Kita
Tidak Sedang Berperang
Oleh:
Mohamad Sobary
Bahkan
dalam suatu perang besar: perang saudara yang disebut Bharatayudha yang
menentukan itu pun ada etikanya. Barang siapa ingin keluar sebagai pemenang,
dia tak boleh curang, tak boleh melanggar etika, dan tak boleh memulai
memancing-mancing kemarahan pihak “sana”.
Barang
siapa lupa akan patokan-patokan etis itu, dia dan pihaknya akan menjadi yang
kalah. Dalam hidup ini, menurut para empu kehidupan di negeri kita sendiri,
sebetulnya ada pantangan agar kita tak terlibat di dalam suatu peperangan. Di
mata para arif bijaksana itu, dalam perang kita “menang jadi arang” dan bila
kita kalah, kita menderita lebih parah, lebih hancur-hancuran, “kalah menjadi
abu”. “Menang jadi arang, kalah jadi abu” merupakan ajaran keluhuran hidup yang
digemakan nenek moyang kita ribuan tahun lalu.
Di sini
ajaran menyayangi kehidupan digarisbawahi secara tersirat, implisit, dan
peperangan dikutuk. Kalah-menang dianggap merusak kehidupan. Dalam moralitas
Buddha, sayang pada binatang, yang kelihatannya tak berguna pun, dijadikan
keluhuran tingkah laku yang membawa kemuliaan derajat manusia. Dalam film The
Next Karate Kid, Mr Miyagi merombak drastis sikap dan pandangan hidup Julie,
yang menganggap menyayangi kecoa sebagai cara hidup yang “stupid”.
Dia
bilang, kurang lebih: “It is stupid when nations fight in a war. It is not
stupid if we respect toward life.”Ungkapan-ungkapan etis ini enak didengar,
membawa rasa damai dan kenyamanan, serta bila kita mengamalkannya, buahnya akan
luar biasa bagi hidup kita. Bila dalam perang pun kita diminta untuk tetap
berperilaku luhur, apalagi sekadar dalam suasana kampanye dan persaingan
politik untuk memenangkan pemilu. Kita sekadar sedang bersaing untuk menjadi
presiden dan wakil presiden.
Persaingan
itu hanya cara menunjukkan pada orang banyak bahwa kita yang layak menang, kita
yang unggul dalam kompetensi maupun sikap dan wawasan politik. Untuk memperoleh
penilaian bahwa kita yang unggul, apa yang harus ditempuh? Bila bahkan dalam
perang pun kita dilarang curang, culas, bohong, dan melanggar kepantasan etis,
kita boleh curang?
Dalam
persaingan ini kita boleh bohong, mencemooh, dan memfitnah pihak “sana”, yang
kita sebut mitra tanding, “mitra” bukan musuh? Kita meyakinkan orang banyak,
yang kita harapkan menjadi pemilih, dan penentu kemenangan kita, dengan
keluhuran sikap dan tindakan politik. Kalau kita menang dengan curang,
kemenangan tak akan punya makna. Selama kita menjabat, kecurangan menghantui.
Selama
kita memimpin bangsa, apa yang kita sajikan sebagai kebaikan kepemimpinan bila
kita memenangkan kekuasaan dengan cara-cara yang tak direstui adat, tak
dibenarkan etika, bahkan dikutuk kearifan hidup kita sendiri. Adat, etika, dan
kearifan seolah tak ada lagi di tengah kita, tapi semua masih menjadi bagian
dari kehidupan dan darah daging kita sendiri. Orang Jawa punya panduan etis:
“becik ketitik, ala ketara”, artinya baik-buruk tindakan kita semua tampak
jejaknya.
Budi baik
berbuah baik, keburukan bakal menuai segala yang jahanam. Hukum-hukum kehidupan
ini tak lenyap oleh perubahan sosial dan tak bakal rusak oleh apa pun yang
terjadi. Mereka berada di atas segala kekuatan kemanusiaan. Mereka jaya di atas
segala rekayasa yang meniadakan keluhuran hidup.
Selama
masa kampanye rakyat dengan mata dan hati terbuka menilai. Mereka tahu siapa
luhur, siapa durjana. Hidup memang tidak hitam-putih. Penilaian mereka pun tak
hitam-putih. Dalam mengamati jalannya kampanye, dan memandang caracara para
calonpemimpinitutampil ada kelegaan karena mereka menawarkan keteduhan dan
harapan yang didambakan.
Tapi, ada
pula rasa cemas dan khawatir tentang masa depan, bagaimana nasib mereka kalau
para pemimpin sudah begitu curang dan saling “membunuh”, sambil berteriak
tentang “kebangsaan” serta “persatuan dan kesatuan” . Kebangsaan apa yang bakal
dicapai dengan sikap saling mencemooh, saling memfitnah, dan saling “membunuh”
seperti itu? Kita lupa, ini hanya kampanye, hanya tahap perjuangan untuk
memenangkan kursi presiden dan wakilnya. Kita lupa ini bukan perang.
Ini bukan
permusuhan. Dapatkah elite-elite di kedua sayap yang berhadapan sebagai “mitra”
persaingan itu mengingatkan kembali dan menata dengan lebih baik para tim
suksesnya, para jurkamnya, dan para pendukungnya untuk tak mengejek pihak
“mitra” sebelah sana agar kita, bila menang, kita menang dalam keanggunan, kita
menang secara bersih, dan terhormat?
Lalu kita
sendiri, capres dan cawapresnya, tampil dengan kesadaran bahwa kita pemimpin,
kita orang besar, kita punya wawasan lebih baik dari banyak pihak, kita
bertindak lebih terhormat. Dapatkah ini kita wujudkan dalam masa kampanye yang
singkat ini? Calon pemimpin, mengapa tak mulai dari sekarang bersikap sebagai
pemimpin, yang memberi arah, yang memberi kemungkinan dan pilihan-pilihan yang
kaya, penuh perspektif, dan bukan sikap permusuhan? Kita ingin mewujudkan makna
“persatuan” dan “kesatuan” bangsa.
Dengan
apa itu diwujudkan bila sikap kita sudah tampak seperti berada di dalam suatu
perang yang begitu kejam? Kompetensi teknis apa yang kita miliki? Kita nyatakan
itu secara jelas dan terbuka. Kita bikin rakyat yakin bahwa kita memiliki
sesuatu yang layak kita andalkan. Kita yakinkan rakyat bahwa kita memiliki
suatu wawasan kebangsaan yang hendak kita semaikan di dunia pendidikan dan
kemudian kita tanam dalam relasi-relasi di antara sesama bangsa kita dan dengan
bangsa lain untuk menjadi penanda bahwa kita bangsa yang suka damai yang
menghormati pluralitas budaya dan meluhurkan ajaran agama?
Para
penonton, para pengamat, para juri, KPU, Bawaslu, media massa, semua mengamati
kita dengan jernih. Tiap ucapan kita dicatat dan dinilai. Tiap sepak terjang
kita direkam dan diabadikan. Kita tidak pernah berada di dalam gelap, di mana
hanya kita yang ada. Tiap saat, tiap menit, tiap detik, kita dipantau. Mereka
itu yang bakal menentukan kemenangan kita. Apa yang hendak kita tawarkan kepada
dunia?
Di zaman
serbaglobal ini kita tak pernah bisa memisahkan diri dari percaturan dua yang
selalu menempel di lengan baju, di leher jas, di dasi, dan di sepatu kita.
Dunia melekat di dalam diri kita. Jadi kita pun dipantau dunia. Kedamaian apa
yang kita tawarkan pada dunia internasional? Keamanan, ketenteraman, dan
jaminan bebas dari kaum teroris dan kaum radikal apa yang bisa kita tunjukkan
pada dunia?
Bagaimana
meyakinkan dunia bahwa kita bukan bagian dari kekerasan dan kerusuhan berbasis
agama dan ideologi keagamaan? Bisakah kita menunjukkan pada dunia bahwa kita
memang bangsa yang suka damai? Kita ingin memang.
Tapi,
menang yang terhormat. Kita tak ingin kalah. Maka itu, kita harus tidak kalah
dengan cara yang tak membuat pihak lain terinjak-injak. Kita tahu, kita tak
sedang bermusuhan dengan siapa pun. Kita tahu, kita tidak sedang berperang. []
KORAN
SINDO, 16 Juni 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar