Senin, 30 Januari 2023

(Ngaji of the Day) Menimbang Terjemahan Allah Bersemayam di Arsy

Banyak sekali dari golongan di luar Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang menyatakan Allah bersemayam dalam ‘arsy. Paham ini banyak kita temukan dalam beragam terjemahan al-Qur’an bahasa Indonesia yang tentu mudah disalahpahami oleh kalangan milenial. Penting bagi kita menyadarkan kaum milenial akan bahayanya paham ini secara ilmu tauhid.


Kesalahpahaman dalam pembahasan kita ini bermula dari kesalahan memaknai lafal "istiwa’" ayat al-Qur’an


الرحمن على العرش استوى


Artinya, “Allah Yang Maha Penyayang istiwa’ pada arsy” (Qs.Thaha-5)


Menyikapi orang-orang yang awam terkait ilmu tauhid, kita harus memakai pendekatan logika yang gampang dipaham. Mulanya, kita harus tekankan terlebih dahulu makna istiwa’ yang disepakati oleh ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Kemudian, kita akan merunut kesalahan golongan yang menyatakan ”Allah bersemayam dalam ‘arsy”.


Ulama salaf memaknai istiwa’ dengan makna memiliki dan menguasai (istiila’). Sebagaimana sya’ir jahili (kuno)


قد استوى بشر على العراق ..... من غير سيف ودم مهرق


Artinya, “Bisyr  telah menguasai tanah ‘Iraq tanpa pedang (peperangan) dan darah yang ditumpahkan.


Dalam sya’ir jahili (kuno) ini lafal istiwa’ memiliki makna menguasai.Sedangkan,mayoritas ulama salaf menyatakan hanya Allah yang mengetahui maksud dari istiwa’ pada ‘arsy dan ini disebut dengan istilah tafwidh. Sebagaimana Syekh Jalaluddin as-Suyuthi mengatakan


وجمهور أهل السنة منهم السلف وأهل الحديث على الإيمان بها وتفويض معناها المراد منها إلى الله تعالى ولا نفسرها مع تنزيهنا له عن حقيقتها


Artinya, “Mayoritas ulama Ahlu Sunnah mengimani serta menyerahkan makna istiwa’yang dikehendaki Allah kepada Allah dan kami tidak berani menafsiri maksud dariistiwa’serta kami mensucikan Allah dari hakikat istiwa”. (As-Suyuthi, al-Itqan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Hai’ah al-Mishriyyah lil Kutub: 2011 M], juz III, halaman 15).


Mengapa ulama Ahlu Sunnah menolak pendapat Ibnu Taimiyyah yang menyatakan Allah bersemayam pada ‘arsy? Berikut sebagian argumentasi ulama Ahlu Sunnah;


Pertama, seandainya istiwa’ bermakna Allah duduk di atas ‘arsy niscaya zat Allah dapat diukur besarnya sesuai dengan besarnya ‘arsy. Sebagaimana misal seorang siswa yang duduk diatas kursi niscaya ada kemungkinan sang siswa lebih kecil dari ukuran kursi atau lebih besar. Begitu juga, Allah dapat diukur dengan kemungkinan lebih besar dari ‘arsy atau lebih kecil dari ‘arsy. Ini  tentu mustahil, bagaimana mungkin Allah zat yang Maha Besar dapat diukur dengan ‘arsy yang merupakan ciptaan-Nya?


Perlu digarisbawahi bahwa Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa mungkin bila Allah duduk di atas ‘arsy.


فإذا عرف أن ما وصفت به الملائكة وأرواح الأدميين من جنس الحركة والصعود والنزول وغير ذالك لايماثل حركة أجسام الآدميين  كان ما يوصف به الرب من ذالك أولى باالإمكان


Artinya, “Sudah diketahui bahwa sifat malaikat dan ruh manusia berupa bergerak, naik, turun dan sejenisnya tidaklah sama dengan sifat manusia. Begitu juga, sifat Allah yang demikian (duduk,naik,turun dan sejenisnya) lebih pantas untuk mungkin terjadi” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawi, [Riyad, Maktabah al-Malik Fahd: 2018 M], juz V, halaman 527) 


Kedua, seandainya istiwa’ bermakna Allah menetap pada ‘arsy niscaya zat Allah dapat diukur di mana letaknya. Sebagaimana seorang siswa menetap di sebuah kelas, niscaya dapat diperkirakan sang siswa berada di tempat tertentu misal di sisi selatan atau utara kelas.


Begitu juga, seandainya Allah menetap di ‘Arsy maka ada kemungkinan Allah berada di tempat tertentu misal di sisi utara atau selatan ‘arsy. Ini tentu mustahil karena bila Allah menetap di tempat tertentu pada ‘arsy niscaya akan ada ketimpangan keadaan pada bagian ‘arsy yang lain.


Ketiga, seandainya istiwa’ bermakna Allah menetap pada ‘arsy niscaya mungkin dipahami Allah membutuhkan ‘arsy sebagai tempat menetap.Begitu juga, ‘arsy membutuhkan Allah agar tetap lestari.Hal ini tentu mustahil, bagaimana mungkin Allah zat Yang Maha Besar membutuhkan kepada ‘arsy yang merupakan ciptaan-Nya?


Lebih jauh lagi akan muncul sebuah pertanyaan “Seandainya Allah menciptakan ‘arsy sebagai tempat-Nya menetap, lantas di manakah Allah menetap sebelum menciptakan ‘arsy? Apakah ada tempat lain yang Allah ciptakan sebelum ‘arsy sebagai tempat menetap?”


Keempat, seandainya istiwa’ bermakna Allah duduk di atas ‘arsy niscaya akan serupa dengan mahkluk-Nya yang melakukan duduk, berdiri dan sejenisnya.Padahal, Allah tidak dapat diserupakan dengan makhluk-Nya secara mutlak. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an


ليس كمثله شيء


Artinya, “Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Allah” (Qs.Asy-Syura-11)


Perlu digarisbawahi bahwa Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa Allah berada di atas ‘arsy dan menyatakan bahwa pendapatnya adalah kesepakatan ulama salaf. Padahal pendapatnya ini tidaklah dibenarkan oleh mayoritas ulama salaf


وقد دخل مما ذكرناه من الإيمان بالله : الإيمان بما أخبر لله في كتابه وتواتر عن رسوله وأجمع عليه سلف الأمة من أنه سبحانه فوق سماواته على عرشه


Artinya, “Termasuk dari iman kepada Allah adalah iman sebagaimana yang Allah ceritakan dalam al-Qur’an, mutawatir dari Rasulullah serta disepakati oleh ulama salaf bahwa Allah menetap di 


Walhasil, kita harus menetapkan dalam hati bahwa Allah tidak mungkin dibatasi oleh tempat yang termasuk ciptaan-Nya..


قال الإمام جعفر الصادق من زعم أن الله في شئ أو من شئ أو على شئ فقد أشرك


Artinya, “Imam Ja’far ash-Shadiq mengatakan, ‘Barang siapa yang meyakini Allah berada dalam sesuatu atau terbuat dari sesuatu atau berada di atas sesuatu maka ia telah menyekutukan Allah,’” (Al-Imam Ahmad ar-Rifa’i, al-Burhan al-Muayyad, [Beirut, Dar Fikr: 2008 M], halaman 11).


Tidaklah mungkin Allah berlindung dan bernaung pada ciptaan-Nya sedangkan Allah adalah Dzat yang Maha Merawat serta Maha Pengatur ciptaan-Nya.


يدبر الأمر من السماء إلى الأرض


Artinya, “Allah mengatur segala urusan dari langit ke bumi…” (Qs.As-Sajadah-5)

 

[]

 

Ustadz Muhammad Tholhah Al-Fayadl, mahasiswa Al-Azhar, Kairo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar