Kamis, 30 Januari 2014

(Do'a of the Day) 28 Rabiul Awwal 1435H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Wa kam aghnaita dzal 'umri,
Wa kam aulaita dzal faqri.
Wa kam 'aafaita dzal wizri,
Bi ahlil badri yaa Allaah.

Laqad dhaaqat 'alal qalbi,
Jamii'ul ardhi ma'-rahbi.
Fanju minal balash sha'bi
Bi ahlil badri yaa Allaah.

Ya Allah Tuhanku, telah banyak orang yang Engkau beri kecukupan (kekayaan),
Dan banyak pula orang tidak mampu yang Engkau tolong.
Demikian pula banyak orang berbuat dosa yang Engkau ampuni,
Lantaran tawassul kami dengan Ahlul Badr (yang dijamin Allah masuk surga).

Sungguh hati (kehidupan) ini terasa sempit,
Padahal dunia ini sangatlah luas.
Maka selamatkanlah kami dari ujian yang sulit ini,
Lantaran tawassul kami dengan Ahlul Badr (yang dijamin Allah masuk surga).

Allaahumma shalli wa sallim wa baarik 'alaihi.
Ya Allah, limpahkanlah rahmat, salam dan berkah kepada Nabi SAW.

[]

Dari Kitab iqdl al-Jawahir ditulis oleh Syekh Jafair Al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim

Kang Sobary: Aib Dibuka di Mana-mana



Aib Dibuka di Mana-mana
Oleh: Mohamad Sobary

Seorang pemuda yang hidup sukses diwawancarai sebuah media. Hasil wawancara dicetak dan diedarkan di pasaran bebas.

Sebagian disiarkan di televisi, disertai latar belakang rumah mewah, kolam renang, mobil-mobil mewah, dan anjing-anjing mahal. Dalam sekejap anak muda yang sukses itu menjadi sangat terkenal di seluruh Tanah Air.

Tak mengherankan, para tetangga, sahabat, dan kenalan orang tuanya di kampung, di seberang lautan yang jauh dari sini, bahkan yang sebetulnya tidak kenal pun, ikut hiruk-pikuk, seolah hidup mereka juga harus diabdikan untuk turut “merayakan” kebanggaan orang tua yang anaknya mampu mengguncang dunia, hanya melalui satu kali penampilan di media cetak sekaligus di layar televisi.

Martabat orang tuanya mendadak naik tajam seperti harga saham di bursa efek yang gampang goyah, gampang berubah, dan kaget-kagetan secara dadakan. Seperti kejutan di bursa saham, sebentar kemudian, rumah orang tuanya dirombak total, diganti bangunan megah, dan paling modern di kota kecilnya. Jantung para tetangganya harus kuat untuk menghadapi kejutan demi kejutan berikutnya.

Di arisan, di pengajian, di pestapesta, ibunya menyebarkan berita kehebatan anaknya tanpa tedeng aling-aling lagi. Kemajuan anaknya dan sukses gilang gemilang yang memancarkan cahayanya hingga di seberang laut itu menjadi seperti dongeng: tanpa proses, tanpa jerih payah, tahu-tahu kejutan besar muncul. Sejak siaran media nasional, terutama siaran televisi yang hebat itu, sang ibu ikut menjadi sejenis bintang yang kerlap-kerlip di langit.

Sang ibu sadar bahwa kemajuan anaknya membawa pengaruh dan kewibawaan besar baginya. Para tetangga pun terkagum-kagum. Media lokal yang membebek media Jakarta rajin mendatangi ibu yang berbahagia itu untuk melakukan wawancara mengenai suasana hati dan kehidupan keluarganya. Sebagian sekadar wawancara “gosip-gosipan” yang tak keruan ujung pangkalnya. Tapi, sang ibu jelas bangga bukan kepalang. Masuk koran tanpa susah payah dianggap suatu berkah tak terhingga.

“Bagaimana perasaan ibu punya anak yang sukses besar di Jakarta?’

“Alhamdulillah, ya gimana ya Dik wartawan? Allah mahamengabulkan cita-cita saya. Alhamdulillah deh. Bangga ibu rasanya.”

“Oh, jadi hal ini memang dirancang, dan dicita-citakan oleh ibu?”

“Saya yang mengandungnya selama sembilan bulan, tak pernah lupa membentenginya dengan doa-doa dan permohonan supaya dia sukses. Dia sudah sukses. Alhamdulillah. Allahu Akbar. Kita bersyukur. Ini sukses besar. Anak saya memang sudah kelihatan pintar sejak kecil. Ibu bangga.”

“Bangunan rumah itu nilainya pasti lebih satu miliar rupiah ya?”

“E, eeee…jangan remehkan kami. Belum separuh selesai saja sudah habis tiga miliar. Mungkin nanti bisa habis barang tujuh atau delapan miliar.” Media lokal ini pun mengguncang masyarakat setempat.

Wawancara itu ditulis sebagai reportase, judulnya besar, mencolok, dengan huruf-huruf tebal. Foto sang ibu, yang berjilbab dan jari-jari kanannya tak henti-hentinya memutar-mutar tasbih, tampak disengaja betul untuk dijadikan fokus. Foto itu besar, mencolok, dan memancarkan daya tarik mengagumkan bagi kaum ibu, teman-teman pengajian, di mana sang ibu menjadi anggota.

Bangunan yang belum jadi juga ditaruh di latar belakang, melengkapi gambaran sukses keluarga itu. Sejak hari penerbitan media itu, ibu dan keluarganya mandi puja-puji dan kekaguman massa. Mereka dianggap ikon kemajuan di kota kecilnya dan para tetangganya yang kekagumannya tak mungkin disembunyikan. Bukan bagian dari masyarakat kita kalau kekaguman itu berhenti di sana.

Gunjingan pun berkembang. Bahkan ada orang tua yang menjadikan anak sang ibu sebagai model. Anak-anak yang harus bermigrasi ke Jakarta harus juga meneladani sukses hebat itu. Keluarga sang ibu lalu menjadi seperti sebuah “kitab”’ yang ajarannya dijadikan panutan para tetangganya. Apa sebenarnya kerja anak sang ibu yang begitu mentereng hidupnya? Tidak ada orang yang tahu secara persis.

Dia ada di mana-mana di kalangan atas. Juga di antara para tokoh partai. Di pengajian, di seminarseminar, dan di tempat golongan intelektual berkumpul, dia selalu ada. Pergaulannya luas. Dunia bisnis pun menerimanya. Tapi, apa sebenarnya pekerjaannya? Di mana kantornya? Berapa anak buahnya? Mengenai hal ini tak ada orang yang tahu persis.

Bukankah tak penting, apa pekerjaannya? Bukankah yang penting orang bisa melihat hasil-hasilnya? Dia sukses. Sukses besar. Apa yang lebih penting dari itu, di mata masyarakat kita yang kagum akan materi, bangga melihat kesuksesan, tanpa peduli bagaimana sukses itu diraih. Orang sekarang tampaknya memandang hidup secara sederhana: sukses ya sukses. Di balik itu yang penting duit. Kantong tebal. Mobil mewah, rumah mewah.

Latar belakang sejarahnya bahwa dulunya miskin, orang tua miskin, kakek, dan kakek buyut juga miskin? Tak menjadi masalah. Yang miskin itu bukankah leluhurnya? Kalau dia sendiri sukses dan kaya apa salahnya? Dia juga gemar pidato tentang apa salahnya kaya. Di mana-mana dia bicara: apa salahnya kaya. Tentu saja tak ada salahnya.

Tapi, kalau orang miskin tiba-tiba kaya, tanpa sejarah, tanpa proses, apakah tidak salah? Logika bisnis seperti apa yang bisa membuat dalil pembenarannya? Moralitas agama dan tradisi macam apa yang bisa menerimanya sebagai kebenaran dan wujud keluhuran? Dia juga dermawan. Kaum miskin, anak-anak yatim piatu disumbang, dan disantuni.

Masjid-masjid disumbang. Tidakkah ini cukup menegaskan kebaikan yang dilandasi kesalehan agamais? Ini semua dimuat juga di media. Orang kampungnya sana kaget lagi mendengar kemuliaan ini. Sukses dan kesalehan tergabung dalam hidup seorang anak muda. Kejutan muncul tiap saat, meneguhkan kebahagiaan hidup orang tuanya, saudara-saudara, dan sanak kerabat di kampung.

Tapi sekali lagi, jantung para tetangganya, yang sudah menjadi pengagum fanatik itu, haruslah sekuat baja menghadapi banyak kejutan yang silih berganti. Sekarang kejutan baru muncul: media cetak, media “online”, televisi, dan radio, serentak menyiarkan berita baru yang mengejutkan; anak sang ibu, yang sukses luar biasa tanpa kerja keras itu, terlibat korupsi.

Ulahnya mengakibatkan kerugian besar bagi negara. Sejumlah angka disiarkan. Bersama siapa, dalam proyek apa, dan dengan taktik bagaimana korupsi itu dilakukan, semua disiarkan secara detil, jelas, tanpa menyisakan pertanyaan. Para tetangga di kampung yang jauh di mata, jauh dari Jakarta, juga mendengar siaran itu.

Bahkan ada televisi Jakarta yang datang ke kampung, mewawancarai ibunya, dan memotret bangunan yang belum selesai, dan tampaknya tak akan selesai itu. Para tetangga, pengagum, dan pemuja, yang menjadikan keluarga itu, terutama sang anak yang sukses sebagai teladan? Semua, ibaratnya, pingsan. Semua bisu.

Semua begitu malu telah mengagumi orang yang tak layak diluhurkan budinya. Aib pribadi, aib keluarga, aib tetangga, dan terbuka. Aib macam ini sekarang terbuka lebar di banyak pribadi yang korup, di banyak keluarga. Pendeknya, aib dibuka di mana-mana. []

KORAN SINDO, 27 Januari 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

(Hikmah of the Day) Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan



Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan

Negeri Baghdad sedang mengalami kekacauan. Umat Islam terpecah belah. Para tokoh Islam menjadikan khutbah Jum’at sebagai ajang untuk saling mengkafirkan. Di saat bersamaan, seorang Abdul Qadir Al-Jailani muda diamanati oleh gurunya, Syekh Abu Sa’ad Al-Muharrimi untuk meneruskan dan mengembangkan madrasah yang telah didirikannya.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani lalu berpikir bahwa perpecahan di antara umat Islam adalah akar masalah pertama yang harus segera disikapi, ilmu pengetahuan tidak pada posisinya yang benar jika hanya digunakan sebagai dalih untuk saling menyesatkan di antara sesama saudara.

Di tengah kegelisahannya atas keadaan umat Islam pada saat itu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berniat untuk menemui setiap tokoh dari masing-masing kelompok, niat memersatukan umat Islam tersebut ia lakukan dengan sabar dan istiqomah, meskipun hampir dari setiap orang yang dikunjunginya justru menolak, mengusir, atau bahkan berbalik memusuhinya.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tetap teguh kepada prinsipnya, bahwa perpecahan Islam di sekitarnya tidak bisa didiamkan, melalui madrasah yang sedang dikembangkannya, dia mulai melakukan penerimaan murid dengan tanpa melihat nama kelompok dan status agama.

Lama kelamaan para tokoh Islam yang secara rutin dan terus menerus ditemuinya mulai tampak suatu perubahan, nasihat-nasihatnya yang lembut dan santun membuat orang yang ditemuinya berbalik untuk berkunjung ke madrasah yang diasuhnya, padahal usia mereka 40 tahun lebih tua dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Hasil yang mewujud itu belum memberikan kepuasan bagi sosok yang kelak dikenal sebagai Sultonul Awliya –raja para wali- ini, dikarenakan permusuhan antar sesama kelompok Islam pada saat itu masih berlangsung, hingga pada suatu ketika, beberapa tokoh Islam sengaja ia kumpulkan di sebuah majlis madrasah tersebut, kemudian dia berkata:

“Kalian ber-Tuhan satu, bernabi satu, berkitab satu, berkeyaknan satu, tapi kenapa dalam berkehidupan kalian bercerai-berai? Ini menunjukkan bahwa hati memang tak mudah menghadap kepada Tuhan,”

Sontak seluruh tamu saling merasa bersalah, kemudian saling meminta maaf, dan persatuan umat Islam yang dicita-citakan salah satu tokoh besar Islam ini benar-benar terwujud. []

Disarikan dari ceramah Syekh Fadhil Al-Jailani, keturunan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di Pesantren Kempek Cirebon, Jum’at 21 Juni 2013.

(Sobih Adnan)

(Ngaji of the Day) Sumpah Menggunakan Al-Qur'an



Sumpah Menggunakan Al-Qur'an

Selain mengandung pituduh dan petunjuk bagi kehidupan beragama, al-Qur’an juga berfungsi sebagai penanda bagi ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai temuan terbaru dalam ilmu biologi, fisika dan kimia yang ternyata telah tersirat dalam al-Qur’an. Itulah diantara bukti mukjizat al-Qur’an.

Oleh karenanya tidak berlebihan jika dikatakan al-Qur’an merupakan kitab solusi yang memiliki kemampuan menjawab berbagai masalah yang timbul karena perkembangan zaman yang tidak mampu dijawab oleh kecerdasan tehnologi.

Memang, cangghinya tehnologi dan majunya ilmu pengetahuan telah mencapai taraf kesukesan yang luar biasa. Sekarang tehnologi informasi telah berhasil menciptakan media yang mampu melipat jarak dan waktu, sehingga seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa harus bertemu secara fisik. Apalagi sekedar mengirim kabar dan berita. Hanya dengan hitungan detik informasi tentang kejadian di belahan bumi sebelah utara dapat diterima penghuni bumi sebelah selatan dan begitulah seterusnya. Dalam dunia scaning, tehnologi telah mampu mendeteksi keberadaan sebuah benda yang dengan sengaja disimpan dan disembunyikan dari mata telanjang. Begitu juga kemampuannya mengontrol sesuatu dari jarak jauh.

Akan tetapi secanggih apapun tehnologi dan seberapapun kemajuan ilmu pengetahuan, keduanya masih saja tidak mampu mendeteksi kebohongan yang dilakukan seseorang, apalagi menjaga kejujuran. Di saat inilah al-Qur’an mengambil peran sebagai satu-satunya media yang mampu menjawab kelemahan otak manusia. Lihat saja prosesi pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan yang senantiasa menjadikan al-Qur’an sebagai alat sumpah dengan meletakkannya di atas kepala atau di telapak tangan. Atau pengambilan sumpah terhadap seorang yang terdakwa. Bukankah ini merupakan usaha menjaga seseorang dari tindak culas dan kebohongan?

Dalam hal ini al-Qur’an berfungsi sebagai alat pengikat hati seseorang agar tidak lari menuju kebohongan. Sebagai mana al-Qur’an berfungsi sebagai pagar yang akan menjaga seorang pejabat yang telah diambil sumpahnya dalam koridor kebenaran. Begitulah I’anatut Thalibin menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan sebuah kesunnahan.

ومن التغليظ أن يوضع المصحف فى حجره ويطلع له سورة براءة, ويقال له ضع يدك على ذلك ويقراء قوله تعالى "إن الذين يشترون... الأية

Diantara tata-cara memberatkan sumpah ialah dengan meletakkan mushaf di atas pangkuan dan di perlihatkan kepadanya surah Baro’ah lantas dikatakan kepadanya “letakkan tanganmu pada mushaf” kemudian dibacakan kepadanya ayat innalladzina yaystaruuna…”

Demikianlah diantara mukjizat al-Qur’an ia mampu menjadi salah satu media yang melemahkan keinginan seseorang untuk menjaga dustanya. []

Sumber: NU Online