sepak bola. Ketika sang pelatih tak berhasil mengantarkan “anak-anak”
asuhannya ke pintu kemenangan, pelatih pun menghadapi risiko serupa. Bedanya,
pelatih sepak bola hanya mempertaruhkan kemampuan teknis dan pengalaman, tim
sukses lebih dari itu. Mereka, terutama yang “merapat” sendiri ke suatu
pasangan calon presiden dan wakil presiden, bisa dicibir dan dipandang sebelah
mata.
Dan
seperti disebut di atas, mereka juga bisa menimbulkan kejengkelan dan rasa
cemburu orang dalam. Sudah lama mereka bekerja untuk partai, dan tak dilibatkan
ke dalam posisi penting itu, tapi tiba-tiba orang yang “merapat” dengan
diam-diam itu malah memperoleh posisi begitu istimewa. Orang yang memang
memiliki ambisi besar, cibiran, dan kritik yang bermuatan etis itu jelas tidak
ada gunanya. Suara-suara etis itu tak bakal digubris. Etika hanya menyentuh
kulit luar yang sudah terlalu tebal. Untuk membela diri dari cibiran orang
banyak, mereka bisa menghibur diri dengan mengatakan bahwa mereka kerja
profesional.
Mungkin
bahkan sejak awal mereka telah menutup rapat kemungkinan cibiran ini dengan
alasan profesional tadi. Tingkah laku dan sikap seperti itu seolah memberi tahu
kita bahwa apa yang profesional tak perlu menggubris etika. Kata “profesional”
kelihatannya bisa dijadikan kedok, dan jalan keluar dari keruwetan etis yang
lembut itu. Kita cenderung tak peduli. Tapi orang partai, ketua partai,
penasihat dan mereka yang disebut pengendali biduk partai, diminta untuk tak
bersikap seperti itu. Seprofesional apa pun suatu tim sukses, kita wajib
mengendalikannya.
Partai
tak boleh menjadi ajang bagi orang luar untuk memainkan kartu politiknya. Tim
sukses bila benar bakal membawa sukses pasti ada tuntutannya. Mungkin minta
jabatan menteri. Mungkin minta bayaran lain, yang tak mudah memenuhinya. Untuk
sementara kelihatannya mereka membantu partai, tapi dilihat dari segi manajemen
sumber daya manusia, mereka merusak tatanan karena dengan begitu akan menjadi
jelas, orang yang sudah lama menanti karier, ternyata diloncati begitu saja
oleh orang yang menyebut dirinya profesional tadi.
Jika
perkara-perkara etis lain yang berhubungan dengan dirinya sendiri pun bisa
dilanggar, kita harus mencatat bahwa di masa depan, kemungkinan “merusak”
partai, atau mencemarkan nama baik partai, bukan tak mustahil terjadi. Orang
macam itu tidak menaruh loyalitas pada siapa pun karena hidupnya dilandaskan
pada apa yang bersifat “kontrak”, atau “perjanjian” serba tertulis, atas dasar
kebanggaan profesional tadi. Sikap hati-hati, dengan penuh perhitungan dan
antisipasi, menjadi penting sekali.
Partai
harus bisa menjaga dirinya sendiri karena tim demi tim, juga tim sukses, belum
tentu membantu. Mereka tak bicara loyalitas. Bagi mereka, yang dijadikan
rujukan hanya beberapa unsur penting di dalam kontrak. Tim sukses maupun yang
tak sukses, sama-sama menjanjikan ungkapan indah, dengan segenap pemanis yang
menawan. Tapi komitmen dan perjuangan mereka hanya terbatas pada apa yang
disepakati dalam kontrak. Mereka tak pernah bicara tentang loyalitas, dan tak
pernah menyertakan hati. []
KORAN
SINDO, 02 Juni 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar