Rabu, 30 Desember 2020

(Do'a of the Day) 15 Jumadil Awwal 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Allaahummaj'alhaa rahmatan wa laa taj'alhaa 'adzaaban.

 

Ya Allah, jadikanlah angin ini sebagai rahmat dan jangan Kau jadikan sebagai adzab.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 7, Bab 6.

(Ngaji of the Day) Tiada Biaya, Pilih Menikah atau Tetap Menjomblo?

Dilema. Mungkin kata inilah yang paling tepat menggambarkan keadaan ini. Menikah tak ada biaya, menjomblo juga merasa diri sengsara. Lantas harus bagaimana?

 

Perlu diketahui, hukum asal menikah adalah mubah atau boleh. Kemudian hukum ini menjadi sunnah karena suatu keadaan atau tuntutan. Jika tujuannya adalah menjaga kehormatan diri, mengikuti perjalanan Rasulullah, dan mendapatkan keturunan yang baik, maka menikah menjadi sunnah dan jadi ketaatan. Artinya, hukum “sunnah” di sini sifatnya baru. Demikian menurut Syekh Ibnu Qasim.

 

Namun, jika tujuannya semata memenuhi keinginan dan mencari kepuasan, maka hukumnya menjadi berbeda. Karena itu, menikah dengan tujuan ini tidak bisa dihukumi sunnah, tidak menjadi ketaatan, dan tidak bisa dinazarkan. Demikian menurut Imam Ramli dan Ibnu Hajar. Sebab, menikah yang dihukumi sunnah, dianggap ketaatan, dan boleh dinazarkan adalah pernikahan yang bertujuan menjaga kehormatan diri, memperoleh keturunan, melipatkan pahala ibadah, dan seterusnya.

 

 

Di samping itu, status sunnah menikah juga jatuh pada orang yang memiliki keinginan menyalurkan kebutuhan seksual dan mempunyai kemampuan biaya, baik biaya pernikahan maupun biaya nafkah, sebagaimana petikan berikut.

 

النكاح مستحب لمن يحتاج إليه بتوقانه للوطء ويجد أهبته، فإن فقد الأهبة لم يستحب له النكاح

 

“Nikah adalah sunnah (anjuran) bagi orang yang membutuhkannya, seperti karena kebutuhan seksual, di samping ia memiliki kesiapan biaya, seperti biaya mahar dan nafkah. Jika biaya tidak ada, maka menikah tidak disunnahkan baginya” (Syekh Ibnu Qasim, Hâsyiyah al-Bâjûrî, [Semarang, Maktabah al-‘Ulumiyyah], Tanpa Tahun, Jilid 2, hal. 92).

 

Berdasar petikan di atas, orang yang memiliki kebutuhan seksual saja, namun tidak memiliki kesiapan biaya, maka tidak disunnahkan menikah. Begitu pula orang yang tidak memiliki kebutuhan seksual atau tidak mampu memenuhi kebutuhan seksual pasangannya, seperti faktor impoten atau faktor usia, walaupun memiliki kemampuan biaya, maka tidak disunnahkan menikah.

 

Selanjutnya, orang yang memiliki kesiapan biaya (finansial) dan masih mampu mengendalikan kebutuhan seksual, tidak khawatir terjerumus pada kemaksiatan, bahkan ingin lebih fokus pada ibadah, justru jika menikah khawatir akan mengganggu aktivitas ibadahnya, maka memilih fokus beribadah adalah lebih utama daripada menikah. Namun, bila tidak ada kekhawatiran mengganggu ibadahnya, maka menikah lebih baik daripada melajang. Tujuannya agar tidak terjerumus pada perbuatan dosa, jauh perbuatan menyimpang, dan terhindar dari fitnah.

 

Bicara kemampuan biaya tentu sangat relatif. Namun, ulama terdahulu memberikan gambaran, mampu biaya di sini minimal biaya di hari pernikahan, seperti mahar, makanan, pakaian, nafkah pasca-menikah. Dalam konteks sekarang, kebutuhan biaya ini tentu bisa dikompromikan dengan pihak orang tua perempuan, selama tidak memberatkan salah satunya atau menggagalkan perkawinan hanya karena kurangnya mahar, kurangnya biaya sewa gedung, atau dekorasi, misalnya. Di sinilah kedua belah pihak orang tua dituntut kesadaran dan kebijakannya. Lebih baik menikahkan anak mereka atau membiarkan mereka terjerumus pada pergaulan bebas?

 

Sementara kaum muda yang belum memiliki biaya, meskipun sudah memiliki kebutuhan seksual, maka tidak dianjurkan menikah. Untuk menekan keinginan seksualnya, dia disarankan untuk berpuasa dan banyak berlindung kepada Allah agar diberi kekuatan menahan syahwat, bukan dengan cara yang menyimpang, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وجاءٌ

 

Artinya, “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu ba’at (menikah), maka menikahlah! Sebab, menikah itu lebih mampu menundukkan (menjaga) pandangan dan memelihara kemaluan. Namun, siapa saja yang tidak mampu, maka sebaiknya ia berpuasa. Sebab, puasa adalah penekan nafsu syahwat baginya,” (HR Muslim).

 

 

Kendati setelah berpuasa, keinginan seksualnya tidak pula bisa diatasi, maka memohonlah kepada Allah agar diberi kemampuan untuk menikah, diberikan kemudahan untuknya, jangan lupa bertekad dalam hati bahwa keinginannya menikah demi menjaga kehormatan diri, menjauhi perbuatan nista, mendapatkan keturunan, dan sejenisnya. Insya Allah, Dia akan memenuhi janji-Nya untuk memampukan hamba-Nya yang bertakwa dan ingin menikah serta berniat menjaga kehormatan dirinya.

 

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ

 

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya,” (QS. An-Nur [24]: 33).

 

مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

 

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya,” (QS. Ath-Thalaq [65]:2-3).

  

Wallahu‘alam. []

 

Sumber: NU Online

BamSoet: Refleksi Akhir Tahun 2020

Refleksi Akhir Tahun 2020

Oleh: Bambang Soesatyo

 

Tahun 2020 hampir kita tutup. Perlu kita merenungkan atau merefleksi secara mendalam bagaimana kita melewati perjalanan bangsa yang kita cintai ini sepanjang tahun 2020. Sehingga, kita masih mampu bekerja dan beraktivitas hingga hari ini dalam keadaan sehat dan damai.

 

Kita patut bersyukur, karena kita berhasil melewati semua peristiwa yang hampir mengganggu keharmonisan dan ketahanan sosial kita sebagai bangsa. Mulai akibat berbagai dampak Pemilu-Pilpres, ketegangan politik saat penyusuan UU Cipta Kerja, pandemi COVID-19 yang masih terus meluas sampai hari ini, serta adanya informasi varian baru Corona yang lebih ganas di Eropa dan Afrika Selatan.

Pada penghujung tahun 2020 ini, di seluruh dunia korban positif COVID-19 telah menyentuh angka hampir 80 juta orang. Korban yang meninggal dunia sekitar 1,8 juta orang. Sementara di Indonesia, dinyatakan positif COVID-19 hampir menyentuh diangka 700.000 orang dan yang meninggal dunia lebih kurang 20.500 orang.

 

Kita semua berduka. Atas nama Pimpinan MPR RI, saya menyampaikan belasungkawa yang mendalam bagi keluarga yang terpaksa berpisah dengan anggota keluarganya akibat COVID-19. Saya juga menyampaikan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada para pahlawan kemanusiaan di rumah sakit, para dokter, perawat, pekerja kesahatan, dan para relawan kesehatan yang meninggal dunia dalam melaksanakan tugasnya. Kepada para pejuang kesehatan yang saat ini masih berjibaku bahu-membahu merawat dan menyelamatkan para pasien COVID-19, kami bersama kalian!.

 

Apresiasi sebesar-besarnya juga Pimpinan MPR RI berikan kepada pemerintah yang tidak mengenal lelah untuk mengendalikan situasi, meluncurkan inisiatif-inisiatif kebijakan yang ulung, dan menggerakkan semua pemangku kepentingan, baik di pusat maupun di daerah, guna memerangi pandemi COVID-19. Mulai dari bantuan sosial yang sangat dibutuhkan, BLT bagi para angkatan kerja, stabilitas ekonomi, keuangan, politik, dan lain-lain.

 

Sejak awal tahun 2020, pemerintah telah mempersiapkan dan merumuskan berbagai rencana, inisiatif program, baik berupa rancangan undang-undang dan berbagai peraturan-peraturan untuk memajukan perekonomian dan pembangunan nasional. Memang tidak semua bisa dilaksanakan, karena disesuaikan ataupun dihentikan akibat dampak pandemi COVID-19.

 

Pada kuartal III, BPS mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi minus 3,49 persen, pengangguran meningkat 2,67 juta menjadi 9,77 juta. Menteri Keuangan juga mengumumkan pada 22 Desember 2020 lalu target penerimaan negara diperkirakan akan terkumpul Rp 1.445 triliun. Sementara penyerapan belanja negara telah mencapai Rp. 2.468,01 triliun dari Rp. 2.739,2 triliun. Penerimaan negara tahun ini diprediksi turun 15%.

 

Sementara itu, pada penghujung tahun 2020 ini, penerimaan pajak kita masih Rp. 1019,56 triliun, dan harus mengejar kekurangan Rp.179, 26 triliun untuk mencapai target Rp. 1.198,82 triliun.

 

Dari data-data di atas, meskipun tidak melaju secara cepat, namun kita melihat ada laju perbaikan dan peningkatan dalam pertumbuhan perekonomian kita. Sekali lagi, saya mengajak semua unsur dan lapisan masyarakat untuk tetap optimis menyongsong ekonomi yang lebih maju. Sekaligus juga mendorong Pemerintah dan jajarannya untuk senantiasa siap menerima pandangan dan masukan dari berbagai pihak, seperti akademisi, analis, dan para pelaku dunia usaha.

 

Implementasi UU Cipta Kerja

 

Undang-Undang Cipta Kerja telah diundangkan. Saatnya kita menunggu implementasinya. Kita sama-sama memahami bahwa UU ini untuk menuntaskan semua peraturan perundangan yang overlapping. Selain, mengharmoniskan kebijakan nasional dengan daerah, memperbaiki rangkaian birokrasi agar semakin optimal, dan mengefisienkan biaya-biaya ekonomi yang selama ini merugikan kita semua.

 

Kita mengharapkan kegiatan investasi di berbagai wilayah akan berkembang dan menyakinkan ada kepastian hukum bagi semua pelaku bisnis. Namun demikian, kita juga perlu mengingatkan pemerintah agar tidak hanya mengandalkan investasi asing semata. Karena yang dibutuhkan saat ini adalah kebijakan yang dapat menstimulasi dan merangsang investasi domestik.

 

Di awal serangan pandemi COVID-19, terasa sekali kepanikan yang sangat dalam di sektor keuangan/perekonomian kita. Mata uang rupiah melemah hampir 30%, indeks harga saham gabungan melemah hampir 50%, kegiatan ekspor terjun bebas menyentuh angka 35 persen, NPL perbankan meningkat signifikan, dan bahkan beberapa pelaku industri keuangan mengalami gagal bayar yang cukup mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan.

 

Namun, alhamdulillah pada akhirnya presiden bersama pemangku kepentingan lainnya mampu mengendalikan kepanikan tersebut dengan berbagai restrukturisasi kebijakan yang andal di bidang perbankan, pasar modal, industri keuangan nonbank, kegiatan investasi, perpajakan, insentif dan bantuan kemudahan kepada semua pelaku usaha.

 

Saat ini mulai ada kepercayaan diri yang semakin menguat karena nadi dan nafas perekonomian, kegiatan sektor keuangan dan aktivitas sektor lainnya semakin terasa ada gerakan yang semakin aktif menuju perbaikan.

 

Kita juga melihat konsolidasi BUMN terus meningkat bersama-sama kementerian teknis lainnya. Itu telah memberikan sinyal optimisme yang optimal. Mulai dari sektor keuangan, syariah, pariwisata dan perhotelan, energi, gas dan pertambangan, pertanian, perkebunan, serta kehutanan.

 

Namun, perlu juga diingatkan bahwa semua konsolidasi BUMN tersebut akan menjadi sia-sia apabila dampak konsolidasi tidak dapat dirasakan masyarakat bawah secara luas. Karena itu, kami setuju dan mendorong apabila konsolidasi BUMN diselaraskan dengan keberadaan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), termasuk Lembaga Pengelola Investasi-LPI (sejenis Sovereign Wealth Funds-di LN) yang sering disebut juga Indonesia Investment Authority dalam tataran kompetisi yang fair.

 

BUMS tidak boleh tertinggal. Mereka harus diberi ruang yang luas untuk memajukan/berpartisipasi dalam kegiatan perekonomian nasional.

 

Ada kekhawatiran terjadi rebutan investasi antara LPI dan BUMN di satu pihak, dan pelaku BUMS di pihak lain bidang investasi tersebut. Secara kebijakan hal ini sangat mungkin terjadi. LPI jangan sampai mempersempit ruang atau bahkan mematikan kesempatan bisnis bagi pengusaha swasta.

 

Kami mengimbau semua pelaku usaha baik BUMN/pemerintah melalui LPI dan swasta harus memiliki kesempatan yang sama dalam kegiatan usaha di dalam negeri yang kita cintai ini. Kiranya perlu disusun tipe investasi dengan berbagai atribut dan fitur-fiturnya sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi unfairness bagi semua pelaku usaha dalam kegiatan investasi. Keberpihakan kepada pengusaha lokal baik yang berskala besar, menengah dan kecil seperti UMKM harus menjadi perhatian pemerintah.

 

Level playing field antara investor asing dan pelaku ekonomi nasional harus menjadi perhatian. Distribusi dan pembagian atas kegiatan investasi harus dipertimbangkan secara matang sehingga para pemain lokal tidak hanya menjadi frontings atau makelar investasi, namun harus menjadi pemain utama.

 

Kita berharap agar rancangan rumusan turunan dari UU Cipta Kerja harus betul-betul menjadi perhatian untuk memastikan bahwa negeri kita ini bukan hanya menyambut kapitalis global. Tetapi juga harus dapat dinikmati para pengusaha nasional atas hasil-hasil kegiatan investasi dimaksud.

 

Perlunya Haluan Negara

 

Kita wajib mendukung segala upaya pemerintah untuk membangun bangsa ini di berbagai sektor demi kemakmuran bangsa, mulai dari sektor perekonomian, keamanan, ketenagakerjaan, penegakan hukum, keharmonisan antar pemeluk agama, persoalan sosial dan politik, pengentasan kemiskinan, dan lain sebagainya.

 

Kita juga wajib mendorong pemerintah untuk mengayomi seluruh lapisan masyarakat untuk mendapatkan keadilan, kesamaan kesempatan dalam kehidupan berusaha, pemerataan pembangunan baik pusat maupun daerah, termasuk keadilan dalam hak asasi manusia dan pembangunan SDM yang berkeadilan.

Pimpinan MPR RI berharap agar pemerintah ke depan tetap membuat kebijakan yang holistik atas daerah-daerah tertinggal atau yang selama ini kurang mendapatkan perhatian. Kita perlu fokus pada penanganan Papua dan Papua Barat, agar ada penyelesaian yang permanen. Mari kita hindari hal-hal yang dapat merusak sendi-sendi keharmonisan kita atau bahkan meluluhlantakkan kebhinekaan kita.

 

Sudah saatnya kita memiliki arah pembangunan yang jelas dan berkelanjutan, berupa pokok-pokok haluan negara. Sehingga, mampu memberikan gambaran bagaimana dan ke mana kita dalam jangka waktu tertentu 10, 25, 50 atau bahkan 100 tahun mendatang.

 

Konsep masa depan perlu disusun dalam suatu rancangan dan pedoman strategis sebagai acuan umum haluan negara yang ditetapkan dalam kekuatan hukum yang kuat.

 

Untuk itu, MPR mengajak seluruh pemangku kepentingan mewujudkan gagasan perlunya hadir kembali pokok-pokok haluan negara atau PPHN sebagai bintang pengarah masa depan Indonesia.

 

Selamat tinggal tahun 2020 yang penuh tantangan dan selamat datang tahun baru 2021 yang memberikan harapan. Semoga 2021 lebih baik. []

 

DETIK, 28 Desember 2020

Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI

(Hikmah of the Day) Ketika Ulama Mesir Menolak Seruan Menarik Pajak Jizyah untuk Non-Muslim

Belakangan ini muncul polemik yang diembuskan sebagian kelompok ekstremis di beberapa negara terkait Jizyah. Mereka menyatakan sistem demokrasi adalah sistem yang tidak sesuai dengan Islam. Mereka berpendapat bahwa sistem demokrasi tidak menjalankan syariat Islam di antaranya adalah kewajiban menarik pajak jizyah dari non-Muslim.

 

Landasan pajak jizyah berasal dari ayat Al-Qur’an:

 

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

 

Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (QS At-Taubah: 29).

  

Syekh Ibrahim al-Baijuri, pembesar mazhab Syafi'i dalam kitab Hisyiyah Baijuri ala Fath al Qarib menyatakan, jizyah adalah pajak yang dikenakan kepada non-Muslim yang menetap di negara Islam sebagai imbal balik dari perlindungan umat Islam atas keselamatan mereka dan harta mereka di negara Islam.

 

Abu Walid al-Baji, pembesar mazhab Maliki dalam kitab Ihkam al Fushul fi Ahkam al-Ushul menyatakan, jizyah adalah pajak yang diambil dari non-Muslim sebagai imbal balik atas menetapnya mereka di negara Islam serta sebagai imbal balik atas perlindungan dan penjagaan umat Islam kepada mereka.

 

Syamsuddin al-Qarafi, pembesar mazhab Maliki dalam kitab Anwar al Buruq fi Anwa al-Furuq lebih jauh menyatakan, "Bentuk penjagaan yang wajib diberikan kepada non-Muslim yang membayar pajak jizyah adalah seandainya ada seseorang kafir dari luar daerah Islam datang ingin membunuh salah satu non-Muslim yang membayar pajak jizyah maka kita harus melindunginya dengan segenap nyawa dan harta kita."

 

Dr. Abdul Halim Manshur, salah satu pembesar ulama universitas Al Azhar menyatakan, "Ketika kita menggali kembali alasan kewajiban membayar pajak jizyah bagi non-Muslim, maka kita temukan alasan mendasar kewajiban pajak jizyah bagi non-Muslim adalah sebagai pengganti dari kewajiban non-Muslim untuk membela dan menjaga negara Islam, karena tugas membela dan menjaga negara Islam di masa lalu tidak dibebankan kepada non-Muslim melainkan hanya dibebankan kepada umat Islam."

 

Dekan Jurusan Hukum Syariah dan Qanun Universitas Al-Azhar ini menambahkan, "Maka situasi zaman sekarang jizyah tidak lagi bisa dibebankan kepada non-Muslim di negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, karena di era modern ini kewajiban membela negara tidak hanya dibebankan kepada umat Islam melainkan kepada seluruh warga negara dengan berbagai latar belakang agama, tentu hal ini berbeda dari zaman dahulu yang hanya diwajibkan kepada umat Islam sedangkan non-Muslim dibebani dengan membayar pajak jizyah."

 

Dalam ushul fiqh, dijelaskan "Ketika suatu alasan menetapkan hukum telah berubah maka hukum pun juga akan berubah." Karena alasan penerapan pajak jizyah tidak terpenuhi maka kewajiban hukum pajak jizyah pun tidak bisa diterapkan.

  

Selain itu, Dr Abdul Halim Manshur yang juga pakar di bidang perbandingan mazhab menegaskan, "Dengan sistem negara-negara era modern yang mengedepankan asas kesetaraan antara Islam dan non-Islam dalam berbagai aspek hak dan kewajiban, tentu hukum penarikan pajak jizyah tidak bisa diterapkan, berbeda dari konteks zaman dahulu".

 

Dalam hal ini, Dr. Abdul Halim Manshur menyatakan bahwa hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan hadits memang berderajat dogmatis. Tetapi ada beberapa celah hukum dalam Al-Qur’an dan hadits yang dapat diterapkan ketika alasan penerapannya terpenuhi. Ia mencontohkan pada masa lalu khalifah Umar bin Khattab menggugurkan jatah harta zakat untuk orang-orang mualaf karena tuntutan zaman ketika itu sesuai ijtihad beliau.

 

Gagasan beliau ini bisa dijumpai antara lain di Shaut al Azhar, majalah mingguan resmi milik al-Universitas Azhar, cetak tanggal 12 Februari tahun 2020. Dr. Abdul Halim Manshur menulis secara khusus di halaman 6 yang memuat kajian para pemikir Universitas al-Azhar dalam menyikapi seruan al-Azhar untuk Tajdid Khithab ad-Din (memperbarui seruan agama). []

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir; penerima beasiswa NU pada tahun 2018.

Azyumardi: Asa Politik 2021

Asa Politik 2021

Oleh: Azyumardi Azra

 

Asa apa yang bisa kita nyalakan di hati dan pikiran menyongsong tahun 2021? Perkembangan dan perbaikan apa di bidang politik yang  mesti dilakukan agar kehidupan kebangsaan dan kenegaraan  pada 2021 lebih baik daripada 2020?

 

Jika sejarah adalah kontinuitas dan perubahan, perjalanan ke depan kali ini dengan sedikit pahit harus dikatakan tak menjanjikan banyak perbaikan. Banyak  indikator sepanjang 2020 mengisyaratkan lebih banyak terjadi kontinuitas sehingga 2021 boleh jadi tak banyak perubahan besar.

 

Sejarah bukan hanya sekadar pengungkapan kejadian  di masa silam, melainkan juga panduan menuju masa depan lebih baik. Untuk itu, banyak agenda yang bisa dan harus dilakukan.

 

Dalam banyak segi, 2020 ialah Annus horribilis, tahun mengerikan. Ini karena wabah Covid-19 yang memorakporandakan kehidupan  dari aspek kesehatan; ekonomi, sosial-budaya, agama, dan politik. Saat ini, dunia menuju 80 juta kasus terinfeksi Covid-19 dan dua juta korban tewas. Indonesia,  dengan hampir 700.000 kasus infeksi dan lebih dari 20.000 korban meninggal, jadi negara keempat terbanyak terdampak pandemi Covid-19 di daratan Asia setelah India, Turki, dan Iran. Kekacauan akibat pandemi di beberapa bidang di  Indonesia cukup parah.

 

Apakah 2021 dapat menjadi Annus mirabilis, tahun cerah membawa kebahagiaan, bagi RI di tengah masih merajalelanya Covid-19? Jelas  sulit meski tak mustahil. Walau 2021 belum bisa jadi tahun membahagiakan, perjalanan ke arah itu patut dilakukan. Untuk itu, pejabat publik   beserta elite politik  nasional dan lokal perlu melakukan berbagai langkah serius.

 

Pertama, Presiden Joko Widodo mesti mengonsolidasikan pemerintahannya.  Tanpa peningkatan kinerja kabinet, asa publik bisa tambah layu. Memasuki tahun kedua masa bakti kedua, kian kuat keraguan publik apakah Presiden Jokowi bisa meninggalkan legacy optimal jika kinerja kabinet tidak maksimal.

 

Jauh sebelum Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari  Batubara ditangkap KPK, telah banyak imbauan dari berbagai pihak agar Presiden me-reshuffle kabinet. Presiden Jokowi lama sekali bergeming. Setelah berbulan-bulan, perombakan kabinet akhirnya dilakukan; enam tokoh diangkat jadi menteri baru. Rejuvenasi kabinet ini perlu dihargai walau masih parsial. Seharusnya reshuffle dilakukan  komprehensif.

 

Menteri-menteri baru cukup menjanjikan. Namun,  masih ada sejumlah menteri (lama) yang semestinya di-reshuffle karena kinerja tak memuaskan. Karena itu, masih menjadi tanda tanya apakah kabinet yang telah direjuvenasi ini bisa menciptakan momentum konsolidasi pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin untuk meningkatkan kinerjanya.

 

Pemerintah juga perlu mengambil langkah bersama DPR  guna kembali mengonsolidasikan demokrasi. Langkah ini mendesak karena demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir mengalami kemerosotan dari ’full democracy’ jadi ’flawed democracy’. Pemerintah perlu memulihkan kembali kebebasan sipil.

 

Pembatasan kebebasan sipil mesti dihilangkan; jika ada warga yang menyalahgunakan kebebasan sipil, bisa ditempuh langkah hukum tanpa mengebiri kebebasan sipil dengan menggunakan berbagai UU dan ketentuan ”karet”. Pemerintah juga perlu memulihkan kembali masyarakat sipil sebagai salah satu pilar pokok demokrasi. Pemerintah sepatutnya menghentikan praksis politik yang mengabaikan masyarakat sipil.

Jika asa Indonesia 2021 adalah Annus mirabilis, pemerintah patut meninggalkan praksis politik persekongkolan dengan DPR. Pemerintah dan DPR perlu tidak lagi mengesahkan RUU tanpa mendengar aspirasi publik dan masyarakat sipil seperti terjadi dalam perubahan UU KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja.

 

Indonesia 2021 juga memerlukan rejuvenasi dan penguatan kembali kohesi sosial. Secara terbuka ataupun di bawah permukaan, friksi  antarwarga cenderung meningkat beberapa tahun terakhir. Keadaan ini tidak kondusif untuk pemeliharaan kohesi sosial-politik dan integrasi bangsa.

 

Di satu segi, kohesi sosial muncul di antara warga saat  pandemi Covid-19. Banyak anggota masyarakat dan ormas mengumpulkan dana filantropi guna membantu warga terdampak. Bantuan berupa pelindung diri, obat-obatan, bahan pokok, juga gawai dan pulsa untuk pembelajaran jarak jauh. Ini aktualisasi kohesi sosial yang tetap kuat.

 

Namun,  kohesi sosial-politik sangat terganggu peningkatan kegaduhan di masyarakat akibat penyebaran hoaks, fitnah, provokasi, pencemaran nama baik, dan adu domba. Meski publik terlihat tenang-tenang saja,  banyak gejolak di bawah permukaan yang  mengancam kohesi sosial.

 

Gejolak laten itu sewaktu-sewaktu bisa muncul. Ini terlihat pada kasus kerumunan massa berlanjut kegaduhan dan kekerasan di antara massa ormas Islam tertentu dengan polisi. Letupan pembelaan terhadap pimpinannya yang ditahan polisi terjadi di Jabodetabek dan sempat  meluas ke beberapa kota kecil.

 

Peristiwa terakhir ini juga meningkatkan sentimen terkait ”ketidakadilan” politik dan hukum yang mengendap dalam jiwa  sebagian warga. Persepsi tentang ”pisau keadilan” yang tajam pada pihak tertentu dan tumpul pada pihak lain terus mewabah merusak kohesi sosial-politik.

 

Oleh karena itu, asa RI 2021 dan tahun seterusnya juga adalah penegakan keadilan. Masyarakat dan pakar, jika bicara tentang keadilan, biasanya menyangkut keadilan hukum dan keadilan ekonomi. Jika keadilan dalam kedua bidang itu tidak diusahakan sungguh-sungguh oleh pemerintah, dampaknya adalah kerapuhan kohesi sosial-politik yang laten mengoyak integrasi nasional.

 

Asa Indonesia 2021 sebagai Annus mirabilis, walau menghadapi banyak tantangan, bukan tidak mungkin diwujudkan. Jika berbagai tantangan tadi dapat dijawab dengan kemauan politik tulus dan kerja keras ikhlas, asa itu sedikit banyak bisa terwujud. []

 

KOMPAS, 24 Desember 2020

(Ngaji of the Day) Tiga Jenis Zakat Pertanian dan Cara Menunaikannya

Ada banyak jenis tanaman pangan. Tanaman pangan yang manshush (tertuang dalam teks syariat) adalah tanaman pangan yang masuk kategori biji-bijian dan bisa disimpan dalam jangka waktu lama. Dengan begitu, maka yang masuk dalam kategori jenis tanaman wajib zakat adalah gandum, padi, jagung, dan jenis kacang-kacangan (al-ful). Adapun untuk jenis tanaman produktif, adalah tanaman yang bisa dimanfaatkan segi buahnya untuk tujuan diperdagangkan. Penekanan pada sisi buah ini dikarenakan asal dari teks syariat (nash), hanya menyebutkan zakat buah (tsimar). Contoh dari tanaman ini adalah kurma dan anggur. Untuk kategori tanaman yang sifatnya manshush ini, para ulama sepakat mengelompokkan zakatnya sebagai zakat pertanian.

 

Apakah sudah cukup sampai di sini? Ternyata tidak. Para ulama berselisih pendapat mengenai pengertian buah di sini. Semisal, tanaman karet, ia masuk kategori tanaman produktif dalam bentuk produksi getah karet. Tanaman sawit, maka hasil produksi berupa buah sawit. Perkebunan Teh, masuk unsur produktifnya berupa daun teh.

 

Karena sebelumnya tidak dijumpai dalam teks, maka teknik penyelesaian zakat dari kelompok tanaman produksi jenis ini, diperselisihkan. Ada yang memutus wajib zakat pertanian, namun ada pula yang memutus sebagai bukan zakat pertanian melainkan dikembalikan pada qashdu li-al-tijarah (niat diperdagangkan)-nya. Jika melihat dari sisi qashdu al-tijarah, maka zakatnya dinamakan zakat perdagangan (tijarah). Insyaallah kita bahas kelak dalam zakat perkebunan. Kali ini kita fokus terlebih dulu pada zakat pertanian.

 

Syariat Islam sebenarnya membagi zakat pertanian berdasar dua kategori lahan. Pertama, lahan tadah hujan (‘atsary), dan kedua lahan irigasi berbayar (dawalib). Namun, berbekal mencermati realitas di masyarakat, ada juga lahan yang di waktu musim penghujan, ia mendapat siraman air hujan dan sudah mencukupi. Namun, ketika musim kemarau, areal itu disirami dengan irigasi berbayar. Berbekal realita ini, maka para ulama memasukkan kategori lahan jenis ketiga, yaitu lahan dari irigasi campuran. Kita akan masuk dalam penjelasan masing-masing.

 

Lahan Tadah Hujan (‘Atsary)

 

Umumnya masyarakat memaknai lahan tadah hujan ini sebagai lahan yang pengairannya hanya mengandalkan air hujan semata atau limpasan air hujan semata (al-saili). Tidak ada sarana irigasi lain selain hal itu. Padahal tidak demikian pengertiannya, sebagaimana yang tertuang di dalam kitab-kitab turats yang mu’tabar.

 

Masuk dalam rumpun lahan pertanian tadah hujan adalah tanah yang pengairannya berada di lokasi yang dekat dengan sungai sehingga akar-akar tanaman budidaya secara langsung menyerap dan mengambil air dari sungai, adalah masuk dalam rumpun lahan tadah hujan.

 

Fiqih membahasakan tanaman seperti ini dengan istilah al-ba’lu. Demikian pula dengan lahan pertanian yang dialiri oleh mata air tidak berbayar (‘adamu al-mu’nati), semua ini adalah masuk kategori tadah hujan. Memang di dalam nash dinyatakan sifat umum dari model siraman ini, dinyatakan sebagai air langit (mau al-sama’) saja. Namun para ulama menangkap illat (alasan dasar hukum) dari air langit ini sebagai irigrasi gratis, tanpa dipungut biaya (‘adamu al-mu’nah). Terhadap tanaman yang memiliki kesamaan illat seperti ini, maka diputuskan besaran wajibnya zakat sebagai 10% dari hasil tanaman, dengan catatan telah mencapai nishab dan haul (Kifayatu al-Akhyar, juz I, halaman 189).

 

Lahan Irigasi Berbayar Fiqih sebenarnya hanya menyatakan konsepsi:

 

إن سقيت بدواليب أو غرب نصف العشر

 

Artinya: “Jika sebuah tanaman diairi dengan menggunakan gayung atau timba yang besar, maka zakatnya setengahnya sepersepuluh (5%)” (Kifayatu al-Akhyar, Juz I, halaman 189).

 

Dawalib memiliki makna dasar berupa gayung atau timba kecil. Artinya, untuk menyirami tanaman, dibutuhkan jerih payah mendatangkan airnya dan menyiramkannya. Andai perlu seorang pekerja untuk mendatangkan, maka pekerja tersebut menghendaki ujrah (upah). Upah masuk dalam rumpun mu’nah (biaya). Adanya biaya ini kemudian dijadikan illat bahwa semua kategori irigasi pertanian yang dilakukan dengan jalan mengeluarkan biaya, adalah masuk rumpun ma suqiyat bi dawalib (areal irigasi berbayar).

 

Qiyas di atas sebenarnya juga berangkat dari sebuah pengertian dalil asal berupa hadits Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

فِيمَا سَقَتِ اَلسَّمَاءُ وَالْعُيُونُ, أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا: اَلْعُشْرُ, وَفِيمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ: نِصْفُ اَلْعُشْرِ. - رَوَاهُ اَلْبُخَارِيّ

 

Artinya: “Setiap areal yang mendapat siraman lagit, mata air, atau tadah hujan, maka zakatnya adalah 10%. Sementara areal yang disirami dengan memakai onta, maka zakatnya adalah 5%” (HR. Bukhari).

 

Alhasil, lahan tanaman yang diperoleh dari lahan irigasi berbayar, bila telah mencapai nishab dan haul, maka kewajiban zakatnya adalah 5%.

 

Lahan Irigasi Campuran

 

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa lahan yang masuk kategori ini, adalah lahan dengan ciri khas irigasinya tergantung pada musim. Pada waktu musim penghujan, ternyata kondisinya cukup dengan siraman air hujan semata. Sementara pada waktu musim kemarau, maka lahan harus diairi dengan menggunakan irigasi berbayar. Nah, bagaimana dengan ketentuan zakatnya? Ini adalah sebuah pertanyaan penting sekali disampaikan.

 

Menurut Syekh Taqiyuddin al-Hushny dalam Kifayatu al-Akhyar, solusi zakatnya adalah dengan ditetapkan dengan jalan taqshith. Taqshith ini dilakukan dengan jalan membandingkannya antara lama areal disirami dengan air hujan, dan disirami dengan air irigasi berbayar. Bila lama bulan antara penghujan dan kemarau adalah sama dalam satu tahunnya (penghujan 6 bulan, kemarau 6 bulan), maka zakat yang bisa dipungut dari areal irigasi campuran ini adalah sebesar 7,5%. Besaran persentase yang sama juga ditetapkan untuk lama musim penghujan dan kemarau yang tidak jelas/tidak diketahui. Suatu misal, pemilik ragu-ragu, berapa lama musim penghujan telah lewat, dan kemarau telah lewat, maka dalam kondisi seperti ini, seluruh hasil tanaman yang diperoleh dari musim penghujan dan kemarau ditotal secara umum, kemudian diambil 7,5%-nya sebagai zakat.

 

Bagaimana bila diketahui lama masing-masing musim? Dalam kondisi seperti ini, maka tata cara penentuan besaran zakat bisa dilakukan dengan cara membandingkannya. Semisal, musim penghujan berlangsung selama 4 bulan. Sementara musim kemarau, berlangsung selama 8 bulan. Maka cara menghitung persentase zakatnya, adalah harus lebih dari 5%, dan kurang dari 10%.

 

Contoh, jika satu tahun tadah hujan harus mengeluarkan zakat sebesar 10%, maka untuk lama 4 bulan irigasi tadah hujan, maka persentase zakatnya adalah sebesar: (4 bulan/12 bulan) x 10% = 3,33%. Untuk 8 bulan irigasi berbayar, maka persentase zakatnya adalah sebesar (8 bulan/12 bulan) x 5% = 3,33 %. Total persentase tadah hujan ditambah total persentase irigasi berbayar = 3.33% + 3.33%, sehingga total 6,66%.

 

Nah, sekarang bikinlah contoh lain, semisal jika lama irigasi hujan selama 8 bulan, dan irigasi berbayar 4 bulan, maka berapa persenkah zakat yang harus dibayarkan? Jika jawaban anda adalah 8,33%, maka jawaban anda adalah benar. Wallahu a’lam bish shawab. []

 

Ustadz Muhamamd Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Nasaruddin Umar: Membaca Trend Globalisasi (26) Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Pola Migrasi Umat

Membaca Trend Globalisasi (26)

Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Pola Migrasi Umat

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Umat ideal (khaira umah) di masa depan semakin sulit diprediksi. Selain kriteria juga muncul fenomena deteritorialisasi umat. Perkembangan terakhir umat Islam tidak lagi terkonsentrasi di salah satu negara saja tetapi menyebar dan membaur dengan umat-umat lain. Dalam kondisi seperti ini seudah barang tentu memerlukan kriteria baru di dalam merupaskan konsep khaira ummah.

 

Kecenderungan terakhir pola migrasi umat yang sangat cepat dan luas. Perkembangan sains dan teknologi, terutama di sektor transportasi dan didukung pertumbuhan ekonomi umat yang semakin baik, mengharuskan pemimpin umat untuk mengantisipasi sejumlah kemungkinan yang mungkin tidak pernah ditemukan di dalam lintasan sejarah. Pola migrasi umat selama dua dekade terakhir menimbulkan wajah baru dunia Islam. Mereka secara besar-besaran melakukan eksodus ke negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika, Australia, dan Asia Selatan. Mereka eksodus karena krisis politik, ekonomi, dan sosial di negerinya, terutama di era pasca 'Badai Gurun' (Arab Spring). Banyak di antara mereka terpaksa hijrah ke negara-negara tujuan yang bisa menampungnya untuk menyelamatkan diri sambil mencari lahan kehidupan baru.


Menurut Murad W. Hofmann, mantan Direktur Informasi NATO, dalam bukunya "Religion on the Rise, Islam in the Third Millennium", akan memberikan dampak hegemoni sosial-politik dunia, mengingat Islam adalah sistem ajaran yang menuntut loyalitas kepada penganutnya. Menurut Hofmann, pola migrasi komunitas Islam agak berbeda dengan komunitas lain. Secara fisik komunitas muslim berada di negara lain, bahkan sudah menjadi warga negara (citizen) atau pemegang green card, tetapi loyalitas terhadap negara asalnya masih tetap tinggi. Hal itu disebabkan karena ikatan keagamaan paling dominan. Mereka membayar pajak di negeri barunya tetapi masih membayarkan zakat harta, infaq, shadaqah, dan belanja-belanja keagamaan lainnya ke negeri asalnya. Ziarah ke maqam leluhur dan guru-guru spiritual tetap rutin dilaksanakan. Sebagian juga masih membangun rumah di negeri asal termasuk dana yang dikumpulkan diinvestasikan ke negeri asalnya. Mereka masih sangat terikat dengan negara asalnya, karena tokoh-tokoh keagamaan kharismatik dari negerinya tetap dijalin. Bahkan secara periodik tokoh spiritual itu didatangkan ke negeri baru ini untuk memberikan pencerahan.


Migran muslim di negara-negara barat kini sudah lahir generasi kedua atau ketiga. Mereka masih tetap dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam. Dari manapun dan dimanapun komunitas Islam itu berada selalu menciptakan lingkungan sosial unik karena Mereka memiliki simbol-simbol perekat (melting pot) berupa masjid, halal food, pendidikan dasar keagamaan untuk anak-anak mereka, dan majlis taklim untuk para orang tua. Persaudaraan sesame umat Islam dari manapun asalnya sangat akrab satu sama lain di negeri barunya. Mereka bersama-sama membangun sekolah atau madrasah untuk melestarikan generasi muslim ideal. Mereka juga menjalin komunikasi dalam bentuk media sosial sehingga antara satu sama lain sangat akrab. Keakraban mereka terutama dapat terlihat seusai menjalankan ibadah-ibadah ritual seperti shalat Jum'at, majlis ta'lim, kerja bakti, dll.


Dapat dicontohkan, hari-hari raya keagamaan juga sangat intensif mempertemukan antara sesame komunitas muslim. Misalnya hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha sering menjadi ajang pertemuan antar keluarga muslim. Mereka menyelenggarakan shalat 'Id bersama. Dalam bulan Ramadhan ada kegiatan rutin yang disebut buka bersama shalat tarawih berjamaah, sahur dan tadarrusan bersama. Di negeri orang kadang-kadang keakraban satu sama lain lebih terasa, sekalipun berasal dari negara yang berbeda. Solidaritas keagamaan ini memungkinkan adanya kemudahan hidup di negeri orang karena bagaimanapun ukhuwah Islamiyah selalu hidup di dalam napas keislaman umat Islam, bahkan terjadi kecenderungan mualaf semakin menjadi fenomena di dunia Barat saat ini.
[]

 

DETIK, 02 September 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

(Ngaji of the Day) Akad Musaqah dan Jenis Pohonnya Menurut Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali didirikan dengan menisbahkan pemikiran kepada manhaj fiqih Ahmad bin Hanbal. Dalam ketentuan aqad musaqah, tampaknya versi Mazhab Hanbali ini sesuai dengan pendapat Imam Syafii dalam qaul qadimnya. Mungkin, ini pengaruh dari relasi guru dan murid, yang mana Imam Ahmad bin Hanbal merupakan periwayat fiqih manhaji Imam Syafii dengan qaul qadimnya ketika ia masih tinggal di Baghdad.


Begitu pula dengan qaul qadim Mazhab Syafi'i. Tampaknya qaul qadim memiliki keserupaan dengan Mazhab Hanafi. Walhasil, relasi guru murid antara Imam Syafii dan ulama Hanafiyah, tampak kentara sekali dalam poin ini. Kita telusuri dulu, bagaimana aqad musaqah versi Mazhab Hanbali ini?


Sebagai tolok ukur dari Mazhab Hanbali, kita ambil maraji' salah satu pengamal mazhab tersebut, yaitu Ibnu Qudamah. Di dalam Al-Mughny libni Qudamah, disampaikan bahwa:


وَأَمَّا الْحَنَابِلَةُ، وَفِي الْمَذْهَبِ الْقَدِيمِ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ فَيَلْتَقُونَ مَعَ الْحَنَفِيَّةِ بِصِحَّةِ الْمُسَاقَاةِ فِي سَائِرِ الأَْشْجَارِ، دُونَ غَيْرِهَا، وَاشْتَرَطُوا أَنْ تَكُونَ الأَْشْجَارُ مُثْمِرَةً وَثَمَرُهَا مَقْصُودٌ كَالْجَوْزِ وَالتُّفَّاحِ وَالْمِشْمِشِ

 

Artinya, "Menurut kalangan Hanabilah, dan pendapat yang tertuang dalam qaul qadim Imam Syafii, keduanya bertemu dengan konsep Hanafiyah dalam memandang keabsahan akad musaqah untuk semua jenis tanaman kategori pohon, tidak untuk selainnya. Mereka sama-sama menetapkan syarat, bahwa pohon ini harus berjenis pohon buah. Kategori pohon buah yang dimaksud di sini adalah seperti pohon pala, apel dan aprikot," (Ibn Qudamah, Al-Mughny libni Qudamah, [Damaskus, Dárul Fikr: tt], juz III, halaman 393).


Dalil yang dipergunakan oleh kalangan Hanabilah adalah hadits dengan sanad Ibnu Umar radhiyallahu anhuma:


أعطى النبي صلى الله عليه وسلم خيبر اليهود: أن يعملوها ويزرعوها، ولهم شطر ما يخرج منها


Artinya, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan akad musaqah dengan kaum Yahudi ahli Khaibar, yaitu: agar mereka mengelolanya, menanaminya, dan bagi mereka bagi hasil sebesar bagian tertentu dari hasil panen tanaman," (HR Bukhari dengan Nomor Hadits 4002). 


Diksi 'â-ma-la di dalam hadits ini merunjuk pada pengelolaan akad musaqah pada jenis tanaman buah. Oleh karena itu pula, akad musâqah dalam mazhab Hanbali juga sering disebut dengan istilah akad mu'âmalah. Kedua istilah itu terbentuk karena kebiasaan penyebutan akad musâqah oleh penduduk Khaibar sebagai akad muâmalah.


Ibnu Qudamah lebih lanjut menjelaskan bahwa:

 

فَأَمَّا مَا لاَ ثَمَرَ لَهُ مِنَ الشَّجَرِ كَالصَّفْصَافِ وَالْحَوَرِ وَنَحْوِهِمَا، أَوْ لَهُ ثَمَرٌ غَيْرُ مَقْصُودٍ كَالصَّنَوْبَرِ وَالأَْرْزِ فَلاَ تَجُوزُ الْمُسَاقَاةُ عَلَيْهِ لأَِنَّهُ لَيْسَ بِمَنْصُوصٍ عَلَيْهِ وَلاَ فِي مَعْنَى الْمَنْصُوصِ


Artinya: "Adapun pohon yang tidak memiliki buah, seperti pohon shafshaf (Dedalu/Gandarusa), Aspen (Genus Populus), dan sejenisnya, atau pohon yang memiliki buah, namun buahnya tidak bisa dimanfaatkan (sehingga bukan menjadi bagian pokok yang dituju lewat akad bagi hasil musaqah), misalnya seperti cemara, padi-padian, maka tidak boleh mempergunakan akad musaqah dalam muamalahnya, sebab pohon itu bukan termasuk yang manshush (ditetapkan oleh nash), atau memiliki manfaat yang semakna dengan pohon yang manshush." ((Ibn Qudamah, Al-Mughny libni Qudamah, [Damaskus, Dárul Fikr: tt], juz III, halaman 394).


Adapun alasan ('illat) yang dipergunakan oleh kalangan Hanabilah lewat pernyataan Ibn Qudamah adalah sebagai berikut:


وَلأَِنَّ الْمُسَاقَاةَ إِنَّمَا تَكُونُ بِجُزْءٍ مِنَ الثَّمَرِ، وَهَذَا لاَ ثَمَرَةَ لَهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مِمَّا يُقْصَدُ وَرَقُهُ كَالتُّوتِ وَالْوَرْدِ، فَالْقِيَاسُ يَقْتَضِي جَوَازَ الْمُسَاقَاةِ عَلَيْهِ؛ لأَِنَّهُ فِي مَعْنَى الثَّمَرِ وَلأَِنَّهُ نَمَاءٌ يَتَكَرَّرُ كُل عَامٍ وَيُمْكِنُ أَخْذُهُ وَالْمُسَاقَاةُ عَلَيْهِ بِجُزْءٍ مِنْهُ فَيَثْبُتُ لَهُ مِثْل حُكْمِهِ

 

Artinya, "Karena akad musaqah hanya bisa diterapkan pada jenis pohon buah, maka untuk jenis pohon tanpa buah, namun tujuan produksi pohon tersebut adalah diambil daunnya, semisal daun cherry, atau bunganya, pada bunga mawar, maka qiyas bisa diterapkan untuk kebolehan akadnya karena alasan, 1) daun dan bunga menempati maqam buah (sama-sama menjadi tujuan produksinya), 2) dapat berproduksi secara berulang kali setiap tahunnya, dan 3) bisa ditetapkan kadar bagian masing-masing. Walhasil, hukum akad musaqah dengan obyek tanaman produksi berupa daun atau bunga hukumnya menjadi tsubut atau tetap," (Ibn Qudamah, Al-Mughny libni Qudamah, [Damaskus, Dárul Fikr: tt], juz V, halaman 394).


Simpulan dari kajian akad musaqah versi mazhab hanbali ini adalah:

 

1.    Akad musaqah hanya bisa diterapkan pada tanaman yang berumur panjang dan berjenis tanaman buah atau yang semakna dengan buah, seperti diproduksi untuk diambil daunnya atau bunganya. Dengan demikian, karet yang diambil getahnya juga dapat diqiyaskan dengan daun dan buah.


2.    Tanaman terdiri atas jenis tanaman menahun dan dapat berproduksi secara berulang.


3.    Meski suatu tanaman dapat memproduksi buah, tetapi apabila buah tersebut bukan yang dituju dalam proses produksi, maka tanaman tersebut bukan termasuk jenis tanaman yang bisa diambil akad musaqah.


4.    Meski tanaman itu dapat berproduksi secara berulang, tetapi bila tanaman tersebut bukan tanaman menahun, maka ia bukan termasuk jenis tanaman yang dapat diambil akad musaqahnya.


5.    Meski suatu tanaman berusia menahun, namun karena habis sekali panen saja, maka tanaman itu bukan termasuk jenis yang bisa diambil akad musaqahnya. Wallahu a’lam bis shawab. []


Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Selasa, 29 Desember 2020

(Do'a of the Day) 14 Jumadil Awwal 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma laqhan laa 'aqiimaa.

 

Ya Allah, jadikanlah angin ini membawa air hujan, bukan angin yang gersang.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 7, Bab 6.

Yudi Latif: Melampaui Tahun Ketakutan

Melampaui Tahun Ketakutan

Oleh: Yudi Latif

 

Hampir sepanjang tahun kehidupan kita diselimuti kabut ketakutan. Gairah dan jelajah rutinitas perayaan hidup mendadak terpuruk dihantui penularan wabah korona. Situasi makin menakutkan tatkala merebaknya virus ”patologi biologis” itu hadir dalam jaringan kehidupan bangsa yang telah terlebih dahulu tercekam oleh penyebaran virus ”patologi sosial”.

 

Wabah patologi sosial itu ditandai oleh memudarnya rasa saling percaya sesama warga bangsa yang ditimbulkan oleh berbagai kecemasan. Mereka yang marjinal secara kultural cemas akan diskriminasi etnis-budaya-agama-jender.

 

Mereka yang marjinal secara politik cemas akan ketidaksetaraan akses sumber daya terhadap kekuasaan dan perlakuan hukum. Mereka yang marjinal secara ekonomi cemas akan meluasnya kesenjangan ekonomi serta ketidaksetaraan dalam akses permodalan, kesempatan kerja dan berusaha.

 

Berbagai bentuk kecemasan itu meletupkan ketegangan saling mendiskreditkan di ruang publik, yang menambah tingkat kepelikan dan kengerian dalam menghadapi penularan Covid-19.

 

Sebagian dari ketakutan itu memang memiliki dasar obyektivitas yang perlu solusi efektif. Namun, selebihnya sering kali hanya realitas distortif sebagai ”hantu” hiper-realitas yang dibesar-besarkan. Terorisme memang ancaman nyata yang pantas ditakuti. Namun, mencemaskan kemenangan pasangan tertentu sebagai kemenangan pendukung ”khilafah”, atau kemenangan pasangan lain sebagai kebangkitan ”komunisme”, adalah hantu ketakutan yang diciptakan sendiri.

 

Demokrasi tanpa ”trust”

 

Seperti diingatkan Martha C Nussbaum dalam The Monarchy of Fear, berbagai gejala ketakutan itu acap kali berkelindan dengan meledaknya emosi kemarahan, pengambinghitaman, dan kecemburuan. Di bawah hantu ketakutan, orang-orang dikategorisasikan secara sewenang-wenang ke dalam bagian dari kelompok kami atau kelompok mereka.

 

Mereka yang mencoba mengembangkan jalan rasional-imparsial dengan melihat realitas dari berbagai perspektif, sebagai jembatan mediasi konstruktif, dirobohkan dari kedua sisi. Dengan demikian, ”hantu ketakutan kerap kali mencekal semangat deliberasi rasional, meracuni harapan, dan menghambat kerja sama konstruktif bagi masa depan lebih baik”.

 

Di bawah hantu ketakutan, kesulitan untuk menyelesaikan sumber masalah sering kali menggoda elite dan kubu politik untuk mengambil solusi jalan pintas dengan menciptakan kambing hitam. Yahudi jadi kambing hitam Nazisme, imigran jadi kambing hitam populisme.

 

Hantu ketakutan juga bisa mengarah pada politisasi hukum oleh suatu tekanan massa yang dijadikan dalih otoritas politik. Hal ini bisa saja mengarah pada perlakuan hukum secara tebang pilih atau secara tak proporsional terhadap seseorang yang dianggap sebagai biang kerok. Dan semakin hukum tak diperlakukan secara proporsional, semakin meluas gejala ketakutan, peng-kutuban, kebencian, dan ketidakpercayaan di masyarakat.

 

Berbeda dengan sistem pemerintahan monarki di mana kekuasaan berbasis ketundukan mutlak dari rakyatnya, tanpa perlu legitimasi kepercayaan. Dalam demokrasi, baik relasi vertikal (antara pemimpin dan rakyat) maupun secara horizontal (sesama penyelenggara negara dan sesama rakyat) mengandaikan adanya rasa saling percaya.

 

Demokrasi tanpa trust bisa berbalik arah menuju anarki berujung tirani. Berbagai gejala ketakutan yang menghantui kehidupan publik memudarkan rasa saling percaya di tengah masyarakat. Sebab utama pudarnya rasa saling percaya itu tak bersumber dari ”sisi-permintaan” (demand-side) seperti sering didalihkan para politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, dan kurangnya kesadaran politik.

 

Sebaliknya bersumber dari ”sisi-penawaran” (supply-side); dari ketidakmampuan aktor-aktor politik membangkitkan kepercayaan rakyat. Sekali ada aktor politik yang dapat dipercaya, optimisme dan kepercayaan warga pada politik kembali menguat.

 

Menurut Donna Zajonc, dalam The Politics of Hope, untuk membangkitkan politik harapan suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisme menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Tahap pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik.

 

Tahap kedua, mencapai suatu pemimpin yang mendominasi dan memarjinalkan orang lain. Tahap ketiga, peluang yang dimungkinkan demokrasi tak membuat rakyat berdaya, justru membuatnya apatis.

 

Pada tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis, dengan cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan melayani kepentingan publik dengan menerobos batas-batas politik lama.

 

Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberi inspirasi keteladanan yang memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya keterlibatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama.

 

Kehadiran pemimpin publik yang sadar pada gilirannya memerlukan dukungan transformasi kelembagaan politik. Desain institusi politik yang menekankan rekrutmen elite kekuasaan pada sumber daya alokatif (kekuatan finansial dan privilese sosial) ketimbang sumber daya otoritatif (kapasitas-karakter) menyempitkan kesempatan orang- orang kapabel tepercaya memainkan peran politik.

 

Padahal, terdapat sejumlah pengalaman empiris begitu parpol memberikan kesempatan kepada figur kapabel tepercaya untuk diusung jadi pemimpin politik, prestasi kepemimpinannya menggembirakan dan kepercayaan rakyat ke politik pulih kembali.

 

Untuk memulihkan kepercayaan rakyat pada politik diperlukan lebih dari sekadar pemimpin yang baik, melainkan pemimpin dengan kekhasan eksentrisitas, yang mengindikasikan kekuatan karakter, kebesaran jiwa, dan keliaran visi perubahan. Pemimpin yang tak peduli bagaimana bisa dipilih ulang, melainkan memedulikan bagaimana keterpilihannya dijadikan pintu masuk bagi dekonstruksi dan rekonstruksi tata kelola pemerintahan secara sistemik.

 

Semua itu memerlukan proses demokratisasi internal dalam parpol berdasarkan prinsip-prinsip meritokrasi dalam semangat kemandirian, persatuan, dan keadilan. Dalam kaitan ini, kita harus belajar dari sejarah dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

 

Setahun sebelum pendulum sejarah revolusi berayun pada 1965, Bung Karno seperti merasakan titik genting yang menghadang bangsa. Pidato kenegaraannya pada hari kemerdekaan 17 Agustus 1964 bertajuk ”Tahun Vivere Pericoloso”, tahun menyerempet bahaya. Seraya mengingatkan tentang ranjau revolusi, ia pun menekankan pentingnya keberanian menghadapi krisis serta kemandirian sebagai fondasi demokrasi.

 

Tentang sumber ancaman revolusi, ia menuding kekuatan-kekuatan reaksioner dan apa yang disebutnya ”syaitan multiparty system”. Bukannya dia membenci partai politik yang, menurut dia, justru berjasa mempersiapkan dan mengemban revolusi. ”Yang tidak aku sukai,” ujarnya, ”adalah praktek-praktek yang menunggangi partai-partai politik untuk memperkaya diri atau untuk melampiaskan ambisi-ambisi perseorangan yang lobatama.”

 

Tentang ketahanan menghadapi krisis ia katakan, ”Paceklik 1962 dan Paceklik 1963 tidak membuat Indonesia ambruk ekonomis, apalagi 1964, di mana panen kita di mana-mana berhasil baik, Indonesia tidak akan ambruk!... Bersama-sama Rakyat Indonesia, kita akan pecahkan segala kesulitan-kesulitan itu, bersama-sama kita akan ganyang segala kesulitan-kesulitan itu. That’s what the revolution is for! Justru itulah tugas Revolusi: memecahkan kesulitan-kesulitan, melenyapkan segala rintangan-rintangan.”

 

Tentang fondasi keberlangsungan demokrasi, ia ingatkan bahwa, ”Untuk membangun satu negara yang demokratis, maka satu ekonomi yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka, tak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tak mungkin kita mendirikan negara, tak mungkin kita tetap hidup.” Dan untuk kemandirian ekonomi tersebut, Bung Karno bertekad, ”Sejak 17 Agustus 1964 ini saya menghendaki kita tidak akan membikin kontrak baru lagi pembelian beras dari luar negeri.”

 

Politik responsive

 

Resonansi pesan Bung Karno tersebut terasa bergema relevansinya di pengujung 2020, sebagai reinkarnasi ”tahun vivere pericoloso”. Betapa tidak, baru saja bangsa Indonesia mulai pulih dari krisis ekonomi yang lalu dan keluar dari jebakan kelas menengah bawah, seketika muncul krisis ekonomi baru sebagai imbas pandemi Covid-19.

 

Dalam pada itu, rangkaian pilkada yang berlangsung pada tahun ini, dalam aroma ”syaitan multiparty system” yang boros dan narsistik, dengan iklim kompetisi politik yang mahal, bisa melambungkan ongkos politik yang bisa mengarah pada ledakan korupsi dan perekonomian berbiaya mahal.

 

Dalam kontras antara keborosan politik dan paceklik perekonomian, mungkinkah demokrasi dikonsolidasikan? Pertanyaan ini mengusik hati karena David Morris Potter pernah menyatakan bahwa demokrasi paling cocok bagi negara-negara yang menikmati surplus ekonomi, dan kurang cocok bagi negara dengan ketidakcukupan ekonomi.

 

Pernyataan ini bukanlah dalih untuk kembali ke jalan otoritarianisme, melainkan menjadi peringatan bagi para elite politik bahwa dalam krisis ekonomi kerap kali muncul arus balik aspirasi otoritarianisme. Dan untuk mengamankan kelangsungan demokrasi, para elite politik dituntut untuk mengembangkan politik yang lebih bertanggung jawab.

 

Politik yang responsif senantiasa menyadari bahwa politik bukan sekadar proyek perebutan kekuasaan lewat rutinitas pemilu. Politik responsif adalah politik yang menyadari peran transformatif kekuasaan dalam merealisasikan visi dan misi negara dengan mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesewenang- wenangan mengambil kebijakan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat atas pemerintah.

 

Perwujudan visi dan misi negara itu berangkat dari realitas sosio-historis Indonesia sebagai masyarakat pascakolonial yang bercorak feodalistis, kapitalistis, kolonialistis, dan imperialistis yang diskriminatif, segregatif, dan represif. Oleh karena itu, proyek emansipasi dan cakupan transformasi sosial dari visi negaranya bersifat multikompleks, meliputi transformasi nasional, politik, ekonomi, sosial dan budaya menuju bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui perwujudan tatanan sosial-politik yang bersifat inklusif.

 

Singkat kata, untuk mengubah politik ketakutan menjadi politik harapan, kita memerlukan politik pembangunan yang sanggup mengembangkan inklusi budaya, inklusi politik, dan inklusi ekonomi. Untuk itu diperlukan pembangunan tata nilai (mental-spiritual-karakter), tata kelola (institusional-politikal), dan tata sejahtera (material-teknologikal). Pengembangan ketiganya perlu keandalan tiga agen sosial: rezim pendidikan dan pengetahuan, rezim politik-kebijakan, rezim ekonomi-produksi.

 

Prioritas rezim pendidikan dan pengetahuan adalah membenahi aspek mental-spiritual-karakter dengan memperkuat penanaman nilai-nilai kewargaan inklusif dalam kerangka pendidikan budi pekerti. Budi mengandung arti ’pikiran, perasaan dan kemauan’ (aspek batin); pekerti artinya ’tenaga’ atau ’daya’ (aspek lahir).

 

Pendidikan budi pekerti mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan, dan tekad-kemauan manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat melahirkan penciptaan dan perbuatan yang baik, benar, dan indah. Dari sini diharapkan lahir generasi baru Indonesia berakhlak mulia dan kreatif dengan jiwa merdeka.

 

Prioritas rezim politik-kebijakan adalah menata ulang sistem demokrasi dan pemerintahan dalam kerangka memperkuat persatuan nasional dan keadilan sosial. Untuk itu, berbagai desain institusi demokrasi dan pemerintahan harus ditinjau ulang. Praktik politik tak dibiarkan sekadar perjuangan kuasa demi kuasa, tetapi harus mengemban substansi politik dalam rangka menghadirkan berbagai kebijakan yang andal demi memenuhi visi dan misi negara.

 

Kebijakan politik harus merespons tantangan perbaikan tata kelola budaya (mental-spiritual-karakter), tata kelola sumber daya material dan teknologi, serta tata kelola demokrasi dan pemerintahan. Untuk itu diperlukan revitalisasi haluan negara sebagai pedoman direktif kebijakan dasar negara.

 

Prioritas rezim ekonomi-produksi adalah mengembangkan semangat tolong-menolong (kooperatif) dalam perekonomian. Politik anggaran harus lebih berorientasi kesejahteraan umum. Kemampuan negara menguasai dan mengelola kekayaan bersama serta cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak harus disehatkan.

 

Mata rantai produksi dari hulu ke hilir jangan sampai terkonsentrasi di satu tangan. Kemakmuran dan pemerataan ekonomi bisa didorong melalui pengembangan kewirausahaan yang dibekali penguasaan teknologi, dengan memprioritaskan pengembangan teknologi berbasis potensi dan karakteristik keindonesiaan.

 

Daripada kehidupan bangsa terus dibayangi ketakutan dengan gairah saling menyalahkan, lebih baik energi nasional dikerahkan untuk mengatasi akar-akar masalah bangsa. Tiada bangsa yang dikecualikan dari cobaan kehidupan, setiap bangsa yang sintas selalu bisa menemukan sisi positif dalam segala peristiwa bahkan dalam waktu terburuk. []

 

KOMPAS, 23 Desember 2020

Yudi Latif | Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.