Jendral Semut Kebanggaan Bangsa
20 Januari 2014
Salah satu masalah yang harus
langsung saya hadapi saat diangkat menjadi Menteri BUMN di akhir tahun 2011
lalu, adalah ini: mencari orang yang harus menggantikan Direktur Utama Perum
Bulog saat itu, Sutarto Alimoeso.
Dia oleh
banyak kalangan dinilai kurang baik kinerjanya. Namanya sudah resmi diusulkan
untuk diganti.
Maka saya
pun mulai memilah dan memilih. Terpikir oleh saya untuk mengangkat pak Sofyan
Basyir menjadi Dirut Bulog. Tapi saya merasa alangkah sayangnya kalau pak
Sofyan Basyir harus meninggalkan jabatannya sebagai Direktur Utama Bank Rakyat
Indonesia (BRI). Padahal BRI lagi semangat-semangatnya untuk mengembangkan
diri. Terutama untuk menjadi micro banking terbesar di dunia.
Secara
pribadi saya juga kasihan kalau dirut bank besar harus turun kelas, meski tugas
negara lagi memerlukannya untuk penyelamatan kecukupan pangan. Tapi akhirnya
saya putuskan: jangan pak Sofyan Basyir. Beliau harus mewujudkan mimpi besarnya
yang tak lain juga mimpi besar kita semua.
Lalu
terlintas juga nama Arifin Tasrif, Direktur Utama PT Pupuk Indonesia. Tapi dia
lagi melakukan pembenahan total di lima pabrik pupuk kita. Pembenahan bidang
pupuk juga sangat strategis. Maka saya pun segera melupakan nama Arifin Tasrif.
Di balik
sulitnya mencari calon pengganti pak Sutarto itulah saya “kembali ke laptop”:
apakah benar Sutarto harus diganti? Mengapa? Kinerja apa yang kurang? Kurang
puas di bagian mananya?
Berdasarkah
pertanyaan-pertanyaan itu saya memutuskan ini: bertemu dulu dengan orang yang
namanya Sutarto itu. Saya akan bicara dengan dia dan mencari tahu mengapa
kinerjanya dinilai kurang baik.
Dari
diskusi itu saya mengambil kesimpulan: orang ini tidak perlu diganti. Orang ini
lurus, punya integritas. Mencari orang yang berintegritas lebih sulit daripada
mencari orang pandai. Mencari orang jujur lebih sulit dari mencari orang
pintar.
Saya juga
melihat orang ini penampilannya sederhana, tidak tampak hedonis dan punya
semangat menyala-nyala. Memang penampilannya mengesankan “gaya orang tua”. Tapi
saya bisa menangkap api yang menyala dari mata, kepala, dan hatinya.
Gurat-gurat
wajah dan ototnya mencerminkan bukan orang yang bossy di belakang meja.
Yang
lebih penting lagi saya memperoleh track record-nya yang cemerlang. Saat
menjabat sebagai Dirjen Tanaman Pangan, pak Tarto membukukan prestasi istimewa:
indonesia memproduksi beras tertinggi dalam sejarah republik ini.
Keputusan
saya kian bulat: orang ini jangan diganti. Beri dia iklim manajemen yang baik.
Beri dia keleluasaan yang memadai. Beri dia kebebasan yang cukup untuk
mengembangkan ambisinya memimpin Bulog. Tentu saya harus menyampaikan putusan
saya itu kepada Bapak Presiden SBY.
Dalam
kesempatan pertama bertemu Pak SBY saya bicara soal Bulog. “Bapak Presiden,
sebaiknya saya tidak mengganti Dirut Bulog. Saya minta diberi waktu untuk
membuktikan sendiri apakah dia benar-benar tidak mampu”, kata saya.
“Pak
Dahlan,” kata Bapak Presiden, “Saya serahkan kepada Pak Dahlan untuk mengambil
keputusan terbaik.” Kata beliau lagi: “Dulu saya setuju diganti karena saya
tidak ingin dinilai mempertahankan teman sekolah saya. Kalau selama ini saya
menyetujui pak Tarto diganti itu karena beliau adik kelas saya di SMA di
Pacitan.”
Saya pun
pamit. Maunya sih berlama-lama di halaman belakang Istana Cipanas yang sejuk
dan indah itu, tapi puncak Gunung Gede yang mengawal Istana itu seperti
melarang saya berlama-lama di situ.
Apa kata
Pak Tarto? “Saya akan buktikan saya bisa,” ujar dia saat saya beritahu bahwa
dia tidak jadi diganti.
Pembicaraan
itu kini sudah berlangsung dua tahun. Pak Tarto memenuhi janjinya. Saya sangat
senang. Usaha saya mempertahankannya tidak memalukan saya. Bahkan membuat
bangga. Bukan saja untuk saya pribadi tapi juga membanggakan bangsa Indonesia.
Maka tutup tahun 2013 lalu saya menulis di rubrik Manufacturing Hope dengan
tema kebanggaan itu.
“Inilah
berita yang paling menggembirakan bagi bangsa Indonesia di akhir tahun 2013 ini:
Indonesia berhasil tidak impor beras lagi. Ini karena pengadaan beras oleh
Bulog mencapai angka tertinggi dalam sejarah Bulog. Sampai tanggal 25 Desember
kemarin Bulog berhasil membeli beras petani sebanyak 3,5 juta ton,” begitu
tulis saya di pembukaan kolom itu.
Sofyan
Basyir sendiri terus all out membesarkan BRI. Tahun 2012 laba BRI mengalahkan
Bank Mandiri: 18 triliun rupiah. Tahun lalu meningkat lagi menjadi Rp 21
triliun. Pak Sofyan benar-benar berhasil menjadikan BRI micro banking terbesar
di dunia! Alangkah sayangnya bila waktu itu dia pindah ke Bulog.
Memang,
begitu ada kepastian tidak diganti, Soetarto langsung tancap gas. Dia bentuk
pasukan semut untuk all out membeli beras dari petani. Dia sendiri menjadi
jenderalnya. Jenderal Semut. Dia tidak henti-hentinya menjadi kipas angin:
muter terus. Dari satu daerah ke daerah lain. Dari satu gudang ke gudang Bulog
yang lain.
Hasilnya
pun nyata. Gudang-gudang Bulog segera penuh. Harga beras stabil. Kalau sampai
harga beras ikut melonjak-lonjak seperti daging dan kedelai maka perekonomian
kita kian sulit. Pak Tarto berhasil menjaga gawang salah satu pilar
perekonomian kita.
Yang saya
juga bangga pada Pak Tarto adalah gaya hidupnya yang tetap sederhana dan rendah
hati. Dan itu bisa mewarnai manajemen Bulog. Saya begitu berbunga-bunga ketika
ke Brebes mendapat laporan ini: Kepala Gudang Bulog tidak bisa lagi disogok!
Beras yang masuk ke gudang Bulog harus tepat mutu dan timbangannya.
Saya
senang karena yang bicara ini orang luar yang telah lama menjadi pemasok beras
Bulog. Dia bisa membedakan kondisi dulu dan setelah Pak Tarto menangani Bulog.
Kerja
kerasnya tidak hanya dilakukan di hari kerja tapi juga di hari-hari weekend.
Tidak jarang dia lagi di lapangan ketika saya telepon di Sabtu malam.
Pak Tarto
termasuk yang tidak suka berwacana. Kita memang tidak bisa mengatasi masalah
hanya dengan ngomel-ngomel. Hanya rapat-rapat. Hanya berwacana. Kita harus
berbuat sesuatu. Dan ternyata bisa.
Tahun
2013 kita tidak perlu lagi impor beras. Sutarto menegaskan stok beras di gudang
Bulog akhir tahun ini lebih dari dua juta ton.
Pak Tarto
memang termasuk sedikit generasi tua di BUMN yang tidak mau kalah dengan
generasi yang lebih muda. Dia masih kuat seperti kitiran: muter terus ke
gudang-gudang Bulog di seluruh sentra produksi beras. Belakangan dia juga
mengganti sepatunya. Dengan sepatu ketsnya, Pak Tarto sering harus bermalam
minggu di gudang beras.
Dengan
stok beras nasional yang berlebih seperti itu memang ada juga negatifnya: kalau
lama tidak disalurkan, kualitas berasnya menurun. Untuk itu saya menerima
usulan menarik dari seorang petani di sebuah desa di Bantul. Tahun depan
sebaiknya sebagian pengadaan beras Bulog berupa gabah. Agar bisa disimpan lebih
lama.
Ide yang
bagus dan yang aplikatif dari seorang petani kecil. Tahun depan ide itu
benar-benar akan dilaksanakan oleh Bulog. Sekitar 20 persen pengadaan Bulog
akan berupa gabah. Ini lebih realistis dan hemat daripada membangun silo-silo
vakum yang amat mahal.
Begitu
lega rasanya tutup tahun kemarin ditandai dengan keberhasilan tidak impor beras
selama tahun 2013.
Tapi
kelegaan itu tidak boleh lama-lama. Tahun 2014 harus bisa bertahan tidak impor
beras lagi. Artinya: Bulog dengan pasukan semutnya, di bawah pimpinan Jenderal
Semut Surtarto Alimoeso tetap harus segera kerja, kerja, kerja.
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar