Simbolisme
Islam dan Pilpres
Oleh:
Azyumardi Azra
MENONTON
dari layar kaca, deklarasi dua pasangan capres-cawapres Joko Widodo-M Jusuf
Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, 19 Mei, saya menyaksikan dua kontras
yang tampaknya bakal mewarnai tidak hanya rumor, layanan pesan singkat (SMS)
gelap, dan isu serta tema kampanye kedua pasangan dengan para pendukungnya,
tetapi mungkin juga motif dalam pencoblosan kertas suara pada 9 Juli 2014.
Supaya tidak terjadi kekagetan atau bahkan konflik di kalangan masyarakat,
perlu antisipasi seperlunya.
Dalam
pengamatan saya, suasana deklarasi pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK)
kelihatan lebih rileks, mirip ”pesta rakyat” yang nyaris tanpa protokoler
dengan warna-warni pakaian. Sebaliknya, deklarasi pasangan Prabowo-Hatta
terlihat lebih rapi, dengan tempat duduk yang sudah tertata dengan nama parpol
pendukung dengan dominasi pakaian warna putih.
Ada
nuansa dan semangat berbeda yang secara tersirat menggambarkan tidak hanya
kecenderungan orientasi dan ideologi politik, tetapi juga semangat keagamaan.
Simbolisme
agama
Dari
sudut agama, kedua pasang capres-cawapres tidak ada bedanya, keempatnya adalah
pemeluk Islam. Tetapi, jelas, meski sama-sama Muslim, visi keislaman, latar
belakang sosial-intelektual, kesetiaan pada doktrin dan ritual Islam, dan
kedekatan (attachment) masing-masing dalam batas tertentu jelas mengandung
sejumlah perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu sedikit banyak memengaruhi
kecenderungan dan warna politik yang mereka tampilkan baik sepanjang musim
kampanye dan pencoblosan suara maupun dalam masa pemerintahan pemenang pemilu
presiden (pilpres) nanti.
Lebih
jauh, perbedaan itu jelas juga sangat terkait kecenderungan ideologis parpol
pengusung atau koalisi parpol pendukung masing-masing pasangan. Pada satu
pihak, pasangan Jokowi-JK diusung koalisi pimpinan PDI-P yang mencakup Partai
Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hanura. Parpol-parpol ini
semua berasas Pancasila. Meski demikian, semua parpol ini menolak disebut
”parpol sekuler”, apalagi tidak bersahabat dengan Islam dan kaum Muslimin.
PDI-P, misalnya, selalu membantah anggapan itu dengan menyatakan parpol ini memiliki
Baitul Muslimin yang merupakan organisasi sayap keislamannya.
Sebaliknya,
pasangan Prabowo-Hatta disponsori koalisi pimpinan Partai Gerindra yang
kemudian mencakup Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan
terakhir Partai Golkar. Dua parpol ini, Gerindra dan Golkar, berasas Pancasila;
selebihnya, PPP, PKS, dan PBB, berdasarkan Islam. Agaknya kenyataan terakhir
menjadi faktor penting kenapa kemudian warna dan nuansa Islam dalam koalisi ini
terlihat menonjol. Boleh jadi juga, penonjolan warna Islam itu merupakan bagian
eksplisit atau implisit dari kesepakatan koalisi mereka.
Dalam
konteks itu, orang dapat menyaksikan perbedaan di antara kedua pasangan
capres-cawapres dalam deklarasi resmi masing-masing. Deklarasi pasangan
Jokowi-JK terlihat tidak menampilkan nuansa Islam secara spesifik kecuali
dengan penggunaan salam khas ”assalamualaikum” ketika Jokowi atau Puan Maharani
memberikan sambutan singkat.
Sebaliknya,
deklarasi pasangan Prabowo-Hatta dimulai dengan bacaan ayat-ayat Al Quran
tentang umat Islam agar tidak bercerai-berai dan bersatu. Selain itu, hampir
sepanjang acara deklarasi pasangan ini diwarnai teriakan takbir
Allahu
Akbar. Dengan demikian, simbolisme Islam terlihat begitu menonjol dalam
deklarasi pasangan Probowo-Hatta.
”Too big
to fail”
Deklarasi
model mana dari kedua pasangan capres-cawapres yang paling efektif memengaruhi
perilaku politik pemilih Muslim masih harus ditunggu. Kecenderungan itu bisa
terindikasi dalam survei-survei yang pasti segera dilakukan lembaga atau
kemudian nanti dalam ”hitung cepat” selesai pencoblosan kertas suara nanti.
Namun,
bila disimak kembali kecenderungan politik Indonesia sejak masa reformasi,
khususnya, simbolisme Islam, atau mungkin juga agama lain dalam politik
Indonesia, tidak pernah efektif. Bahkan, terakhir sekali dalam Pemilu
Legislatif 9 April 2014, parpol-parpol berasas Islam gagal mengatasi perolehan
suara parpol berasas Pancasila. Hanya PKB—partai berasas Pancasila yang sering
dimasukkan sebagian pengamat sebagai ”parpol Islam”—yang mampu menaikkan
perolehan suaranya.
Penting
pula dicermati, sejak Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014, teori ahli ilmu
politik tentang ”jebakan demokrasi” (democracy trap) tidak applicable dalam
pengalaman demokrasi Indonesia. Menurut teori ini, democracy opening yang
berlaku dalam negara berpenduduk mayoritas Muslim (termasuk Indonesia) hanya
menghasilkan kekuasaan parpol Islamis. Parpol dan kaum Islamis kemudian
menggunakan demokrasi untuk melaksanakan agenda-agenda sendiri; dalam konteks
Tunisia dan Mesir, mengubah konstitusi dan merencanakan penerapan syariah
Islam.
Melihat
keempat pemilu setelah era Soeharto, jelas jebakan demokrasi tidak berlaku
dalam demokrasi Indonesia. Berlakunya jebakan demokrasi dalam pemilu Tunisia
dan Mesir 2012 mungkin mengilhami parpol Islam tertentu di Indonesia. Namun,
hasil Pemilu Legislatif 9 April 2014 sekali lagi membuktikan kegagalan teori
jebakan demokrasi. Kenyataan ini terkait banyak dengan realitas
sosio-antropologis masyarakat Muslim Indonesia yang memiliki distingsinya
sendiri vis-a-vis kaum Muslimin di bagian dunia mana pun. Islam yang melekat
(embedded) dalam berbagai aspek kehidupan budaya banyak suku dan bangsa
Indonesia membuat realitas budaya Muslim lebih adoptif dan adaptif, fleksibel,
akomodatif, dan memberi banyak kelonggaran ruang gerak dalam perilaku budaya
dan politik.
Dalam
konteks ini, distingsi dan dikotomi budaya ”santri” dan ”abangan” yang kemudian
memunculkan ”politik aliran”, seperti dalam Pemilu 1955, tidak lagi relevan.
Perubahan sosio-ekonomis dan pendidikan dalam dua dasawarsa terakhir membuat
”politik aliran” hampir tidak ada bekasnya dalam perilaku politik para pemilih
Muslim.
Selain
itu, Islam washatiyah yang merupakan paradigma dan praksis dominan Islam
Indonesia membuat Islam negeri ini jauh dari kecenderungan politik Islamis di
negara-negara Muslim Dunia Arab. Karena itu, ketika berbicara dalam berbagai
konferensi internasional ada penanggap yang secara gegabah menerapkan teori
jebakan demokrasi di Indonesia, jawaban saya: ”Indonesian Washatiyyah Islam is
too big to fail”. []
KOMPAS,
21 Mei 2014
Azyumardi Azra ; Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar