Kampanye
Pemilu, Kampanye Damai
Oleh:
Mohamad Sobary
Di benak
anak-anak, kampanye mungkin fenomena menggembirakan. Gemuruh suara motor di
jalan-jalan raya, teriakan-teriakan, bendera dan simbolsimbol partai yang
begitu meriah, bisa jadi dianggap hiburan.
Siapa
tahu bahkan dianggap pendidikan politik dan sosialisasi mengenai kesadaran tentang
hak-hak politik yang ditanamkan sejak dini. Mengenal warna bendera, dan simbol
partai, apalagi mendengar pidatopidato yang bagus di lapangan maupun di layar
televisi, membuat anak merasa dunianya menjadi lebih lebar. Jargon-jargon
politik, termasuk yang sebenarnya tak punya makna apapun karena jargon hanya
berhenti di kata-kata,membuat khasanah kehidupan anakanak makin komplet.
Bagi
anak-anak yang tak mengerti makna sesungguhnya kampanye, warna bendera partai,
simbol-simbol partai, pidato dan jargon politik, hirukpikuk kampanye itu sudah
membuat mereka ”memilih” yang terbaik menurut ukuran dan cita rasa sederhana
dalam ”frame” dunia anak-anak. Mereka ”memilih” partai karena warna bendera,
karena sesuatu yang meriah, karena bunyi-bunyi yang memikat hati.
Begitulah
dunia anak-anak. Begitu mereka mengenal sejak awal kegembiraan kampanye,
semangat partai dan kegigihan para politisi meneriakkan inti perjuangan
partainya, dan hubungannya dengan cita-cita kesejahteraan masyarakat. Anakanak
tak harus mengerti kata per kata secara harfiah, apalagi makna simbolisnya.
Dalam ketidakmengertian itu, mereka sudah berpartisipasi untuk memeriahkan
kehidupan politik.
Bagi kaum
remaja, kampanye memiliki makna lebih luas lagi. Mereka sudah paham ”platform”
perjuangan partai. Mereka pun mengerti mana partai terbaik untuk dipilih.
Mereka sudah memiliki suatu idealisme tertentu, meskipun barangkali rumusannya
tidak fokus, tidak politik dan tidak pula bersifat ideologis.
Tapi ada
satu hal yang lebih jelas: pada mereka sudah muncul fanatisme. Bisa saja kita
menyebutnya fanatisme ”naif ”. Bisa saja kita memberinya ”label” fanatisme
samar-samar, karena kemungkinan besar mereka memang belum begitu paham buat apa
fanatisme itu, dan apa artinya di dalam kehidupan sosialnya.
Fanatisme,
samar-samar atau jelas, tetap fanatisme. Fanatisme ”naif” maupun fanatisme
”rasional” sering membawa konsekuensi tak terduga, dan tak masuk akal. Di
kalangan kaum remaja maupun orangorang dewasa, fanatisme membuat mereka
bersedia bertengkar dengan tetangga sendiri, bahkan berkelahi hingga babak
belur, dan melibatkan perkelahian kelompok, yang tak bakal membawa hasil apa
pun kecuali kesadaran di kemudian hari, bahwa sebetulnya mereka tak perlu
berkelahi.
Di
kemudian hari mereka makin sadar, bahwa kampanye, hingga tahapan pemilunya, tak
membawa perubahan berarti bagi hidup mereka. Ada atau tak ada kampanye dan
pemilu, hidup mereka tak berubah. Ini membuat mereka lebih sadar lagi, dengan
kesadaran rasional, bukan ”naif”, bahwa berkelahi dengan sesama warga kampung,
warga RT atau RW, sungguh tak masuk akal.
Tapi
dalam kampanye dan pemilu lima tahun berikutnya, perkelahian seperti itu
terjadi lagi karena fanatisme yang sama. Mereka yang terlibat perkelahian
mungkin bukan orang-orang yang dulu itu, karena fanatisme sudah berpindah ke
pihak lain, dan boleh jadi diwarnai ”darah panas” dan kentalnya ideologi, yang
sebetulnya juga tak mereka pahami baik-baik.
Partai-partai,
dan pribadi-pribadi yang ikut menyelenggarakan kampanye dan menjadi peserta pemilu,
mungkin sebaiknya merasa bertanggung jawab atas situasi seperti itu. Mungkin
langkah ada langkah-langkah yang bisa diambil para politisi untuk menghindari
kerusuhan seperti itu. Kampanye itu usaha meyakinkan masyarakat bahwa suatu
partai memiliki ideologi jelas, dengan program kerja yang juga jelas.
Ini yang
harus dipaparkan secara persuasif, dan simpatik kepada khalayak ramai sehingga
kampanye memang berarti pendidikan. penyadaran, dan bujukan secara terhormat,
dan mulia. Politisi harus bisa ”mengarahkan” jalan pikiran orang banyak, dengan
kemampuan komunikasinya yang hebat. Juga dengan ideologi dan program yang punya
makna ”pembebasan” bagi kebanyakan warga yang hidupnya masih terus menerus
terbelenggu kesukaran dan kemiskinan tak ada ujung.
Politisi
harus bisa dengan tegas, membuat kemiskinan umum punya batas, di mana pada
suatu periode sejarah tertentu, yang miskin berubah menjadi tidak lagi miskin.
Ini mungkin arti pembebasan sejati, yang disebut di atas. Menang memang menjadi
tujuan dalam pemilu, sesudah kerja keras dalam kampanye dan persiapan panjang
sebelumnya.
Tapi
dilihat dari perspektif yang lebih luas, bukan kata ”menang” itu yang
terpenting, melainkan pendidikan politik. Syukur bila proses pendidikan itu
sendiri telah membuka kesadaran politik sebagai warga negara yang bertanggung
jawab, dan memiliki wawasan kebangsaan yang tidak bisa dianggap remeh.
Jika
beginilah yang dianggap sebagai unsur terpenting di dalam kampanye dan pemilu,
apa gunanya kita menjelekkan lawan politik? Apa gunanya memfitnah, dan balas
memfitnah pihak lain, yang kita sebut musuh politik? Permusuhan yang sebenarnya
tak penting sama sekali ini tak bisa dilupakan begitu saja.
Di
seluruh dunia permusuhan dalam politik terjadi di saat kampanye, pemilu dan di hari-hari
sesudahnya. Apakah karena itu terjadi di seluruh dunia, kita lalu menganggapnya
wajar? Apakah permusuhan itu kemudian kita terima dengan baik sebagai bagian
dari dinamika politik? Mungkin tidak. Mungkin sekali kita bisa menyelenggarakan
kampanye dan pemilu yang lebih bermutu, lebih edukatif, lebih bersahabat.
Drama
anak-anak, yang naskahnya ditulis oleh sastrawan terkemuka, Danarto, lebih dua
puluhan tahun lalu, menggambarkan kampanye meriah, lucu dan bersahabat. Pada
suatu hari, partai A yang berkampanye di suatu tempat. Tapi partai B dan C
diundang semua. Para tokoh partai A berpidato dengan berapi-api, penuh
semangat, dan para tokoh partai B dan C berebutan melayani tokoh partai A yang
sedang berpidato mengampanyekan programnya itu.
Minuman
diantar ke podium. Oleh wakil partai B, handuk diantarkan oleh wakil partai C.
Bahkan wajah tokoh partai A dilap dengan handuk itu. Dengan kaget, tokoh itu
turun dari podium dan menari, sambil bergumam; lho , kok dilayani, lho, kok
dilayani. Dan rombongan penari makin banyak. Tokoh-tokoh partai A turun dan
menari. Kemudian para tokoh partai B dan C pun ikut memeriahkan tarian itu.
Sastrawan Danarto bergurau.
Tapi ada
nuansa kedamaian tertentu yang bisa kita petik, dan siapa tahu bisa pula
diamalkan dalam kampanye. Bisa saja kita menyebutnya kampanye damai. Ada
kampanye damai? Ada, kalau kita mau mengadakannya. Kalau Pak JK hadir di
kampanye Pak Hatta, dan beliau menyeka wajah Pak Hatta yang berkeringat, dengan
persahabatan tulus, apa salahnya?
Dan betapa
mulia bila ketika Pak JK sedang berpidato, Pak Hatta mengantarkan untuknya
segelas minuman segar? Barangkali ini tampak seperti lelucon, tapi apa salahnya
sebuah lelucon diwujudkan di dalam suatu politik adiluhung, penuh kebenaran dan
warna moral, dalam sebuah kampanye damai. []
KORAN
SINDO, 30 Mei 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar