Selasa, 31 Januari 2023

(Do'a of the Day) 09 Rajab 1444H

أعانَ الله قلباً فقدَ الكثير وأوجعتهُ الحياة، ولا زآل يبتسم.

 

Semoga gusti Allah menolong hati orang yang sudah kehilangan banyak dan terluka oleh kehidupan, akan tetapi dia masih tersenyum.

 

Al Faatihah...

(Ngaji of the Day) Dua Makanan Hati Menurut Imam al-Ghazali

Rasulullah bersabda:

 

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَيُلْهِمْهُ رُشْدَهُ

 

“Orang yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia akan dipandaikan di dalam urusan agama dan ia akan diberi ilham petunjuk kebenaran oleh Allah” (HR. al-Bukhari)

 

Itulah sabda Baginda Nabi Muhammad dalam menjelaskan betapa ilmu agama penting bagi kehidupan manusia. Dari hadits di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang diberi pemahaman tentang ilmu agama maka ia akan meninggal dalam keadaan husnul khatimah, sebagai bentuk pembuktian akan kebenaran sabda Nabi tersebut.

 

Pengaruh ilmu agama dalam kehidupan manusia tak ubahnya seperti pengaruh makan dan minum bagi mereka. 

 

Imam al-Ghazali, di dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmid Dîn menyampaikan betapa pentingnya ilmu bagi hati seorang manusia. Di sana, beliau menyitir dawuh dan pernyataan sebagian ulama. Beliau berkata:

 

قال فتح الموصلي رحمه الله : أليس المريض إذا منع الطعام والشراب والدواء يموت؟ قالوا بلى. قال كذلك القلب إذا منع عنه الحكمة والعلم ثلاثة أيام يموت

 

“(Di hadapan para muridnya) Fath al-Mushili rahimahullah berkata, ‘Bukankah akan mati jika ada orang sakit yang tidak mendapatkan makan, minum, dan obat ?’  Mereka pun menjawab, “Iya benar, akan mati.’ ‘Begitu juga hati, ketika tidak mendapatkan hikmah dan ilmu selama tiga hari, maka hati akan mati,’ lanjut beliau.”

 

Imam al-Ghazali membenarkan apa yang dikatakan Fath al-Mushili. Karena sesungguhnya makanan hati adalah ilmu dan hikmah. Dengan keduanyalah hati bisa hidup. Sebagaimana badan akan hidup jika makan. Tidak mendapatkan ilmu menyebabkan hati seseorang dalam keadaan sakit dan pasti akan mati, meskipun ia tidak merasa.

 

Cinta dunia dan kesibukan duniawi bisa membuat orang tidak merasakan hal tersebut. Sebagaimana kondisi sangat ketakutan (atau mabuk, red) akan bisa “menghilangkan” sakitnya luka yang berat. Kemudian, ketika kematian telah melenyapkan urusan-urusan duniawi dari dirinya, maka baru dia merasakan bahwa dirinya dalam keadaan rusak dan baru dia sangat menyesal. Penyesalan pascakematian ini tentu tidak ada gunanya lagi. Sama seperti orang yang sudah aman dari ketakutannya atau orang yang sudah sadar dari mabuknya, ia baru merasakan luka-luka yang ia alami saat mabuk atau saat ketakutan.

 

Maka kita berlindung kepada Allah dari hari terbukanya tirai semua amal. Karena sesungguhnya manusia masih dalam keadaan tertidur. Ketika  meninggal dunia, maka mereka baru terbangun dari tidurnya. (Imam Muhammad al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmid Dîn, Beirut, Dar al-Fikr, juz I, halaman 8)

 

Terdapat berbagai pemahaman di kalangan para ulama terkait dengan maksud dari kata al-hikmah yang tercantum di dalam Al-Qur’an seperti firman Allah :

 

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ 

 

“Allah memberikan hikmah kepada orang yang Ia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, maka sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak menerima pengingat kecuali orang-orang yang memiliki akal sempurna.” (QS Al-Baqarah: 269)

 

Baginda Nabi Muhammad juga pernah bersabda:

 

الْحِكْمَةُ يَمَانِيَّةٌ

 

“Hikmah adalah Yaman.” (HR. at-Tirmidzi)

 

Ada yang berpendapat maksud dari al-hikmah adalah amal. Ada juga yang berpendapat maksudnya adalah setiap sesuatu yang mencegah dari perbuatan bodoh dan perbuatan jelek. Dan masih banyak lagi pendapat ulama tentang maksud dari kata al-hikmah. (Muhammad ibn Qasim ibn Muhammad ibn Zakur al-Fasi, Zuhr al-Akam fi al-Amtsal, halaman 7) 

 

Terkait tentang maksud dari kata al-hikmah ini, al-Ghazali berkata di dalam kitab Ihyâ’-nya:

 

ونعني بالحكمة حالة للنفس بها يدرك الصواب من الخطأ في جميع الأفعال الاختيارية

 

“Yang saya kehendaki dengan kata al-hikmah adalah kondisi hati yang bisa menjadi sarana mengetahui yang benar dan yang salah dalam semua perbuatan yang kita pilih. (Imam Muhammad al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmid Dîn, Beirut, Dar al-Fikr, juz III, halaman 3)

 

Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

(Ngaji of the Day) Kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah yang Disalahpahami

Barangkali, slogan “Kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah” tidak bermasalah dan memang seharusnya demikian. Tetapi, sadarkah kita, jika ungkapan yang terdengar manis di bibir itu justru terasa pahit dicecap?

 

Slogan ‘Kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah’ bukanlah hal baru. Namun, ungkapan lama yang sudah sedemikian akrab di banyak telinga, termasuk mungkin juga Anda yang membaca tulisan ini. Sudah didiskusikan di banyak forum, dibahas, juga diluruskan. Kendati demikian, slogan ini masih saja disalahpahami dan mencemari cara berpikir kebanyakan umat beragama dewasa ini. Umumnya mereka memiliki semangat beragama melangit tapi pemahaman agama masih sempit.

 

Biasanya, slogan ini banyak dibawakan para penceramah yang wawasan keislamannya masih belum memadai. Menurutnya, Al-Qur’an dan sunnah (hadits) adalah rujukan tertinggi dan paling utama yang dipastikan kebenarannya. Adalah keharusan bagi kita sebagai Muslim untuk “hanya” berpegang pada keduanya, bukan kepada ulama yang “berpotensi salah” dalam memahami agama.

 

Berangkat dari pola pikir demikian, cara beragama mereka terkesan meremehkan. Dikira, dengan hanya Al-Qur’an dan sunnah yang dibaca selayang pandang, lebih seringnya pakai terjemah, sudah cukup untuk memahami seluruh ajaran Islam. Sementara ulama yang lebih paham dua sumber utama Islam itu diabaikan. Ulama bisa salah, tapi Nabi Muhammad selalu benar. Oleh karena itu, demi menghindari kesalahan, langsung saja merujuk ke Al-Qur’an dan sunnah. Pikir mereka.

 

Semangat agama mereka menggebu, tetapi pamahaman atas agamanya masih jauh dari cukup. Akhirnya, mudah menuduh sesat, bid’ah, dan sederet stigma buruk lainnya. Tidak peduli yang disesatkan dan dibid’ahkan seorang ulama atau kalangan awam. Selama tidak langsung kembali pada Al-Qur’an dan sunnah versi dirinya, mereka semua adalah salah. Miris, bukan?

 

Respons Al-Buthi terhadap Kelompok Anti-Madzhab

 

Kelompok demikian, diistilahkan oleh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi (w. 2013 M), ulama berpengaruh kelahiran Suriah, sebagai al-Lâmadzhabiyyah (kelompok alergi mazhab). Alasannya, mereka menganggap tidak perlu lagi untuk mengikuti pendapat ulama (bermazhab) dalam memahami syari’at Islam. Cukup berpedoman pada Al-Qur’an dan sunnah.

 

Berangkat dari problem demikian, al-Buthi menulis buku yang cukup menarik, Al-Lâmadzhabiyyah Akhthâru Bid’atin Tuhaddidus Syarî’atil Islâmiyyah (Paham Anti Mazhab: Bid’ah yang Paling Serius Mengancam Syari’at). Buku ini sengaja ia tulis untuk membantah kelompok anti madzhab yang dipelopori oleh kaum Salafi.

 

Pada mulanya, buku ini ditulis untuk menagnggapi buku kecil yang meresahkan masyarakat kala itu. Buku itu berjudul Hal al-Muslim Mulzam bit-Tiba’i Madzhab Mu’ayyan (Apakah Seorang Muslim Wajib Mengikuti Mazhab Tertentu?). Secara ringkas, buku ini mendorong masyarakat Muslim untuk tidak bermazhab dalam beragama. Hal ini memicu kekhawatiran al-Buthi.

 

Dalam salah satu argumennya, al-Buthi menjelaskan, klaim ‘tidak penting bermazhab’ itu tidak bisa digeneralkan begitu saja. Jika seseorang sudah mencapai level mujtahid, mungkin tidak masalah. Justru seseorang yang sudah memiliki kualifikasi untuk berijtihad sendiri (sehingga disebut mujtahid), haram baginya untuk bermazhab (ber-taqlid). (Al-Buthi, Al-Lâmadzhabiyyah Akhthâru Bid’atin Tuhaddidus Syarî’atil Islâmiyyah, 2005: 63)

 

Tetapi jika belum mencapai taraf mujtahid, mau tidak mau, ya harus bertaklid dan mengikuti pendapat ulama.

 

Seorang ulama yang dijuluki Sang Argumentator Islam (Huttajul Islam), Imam al-Ghazali (w. 1111 M) menjelaskan dalam kitabnya, Al-Mushtashfâ. Para ulama sepakat, ketika sesorang sudah memiliki kualifikasi untuk berijtihad secara independen, ia tidak boleh mengadopsi pedapat ulama lain, sementara pendapat sendiri diabaikan. (al-Ghazali, al-Mustashfa Min ‘Ilmil Ushûl, 2014: 575)

 

Kualifikasi Mujtahid

 

Persoalan berikutnya, kualifikasi seperti apakah yang harus dimiliki seseorang untuk sampai pada level mujtahid?

 

Menurut Syekh Muhammad Musthafa az-Zuhaili (w. 2015 M) dalam bukunya, Al-Wajîz fi Ushûlil Fiqhi, seseorang bisa dikatakan sebagai mujtahid apabila sudah memenuhi kualifikasi berikut. Dengan begitu, ia sudah layak untuk berijtihad, mendapatkan pahala atas usaha ijtihdanya, serta pendapatnya bisa dirujuk dan diikuti orang lain.

 

Pertama, ia harus mampu memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum-hukum amaliyyah (aplikatif), bukan seluruh ayat. Meski tidak wajib hafal, tetapi harus mampu merujuk kepada ayat yang tepat jika dibutuhkan. Kurang lebih, para ulama mengira-ngirakan sebanyak 500 ayat. Jelas, untuk memahaminya butuh segudang perangkat ilmu-ilmu terkait Al-Qur’an, seperti kaidah-kaidah tafsir, gramatika dan sastra Arab, dan sejumlah ilmu bantu lainnya.

 

Menganggap diri mampu memahami Al-Qur’an hanya dengan modal bisa membaca, apalagi mengandalkan terjemahan, adalah kebodohan yang harus segera “dibinasakan”.

 

Kedua, memahami hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, baik secara etimologi maupun terminologi. Paham cara merujuknya ketika sedang menggali sebuah hukum. Mengetahui status hadits; mana yang sahih dan mana yang dha’if, baik secara sanad maupun matan. Juga menghindari hadits maudhu’ (palsu). Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum, Ibnu ‘Arabi menghitung terdapat 3000 hadits, menurut Imam Ahmad 1200, ada yang mengatakan 500.000, dan ada pula yang mengatakan 300.000. (Musthafa az-Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûlil Fiqhi, 2006: 287-289)

 

Selain kedua syarat di atas, masih ada beberapa lagi yang -hemat penulis- hampir mustahil untuk dimiliki ulama generasi sekarang, apalagi sekelas ustadz dadakan yang tidak jelas sanad keilmuannya. Melihat dua syarat di atas saja, rasanya sangat sulit. Sekarang, coba kita berpikir, apakah orang-orang yang ramai mengampanyekan jargon “Kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah” memiliki kualifikasi mujtahid? Saya yakin, semua akan sepakat menjawab “tidak”.

 

Oleh karena itu, kita kembalikan dalam diskursus Ushul Fiqh, seseorang yang belum mencapai level mujtahid, wajib untuk bertaklid, mengikuti pendapat ulama (bermazhab). Tidak bisa begitu saja merujuk ke Al-Qur’an dan hadits. Karena memahami keduanya butuh kepakaran dalam taraf tertentu.

 

Bagi kita yang masih awam, memahami agama langsung kepada Al-Qur’an dan sunnah, bagaikan memakan buah duren tanpa bantuan pisau untuk mengupasnya. Mungkinkah kita bisa memakannya? Bukan malah menikmati buahnya, justru terluka akibat duri tajam sekujur kulitnya. Begitupun orang yang memahami agama tanpa mengikut ulama; bukan malah tercerahkan, malah tersesat jauh dalam belantara kebodohan. []

 

Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online; alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta