NU-PNI Bertarung Merebut Ketua Konstituante
Setelah Konstituante hasil pemilu 1955
dilantik, maka Sidang Konstituante dibuka Presiden Soekarno pada 10 November
1956. Sepuluh hari kemudian, 20 November 1956, segera dilakukan pemilihan
ketua. Semula banyak yang mencalonkan diri, tetapi karena berbagai alasan lalu
saling mundur. Nyoto dari PKI mundur, Muh. Yamin juga mundur, sehingga mengkerucut
pada dua kandidat. Pengkerucutan ini juga berdasarkan pemilahan ideologi atau
aliran yang sedang bertarung, yaitu antar kelompok Islam dengan nasionalis.
Kelompok Nasionalis menjagokan Mr Wilopo dari PNI, sementara kelompok Islam menjagokan KH Muhammad Dahlan dari NU. Keduanya bersaing ketat sebab menguasai kepemimpinan lembaga ini dirasa mereka penting. Konstituante yang merupakan lembaga pembuat undang-undang itu akan merumuskan undang-undang dasar baru, sehingga masing-masing kelompok perlu mendesakkan agendanya ke dalam undang-undang yang ada.
Setelah diadakan pemilihan melalui pemungutan suara, kedua belah pihak menunggu setiap perhitungan dengan berdebar-debar. Calon NU itu didukung seluruh kekuatan Islam baik Masyumi, PSII, Perti dan partai kecil Lainnya. Sementara Wilopo didukung oleh PNI, PKI, Murba, IPKI, PSI dan sebagainya. Hasil akhir penghitungan menunjukkan bahwa Wilopo memperoleh 220 suara, sementara KH Mohammad Dahlan mendapatkan 210 suara. Selisih yang amat tipis sepuluh suara.
Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan Wakil ketua, Ketua I jatuh ke tangan Prawoto dari Masyumi. Sementara pemilihan Wakil Ketua II dimenangkan oleh Fathurrahman dari NU yang dipilih secara aklamasi. Jumlah Wakil ketua Konstituante seluruhnya ada lima orang. Posisi Wilopo sangat rawan harus berhadapan dengan raksasa Masyumi dan NU di satu pihak dan PKI di pihak yang lain. Karena itu selama menjadi Ketua Konstituante dia banyak bekerja sama dengan NU. Sebab walaupun saat itu NU berideologi Islamis, tetapi Pancasilais. Sementara walaupun PKI mendukung Pancasila, tetapi sebenarnya ia tidak Pancasilais, ini hanya taktik untuk mengelabui lawan.
Mereka itulah yang mempersiapkan persidangan Konstituante selama lebih dari dua tahun, sebelum lembaga itu bubar dengan sendirinya karena Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945. Berarti tugas mereka membuat Konstitusi sudah tidak ada lagi. Perlu diketahui panitia ini juga ikut mempersiapkan Dekrit. Jadi Dekrit itu sendiri disetujui oleh Konstituante, ketika Lembaga ini telah mengalami jalan buntu, terutama dalam menetapkan Dasar Negara. []
(Abdul Mun’im DZ)
Disadur dari berbagai sumber: Biografi Wilopo, Otobiografi Saifuddin Zuhri, Catatan Konstituante, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar