Jumat, 29 November 2019

(Do'a of the Day) 02 Rabiul Akhir 1441H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Rabbanaaa innaka ta’lamu maa nukhfii wa maa nu’linu; wamaa yakhfaa ‘alallaahi min syai-inn fil ardhi wa laa fissamaaa-i

Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami perlihatkan; dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.

Dari QS. Ibrahim, Juz 13, Surat ke-14, Ayat 38.

(Khotbah of the Day) Haramnya Khamr dan Ancaman bagi Peminumnya


KHUTBAH JUMAT
Haramnya Khamr dan Ancaman bagi Peminumnya

Khutbah I

اَلْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ مَنَعَنَا بِالتَّعَاوُنِ عَلَى اْلِإثْمِ وَالْعُدْوَانِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الدَّيَّانْ، وَأَشْهَدُ أَنَّ محمدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ إِلَى سَائِرِ الْعَرَبِ وَالْعَجَم، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مَنْ اَثْنَى اللهُ عَلَيْهِ بِخُلُقٍ حَسَن، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَان. أما بعد

فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ. فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ

وقال تعالى في كتابه الكريم، يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ

Ma’asyiral hadhirin, jamaah jumat hafidhakumullah, Saya berwasiat kepada pribadi saya sendiri, juga kepada hadirin sekalian. Marilah kita senantiasa meningkatkan takwa kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan berusaha melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Semoga kita kelak dimasukkan surga Allah bersama orang-orang yang bertakwa, amin.

Hadirin hafidhakumullah,

Allah SWT berfirman di dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 219:

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ

"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang minuman keras dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.’ Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, ‘Kelebihan (dari apa yang diperlukan).’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan." Allah SWT juga telah berfirman dalam QS Al-Maidah [5] ayat 90:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung."

Pada ayat terakhir di atas, Allah SWT secara tegas menyatakan bahwa tindakan meminum khamr, berjudi, undi nasib, adalah bagian dari perilaku setan. Untuk itu perilaku itu disebut sebagai rijsun (najis/keji), seiring setan senantiasa hendak berbuat menjerumuskan manusia ke dalam lembah kehinaan. Maka dari itu, orang yang meniru perilaku setan, dianggap sebagai orang yang hendak menjerumuskan dirinya sendiri dalam lembah kehinaan (rijsun) tersebut. Salah satunya adalah melalui khamr, judi, dan sebagaimana digambarkan dalam ayat tadi.

Sahabat Abdullah ibn Umar radliyallahu 'anhu, suatu ketika dawuh:

روي عن رسول الله صلي الله عليه وسلم : ( أنه يؤتي بشارب الخمر يوم القيامة مسوداً وجهه ، مزرقة عيناه ، متدلياً لسانه علي صدره ، يسيل بساقه مثل الدم ، يعرفه الناس يوم القيامة)

Artinya: "Diriwayatkan dari Baginda Nabi SAW, Sesungguhnya kelak para peminum khamr akan dihadirkan di hari kiamat kelak, dengan wajah yang menghitam, kedua bola matanya pucat, lidahnya terjulur hingga ke dadanya, dari kedua betisnya mengalir sesuatu yang seumpama darah. Mereka akan dipertontonkan dan dilecehkan di hadapan manusia."

Maka dari itulah kemudian Baginda Nabi memberikan peringatan:

فلا تسلموا عليه ، ولا تعودوه إذا مرض ، ولا تصلوا عليه إذا مات ، فإنه عند الله سبحانه وتعالي كعابد الوثن

Artinya: "Jangan kau mengucapkan salam padanya. Jangan menjenguknya ketika ia sakit. Jangan menshalatinya ketika ia mati. Karena sesungguhnya mereka disisi Allah, kedudukannya seperti penyembah berhala."

Bagaimana mau diucapkan salam? Padahal salam adalah doa keselamatan, sementara peminum khamr memilih untuk dirinya ketidakselamatan.

Bagaimana mau dijenguk? Lha wong sakitnya itu sudah dibuatnya sendiri sebab kebiasaannya minum khamr.

Bagaimana mau dishalati, sementara ia menerjang larangan dari Allah dari meminum khamr.

Larangan dari Rasulullah SAW untuk tidak mengucap salam kepada syaribul khamri (peminum minuman keras), termasuk pula larangan menjenguknya ketika sakit, dan larangan menshalatinya, adalah suatu bentuk sanksi. Sanksi ini jangan dipahami sebagai sebuah kebencian. Akan tetapi sanksi itu mesti dipahami sebagai sebuah pendidikan. Pendidikan kepada masyarakat dari Baginda Nabi Besar Muhammad SAW.

Ada banyak sanksi yang disampaikan untuk syaribul khamri dalam kitab-kitab fiqih. Misalnya adalah klasifikasi sah tidaknya tasharuf para syaribul khamri tersebut. Untuk syaribul khamri pemula, yang mabuk bukan karena kemauannya sendiri maka ucapan talaknya saat kondisi mabuk, masih dihukumi tidak jatuh, dan jual belinya masih dihukumi tidak sah.

Untuk syaribul khamri yang profesional, ucapan talak atau akadnya saat kondisi mabuk dihukumi sebagai sah.

Mengapa ada pembedaan? Itulah salah satu bentuk syariat dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat. Ada jenjang dan tahapannya. Kesalahan yang dilakukan di awal, masih dima'fu. Tapi, kalau sudah sering melakukan kesalahan berupa minum khamr, maka langsung syariat memutuskan sanksinya.

Dalam hadits di atas juga disebutkan bahwa syaribul khamri adalah seperti penyembah patung. Penjelasan dari ini sebenarnya berangkat dari sebuah pengakuan hukum bahwa hukumnya syaribul khamri, sedikit atau banyak khamr yang diminum, hukumnya adalah haram.

Haram ini yang menetapkan adalah nash Al-Qur'an dan al-hadits. Ijma' ulama juga menyatakan sebagai haram. Padahal berlaku kaidah, sebagaimana disampaikan oleh al-Faqih al-Qadli Nashr ibn Muhammad ibn Ibrahim Al Samarqandy dalam kitabnya Tanbihul Ghafilin, shahifah 53:

وإجمع المسلمون أن شرب المسكر حرام قليله وكثيره فإذا استحل ما هو حرام بالإجماع صار كافرا

Sidang jumat yg berbahagia:

Al khamru muskirun. Khamr itu bersifat memabukkan. Artinya illat hukum diharamkannya khamr karena sifat memabukkannya. Untuk itu, diambil qiyas, bahwa: kullu muskirin haramun ka harami khamrin.

Dengan demikian, melihat asalnya barang yang memabukkan adalah tidak hanya berasal dari sebuah minuman, melainkan juga berupa barang lain yang bisa dimakan, dihirup, dihisap atau disuntikkan, maka semua barang yang bisa mengundang mabuk, maka hukumnya adalah sama dengan khamr.

Baik itu barang racikan atau barang masakan, asalkan dia punya ciri memabukkan, maka ia dihukumi sebagai haram. Akhir dari khutbah, ada sebuah maqalah yang disampaikan dari pemahaman dawuh Sayyidina Utsman bin Affan radliyallahu anhu:

إن شارب الخمر إذا سكر يجري علي لسانه كلمة الكفر ويتعود لسانه بذالك ويخاف عند موته أن يجري علي لسانه كلمة الكفر فيخرج من الدنيا علي الكفر فيبقي في النار أبدا

Artinya: Sesungguhnya, peminum arak, saat ia mabuk, maka lisannya akan cenderung mengucap dengan ucapan-ucapan kufur. Akhirnya lisannya menjadi terbiasa karenanya. Karenanya, baginya sangat dikhawatirkan, saat mati lalu lisannya mengucap ucapan-ucapan kufur. Lalu ia keluar dari dunia dalam kondisi kufur. Akhirnya nerakalah tempat kekal baginya."

Sungguh, kita berlindung kepada Allah SWT, dari mati suul khatimah. Mati dalam kondisi kekufuran sehingga diakhirat mendapat adzab api neraka! Naudzu billah tsumma naudzu billah.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَجَعَلَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاِت وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. إِنَّهُ هُوَ البَرُّ التَّوَّابُ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ. أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيْم، بسم الله الرحمن الرحيم، وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣) ـ وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرّاحِمِيْنَ ـ

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ، وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ


Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudhu’iyah – PW LBMNU Jawa Timur.

Pandangan KH Wahab Chasbullah soal Perbudakan


Pandangan KH Wahab Chasbullah soal Perbudakan

Sejumlah pandangan terkait hukum Islam disampaikan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) dalam sidang Dewan Konstituante pada 1957. Pada rentang tahun 1956-1959, memang terjadi perdebatan hangat dalam rapat Majelis Konstituante untuk menentukan dasar negara. Pada masa ini terjadi perdebatan alot antara tiga faksi (kubu) terkait dengan unsur yang ingin dijadikan sebagai dasar negara.

Pertama ialah Faksi Pancasila yang sama sekali Piagam Jakarta dalam dasar negara. Kedua Faksi Islam (NU termasuk di kubu ini) yang menginginkan piagam Jakarta tidak dihilangkan secara serta merta, dan ketiga kubu ekonomi sosialis demokrasi yang menginginkan dasara negara sosialis.

Bahkan di tubuh faksi Islam secara formal menginginkan Islam menjadi dasar negara. Meskipun NU ada di kubu ini, organisasi para kiai tersebut tidak ingin Islam secara partikular dijadikan dasar negara. Hal itu justru menyempitkan nilai-nilai ajaran Islam, karena posisi agama di atas dasar negara. Maka dari itu, sudah selayaknya Islam menjiwai dasar negara.

Keinginan kubu sekuler yang ada di faksi Pancasila (PNI, PKI, Republik Proklamasi, PSI, Parkindo, dan lain-lain) hanya menginginkan Pancasila tanpa dijiwai oleh nilai-nilai Islam dalam Piagam Jakarta, inilah yang ditolak NU. Sedangkan NU sendiri tidak menolak Pancasila dan UUD 1945 jika tetap dijiwai oleh nilai-nilai agama Islam yang termaktub dalam Piagam Jakarta.

Selain soal hukum potong tangan, Kiai Wahab Chasbullah juga memaparkan terkait masalah perbudakan: Soal perbudakan ini bukan made in Islam. Untuk kerajaan Yunani dan seluruh dunia, di seluruh negara, pasar penuh ramai dengan perbudakan, di mana saja sekalipun di Moskow. Hanya di Moskow diberantas dalam abad yang terakhir ini.

Waktu di Moskow ada kerajaan Iskandar II baru diberantas dalam terori praktik tetap, tapi ganti nama. Mengenai soal perbudakan ini, sebetulnya siapa orang yang suka menjadi budak? Yang dijadikan budak sebenarnya ialah boyongan (tawanan), boyongan orang perang, mana yang kalah diboyong, orang yang diboyong itu dijadikan budak.

Sekarang nama boyong itu hamba tidak ada, tetapi di mana ada sikap orang memboyong, maka terhadap boyongannya tetap menganggap budak yang tidak mempunyai hak sebagai orang yang merdeka.

Perbudakan ini juga merajalela di tanah Arab. Setelah Rasulullah dilahirkan di Arab dan melihat keadaan itu, Rasul hingga umur 40 tahun diberi Wahyu menjadi Nabi. Wahyu pertama untuk iman, kedua untuk memberitahukan kepada kawan, ketiga untuk memberantas perbudakan.

Seketika itu Nabi Muhammad memerdekakan budaknya yang bernama Haris bin Halifah sehingga sesudah merdeka menjadi sekretaris pribadi Nabi. Sahabat-sahabat Nabi yang membeli budak dengan susah payah, berturut-turut memerdekakan budak-budaknya.

Dari keterangan tersebut menunjukkan bahwa perbudakan bukan made in Islam. Islam sangat menganjurkan kepada pemerintah supaya perbudakan dibasmi dari dunia ini. 

Karena itu, kita bisa menentukan bilamana negara kita berdasar Islam, sudah menetapkan Undang-Undang. Andaikata Undang-undang menjelaskan tentang pembasmian perbudakan, sudah pasti orang yang menghilangkan perbudakan akan mendapat pahala sebesar-besarnya dari Allah, karena ia telah melaksanakan anjuran dan perintah Allah dan sudah pasti dengan itu akan menjadi Baldatun thayyibatun warabbun ghaffur. Karena melaksanakan anjuran Allah dan perintah Allah mesti jadi begitu. (Abdul Mun’im DZ, KH Abdul Wahab Chasbullah: Kaidah Berpolitik dan Bernegara, 2014: 29-31)

Baldatun thayyibatun warabbun ghaffur, yaitu bangsa yang subur dan makmur, adil dan aman yang diridhoi Tuhannya merupakan titik tekan Kiai Wahab Chasbullah dalam pidato itu pada Sidang Pleno Majelis Konstituante 3 Desember 1957. Tujuan agung pendirian negara tersebut tidak bisa dicapai ketika hanya menjadikan Islam secara formal sebagai dasar negara. Islam harus menjadi jiwa.

NU tidak sepakat menerapkan secara formal Piagam Jakarta ke dalam dasar negara di sidang pleno Majelis Konstituante, seperti yang dikehendaki kelompok Islam lain seperti Masyumi, PSII, Perti, dan lain-lain. Maka jalan tengahnya adalah Piagam Jakarta menjadi jiwa dan semangat UUD 1945.

Jalan tengah yang diberikan oleh NU disambut baik oleh Presiden Soekarno yang atas usul Jenderal Abdul Haris Nasution negara harus kembali kepada Pancasila dan UUD 1945. Sebab itu, harus dilakukan Dekrit Presiden secara konstitusional. Resisten terhadap kelompok Islam tidak terjadi ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959 karena dasar negara telah dijiwai oleh Piagam Jakarta.

Dalam hal ini, NU berhasil memberikan pemahaman Islam secara substansial dalam sistem berbangsa dan bernegara, bukan Islam partikular yang menginginkan formalisasi Islam ke dalam sistem bernegara. []

(Fathoni)

(Ngaji of the Day) Bangkai Serangga di Pakaian atau Sajadah, Apakah Membatalkan Shalat?


Bangkai Serangga di Pakaian atau Sajadah, Apakah Membatalkan Shalat?

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum wr. wb. Yang mulia para guru redaksi NU, saya ingin bertanya mengenai bangkai/sayap laron ataupun serangga yang sejenis dengan itu, apakah itu termasuk najis yang mutlak dimaafkan di segala tempat; dan jika bangkai/sayap laron tersebut menempel di pakaian/sajadah saat kita shalat, apakah shalat kita tetap sah? Mohon penjelasannya, terima kasih.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh. Terima kasih atas pertanyaannya, semoga Saudara senantiasa diberi keistiqamahan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Sebelumnya patut dipahami terlebih dahulu bahwa najis secara umum terbagi menjadi empat kategori. Pembagian najis ini, secara lugas dijelaskan dalam kitab Hasyiyah asy-Syarqawi berikut ini:

واعلم أن النجاسة أربعة أقسام: قسم لا يعفى عنه مطلقاً وهو معروف، وقسم عكسه وهو ما لا يدركه الطرف، وقسم يعفى عنه في الثوب دون الماء وهو قليل الدم لسهولة صون الماء عنه، ومنه أثر الاستنجاء فيعفى عنه في البدن، والثوب المحاذي لمحله خلافاً لابن حجر، وقسم عفي عنه في الماء دون الثوب وهو الميتة التي لا دم لها سائل حتى لو حملها في الصلاة بطلت

“Ketahuilah bahwa najis terbagi menjadi empat macam. Pertama, najis yang tidak ditoleansi (ma’fu) secara mutlak. Najis ini sudah dapat diketahui secara umum. Kedua, najis yang ditoleransi secara mutlak. Najis ini adalah najis yang tidak dapat dijangkau pandangan mata. Ketiga, najis yang ditoleransi ketika terdapat di badan, tapi tidak ketika terdapat di air. Najis ini misalnya seperti darah yang sedikit, sebab mudahnya menjaga air dari najis tersebut. Dan juga bekas istinja’, maka najis tersebut ditoleransi ketika terdapat di badan dan pakaian yang sejajar dengan tempat keluarnya najis. Namun, Ibnu Hajar berpandangan, najis tersebut tidak ditoleransi. Keempat, najis yang ditoleransi di air, tapi tidak di pakaian. Najis ini berupa bangkai yang tidak terdapat darah yang mengalir (ketika dipotong bagian tubuhnya), sehingga ketika seseorang membawa bangkai ini saat shalat, maka shalatnya menjadi batal” (Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim al-Azhari, Hasyiyah asy-Syarqawi, juz 1, hal. 277)

Berpijak pada referensi di atas, dapat dipahami bahwa bangkai laron serta bangkai hewan serangga yang lain termasuk dalam cakupan najis yang keempat, yakni najis yang ditolerir di air, tapi tidak di tolerir ketika berada di tubuh dan pakaian yang digunakan seseorang. Sehingga ketika seseorang sebelum shalat mengetahui adanya bangkai serangga yang hinggap di pakaian atau tubuhnya, maka wajib baginya untuk menghilangkan bangkai tersebut serta menyucikan pakaian dan tubuhnya yang terkena serangga dengan air, agar dapat kembali dihukumi suci. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka shalat yang dilakukan menjadi tidak sah. 

Berbeda halnya ketika seseorang tidak mengetahui atau lupa terhadap wujudnya bangkai serangga yang mengenai pakaiannya, lalu pakaian tersebut ia gunakan untuk shalat, setelah shalat selesai, ia baru mengetahui akan keberadaan bangkai serangga yang hinggap di pakaiannya. Dalam konteks ini, tentang apakah shalat wajib diulang atau tidak, para ulama berbeda pendapat. Perbedaan pendapat ini seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab berikut ini:

(فرع) في مذاهب العلماء فيمن صلى بنجاسة نسيها أو جهلها . ذكرنا أن الأصح في مذهبنا وجوب الإعادة وبه قال أبو قلابة وأحمد وقال جمهور العلماء : لا إعادة عليه , حكاه ابن المنذر عن ابن عمر وابن المسيب وطاوس وعطاء وسالم بن عبد الله ومجاهد والشعبي والنخعي والزهري ويحيى الأنصاري والأوزاعي وإسحاق وأبي ثور قال ابن المنذر وبه أقول , وهو مذهب ربيعة ومالك وهو قوي في الدليل وهو المختار .

“Cabang pembahasan yang menjelaskan beberapa pendapat ulama tentang orang yang shalat dengan membawa najis yang ia lupakan atau tidak diketahuinya. Kami menyebutkan bahwa sesungguhnya qaul ashah (pendapat yang cenderung lebih benar) dalam mazhab kita (mazhab Syafi’i) wajib mengulangi shalatnya. Pendapat demikian diikuti oleh Abu Qalabah dan Imam Ahmad. Mayoritas ulama berpendapat tidak wajib mengulangi shalatnya, pendapat demikian diungkapkan oleh Imam Ibnu Mundzir dari riwayat Sahabat Ibnu ‘Umar, Ibnu al-Musayyab Thawus, Atha’, Salim bin ‘Abdullah, Mujahid, Sya’bi, Nukho’i, Zuhri,Yahya al-Anshari, Auza’I, Ishaq, dan Imam Abi Tsur,.

Imam Ibnu Mundzir begitu juga aku (Imam Nawawi) berkata: ”Pendapat tidak wajibnya mengulangi shalat adalah pendapat Imam Malik. Pendapat ini kuat dari segi dalilnya dan merupakan pendapat yang terpilih” (Syarafuddin Yahya an-Nawawi, Al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 4, hal. 163)

Kedua pendapat yang ditampilkan dalam referensi di atas sama-sama kuat secara dalil, sehingga dapat dijadikan pijakan serta diamalkan.  

Sedangkan ketika bangkai serangga terdapat di bawah sajadah yang digunakan untuk shalat, maka bangkai tersebut tidak mempengaruhi terhadap keabsahan shalat, sebab dalam keadaan demikian seseorang tidak dianggap membawa ataupun bersentuhan dengan najis. 
Jika ternyata ketentuan hukum di atas, menurut sebagian orang dirasa cukup berat, maka sebagai solusi terakhir, kita dapat berpijak pada pandangan Imam Qaffal yang berpandangan bahwa bangkai serangga dan hewan-hewan lain yang tidak mengalirkan darah dihukumi suci. Berikut penjelasannya:

وقال القفال إن ميتة ما لا يسيل دمه طاهرة كالقمل والبراغيث والذباب اهـ فيجوز للإنسان أن يقلده في حق نفسه اهـ

“Imam Qaffal berkata: 'Sesungguhnya bangkai hewan yang tidak mengalirkan darah itu suci, seperti kutu, nyamuk, lalat. Maka boleh bagi seseorang mengikuti pendapat tersebut untuk pengamalan dirinya sendiri” (Ahmad al-Maihi as-Syaibini, Hasyiyah al-Maihi as-Syaibini ala Syarh as-Sittin Mas’alah li a-Ramli, hal. 106)

Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan di atas adalah bahwa bangkai laron dan serangga yang lain tidak dihukumi najis yang ma’fu (ditoleransi) secara mutlak, tapi hanya ma’fu ketika mengenai air saja. Sehingga, ketika bangkai tersebut mengenai pakaian ataupun tubuh seseorang, ia harus menyucikannya terlebih dahulu agar shalat yang dilakukan dapat dihukumi sah. Sedangkan ketika bangkai serangga diketahui keberadaannya setelah selesai melakukan shalat, maka dalam menyikapi wajib tidaknya mengulang shalat terdapat dua perbedaan pendapat di antara para ulama. 

Perincian hukum di atas, selain berlaku pada bangkai serangga, juga berlaku pada potongan tubuh serangga yang mengenai pakaian atau tubuh seseorang, misalnya seperti sayap, kepala dan bagian tubuh serangga yang lain. Hal ini berdasarkan hadits:

مَا قُطِعَ مِنْ حَيٍّ فَهُوَ مَيِّتٌ

“Sesuatu yang terpisah dari hewan yang hidup, maka statusnya seperti halnya dalam keadaan (menjadi) bangkai” (HR. Hakim).

Maka sebaiknya bagi kita lebih hati-hati sebelum hendak melaksanakan shalat, alangkah lebih baik jika sebelum shalat kita memperhatikan pakaian dan tubuh kita, apakah sudah bersih dari najis atau masih terselip najis yang menempel pada pakaian dan tubuh kita tanpa kita sadari. Sehingga shalat yang kita lakukan dapat benar-benar suci dari najis serta dapat dilaksanakan secara sempurna. Wallahu a’lam. []

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember