Resep Mematikan Mental
Oleh: Muhamad Kurtubi
ORANG yang hingar-bingar dalam kehidupan
pribadinya, boleh jadi menandakan hidupnya tercerahkan. Mungkin pekerjaan yang
dia lakukan selama ini mamapu mendatangkan kepuasan; fisik maupun mental. Tapi
jangan dikira, orang semacam ini gampang sekali dimatikan mentalnya. Terlebih
jika pekerjaan itu bersifat sosial. Tinggal dijewer, dijamin semangatnya
melumer.
JIka tidak percaya tanyakan langsung sama
saya. Pengalaman ini sangat unik dan baru sekali hidup mendapatkan “kematian
mental”. Hingga saat ini gairah untuk menulis dan menuliskan sesuatu terasa
berat. Dulu saat mental belum dimatikan, gairah atau semangat menulis tanpa
pamrih begitu bergelora. Kini, jangalah menggerakkan pena, menorehkan komentar
saja berat sakali.
Simpel sekali orang yang mematikan mental itu
berkreasi. Mula-mula kami dikumpulkan dalam sebuah acara yang khas pesantren:
ngaji, dzikir dan berdoa. Berkumpullan sekitar 30 orang hadir sore itu.
Saat acara dimulai, sebelumnya, sang
pengundang memberikan sambutan yang intinya, maksud dari pertemuan dan
diteruskan bla-bla sana sini. Dengan nada berapi-api khas senior saya itu,
kuperhatikan ada yang aneh dari sambutan lanjutannya. Sang senior berkata
tentang peran yang selama ini dilakukan untuk sebuah pekerjaan yang mendatangkan
manfaat bagi orang banyak. Namun sayangnya yang didapat adalah sebuah
kekecewaan yang tergambar dari kata-katanya yang berbau “sarkasme” dan
tendensius.
Masih belum jelas apa yang dimaksud dengan
kekecewaan itu, hingg kuperhatikan detil ucap-demi-ucap tanpa terlewati. Hingga
kurang dari 1 jam ceramah berapi-api itu kudengar, barulah kudapati titik
terang sumber kekecewaan itu dari mana.
Astaghfirullah ternyata sumbernya Kekecewaan
itu bersumber dari saya, Si tukang web yang mengelola portal komunitas.
Pasalnya, kekecewaan itu karena apa yang ditulis dan dimuat dalam web itu, tak
satupun mengupas hal-hal yang berkaitan dengan peran serta beliau dalam ikut
membesarkan nama pesantren. Padahal beliau adalah orang yang sangat gigih
memperjuangkan nama besar pesantren. Jadi, sangat wajar dan pantas jika senior
itu kecewa berat sama saya.
Dampaknya cukup dahsyat, kini, seolah-olah
saya menjadi orang yang merasa bersalah dan mentalnya tidak sesemangat dulu.
Bahkan imbasnya pada kreativitas menulis di blog ini pun jarang-jarang.
Ternyata, menjatuhkan mental seseorang itu gampang. Katakan saja apa
kesalahannya lalu ungkapkan itu jelas-jelas di hadapan orang banyak, pasti akan
jatuh mentalnya. Pantas saja, jika ada orang bijak berkata: jika berkata kepada
pencuri, janganlah kau katakan “kau mencuri ya”
Postingan ini bukan rasa kekesalan, melainkan
sebagai pembelajaran bagaimana ilmu mematikan mental seseorang. Maklum orang
yang katro dengan politik. Dari peristiwa ini saya tetap menghormati
senior-senior yang sangat mumpuni, bahkan di tangan merekalah pesantren itu
bisa dikenal di mana-mana. []
Muhamad Kurtubi,
Santri Pondok
Pesantren Buntet – Cirebon, lulusan MANU 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar