Rabu, 31 Mei 2017

(Do'a of the Day) 05 Ramadlan 1438H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Hilaalu khairiw wa rusydi (3x). Aaamantu bil laahil ladzii khalaqaka. Alhamdulillaahil ladzii dzahaba bi syahri kadzaa wa jaa'a bi syahri kadza.

Semoga hilal ini membawa kebaikan dan hidayah (3x). Aku beriman kepada Allah (yang telah menciptakanmu). Segala puji bagi Allah yang telah melewatkan bulan ini dan mendatangkan bulan itu.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 8, Bab 1.

(Buku of the Day) Al-Tsabat Al-Farid fi Asanid al-Syaikh Ibnu ‘Abdul Majid



Meneruskan Tradisi Penulisan ‘Tsabat’ Ulama Nusantara


Judul                : Al-Tsabat Al-Farid fi Asanid al-Syaikh Ibnu ‘Abdul Majid
ISBN                 : 978-602-60536-1-9
Penulis             : Dr. Abdul Aziz Sukarnawadi
Tebal                : 160 hal.
Penerbit            : Maktabah Turats Ulama Nusantara, Demak
Cetakan            : I, 2017
Peresensi          : Farhurrahman Karyadi, alumnus Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang,pencinta manuskrip ulama Nusantara, kini tinggal di Jakarta.

Ada satu hal yang menjadi pembeda antara tradisi intelektual pesantren dan pendidikan lainnya, yaitu adanya sanad. Dalam perspektif Ibnu Qayyim Al-Jauzy, sanad bisa dibilang melampaui linearitas eksatologis pengetahuan Islam yang biasa disebut dengan ‘ilm jally.

Tak hanya itu, Imam Syafi’i pernah berujar bahwa seandainya ilmu tidak dihafal dengan sanad di kitab maka niscaya orang-orang zindiq akan berceramah di atas mimbar. Dan adagium yang cukup masyhur dari Imam Abdullah bin Mubarak menyebutkan, sanad bagian dari agama, seandainya tanpa sanad niscaya orang-orang akan berkata semaunya sendiri (hal.7).

Bahkan sanad yang bersambung (ittishal al-sanad) menjadi salah satu syarat keshahihan sebuah hadits sebagaimana dijelaskan dalam fan musthalahul hadits. Untuk itu, ulama-ulama ahli hadits (al-muhadditsin) benar-benar memperhatikan sanad dalam disiplin ilmu mereka.Sebagian besar dari muhadditsin itu menulis kitab khusus mengenai sanad. Dalam perkembangannya, tak hanya tentang kajian hadits, semua fan keilmuan, riwayat sebuah kitab, dan genealogi keilmuan melalui guru dan murid ditulis dalam sebuah kitab yang dikenal dengan istilah tsabat.

Adalah Syaikh Muhammad Yasin bin Isa Al-Fadani (1916-1990), salah satu ulama Nusantara pakar hadits yang banyak menulis tsabat. Tak terhitung jumlahnya. Yang tersohor ialah Mathmah al-Wijdan fi Asanid al-Syaikh ‘Umar Hamdantiga jilid dan Bughyah al-Murid min ‘Ulum al-Asanid empat jilid. Sebelum itu, Syaikh Muhammad Mahfudz al-Turmusy al-Jawi (w.1338 H/1920 M) sudah mengawali penulisan tsabat di kalangan ulama Nusantara. Beliau menyusun tsabat berjudul Kifayah al-Mustafid fima ‘ala min al-Asanid.

Baru-baru ini, jagad turats ulama Nusantara digembirakan dengan terbitnya sebuah kitab berjudul al-Tsabat Al-Farid fi Asanid al-Syaikh Ibnu ‘Abdul Majid. Kitab yang disusun oleh Dr. Abdul Aziz Sukarnawadi ini merupakan tsabat Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (1898-1997), pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi massa Islam terbesar di Pulau Lombok, Nusatenggara Barat.

Dr Abdul Aziz menulis kitab tersebut berdasarkan ijazah Tuan Guru Zainuddin kepada ayahnya, KH Husnuddu’at. Bahkan, sang ayahtelah menulis tiga tsabat pula yang rencananya akan diterbitkan di penerbit yang sama, Maktabah Turats Ulama Nusantara, Demak Jawa Tengah, yang diketuai oleh Gus Nanal.  

Adapun Tuan Guru Zainuddin sendiri mendapat ijazah dan sanad keilmuan dari beberapa guru beliau di Makkah, di antarnya Al-‘Allamah al-Muhaddits al-Qadhi al-Syaikh Hasan Muhammad Al-Masysyath al-Makki al-Maliki, pengajar di Madrasah Al-Shaulatiyah dan Masjidil Haram; Syaikh ‘Abdul Qadir bin Taufiq Syalbi al-Tharabilisi al-Syami tusmma al-Madani al-Hanafi; Al-‘Allamah al-Syaikh Muhammad ‘Ali bin Husain al-Maliki yang dijuluki Imam Sibawih pada zamannya; dan lain sebagainya.

Beliau berpesan kepada para muridnya, agar mencari ilmu kepada para ahlil ilmi yang memiliki sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW. Beliau mengibaratkan sanad sebagai pipa saluran, di mana tanpanya maka tidak akan bersambung ilmu kepada para murid selamanya. Serta, jika sanad itu terputus maka merupakan pengikut setan, hawa nafsu, dan akan menyesal pada hari kiamat. Beliau bersyair (hal.37):

Guru agama pilih yang mursyid nyata
Yang tetap utuh sambungan pipanya
Jangan yang putus sambungan gurunya
Agar tak nyesal kemudian harinya .
        Murid yang putus dari gurunya
        Berarti rusak pipa ilmunya
Hilang terbakar sari ilmunya
Dibakar setan dan hawa nafsunya.

Kitab ini menjadi lebih lengkap karena mendapat kata pengantar (taqridz) dari cucu Tuan Guru Zainuddin yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Nahdhatul Wathan al-Islamiyah, pengasuh Pondok Pesantren Darul Qur’an wal Hadits Al-Majdiyah, Al-Syafiiyah, rektor IAIN Hamzanawadi Pancor, sekaligus Gubernur Nusa Tenggara Barat, Tuan Guru Dr KH Muhammad Zainuddin al-Majdi bin Jalaluddin.

Dengan terbitnya tsabat Tuan Guru Zainuddin ini, menjadi semangat baru bagi para santri dan kiai untuk menuliskan sanad-sanad para pendiri pesantren dan masyayikh yang selama ini terpendam. Dengan begitu, genealogi keilmuan Ahlissunnah wal Jama’ah semakin kokoh serta menjadi benteng dari paham-paham radikal dan sesat di negeri ini. []

Kisah Perdebatan Dua Ulama Top NU soal Hakim Perempuan



Kisah Perdebatan Dua Ulama Top NU soal Hakim Perempuan

KH A Wahid Hasyim saat menjadi Menteri Agama telah membuka pintu secara administratif perempuan untuk bisa menjadi hakim, namun landasan fiqh-nya belum sempat dirumuskan. Di sana-sini masih banyak penolakan para alim ulama akan status dan kedudukan perempuan sebagai hakim di Pengadilan Agama.

Jumhur ulama dari mazhab Syafi'i, Hanbali dan Maliki tidak membolehkan. Imam Abu Hanifah membolehkan dalam kasus di luar hudud dan qisas. Ibn Jarir al-Thabari membolehkan secara mutlak. Pendapat mana yang mau dipilih?

Maka terjadilah Bahtsul Masail para ulama top di lingkungan Nahdlatul Ulama. Pandangan para ulama NU mengerucut pada dua blok besar: mereka yang mengikuti pandangan KH Marus Ali dari Pesantren Lirboyo, dan mereka yang mengikuti pandangan Prof KH Ibrahim Hosen (Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat dan Rektor Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta). Kiai Mahrus tidak membolehkan dengan mengikuti jumhur sedangkan Abahku membolehkan dengan mengikuti pendapat Hanafi dan Thabari. Sebagai catatan, pendapat Hanafi dan Thabari bisa digabungkan karena yurisdiksi Peradilan Agama di Indonesia terbatas pada masalah akhwalus syakhsiyah dan tidak masuk wilayah jinayah.

Perdebatan kedua kubu sangat panas dengan masing-masing mengeluarkan argumentasi dan rujukannya. Akhirnya diskusi diskors untuk makan siang dan shalat zuhur. Di saat itulah Abah mendekati Kiai Mahrus Ali dan melancarkan jurus diplomasinya. Abah berkata: "Pak Kiai, sebelum saya berangkat sekolah ke al-Azhar Kairo, saya belajar khusus kepada Kiai Abbas di Buntet". Kiai Mahrus langsung bangun dari kursinya dan memeluk Abah, "Kiai Abbas itu Waliyullah, beliau paman saya!"

Setelah dialog tersebut sesi diskusi segera dibuka kembali. Kiai Mahrus mengangkat tangannya: "Diskusi tidak perlu dilanjutkan, sudah selesai, saya setuju perempuan boleh menjadi hakim", maka terdengarlah surat al-Fatihah dibacakan bersama. Para kiai yang lain keheranan apa yang terjadi mengapa perdebatan panas sebelumnya langsung hilang?

Abah saya belakangan menjelaskan kepada saya saat mengenang Kiai Mahrus Ali. Sambil berkaca-kaca Abah berkata: "Kiai Mahrus Ali itu ulama besar. Beliau paham perbedaan mazhab. Beliau hanya ingin diyakinkan bahwa Abah sudah menghitung dampak dari memilih mazhab Hanafi dan Thabari untuk masalah ini. Ketika disampaikan bahwa Abah santri kesayangan dari Kiai Abbas Buntet, Kiai Mahrus Ali seketika menjadi yakin bahwa seorang santri Buntet dibawah bimbingan langsung Kiai Abbas akan tahu bahwa fatwa itu tidak boleh sembarangan dikeluarkan. Kiai Abbas memang waliyullah."

Abah kemudian bercerita hubungan eratnya dengan Kiai Mahrus. Kiai Mahrus menanyakan perkembangan Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) bahkan meng-ijazahi shalawat untuk kelangsungannya. Belakangan saat Muktamar NU di Pesantren Lirboyo 1999 saya sowan ke rumah Kiai Kafabihi Mahrus, putra Kiai Mahrus. Beliau memeluk saya dan berkata, "Abah saya (Kiai Mahrus) pesan: Kiai yang alim soal ushul al-fiqh itu Prof KH Ibrahim Hosen".

Begitulah para Kiai NU. Mereka tahu argumen masing-masing. Mereka saling mencintai dan memghormati. Tinggal kita saja generasi berikutnya yang harus melanjutkan nilai-nilai yang para masyayikh sudah ajarkan kepada kita. Kalau sekarang anda melihat banyak perempuan yang menjadi hakim di Pengadilan Agama, ingatlah dengan kisah ini: semuanya dimulai dari diskusi para ulama kami.

Lahumul fatihah ....

[]

Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

(Ngaji of the Day) Hukum Zakat Fitrah di Awal Ramadhan



Hukum Zakat Fitrah di Awal Ramadhan

Pertanyaan:

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang terhormat, kita semua tahu bahwa menunaikan zakat fitrah hukumnya adalah wajib bagi yang memang telah terpenuhi syaratnya. Namun dalam hal ini saya akan menanyakan hal yang lebih dalam lagi yaitu menyangkut apa yang menjadi sebab zakat fitrah diwajibkan? Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih.

Farid – Jember

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT selalu merahmati kita semua. Zakat fitrah juga disebut shadaqatul fithri, zakatul badan, zakatur ramadhan, atau zakatus shaum. Zakat fitrah wajib ditunaikan ketika terbenamnya matahari pada malam Idul Fitri.

Lantas, apa yang menyebabkan zakat fitrah itu wajib sebagaimana pertanyaan di atas? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kami akan mengemukakan pandangan Abu Ishaq Asy-Syirazi  dalam kitab Al-Muhadzdzab saat membincang tentang kebolehan membayar zakat fitrah pada awal bulan Ramadhan.

Menurutnya, kebolehan ini didasarkan pada argumen bahwa zakat fitrah wajib karena dua sebab yaitu puasa bulan Ramadhan dan berbuka darinya (al-fithru minhu).

Karenanya, jika sudah ada salah satu dari kedua sebab tersebut, maka diperbolehkan mendahulukan membayar zakat fitrah pada awal puasa Ramadhan sebagaimana kebolehan membayar zakat mal ketika sudah mencapai nishab tetapi belum sampai haulnya.

Atas dasar itu pula, tidak diperbolehkan membayar zakat fitrah sebelum bulan Ramadhan karena mendahulu dua sebab yang membuatnya wajib, sebagaimana ketidakbolehan mengeluarkan zakat mal sebelum sampai haul dan sebelum terpenuhi nishabnya.

وَيَجُوزُ تَقْدِيمُ الْفِطْرَةِ مِنْ أَوَّلِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِاَنَّهَا تَجِبُ بِسَبَبَيْنِ صَوْمِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَالْفِطْرِ مِنْهُ فَإِذَا وُجِدَ أَحَدُهُمَا جَازَ تَقْدِيمُهَا عَلَى الْآخَرِ كَزَكَاةِ الْمَالِ بَعْدَ مِلْكِ النِّصَابِ وَقَبْلَ الْحَوْلِ وَلَا يَجُوزُ تَقْدِيمُهَا عَلَى شَهْرِ رَمَضَانَ لِاَنَّهُ تَقْدِيمٌ عَلَى السَّبَبَيْنِ فَهُوَ كَإِخْرَاجِ زَكَاةِ الْمَالِ قَبْلَ الْحَوْلِ وَالنِّصَابِ

Artinya, “Boleh mendahulukan zakat fitrah dimulai dari awal puasa Ramadhan sebab zakat fitrah wajib karena dua sebab yaitu puasa Ramadhan dan berbuka dari puasa (al-fithru minhu). Dengan demikian ketika dijumpai dari salah satu keduanya maka boleh mendahulukan zakat fitrah atas yang lain seperti kebolehan mendahulukan zakat mal setelah sampai nishab dan sebelum haul. Dan tidak boleh menunaikan zakat fitrah sebelum bulan Ramadhan karena hal itu sama dengan mendahulukan atas dua sebab sebagaimana ketidakbolehan mengeluarkan zakat mal sebelum sampai haul dan nishab,” (Lihat Abu Ishaq Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqhil Imamis Syafi’i, Beirut-Darul Fikr, tt, juz I, halaman 165).

Dari penjelasan singkat di atas tampak sangat jelas bahwa ada dua hal yang menjadi sebab wajibnya zakat fitrah, yaitu puasa Ramadhan dan berbuka darinya (berlalunya Ramadhan).

Demikian jawaban singkat yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Bagi orang yang sudah memenuhi kewajiban membayar zakat fitrah maka tunaikan dan berikan kepada orang yang berhak.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Mahfud MD: Menolak Ide Khilafah



Menolak Ide Khilafah
Oleh: Moh. Mahfud MD

“Buktikan bahwa sistem politik dan ketatanegaraan Islam itu tidak ada. Islam itu lengkap dan sempurna, semua diatur di dalamnya, termasuk khilafah sebagai sistem pemerintahan”. Pernyataan dengan nada agak marah itu diberondongkan kepada saya oleh seorang aktivis ormas Islam asal Blitar saat saya mengisi halaqah di dalam pertemuan Muhammadiyah se-Jawa Timur ketika saya masih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi.

Saat itu, teman saya, Prof Zainuri yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, mengundang saya untuk menjadi narasumber dalam forum tersebut dan saya diminta berbicara seputar ”Konstitusi bagi Umat Islam Indonesia”.

Pada saat itu saya mengatakan, umat Islam Indonesia harus menerima sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sistem negara Pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagaman dari bangsa Indonesia.

Saya mengatakan pula, di dalam sumber primer ajaran Islam, Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Di dalam Islam memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak diatur di dalam Al Quran dan Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.

Sistem negara Pancasila

Khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan manusia yang isinya bisa bermacam-macam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Di dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku.

Umat Islam Indonesia boleh mempunyai sistem pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat Indonesia sendiri. Para ulama yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia menyatakan, negara Pancasila merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah sehingga harus diterima sebagai mietsaaqon ghaliedzaa atau kesepakatan luhur bangsa.

Penjelasan saya yang seperti itulah yang memicu pernyataan aktivis ormas Islam dari Blitar itu dengan meminta saya untuk bertanggung jawab dan membuktikan bahwa di dalam sumber primer Islam tidak ada sistem politik dan ketatanegaraan. Atas pernyataannya itu, saya mengajukan pernyataan balik. Saya tak perlu membuktikan apa-apa bahwa sistem pemerintahan Islam seperti khilafah itu tidak ada yang baku karena memang tidak ada.

Justru yang harus membuktikan adalah orang yang mengatakan, ada sistem ketatanegaraan atau sistem politik yang baku dalam Islam. ”Kalau Saudara mengatakan bahwa ada sistem baku di dalam Islam, coba sekarang Saudara buktikan, bagaimana sistemnya dan di mana itu adanya,” kata saya.

Ternyata dia tidak bisa menunjuk bagaimana sistem khilafah yang baku itu. Kepadanya saya tegaskan lagi, tidak ada dalam sumber primer Islam sistem yang baku. Semua terserah pada umatnya sesuai dengan keadaan masyarakat dan perkembangan zaman.

Buktinya, di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang memakai sistem sulthaniyyah (kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah (republik), dan sebagainya.

Bahwa di kalangan kaum Muslimin sendiri implementasi sistem pemerintahan itu berbeda-beda sudahlah menjadi bukti nyata bahwa di dalam Islam tidak ada ajaran baku tentang khilafah. Istilah fikihnya, sudah ada ijma’ sukuti (persetujuan tanpa diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa dibuat sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar’i (maqaashid al sya’iy).

Kalaulah yang dimaksud sistem khilafah itu adalah sistem kekhalifahan yang banyak tumbuh setelah Nabi wafat, maka itu pun tidak ada sistemnya yang baku.

Di antara empat khalifah rasyidah atau Khulafa’ al-Rasyidin saja sistemnya juga berbeda-beda. Tampilnya Abu Bakar sebagai khalifah memakai cara pemilihan, Umar ibn Khaththab ditunjuk oleh Abu Bakar, Utsman ibn Affan dipilih oleh formatur beranggotakan enam orang yang dibentuk oleh Umar.

Begitu juga Ali ibn Abi Thalib yang keterpilihannya disusul dengan perpecahan yang melahirkan khilafah Bani Umayyah. Setelah Bani Umayyah lahir pula khilafah Bani Abbasiyah, khilafah Turki Utsmany (Ottoman) dan lain-lain yang juga berbeda-beda.

Yang mana sistem khilafah yang baku? Tidak ada, kan? Yang ada hanyalah produk ijtihad yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Ini berbeda dengan sistem negara Pancasila yang sudah baku sampai pada pelembagaannya. Ia merupakan produk ijtihad yang dibangun berdasar realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, sama dengan ketika Nabi membangun Negara Madinah.

Berbahaya

Para pendukung sistem khilafah sering mengatakan, sistem negara Pancasila telah gagal membangun kesejahteraan dan keadilan. Kalau itu masalahnya, maka dari sejarah khilafah yang panjang dan beragam (sehingga tak jelas yang mana yang benar) itu banyak juga yang gagal dan malah kejam dan sewenang-wenang terhadap warganya sendiri.

Semua sistem khilafah, selain pernah melahirkan penguasa yang bagus, sering pula melahirkan pemerintah yang korup dan sewenang-wenang. Kalaulah dikatakan bahwa di dalam sistem khilafah ada substansi ajaran moral dan etika pemerintahan yang tinggi, maka di dalam sistem Pancasila pun ada nilai-nilai moral dan etika yang luhur. Masalahnya, kan, soal implementasi saja. Yang penting sebenarnya adalah bagaimana kita mengimplementasikannya.

Maaf, sejak Konferensi Internasional Hizbut Tahrir tanggal 12 Agustus 2007 di Jakarta yang menyatakan ”demokrasi haram” dan Hizbut Tahrir akan memperjuangkan berdirinya negara khilafah transnasional dari Asia Tenggara sampai Australia, saya mengatakan bahwa gerakan itu berbahaya bagi Indonesia. Kalau ide itu, misalnya, diterus-teruskan, yang terancam perpecahan bukan hanya bangsa Indonesia, melainkan juga di internal umat Islam sendiri.

Mengapa? Kalau ide khilafah diterima, di internal umat Islam sendiri akan muncul banyak alternatif yang tidak jelas karena tidak ada sistemnya yang baku berdasar Al Quran dan Sunah. Situasinya bisa saling klaim kebenaran dari ide khilafah yang berbeda-beda itu. Potensi kaos sangat besar di dalamnya.

Oleh karena itu, bersatu dalam keberagaman di dalam negara Pancasila yang sistemnya sudah jelas dituangkan di dalam konstitusi menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Ini yang harus diperkokoh sebagai mietsaaqon ghaliedzaa (kesepakatan luhur) seluruh bangsa Indonesia. Para ulama dan intelektual Muslim Indonesia sudah lama menyimpulkan demikian. []

KOMPAS, 26 Mei 2017
Moh Mahfud MD ;   Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013