Klangenan: Hukum dan Norma
Memeliharanya
Klangenan adalah bahasa jawa asal kata
kangen. Klangenan dapat diartikan dengan sesuatu yang bisa menjadikan seseorang
merasa kangen kepadanya. Klangenan dapat berupa benda apasaja, tetapi lumrahnya
objek klangenan adalah hewan piaraan yang memiliki nilai guna seperti Kuda,
onta, keledai (sebagai alat transportasi), Kerbau (sebagai pembajak sawah),
sapi (untuk dijual) atau sekedar untuk kepuasan, semisal burung dara, burung
kicauan (perkutut, cucak rowo, dan lain sebagainya). Ataupun berupa ikan hias
seperti arwana, lohan dan sejenisnya atau berupa unggas piaraan seperti, bebek,
ayam dan semacamnya, hingga kucing, kelinci, hamster, tupai dan lain-lain.
Sebagaimana sebutannya, klangenan selalu saja
menumbuhkan rasa rindu pemiliknya. Entah itu rindu pada nilai gunanya atau
rindu pada keindahan kicauan, warna bulu pada burung. Atau rindu pada warna
kulit dan sisik yang mengkilat pada ikan Arwana. Atau bisa saja rindu untuk
bermain-main saja.
Pada dasarnya seorang muslim diperbolehkan
memelihara hewan piaraan, selama tidak ada alasan yang melarangnya karena
adanya unsur yang membahayakan (mudharat). Baik membahayakan yang memelihara
karena jenis hewan piaraan tersebut dianggap membawa kemudharatan (menyebabkan
virus atau penyakit, sebagaimana kasus flu burung). Ataupun membahayakan hewan
piaraan itu sendiri, karena keberadaanya sebagai hewan piaraan dapat mengancam
jiwanya. Maka dengan sendirinya kasus per-klangenan seperti ini (yang membawa mudharat)
dilarang oleh agama.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pola
hubungan antara pemelihara dan yang dipelihara. Pertama, tidak adanya unsur
pemaksaan. Seorang pemelihara tidak dibolehkan memaksakan pekerjaan diluar
kemampuan hewan piaraannya, dengan berbagai cara. Misalkan membebani kerbau
mengangkat beban diatas standar maksimalnya, memacu onta untuk mengejar angin,
ataupun memaksa ayam berkicau seperti perkutut dan lain sebagainya.
Kedua, Wajib hukumnya bagi pemelihara
menyediakan dan memberikan makan-minum kepada hewan klangenan. Kewajiban ini
bersifat mutlak tidak ada pengecualian maupun persyaratan. Artinya, wajib bagi
pemelihara memberikan makan-minum hewan klangenannya walaupun ia sendiri berada
dalam kefakiran.
Kewajiban ini juga tidak gugur walaupun hewan
klangenan tidak memuaskan keinginan pemeliharanya. Dengan kata lain, pemelihara
harus tetap menyediakan makan-minum walaupun hewan klangenan tidak berkicau,
tidak enak dipandang bahkan bila tiba-tiba hewan klangenan itu menderita tuna
rungu, tuna wisma ataupun tunawicara.
ونفقة
الرفيق والبهائم واجبة, ولايكلفون من العمل مالايطيقون
Membei nafkah kepada hamba sahaya dan
binatang itu wajib. Dan mereka tidak boleh dibebani pekerjaan yang di luar
kemampuannya.
Demikian pendapat Qadhi Abu Suja’ dalam
Ghayatu wat Taqrib. Pendapat ini berdasar pada hadits Rasulullah saw yang
menceritakan kasus perempuan masuk neraka karena seekor kucing:
عذبت
امرأة في هرة سجنتها حتى ماتت فدخلت فيها النار لا هي أطعمتها وسقتها إذ حبستها
ولا هي تركتها تأكل من خشاش الأرض
Seorang wanita menerima adzab karena kucing
yang ia tahan sehingga mati. Ia msuk neraka karenanya, ia tidak mau memberi
makan kucing itu dan tidak memberi minum, karenaa dia menahannya dan tidak
melepaskan sehingga ia makan serangga tanah (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain dalil tersebut sebagai bahan
pertimbangan adalah sebuah hadits yang menjadi pembuka dalam kitab ushfuriyah
dan nashaihul ibad tentang anjuran menyayangi segala makhluk yang ada dibumi.
ارحموا
من في الارض يرحمكم من في السماء.
Sayangilah segala makhluk yang ada di bumi,
maka kamu akan disayangi makhluk yang ada di langit .
Pada dasarnya pemberian makan-minum ini, yang
merupakan kewajiban pemelihara adalah hak hewan klangenan. Karena jikalau hewan
klangenan ini berada di alam bebas, pastilah ia akan menerima rizkinya secara
mandiri langsung dari Allah swt. Yang Maha Pemberi Rizki. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar