Memasuki Tahun Pemilu 2014
Oleh: Ahmad Saifuddin
Pemilihan umum atau Pemilu merupakan sebuah
ikhtiar bangsa untuk memilih dan menentukan pemimpin serta wakilnya dalam
pemerintahan. Tidak lama lagi, Indonesia akan menjalankan pesta demokrasi
tersebut, tepatnya pada tanggal 9 April 2014. Pada pemilu tersebut, akan
dipilih wakil rakyat DPRD Kabupaten, DPRD Propinsi, dan Dewan Pimpinan Daerah.
Selain itu, pada tanggal tersebut juga akan ditentukan siapa yang akan
melanjutkan estafet kepemimpinan tertinggi di Indonesia ini.
Pemilu memiliki urgensi yang tinggi di dalam
menentukan nasib dan arah perjalanan bangsa ini. Pemimpin dan wakil rakyat yang
berhasil dipilih akan sangat menentukan baik buruknya atau benar salahnya
perjalanan tersebut. Maka dari itu, pemilu tidak hanya sekedar memilih, tetapi
lebih jauh dari itu, pemilu juga merupakan sebuah ikhtiar dan usaha untuk
memperbaiki kualitas bangsa dan negara ini. Dengan demikian, peran rakyat
sangat besar dan signifikan di dalam pemilu, karena siapa yang mewakili rakyat
dan siapa pemimpinnya merupakan representasi dan cerminan rakyat itu sendiri.
Selama ini, pemilu berhasil hanya sebatas
pada tataran teknis. Itu pun masih banyak pihak yang mengklaim banyaknya
kekurangan teknis yang terjadi. Pemilu dalam tataran memilih wakil rakyat dan
pemimpin yang berkualitas dan kredibel belum terealisasikan dengan baik.
Terdapat banyak sekali problem yang muncul ketika pemilu itu berlangsung.
Banyaknya kepentingan politik dan golongan yang “menunggangi” calon wakil
rakyat dan calon pemimpin, politik pencitraan, money politics, pendidikan
politik yang rendah bahkan buruk di kalangan partai, mental yang tidak luhur
dari kalangan calon wakil rakyat dan pemimpin, membuat rakyat menjadi jengah
dan pada tingkat tertinggi, rakyat menjadi bersikap apatis dan pesimis terhadap
pemilu. Pada akhirnya melahirkan banyaknya angka golput. Selain itu, pola
praktik politik yang tidak sehat kemudian juga menyebabkan orientasi rakyat
menjadi berubah arah menjadi pragmatis dan materialistis. Dengan berbagai
permasalahan yang sudah menjamur tersebut, pada akhirnya membuat cita-cita
luhur demokrasi dan pemilu menjadi mimpi dan utopia belaka.
Kondisi seperti itu tentu saja tidak dapat
dibiarkan. Diperlukan peran berbagai pihak dan elemen masyarakat di dalam
mengonstruksikan pemikiran yang sehat dan benar mengenai demokrasi dan pemilu
itu sendiri. Kondisi yang sudah sangat serius ini tidak dapat hanya dibebankan
terhadap satu pihak saja, KPU dan Panwaslu misalkan. Peran organisasi
masyarakat yang memiliki peran signifikan di dalam masyarakat dapat memberikan
kontribusinya dalam memperbaiki kondisi buruk ini.
Pendidikan yang dibutuhkan dalam pemilu
adalah pendidikan demokrasi, pendidikan pemilih, dan pendidikan politik.
Pendidikan demokrasi, mengenai urgensitas pemilu, peranan demiokrasi dalam
menata masyarakat dan sebagai tool untuk mencapai cita-cita bangsa yang luhur
nan mulia. Pendidikan pemilih, mengenai urgensitas rakyat tidak hanya dalam
menentukan wakilnya dan pemimpinnya, tetapi lebih jauh dari itu yaitu mengenai
kontribusi rakyat di dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini. Pendidikan
politik, mengenai urgensitas memilih wakil rakyat dan pemimpin yang kedibel dan
berkualitas dengan berbagai karakteristik yang sudah terumuskan dalam persepsi
dan pikiran rakyat.
Untuk menciptakan kondisi perubahan dan
pencerahan menjelang pemilu, diperlukan upaya penggalakan pendidikan demokrasi,
pendidikan pemilih, dan pendidikan politik tersebut yang dilakukan secara
koheren dan kontinu oleh berbagai elemen masyarakat. Salah satu contoh adalah
pembentukan Relawan Demokrasi (Relasi) oleh Komisi Pemilihan Umum. Pembentukan
Relawan Demokrasi tersebut dipilih berdasarkan simpul masyarakat, sehingga
setiap elemen masyarakat dapat terwakilkan. Terdapat lima segmen, yaitu pemilih
pemula, kelompok agama, kelompok perempuan, penyandang difabel dan kelompok
pinggiran. Relawan Demokrasi ini pada perjalanannya harus menjalankan tugas
dalam bermitra dengan KPU untuk membantuk tugas KPU di dalam memberikan
pendidikan pemilih. Usaha ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang
signifikan di dalam meningkatkan peran aktif pemilih dalam pemilu. Maka dari
itu, urgensitas Relawan Demokrasi sangat tinggi dalam hal ini.
Kelompok agama yang sudah termasuk dalam
salah satu komposisi Relawan Demokrasi secara khusus, dan kelompok agama di
luar Relawan Demokrasi secara umum, juga memiliki peran yang tinggi di dalam
mencerdaskan umat dalam hal demokrasi dan pemilu ini. Realitanya, masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat yang beragama (religious). Sehingga, tingkat
kepatuhan terhadap pemuka agama tergolong tinggi. Terlebih lagi, pemilu dan demokrasi
tidak diajarkan dalam agama (Islam khususnya) secara eksplisit yang membuat
masyarakat menjadi buta akan pentingnya demokrasi dan pemilu tersebut. Pada
sisi lain, terdapat berbagai kelompok radikal yang menyuarakan bahwa demokrasi
haram dan harus mendirikan negara Islam membuat pelaksanaan dan pencapaian
citra-cita demokrasi yang luhur terhambat.
Di sinilah peran kelompok agama dalam
membumikan nilai-nilai agama (Islam khususnya) yang berkaitan dengan
pemerintahan, politik, dan demokrasi. Terlebih lagi, peran organisasi keagamaan
seperti Nahdlatul ‘Ulama dan Muhammadiyah yang sampai saat ini menjadi
representasi Islam sunni terbesar di Indonesia akan sangat membantu dalam
mencerdaskan masyarakat. Pencerahan yang diterima masyarakat dalam hal kaitan antara
agama dengan demokrasi ini juga akan mampu meningkatkan antusiasme masyarakat.
Satu hal yang menjadi catatan penting disampaikan oleh DR. Syamsul Bakri,
Pembantu Dekan III Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta sekaligus
Ketua Lakpesdam PCNU Klaten. Beliau mengatakan bahwa pemuka agama sebaiknya
tidak ikut berpolitik praktis karena akan ada kemungkinan untuk meninggalkan
umat dan adanya persepsi yang negative dalam pikiran umat.
Kontribusi segmen lain dalam masyarakat pun
juga diperlukan, misalkan salah satu segmen dalam Relawan Demokrasi, yaitu
kelompok pemilih pemula. Kelompok ini memiliki kontribusi yang besar dalam
memberikan pendidikan dan pengetahuan pemilih terhadap kawan-kawannya. Apa yang
diterima seseorang pada suatu periode awal, maka akan dapat berfungsi sebagai
filter. Begitu juga apa yang pemilih pemula terima tentang pengetahuan
demokrasi dan pemilih, maka itulah yang kemudian akan membentuk sikap pada
pemilu dan menentukan seberapa kuat seseorang itu memegang prinsip pemilih yang
telah diterimanya. Begitu halnya juga kelompok lain, misalkan difabel,
perempuan, dan pinggiran. Mereka diharapkan mampu memberikan pendidikan pemilih
terhadap kelompoknya.
Pemilih yang cerdas, bukan pemilih yang
pragmatis dan materialistis. Pemilih yang cerdas, bukan pemilih yang memiliki
orientasi pemikiran jangka pendek. Pemilu adalah sebuah alat untuk menuju
cita-cita demokrasi yang luhur sehingga harus dilaksanakan sesuai etika.
Ketiadaan pemimpin dalam suatu bangsa, mengakibatkan bangsa itu menjadi bangsa
yang tidak memiliki laju langkah dan arah perjalanan. Ketidaksediaan memilih
dan orientasi yang salah, memiliki kecenderungan menipisnya peluang terpilihnya
wakil rakyat dan pemimpin yang berkualitas. Maka dari itu, memilih merupakan
sebuah kewajiban bangsa sebagai upaya membangun bangsa ini. Pada kondisi
tertentu, pemimpin merupakan representasi dari rakyat, sehingga seberapa baik
pemimpin itu bergantung pada seberapa baik rakyat itu. Dari analogi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa awal keberhasilan pemilu justru terletak pada kualitas
pemilih itu.
Selain memilih, rakyat juga memiliki peran
monitoring secara tidak langsung terhadap wakil rakyat dan pemimpin yang sudah
terpilih. Menurut Nuswantoro Dwiwarno, Dosen Fakultas Hukum UNDIP Semarang,
mengatakan bahwa selama ini gentlemen agreement belum terlaksana. Kesepakatan
antara wakil rakyat dan pemimpin dengan rakyat mengenai konsekuensi wakil
rakyat dan pemimpin yang tidak dapat merealisasikan program yang telah
dicanangkan penting untuk dilaksanakan. Hal ini mengindikasikan bahwa secara
tidak langsung rakyat memiliki power dalam menentukan perjalanan demokrasi di
Indonesia ini dan di sisi lain rakyat memiliki peran langsung.
Partai politik, sebagai wadah calon wakil
rakyat dan pemimpin, harus mampu menjalankan fungsinya sebagai partai politik
yang memiliki nilai dan karakter mulia. Fungsi tersebut dapat diejawantahkan
dalam bentuk politic education. Sehingga, calon wakil rakyat dan pemimpin akan
benar-benar memiliki kepribadian dan karakter yang baik. Kepentingan golongan
juga harus disingkirkan jika ingin demokrasi tercipta dengan baik di negeri
ini. Komponen negara yang lain juga dapat berkontribusi dalam perbaikan
demokrasi dan pemilu di Indonesia ini. Misalkan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan memasukkan kurikulum yang membahas mengenai pentingnya pemilu dan
peran serta masyarakat dalam pemilu, serta urgensitas demokrasi dalam upaya
problem solving atas permasalahan yang ada. Pendidikan demokrasi dan politik
juga seyogyanya tidak diberikan pada kurun waktu tertentu saja, tetapi juga
setiap waktu. Misalkan, pembuatan buletin dan penerbitan buku yang membahas dan
menganalisis tentang demokrasi, baik dikaji dari paradigma ilmu politik maupun
paradigma keagamaan.
Pemilu dan demokrasi, sebuah upaya yang
menimbulkan dampak yang sangat luas dan kompleks. Maka dari itu, upaya
pembenahan pemilu dan demokrasi memerlukan kontribusi dan partisipasi aktif
dari berbagai elemen masyarakat, partai politik, pemerintah, dan KPU. Nasib
bangsa ini ditentukan dari siapa wakil rakyat dan pemimpinnya. Nasib wakil
rakyat dan pemimpin ditentukan dari proses pemilu yang ada. Nasib pemilu yang
ada ditentukan oleh cerdasnya pemilih.
Ahmad Saifuddin, S.Psi
Ketua Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama Kabupaten Klaten. Sedang menempuh studi S2 di Magister Profesi
Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Bergiat sebagai Anggota Relawan
Demokrasi (Relasi) KPU Kabupaten Klaten, , Sekretaris Lembaga Kajian Pemikiran
Islam Darul Afkar Klaten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar