Jumat, 30 November 2012

Cak Nun: Supremasi Keselarasan - II


Supremasi Keselarasan – II

 

Mohon jangan salah sangka, ungkapan tentang Supremasi Keselarasan itu tadi sekedar titipan salah satu kado kepada Gatra dari guru saya, seorang Kiai yang bernama Kiai Alhamdulillah. Saya sekedar mentranskrip dan menyampaikan amanat itu kepada Gatra. Siapakah gerangan Kiai Alhamdulillah itu? Apa saudaranya Kiai Astaghfirullah, Kiai Subhanallah dan Kiai Masyaallah?

 

Ceritanya begini. Gatra saya kenal sejak ia lahir, 19 November 15 tahun silam. Saya juga mengenal orang-orang Gatra jauh sebelum Gatra lahir.

 

Tetapi semua itu pasti itu tidak membuat saya memiliki kompetensi ilmu, kredibilitas professional atau kepatutan budaya untuk berdiri di sini.

 

Saya merasa bahwa yang menjerumuskan Gatra agar tersesat menyuruh saya berpidato kebudayaan malam ini adalah 'sekedar' nilai persaudaraan dan kemanusiaan. Alhasil, sebenarnya saya kurang percaya diri menjalankan penugasan dari Gatra ini, sehingga saya memerlukan datang kepada Kiai Alhamdulillah untuk berkonsultasi, meminta restu, syukur ditiup-tiupkan kekuatan ke ubun-ubun saya.

 

Ternyata beliau memang sudah menyiapkan kado untuk Gatra. Begitu saya di terima, beliau langsung menyeret saya, didudukan di kursi, kemudian beliau omong panjang tentang Supremasi Keselarasan itu.

 

"Tolong disampaikan kepada Gatra sebagai kado dari saya" kata beliau.

 

Meskipun saya sangat bergembira karena dipercaya untuk menyampaikan titipan kado itu, sebenarnya saya tidak paham-paham amat isinya. Saya merespon sekedarnya, "Tapi isinya kok penuh pesimisme, Kiai?"

 

Beliau menjawab, "Alhamdulillah kado saya ini tidak ada hubungannya dengan pesimisme atau optimisme. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang menjalani hidup dengan tangguh tanpa terganggu oleh kecengengan yang bernama pesimisme atau optimisme..."

 

"Aduh saya kurang paham, Kiai", saya menyela.

 

"Alhamdulillah tidak masalah, tidak paham itu tidak dosa. Yang penting kau sampaikan saja kepada Gatra bahwa ulang tahunnya hari ini adalah ulang tahun yang sangat indah. Gatra berulang tahun tatkala kita semua sedang berada pada momentum zaman yang sangat menggairahkan. Terutama berkaitan dengan akan segera datangnya saat dimana Indonesia akan mengejutkan dunia. Dunia akan tampil dengan keindahan peradaban baru di bawah kepemimpinan Indonesia"

 

"Wah, optimis ya Kiai?" saya menyela lagi.

 

"Kamu cengeng" jawab Pak Kiai, "Watakmu kurang Indonesia. Orang Indonesia asli itu watak utamanya adalah nekad dan tidak perduli"

 

"Maksud saya, saya senang mendengar pernyataan Kiai yang terakhir tentang bangkitnya Indonesia..."

 

"Hari-hari ini tanda-tandanya mulai muncul dari berbagai arah" Kiai Alhamdulillah melanjutkan, "Perhatikan dahsyatnya kepemimpinan negaramu sekarang ini, amati mozaik penuh cahaya kebudayaan, kejujuran dan kelihaian manusia dan bangsanya, riuh rendah estetika demokrasinya, sebaran delapan penjuru angin pendidikan informasi persnya, progressifitas persekolahan dan kependidikannya, cakrawala amat luas cara pemelukan keagamaannya, kerendahan hati olahraganya, sopan santun pariwisatanya, serta yang utama tak terbendungnya fenomenologi pemikiran-pemikiran baru yang semakin maju melampaui garda-garda post modernisme. Akumulasi dari seluruh pergerakan dari sejarah dari nusantara itu akan tak bisa dielakan oleh semua masyarakat dunia bahwa Indonesia segera akan memimpin lahirnya peradaban baru dunia....."

 

"Maaf ya Pak Kiai, tadi kata sampeyan Hukum dan Keadilan mustahil ditegakkan, karena yang berlangsung selalu adalah Supremasi Keselarasan. Bagaimana mungkin dengan kondisi itu Indonesia bangkit memimpin dunia?"

 

"Jangan kawatir, nak" jawab beliau, "Yaumul Qiyamat pasti tiba. Yaum itu Hari, Qiyamat itu Kebangkitan. Hari Kebangkitan peradaban baru dunia yang dipimpin oleh Indonesia"

 

"Jadi benar akan Kiamat ya Kiai? Apakah itu yang di maksud dengan tahun 2012?"

 

"Jangan mendahului Tuhan, nanti malah di batalkan"

 

"Lha ya itu maksud saya, Kiai, kengerian 2012 itu kita omong-omongkan terus supaya Tuhan tersinggung sehingga membatalkan. Cuma masalahnya bagaimana dengan hukum, keadilan dan keselarasan itu, Kiai?"

 

Bayi Lahir Putra Ibu Pertiwi

 

Kiai Alhamdulillah tidak langsung menjawab pertanyaan saya itu. Ia diam memandang saya, kemudian berkata sangat serius dan pelan:

 

"Alhamdulillah tolong jangan potong saya sampai selesai, ini kado cinta sakral kepada Gatra" kata beliau. "Alhamdulillah manusia dan bangsa Indonesiamu itu berasal dari gen unggul, sehingga mereka lebih besar dan lebih tinggi dari hukum, keadilan dan keselarasan. Bangsa Indonesia tinggal membolak-balik tangan, segala sesuatu bisa diubah dan diatur.

 

Sebentar lagi bayi Indonesia akan segera lahir. Ibu pertiwi yang akan melahirkan, bayi itu sekarang sudah mengalami "bukaan-2", kalau bukaan sudah sampai ke-10, bayi akan lahir. Bayi itu bisa merupakan hasil total refresing dari anak bungsu Ibu Pertiwi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau bayi yang sama sekali baru.

 

Sangat tergetar hati saya menantikan kelahiran bayi itu, sebagaimana dulu air ketuban pecah pada 28 oktober 2008 kemudian lahir bayi pada 17 Agustus 1945 -- karena bangsa Indonesia tampaknya tergolong bangsa dengan peradaban tertua di muka bumi. Kalau bangsa Yahudi dan Arab yang sekarang menguasai keuangan dunia adalah keturunan kakek Ibrahim AS, bisa jadi Induk Bangsamu beberapa puluh atau ratus generasi sebelum itu.

 

Katakanlah mungkin sejak Javet alias Khawit atau Kawit putra Nuh AS, saudaranya Kan'nan, Hasyim, Habsyah dan Bustomah. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang lahir tahun 1945, bangsa Indonesia adalah bangsa yang melahirkan Negara Indonesia 1945. Bangsa Indonesia sudah sangat teruji melewati peradaban Lemorian dan Atlantis, Astinapura dan Mahabharata, tidak sekedar meninggalkan jejak di Somalia, jerman, Uruguay atau Madagaskar, juga tak sekedar melahirkan Ajisaka, Keling, Kaliswara, Kalakulilo, Kutai, Tarumanagara atau Salakanagara. Apalagi sekedar Singasari, Majapahit, Demak dan Mataram.

 

Berbagai kelompok generasi muda Indonesia saat ini sedang diam-diam melakukan penelitian dan eksplorasi sosial di kantung dan jaringan yang dunia media tidak memperhatikannya. Sebagian mereka sedang mempelajari situs-situs di dua pertiga bumi, dari Eropa, Amerika Latin, hingga Afrika, Cina, Rusia, terutama daratan luas dari yang sekarang di kenal sebagai jazirah Saudi hingga Irian Jaya, yang memaparkan sebagai identifikasi tentang siapa bangsa Indonesia sesungguhnya, dan mereka mampu menjelaskan lebih detail dari produk-produk ilmiah yang sejauh ini ada.

 

Sebagian yang lain sedang menekuni fakta-fakta Replikasi Tuhan ke Manusia ke peradaban, untuk mengetahui lebih persis bentuk kehancuran yang sedang berlangsung menuju puncaknya pada Peradaban ummat manusia mutakhir. Mereka menguji dan mengkaji kembali apa yang sesungguhnya terselenggara sejak Revolusi Industri. Mereka sedang mencari garis sambung antara /low-tech, /replikasi jasad, dan hingga ke regulasi

Negara, high-tech replikasi system-logic otak, automation assembly line, prinsip digital, 0 dan 1, real-number dan imaginary-number, Boolean Logic dan Fuzzy Logic, 8% dan 92% wilayah fungsi otak, komputer yang secanggih-canggihnya namun tak sedikitpun mampu membaca kerinduan, amarah, penasaran, sedih atau gembira dan semua itu coba ditemukan konstekstualitasnya dengan informasi-informasi langit: bagan struktur misbah zujajah, sistem kerja dinamis ruhullah, dzatullah, sifatullah, jasadullah, mahdloh dan fenomenologi kebudayaan muamalah.

 

Beruntunglah ummat manusia yang menghuni puncak Peradaban di abad 20-21 yang di temani oleh wahyu Tuhan. Sebelum era Nabi Musa mundur hingga Adam, ummat manusia mencari Tuhan sendiri dan merumuskannya sendiri, tanpa ada wacana firman. Kalian sekarang tinggal menghapalkan /Qul huwallohu Ahad/, 99 asma Allah, di tambah dua tiga ayat, langsung jadi Ustadz. Para ilmuwan tinggal buka Kitab Suci untuk menemukan karbon, pertemuan laut asin dan tawar, interaksi dinamis antara otak dengan hidayah, sumber pemahaman dasar matematika, fisika, biologi dan hipnotisme. Atau apapun saja. Anak-anak muda itu tidak mau bangsanya terpuruk tanpa berkesudahan. Dengan penelitian-penelitian itu langkah mereka ke depan adalah merumuskan dan meletakkan kembali dasar-dasar Ideologi Negara, Ideologi Pendidikan, Ideologi Informasi, Ideologi Keagamaan, Ideologi Kebudayaan, Ideologi Ekonomi, Ideologi Hukum, bahkan Ideologi Pangan dan Kesejahteraan" []

 

Emha Ainun Nadjib,

Kado Ulangtahun buat Gatra, 22 November 2009

(Khotbah of the Day) Tiga Makna Hijrah


Tiga Makna Hijrah

 

Ada tiga makna utama dari momentrum hijrah Rasulullah saw yang dapat diterapkan dalam kehidupan masa kini. Pertama, memaknai hijrah Rasulullah sebagai Hijrah Insaniyyah, Hijrah Tsaqafiyyah, dan Hijrah Islamiyyah.

 

الحمد لله على نعمه فى أول الشهر من السنة الهجرة التامة, الذى جعل هذا اليوم من أعظم الأيام الرحمة, أحمده حمد الحامدين, واستعينه أنه خيرالمعين, وأتوكل عليه انه ثقة المتوكلين أشهد أن لااله الا الله وحده لاشريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله المجتبى وسيد الورى رحمة للعالمين. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين وسلم تسليما كثيرا...اما بعد.

 

Marilah pada jum’at kedua bulan Muharram ini kita lebih memanfaatkan berbagai keutamaan yang disediakan oleh Allah guna meningkatkan ketaqwaan kita kepada-Nya. Karena sesungguhnya Muharram adalah salah satu bulan yang istimewa dan dimuliakan.

 

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

 

Bulan Muharram dalam tradisi Islam memiliki keistimewaan dan sisi kesejarahan yang panjang. Diantara kelebihan bulam Muharram terletak pada hari ‘asyura atau hari kesepuluh pada bulan Muharram. Karena pada hari ‘asyura’ itulah (seperti yang termaktub dalam I’anatut Thalibin) Allah untuk pertama kali menciptakan dunia, dan pada hari yang sama pula Allah akan mengakhiri kehidupan di dunia (qiyamat). Pada hari ‘asyura’ pula Allah mencipta Lauh Mahfudh dan Qalam, menurunkan hujan untuk pertama kalinya, menurunkan rahmat di atas bumi. Dan pada hari ‘asyura’ itu Allah mengangkat Nabi Isa as. ke atas langit. Dan pada hari ‘asyura’ itulah Nabi Nuh as. turun dari kapal setelah berlayar karena banjir bandang. Sesampainya di daratan Nabi Nuh as. bertanya kepada pada umatnya “masihkah ada bekal pelayaran yang tersisa untuk dimakan?” kemudian mereka menjawab “masih ya Nabi” Kemudian Nabi Nuh memerintahkan untuk mengaduk sisa-sisa makanan itu menjadi adonan bubur, dan disedekahkan ke semua orang. Karena itulah kita mengenal bubur suro. Yaitu bubur yang dibikin untuk menghormati hari ‘asyuro’.

 

Bubur suro merupakan pengejawentahan rasa syukur manusia atas keselamatan yang Selma ini diberikan oleh Allah swt. Namun dibalik itu bubur suro (jawa) selain simbol dari keselamatan juga pengabadian atas kemenangan Nabi Musa as, dan hancurnya bala Fir’aun. Oleh karena itu barang siapa berpuasa dihari ‘asyura’ seperti berpuasa selama satu tahun penuh, karena puasa di hari ‘asyura’ seperti puasanya para Nabi. Intinya hari ‘syura’ adalah hari istimewa. Banyak keistimewaan yang diberikan oleh Allah pada hari ini diantaranya adalah pelipat gandaan pahala bagi yang melaksanakan ibadah pada hari itu. Hari ini adalah hari kasih sayang, dianjurkan oleh semua muslim untuk melaksanakan kebaikan, menambah pundi-pundi pahala dengan bersilaturrahim, beribadah, dan banyak sedekah terutama bersedekah kepada anak yatim-piatu.

 

Jama’ah Jum’ah yang dimuliakan Allah

 

Semua itu adalah sejarah. Masalalu yang tersisa ceritanya untuk kita di masa kini. Sejarah memang perlu diingat dan dipelajari demi kemaslahatan masa depan. Dalam rangka menjaga ingatan yang telah melewati bentangan waktu yang bergitu panjang. Manusia membutuhkan tradisi. Yaitu segala macam tata nilai yang masih tersisa hingga kini dari masa lalu. Merawat tradisi sama artinya dengan usaha menghadirkan masa lalu dalam kerangka kehidupan masa kini. Oleh karena itu kita sering merasakan kehadiran tradisi di tengah-tengah kita sebagai sesuatu yang aneh dan lain. Maklum saja karena tradisi merupakan potongan masa lalu yang dihadirkan kembali di masa kini.

 

Maka menjadi wajar jika orang masa kini terheran-heran melihat munculnya tradisi yang nampak arkaik dan kuno. Banyak sekali orang masa kini yang mengacuhkan dan menyepelekan tradisi, karena dianggap sebagai sesuatu yang mubadzir atau tidak rasional. Perayaan haul, maulidan, baca diba’, dan shalawat lengkap dengan hadrohnya juga syuro-an dianggap sebagai bid’ah dan khurafat. Hal ini sesungguhnya menunjukkan betapa kesedaran orang tersebut akan sejarah sangat dangkal. Mereka tidak mau mengerti dan memahami masa lalunya.

 

Namun, di sisi lain, tidak baik juga apabila manusia selalu menjunjung dan terlalu silau dengan zaman keemasan masa lalu. Karena sesungguhnya kita hidup pada masa kini. Oleh karena itu manusia masa kini harus mampu menempatkan tradisi agar tidak menggunakannya hanya sebagai asesoris kehidupan. Maka menjadi perlu bagi kita orang muslim merawat tradisi dan juga memaknainya kembali untuk kontekstual masa kini. Begitu pula pentingnya memaknai momentum hijrah Rasulullah saw yang dijadikan pedoman penghitungan masa dalam Islam.

 

Jama’ah yang berbahagia

 

Ada tiga makna utama dari momentrum hijrah Rasulullah saw yang dapat diterapkan dalam kehidupan masa kini. Pertama, memaknai hijrah Rasulullah sebagai Hijrah Insaniyyah. Sebagai transformasi nilai-nilai kemanusiaa. Perubahan paradigma masyarakat Arab setelah kedatangan Islam dan pola pikir mereka menunjukkan betapa sisi-sisi kemanusiaan dijadikan materi utama dakwah Rasulullah saw. bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama, hanya Allahlah satu-satunya Zat yang memiliki perbedaan dengan manusia. Itulah inti kalimat Syahadat أشهد أن لا اله الا الله bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah.

 

Pernyataan syahadat ini secara langsung mengeliminir segala macam perbudakan dan penguasaan atas seseorang. Dan inilah yang paling ditakutkan oleh para bangsawan Makkah semacam Abu Jahal pada waktu itu. Karena misi kemanusiaan ini dapat merobohkan dominasi mereka atas para budak belian. Dengan demikian, sungguh Islam telah meletakkan sebuah pondasi tata nilai kemanusiaan. Sebagaimana dengan tegas disampaikan Rasulullah saw dalam khutbahnya ketika haji wada’:

 

إن دمائكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام

 

"Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

 

Kemudian kita harus memaknai momentum hijrah ini sebagai Hijrah Tsaqafiyyah, yaitu hijrah kebudayaan. Hijrah dari kebudayaan jahiliyyah menuju kebudayaan madaniyah. Kebudayaan yang sarat dengan makna dan kemuliaan sebagaimana diperlihatkan oleh Rasulullah dalam tata krama keseharian. Dalam pergaulannya, beliau menghargai dan menggauli semua orang dengan cara yang sama tanpa ada perbedaan. Bahkan lebih dari itu, beliau selalu bertindak sopan dan ramah kepada semua orang tidak pernah pandang bulu. Sebagaimana sabda beliau:

 

إنما البعثت لأتمم مكارم الأخلاق

 

Bahwasannya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq.

 

Inilah sejatinya fondasi kebudayaan dalam kacamata Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan. Termasuk di dalamnya adalah kebersamaan, gotong royong dan kesetia kawanan. Inilah nilai-nilai yang kini mulai lenyap dari kehidupan kita digantikan dengan individualism dan kapitalime.

 

Yang ketiga, Jama’ah Jum’ah yang Dimuliakan Allah

 

Adalah memaknai hijrah sebagai Hijrah Islamiyyah, yaitu peralihan kepeasrahan kepada Allah secara total. Momentum hijrah ini harus kita maknai sebagai upaya peralihan diri menuju kepasrahan total kepada Allah Yang Maha Kuasa. Artinya setelah modernism menggiring kita kepada rasionalisme yang tinggi, hingga menyandarkan kehidupan kepada teknologi. Dan mengandalkan struktur sebuah system. Maka kini saatnya kita berbalik kepada Allah Yang Maha Pencipta. Sadarlah bahwasannya berbagai pertunjukan modernisme semata merupakan hasil kreatifitas manusia belaka.

 

Oleh karenanya, marilah di awal tahun baru ini kita memulai hidup baru dengan paradigma yang baru sesuai dengan makna hijrah tersebut.

 

اللهم ربنا اصرف عنا عذاب جهنم إن عذابها كان غراما, إنها سائت مستقرومقاما, ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما, بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ

 

 

Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

 

اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

 

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ

 

 

Sumber: NU Online

(Ngaji of the Day) Pengertian Ilmu Aqoid


MBAH WAHAB NGAJI AQOID (1)

Pengertian Ilmu Aqoid

 

Pada kesempatan ini rubrik ubudiyah bermaksud menghadirkan kembali tulisan KH. Abdul Wahab Chasbullah mengenai ilmu aqoid yang pernah dimuat secara bersambung pada majalah ‘Oetusan Nahdlatul Oelama’ pada awal tahun 1928. Hal ini dipandang perlu mengingat ilmu aqoid sebagai salah satu asas dalam memahami Islam secara sempurna –kaffah-, kini mulai jarang disentuh. Bahkan hampir mengalami ‘kepunahan’. Buktinya, jarang sekali kita mendengar istilah aqoid, apalagi ilmu aqoid. Telinga dan mata kita lebih familier dengan istilah aqidah islam, aqidah ahlussunnah atau malahan kalimat pertentangan aqidah. Semuanya kita fahami begitu saja tanpa pikir panjang.

 

Selanjutnya diterangkan bahwa ilmu aqoid sebagaimana diterangkan dalam kitab Bajuri dan Jam’ul Jawami’ sebagai:

 

العلم بالعقائد الدينية الاعتقادية اليقينية المكتسب من ادلتها الشرعية

 

Pengetahuan yang terikat dalam masalah keyakinan keagamaan yang diambil dari dalil-dalil syara’.

 

Adapun guna mempelajari ilmu aqoid adalah untuk membetulkan dan meneguhkan iman manusia kepada Tuhan Allah Ta’ala. Iman yang benar akan mengesahkan segala amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lannya. Dan surga menjadi pahala balasan di akhirat nanti. Namun, jika iman seseorang tidak dalam posisi yang benar, maka semua amal itu akan sia-sia. Dan di akhirat nanti neraka sebagai ganjarannya.

 

Melihat posisi dan guna ilmu aqoid yang begitu pentingnya, maka belajar ilmu aqoid hukumnya fardhu ain. Artinya wajib bagi setiap orang yang berakal untuk mempelajarinya .

 

Ilmu aqoid dinamakan demikian Ilmu aqoid karena pengetahuan ini berisikan satu bundelan (ikatan) mengenai sahnya iman dan Islam yang jumlahnya 50, yang terkenal dengan istilah aqoid seket. Dengan perincian 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah, 1 sifat jaiz bagi Allah, 4 sifat wajib bagi Rasul, 4 mustahil bagi Rasul dan 1 sifat jaiz bagi Allah. Semuanya itu terkandung di dalam kalimah La Ilaha Illallah.

 

Ilmu aqoid juga disebut ilmu ushuluddin, yaitu ilmu mengenai pokoknya agama. Karena itu barang siapapun orangnya beribadah siang malam, tetapi tidak memiliki pengetahuan ilmu ini, maka ibadah itu dianggap tidak sah.

 

Selain itu, ilmu ini juga disebut dengan ilmu kalam (ilmu bicara), karena siapapun tidak akan dapat memahami ilmu aqoid ini secara benar, apabila belum dibicarakan dengan panjang lebar dan penuh perhatian. Bahkan perlu digaris bawahi bahwa memahami ilmu aqoid ini tidak cukup dengan membaca buku saja tetapi harus melalui seorang guru (digurukan).

 

Demikian diterangkan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam Majalah Oetusan Nahdlatul Oelama. Adapun mengenai medan pembahasan ilmu aqoid akan diterangkan menyusul. Penulisan kembali ini tentunya disertai perubahan edjaan dan gaya bahasa yang berlaku sekarang untuk mempermudah pemahaman. []

 

Sumber: Oetusan Nahdlatul Oelama, No. 1 Tahun ke 1.

(Do'a of the Day) 16 Muharram 1434H


Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma a'innii 'alaa dzikrika wa syukrika wahusni 'ibaadatika.

 

Ya Allah, tolonglah aku agar dapat mengingat (berdzikir), bersyukur dan beribadah yang sebaik-baiknya kepada-Mu.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9, Fasal Kedelapan.

Kamis, 29 November 2012

(Tokoh of the Day) KH. A. Muhaimin Bin Abdul Aziz Lasem, Rembang - Jawa Tengah


KH. A. Muhaimin Bin Abdul Aziz Lasem, Rembang – Jawa Tengah

Selamatkan Kitab Madzab Syafi'i dari Pembakaran Wahabi

 

Adalah A. Muhaimin, lahir di Lasem Kab. Rembang Jawa Tengah pada 1890 M dari ayah Kiai Abdul Aziz dan ibu Mukminah binti Mahali. Ia adalah menantu Kiai Chasbullah, ayah KH Wahab Chasbullah. Setelah isteri pertamanya wafat, ia diambil menantu oleh Hadratusysyaikh Hasyim Asy’ari Tebuireng, dinikahkan dengan putrinya, Nyai Khoiriyyah Hasyim.


Kiai Muhaimin memulai pendidikan dini agama dengan ayahnya, Kiai Abdul Aziz. Kemudian masa remaja belajar ke Kiai Umar Pondok Pesantren Sarang bersama kedua adiknya antara lain Suyuthi. Ia kemudian Kiai Muhaimin melanjutkan belajar ke Kiai Chasbullah Tambakberas Jombang sambil mengajar. Akhirnya ia diambil menantu oleh Kiai Chasbullah, dan kehadirannya pun mewarnai proses belajar mengajar di pesantren tersebut, menjadi sangat ramai dibanjiri santri, memberi berkah tersendiri.


Berita ramainya Pondok Pesantren Tambakberas membuat Kiai Hasyim Asy’ari terkesan, kemudian meniru mengambil menantu dari pantai utara untuk putrinya Khairiyyah dinikahkan dengan Kiai Maksum bin Ali, keluarga Pesantren Maskumambang, Desa Dukun Kab. Gresik, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kiai Maksum Ali, Kwaron, pengarang Kitab Shorof Al-Amtsilatut Tashrifiyyah yang menjadi buku pegangan wajib di sebagian besar pondok pesantren, diterbitkan pertama kali di Timur Tengah. Kiai Maksum adalah kakak kandung Kiai Adlan Ali Cukir Jombang di tahun 80an Rois ‘Am Jam’iyyah Ahlith Thoriqah Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyyah.


Tahun 1923 istri Kiai Muhaimin, kakak kandung dari KH Wahab Chasbullah wafat, tidak dikaruniai keturunan. Kemudian Kiai Muhaimin langsung mukim di Makkah. Pertama kali menginjakkan Makkah sudah dikenal alim. Sempat belajar memperdalam lagi kepada adik Kiai Ahmad Dahlan Yogyakarta. Di saat bersamaan Kiai Maksum suami Nyai Khairiyyah wafat. Dikarunia keturunan antara lain Nyai Abidah suami Kiai Mahfud Ahli Falakiyah berputra antara lain H.Hakim, lainnya Nyai Jamilah berputra antara lain Dr. Umar Faruq.


Menikah dengan Nyai Khairiyah


Hubungan ta’aruf Kiai Muhaimin-Nyai Khairiyyah dimulai dari kegiatan surat menyurat. Saat itu usia Nyai Khairiyyah 17 tahun setelah ditinggal wafat Kiai Ma’shum Kwaron suami pertama. Kiai Muhaimin dari Makkah berkirim surat isinya menanyakan kesediaan Nyai Khairiyyah menjadi istrinya. Saking bingungnya tidak terasa membaca surat itu sambil berjalan dari Tebuireng sampai Kantor Kecamatan Diwek. Kemudian dijawab Nyai Khairiyyah, menanyakan keberadaan istri pertama Kiai Muhaimin. Langsung dijawab dengan mengirim surat keterangan kematian istrinya. Tidak beberapa lama Kiai Muhaimin mengutus Kiai Bishri Syansuri menyatakan keinginannya kepada KH Hasyim Asy’ari. Lalu memanggil Nyai Khairiyyah, menjadi heran kok sudah saling kenal. Kemudian Kiai Bishri sambil tersenyum-senyum menerangkan bahwa keduanya sebelumnya sudah surat-suratan.


Kiai Hasyim Asy’ari kemudian bersikukuh agar anaknya menikah dengan Kiai Muhaimin. Untuk maksud itu Oktober 1928 Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, dan Kiai Bishri Syansuri ke Sarang, Kab.Rembang. Selanjutnya pihak keluarga mengutus Kiai Ahmad bin Syueb Sarang (seusia Kiai Muhaimin) agar mengikuti musyawarah dan memutuskan syarat Nyai Khairiyyah untuk menikah dengan Kiai Muhaimin harus dibawa ke Makkah. Aqdun Nikah dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Wahdah Lasem yang diasuh Kiai Baidlowi bertindak mewakili keluarga, karena Kiai Abdul Aziz sudah wafat. Kiai Bishri Syansuri mewakili Kiai Muhaimin. Akhirnya resmilah Nyai Khairiyyah menjadi istri Kiai Muhaimin diantar ke Mekkah oleh adiknya, Kiai Abdul Karim Hasyim. Adapun putrinya, Abidah 13 tahun dan Jamilah 8 tahun tidak ikut ke Makkah, namun Ikut kakeknya, KH Hasyim Asy’ari di bawah asuhan beliau di Tebuireng.


Dalam kehidupan rumah tangga, Kiai Muhaimin memberikan Nyai Khairiyyah keleluasaan uang belanja kebutuhan sehari-hari, karena memahami harga sembako sewaktu-waktu bisa berubah. Hal ini sangat melegakan hatinya, seperti pernah diceritakan kepada ponakannya, Pak Muhsin. Bahkan Kiai Muhaimin menyediakan uang dalam lemari. Apabila kurang, ia mempersilahkan istrinya mengambil uang di lemari satunya lagi.


Selamatkan Kitab Madzhab Syafi’i


Kiai Muhaimin tercatat salah seorang pengajar di Masjidil Haram. Menunjukkan otoritas keilmuannya diakui. Dia antara muridnya, Kiai Umar Blora, Makkah.


Di Makkah Kiai Muhaimin pernah memimpin Darul Ulum, pusat dakwah dan pendidikan (madrasah atau jam’iah) berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jamaah sebagai Rois Jam’iyyah. Termasuk pengajar atau guru besarnya antara lain Sayid Ali Al-Maliki Mufti Makkah. Pada mulanya Madrasah Darul Ulum didirikan oleh Sayid Muchsin Musana Palembang pada tahun 1927. Sepeninggal Kiai Muhaimin, Mudir Darul Ulum dipimpin oleh Syaikh Yasin Al-Padani, seorang ulama besar Makkah yang terutama sejak tahun 80’an sampai akhir hidupnya amat terkenal dan disegani menjadi rujukan hukum dan sumber restu ulama NU di Indonesia. Untuk membedakan 2 nama Yasin, Kiai Muhaimin memberi nama 1. Syaikh Yasin (Al Padani), 2. Ustadz Yasin (Palembang). Dalam riwayat yang masyhur, memang guru Syaikh Yasin Al Padani antara lain :1. Kiai Ma’shoem Lasem, 2. Kiai Baidlowi Lasem.


Di antara murid di Madrasah Darul Ulum Makkah masa dipimpin Syaikh Yasin adalah Syaikh Mur’i, kini Mudir Universitas Darul Ulum, Hudaidah, Yaman. Yang banyak memberi beasiswa mahasiswa asal Indonesia.


Lulusan Darul Ulum Makkah yang diasuh Kiai Muhaimin banyak yang menjadi ulama besar. Tersebar di Makkah, Indonesia dan Yaman yang memerlukan keuletan melacaknya, karena mereka berdomisili di berbagai Negara. Termasuk Kiai Basyuni ayah mantan Menteri Agama RI dan Kiai Dahlan Makkah asal Kediri. KH.Maimun Zubair Pengasuh Pesantren Al Anwar Sarang mengaku alumni Darul Ulum waktu belajar di Makkah, masuk tahun 1950, disampaikan saat ceramah walimah pernikahan di rumah KH.A.Rozzaq Imam Bonang Lasem besanan dengan Kiai Siraj Makkah. Menjadi menantu Kiai Baidlowi dari Nyai Fahimah putrinya, dikaruniai anak antara lain Gus Ubab dan Gus Najih. Ayahnya, Kiai Zubair lahir tahun 1885. Leluhurnya Buju’ Su’ud Desa Klampis Arosbaya Bangkalan Madura. Bukan yang Bindere Su’ud di Sumenep.


Sayang dalam perjalanannya kemudian Darul Ulum yang didirikan dengan susah payah penuh suka duka oleh Kiai Muhaimin dan dilanjutkan oleh Syaikh Yasin Al-Padani, kelahiran tahun 1335 Hijriah, setelah kepemimpinan mereka mungkin karena pengelolaannya kurang terurus, menjadi tidak berkembang dan maju, sehingga diambil alih oleh Pemerintah Saudi Arabia dari Dinasti Su’udiyyah yang beraliran Wahabi, termasuk mengambil alih perpustakaannya yang memiliki banyak koleksi kitab-kitab penting. Darul Ulum pun turun drastis kompetensi keilmuannya, mengikuti persamaan tingkat dasar. Berubah menjadi sekolah umum (kurikulum nasional), mulai dari tingkat MTs sampai jenjang berikutnya. Seperti halnya Ash-Sholatiyyah meski tetap dipegang swasta. Begitu juga Al-Falah, namun dikelola masyarakat Arab di Makkah.



Menurut Syaikh Shodiq bin Muhammad bin Hasan Asy’ari ahli sejarah murid Syaikh Yasin Al-Padani seperti juga Kiai Hasan Iraqi Sampang saat hidup Kiai Muhaimin masih berusia 9 tahunan, Kiai Muhaimin salah satu ulama besar Makkah asal Jawa terkenal alim. Menurut Kiai Maimun Zuber, sebagai contoh barometer kefaqihan Kiai Muhaimin adalah kemampuannya mendirikan dan memimpin Raudlatul Munadzirin, suatu lembaga bahtsul masail satu-satunya yang paling prestisius di kalangan ulama Makkah, pesertanya terutama diikuti semua ulama asal Asia Tenggara seperti Indonesia, Campa, Patani, Mindanao dan Malaya. Diantara anggotanya, Kiai Zubair, ayah KH.Maemun Zubair. Keputusan bahtsul masail Raudlatul Munadzirin memiliki bobot inlektualitas keagamaan yang tidak diragukan.


Kumpulan keputusan bahtsul masail Raudlatul Munadzirin yang telah ditashih oleh Kiai Muhaimin selaku Pimpinan Darul Ulum menjadi ensiklopedi hukum ijma’ yang tidak ternilai. Seperti yang pernah disampaikan oleh seorang narasumber dalam sebuah halaqah yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin, Leteh, Rembang, pimpinan KH Musthofa Bishri atau Gus Mus.


Namun sangat disayangkan, koleksi kitab karya Kiai Muhaimin selama hidupnya memimpin Darul Ulum termasuk Raudlatul Munadzirin, hingga sekarang belum ditemukan. Di Makkah, Kiai Muhaimin pernah menulis risalah tentang bedug dan kentongan menurutnya perlu dipertahankan. Sayyid Ali Mufti Makkah saat itu awalnya sempat marah membaca sekilas risalah tersebut, karena menganggapnya bid’ah. Risalah tersebut berdasarkan sumber Al-Quran, Al-Hadits dan Kaidah Ushul Fiqh yangh jelas. Kiai Muhaimin juga menguraikan latar belakang filsafat Jawa, bahwa bedug ditabuh di masjid berbunyi deng..deng pertanda ruangan masjid masih cukup untuk sholat berjamaah, kentongan dipukul di musholla berbunyi tong..tong…memberi isyarat musholla masih kosong menunggu jamaah datang.


Pendapatnya berbeda dengan KH.Hasyim Asy’ari. Namun selama penulis 5 (lima) tahun sekolah di Pesantren Tebuireng menyaksikan sendiri masjid lama Tebuireng menggunakan bedug. KH.Hasyim Asy’ari adalah ulama yang sangat terkenal kealimannya. Terutama ahli hadits. Peletak dasar aswaja di tubuh NU dengan mengarang Kitab Qanun Asasi. Kealimannya salah satunya dapat dilihat dalam polemik fiqh seringkali menyampaikan pendapatnya berimprovisasi dalam bentuk syair atau perlambang dalam bahasa arab secara isti’jal atau spontan. Sehingga konfliknya tidak diketahui/ difahami masyarakat awam. Sayang Kitab Diwan Hasyim Asy’ari berupa kumpulan syi’irnya itu sampai sekarang dicari belum ditemukan. Keindahan dan kemampuan mengungkapkan pendapatnya jarang dimiliki ulama lainnya. Mengingatkan kita dengan Diwan Asy-Syafi’I dan Diwan Ali, walaupun yang menulisnya bukan Sayyidina Ali RA sendiri.


Kiai Muhaimin banyak menyelamatkan kitab madzhab Imam Syafii. Di tengah gencarnya Pemerintah Saudi Arabia menarik peredaran kitab yang dianggap menyimpang dari ajaran Wahabi kemudian membakarnya. Di antara kitab Kiai Muhaimin tertera tandatangannya menjad koleksi Perpustakaan Tebuireng. Menurut H Ishaq bin Kiai Masykuri, ayahnya santri Kiai Muhaimin saat boyong dari Makkah naik kapal laut membopong kitab sebagian koleksi Darul Ulum. Sampai di rumahnya di Lasem ditumpuk, banyaknya sampai penuh di beberapa lemari besar. Kondisi kitabnya bolong-bolong, sekarang kitabnya sudah tidak ada. Dahulu yang telaten sempat meneliti adalah KH.A.Hamid Baidlowi. Menurut Kiai Maimun Zuber, kitab-kitabnya dimakan lenget, kutu buku.


Jasa Kiai Muhaimin dalam sejarah yang tidak bisa dipungkiri adalah perannya di Raudlatul Munadzirin Makkah menghasilkan kader ulama unggulan yang menguasai referensi karya keagamaan klasik yang mampu menjawab dan memformulasikan persoalan-persoalan ummat dalam proses pengambilan hukum Islam. Telah mewarisi tradisi keilmuan bahtsul masail. Kegiatan keilmuan menjadi hidup atau kondusif. Kegiatan diskusi ilmiah tersebut juga terkenal di Indonesia, memberi sumber inspirasi. Gemanya meluas, di lingkungan pondok pesantren dan NU. Sehingga menjamur, berdiri bahtsul masail-bahtsul masail. Tsamrotur Raudlah, hasil2 Keputusan Raudhatul Munadzirin (Taman Cendikiawan) pernah diterbitkan dan didapatkan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dan Majma’ Buhuts Nahdhiyyah, Jateng.

 

Kitab Tsamrotur Raudlatusy Syahiyah memuat kumpulan jawaban permasalahan penting fiqh Madzhab Syafi’I dari pelajar Indonesia selama muqim di Makkatul Mukarromah antara lain Masykuri Lasem, Jarir bin Ismail Karang Anyar, Wazir bin Umar Bojonegoro, Abdul Jalil bin Abdul Hamid Juwana, Umar bin Abdurrahman Demak, Dahlan bin Kholil Jombang, Alawi bin Abdullah Demak, Muslih Afindi bin Dahlan Kudus, Abu Syuja’ bin Munawar Kediri, Mushtofa bin Nur Salim Rembang di bawah naungan Raudlatul Munadzirin dengan ta’ayyid dan tasyji’ oleh Asysyaikh Al Alim Al Allamah Al Ustadz Abdul Muhaimin bin Abdul Aziz Lasem.


Ulama Makkah yang hidup masa itu antara lain Syaikh Adnan, Syaikh Muhammad Bakir, Syaikh Mukhsin Almusawa, Syaikh Umar Hamdan, Syaikh Ali Almaliki, dan Syaikh Mukhtar Ath-Thoriq.


Menurut KH Maemun Zubair, andaikan tidak ada Kiai Muhaimin NU tidak akan sekuat itu, karena Makkah merupakan pusat Islam Dunia termasuk NU masa itu. Pasca diterimanya (success story) usul Komite Hijaz oleh Pemerintah baru Saudi Arabia agar memberikan kebebasan mengamalkan Madzaahibul Arba’ah bagi muqimin Makkah, maka kiprah Kiai Muhaimin dan komunitas Indonesia di Makkah membuktikan (secara life) ajaran Ahlussunnah wal Jamaah berdasarkan Madzahibul Arba’ah yang diusung Komite Hijaz cikal bakal NU begitu dinamis, aktif dan moderat.


Bahkan peranan istrinya, Nyai Khairiyyah (Syekh Sodiq menyebutnya Syaikh Khairiyah) ikut mengantar fase awal berdirinya Daulah Su’udiyyah dalam bentuk model praktis serta visi misi emansipasi penddidikan wanita Arab. Dengan mendirikan Madrasah Banat yang pertama di Makkah tahun 1942. Menurut H.Aboebakar dalam bukunya, Nyai Khairiyyah selama 9 tahun mendirikan dan mengajar di Madrasah Wanita termasyhur di Syamiyyah, Makkah. Kiai Muhaimin membantu Nyai Khairiyyah Hasyim, istrinya, mendirikan Madrasah Kuttabul Banat. Sejarah mencatat, madrasah khusus wanita yang pertama di Makkah. Gerakan keduanya yang visioner terobosan besar bagi kemajuan pendidikan. Telah memperjuangkan emansipasi wanita di bidang pendidikan. Jiwa kepeloporan yang teramat langka dan tidak lazim pada zaman itu.


Kontribusi yang besar tersebut tentu menggembirakan pemerintah dan warga Saudi Arabia atas jasa-jasanya itu. Semoga hubungan sejarah tersebut dapat membantu mempererat hubungan Indonesia-Saudi Arabia.


Beberapa Madrasah Banat kemudian bermunculan di Makkah, antara lain Jam’iyah Khoiriyah University khusus wanita didirikan oleh Hj.Aminah Syaikh Yasin Al Padani. Bahkan juga di Makkah terdapat lembaga PKK dengan nama Jam’iyyatul Khoiriyah yang menurut sumber informasi dinisbatkan kepada Nyai Khairiyah, sekarang yang menangani puteri dari Bin Abdul Aziz Malik Faishal keluarga Kerajaan Saudi Arabia yang dikenal gigih memperjuangkan emansipasi wanita yang dirintis Nyai Khairiyah.


Peninggalan Kiai Muhaimin dan Nyai Khairiyyah berupa Madrasah Darul Ulum termasuk di dalamnya terdapat qismul banat yang kemudian menjadi Madrasah Kuttabul Banat sampai tahun 1955 kemudian beralih status menjadi madrasah negeri atau dikelola oleh negara (Pemerintah Saudi Arabia) hingga sekarang.


Kiai Muhaimin di samping alim, mengkader, di Makkah juga suka menolong orang lain. Sebagai tokoh yang dituakan, banyak membantu biaya hidup santri asal Indonesia yang sebagian besar serba berkekurangan, hidup pada masa penjajahan. Antara lain yang banyak dibantu, Kiai Wahib Wahab Jombang, Kiai Zaini bin Abdullah kakak kandung Kiai Hamid Pasuruan dan Kiai Bishri Musthofa, setelah kembali ke Rembang berhasil menjadi ulama besar dan produktif mengarang kitab. []


Abdullah Hamid.

Alumni Pondok Pesantren Tebuireng 1987, kini Kepala Perpustakaan dan Publikasi Masjid Jami’ Lasem.

BamSoet: Sensasi Dipo Alam Menuju 2014

Sensasi Dipo Alam Menuju 2014

 

Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI

 

MANUVER politik Sekretaris Kabinet Dipo Alam jika tanpa dilengkapi bukti akurat, dapat disebut hanya untuk mencari sensasi menjelang 2014. Manuver tersebut juga dapat menghadirkan risiko yang bisa saja menjadi amat berbahaya bagi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak tanggung-tanggung, sebab taruhannya adalah mereduksi soliditas kabinet, menimbulkan suasana tidak kondusif di kementerian dan memunculkan benih keretakan koalisi Parpol pendukung pemerintah yang dibangun SBY.

 

Per moral, apa yang dilakukan Dipo Alam tidak salah, bahkan harus didukung. Ketika rakyat menyaksikan inkonsistensi dan ambivalensi pemberantasan korupsi dewasa ini, Dipo Alam tampil memacu semangat baru penegakan hukum. Dia bahkan langsung menggelar perang baru melawan korupsi, dengan mengungkap praktik kongkalikong pengaturan anggaran antara DPR dan kader partai politik di kabinet dan pejabat kementerian.

 

Kalau sebelumnya Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan menyerang DPR dengan isu oknum anggota DPR memeras BUMN, giliran Dipo Alam yang juga menyerang DPR serta beberapa kementerian. Namun, pada manuver Dipo Alam, yang tampak adalah episode tentang Sekretaris kabinet menyerang dan mencoreng kabinet dimana dia adalah anggota kabinet itu sendiri. Tentu saja menjadi pemandangan yang tidak lazim.

 

Seperti diketahui, Dipo Alam telah melapor ke KPK perihal dugaan kongkalingkong pengaturan anggaran antara DPR dan kader parpol yang berada di kabinet dan pejabat kementerian. Kongkalikong ini berpotensi menggerus APBN. Sejumlah media sudah mengidentifikasi kementerian apa saja yang dilaporkan Dipo. Dibanding Laporan Dahlan, Dipo lebih progresif karena, katanya, dilengkapi bukti-bukti. Kalau benar, laporan Dipo lebih bermutu dalam konteks penegakan hukum.

 

Namun, republik bertambah gaduh karena ingar bingar yang dimunculkan oleh  kontroversi grasi bagi terpidana mati kasus narkoba, Meirika Franola (Ola) belum lagi terhenti. Harus seperti itukah langkah Dipo? Kalau sekadar menimbulkan pro kontra, itu biasa. Namun, risikonya terhadap soliditas kabinet-lah yang seharusnya diperhitungkan. Banyak pihak tidak bisa menerima cara Dipo karena alasan etika. Kasus dugaan korupsi yang dikantungi Dipo memang harus diungkap dan diserahkan ke penegak hukum. Tetapi, sebagai sekretaris kabinet, Dipo mestinya prosedural. Sebab, apa yang dilaporkannya terkait dengan dugaan penyimpangan yang dilakukan kementerian. Kementerian itu dipimpin oleh menteri yang nota bene adalah pembantu presiden.

 

Etikanya, sebelum dikemas menjadi isu di ruang publik, temuan Dipo mestinya dilaporkan dulu ke dan dikonsultasikan dengan presiden. Dipo pun berhak memanfaatkan kapasitasnya sebagai sekretaris kabinet untuk berkomunikasi dulu dengan para menteri yang kementeriannya diduga terlibat kongkalikong dalam pengaturan anggaran. Para menteri yang dibidik dalam laporan Dipo setidaknya juga diberi kesempatan melakukan klarifikasi kepada presiden atau kepada sekretaris kabinet. Bukankah para menteri itu kolega Dipo juga?     

 

Karena mekanisme seperti itu tidak dilakoni, yang muncul adalah kesan bahwa sekretaris kabinet menyerang anggota kabinet lainnya. Tentu saja konsekuensinya akan sangat merepotkan. Apa yang akan terjadi di dalam kabinet sudah bisa diasumsikan banyak orang. Para menteri yang tidak pro dengan gaya Dipo tentu saja akan mengambil posisi berseberangan. Maka, anggota kabinet akan terkotak-kotak. Dengan berbagai alasan, para menteri yang berseberangan bisa saja menolak untuk kooperatif dengan sekretaris kabinet. Jadi, apa yang dilakukan Dipo berpotensi mengacak-acak kabinet.

 

Kalau muncul ekses dalam kabinet, yang harus menanggung persoalannya adalah presiden, bukan Sekretaris Kabinet. Sebab, tugas Sekretaris Kabinet tak lebih dari memberi dukungan teknis, administrasi dan analisis kepada presiden dan wakil presiden. Juga memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dan program, plus menyiapkan rancangan Peraturan Presiden, keputusan presiden, serta instruksi presiden. Kalau seperti itu tugas pokok Sekretaris Kabinet, wajar saja jika muncul pertanyaan seputar motif Dipo menyerang anggota kabinet lainnya.

 

Mengancam Koalisi

 

Suasana di sejumlah kementerian pun pasti tidak kondusif lagi. Terjadi saling curiga karena munculnya pertanyaan di kalangan pegawai tentang siapa di antara mereka yang telah membuat laporan kepada Dipo. Di sini, terlihat lagi sikap amatiran Dipo. Kalau dia profesional, dia tak perlu mengemukakan bahwa laporan itu diperolehnya dari pegawai di kementerian. Bukankah cara seperti itu akan mengadudomba para pegawai di kementerian? 

 

Mengacu pada kasus yang dilaporkan Dipo, tak dapat ditutup-tutupi adanya tendensi menyerang oknum anggota DPR dan Parpol. Dipo mendeskripsikan kasus yang dilaporkannya sebagai kongkalikong pengaturan anggaran antara oknum anggota DPR dan kader parpol yang berada di kementerian. Berarti, konstruksi kasus hukum yang dilaporkannya sebangun dengan kasus dugaan korupsi dalam proyek Hambalang.

 

Fokus serangan dari laporan Dipo tentu saja kader Parpol lain yang tidak terlibat di kasus Hambalang. Berarti ada anggota koalisi Parpol pendukung pemerintahan yang dibidik melalui laporan Dipo ke KPK. Sadar atau tidak, manuver seperti ini akan menggoyang keutuhan koalisi Parpol pendukung pemerintahan saat ini. Kalau laporan Dipo akurat dan dilakukan proses hukum bagi mereka yang memainkan anggaran, tidak akan muncul persoalan serius. Sebaliknya, kalau laporan itu tidak akurat,  anggota koalisi yang merasa tercemar tentu tidak akan tinggal diam. Koalisi Pemerintahan bisa retak. Kalau koalisi limbung, presiden-lah yang harus memikul persoalan dengan segala macam konsekuensi politiknya. Kadang, membangun kembali solidoitas koalisi itu jauh lebih rumit dan butuh banyak energi.

 

Dilaporkan bahwa manuver Dipo Alam itu sebagai inisiatif pribadi, dan tidak dilaporkan ke presiden. Artinya, presiden sama sekali tidak tahu. Kalau juru bicara kepresidenan harus buru-buru menetralisir posisi presiden dalam kasus ini, itu menjadi indikasi bahwa istana sadar betul tentang risiko politik dari manuver Dipo Alam jtu. Pernyataan itu sama artinya dengan permohonan kepada Parpol anggota koalisi pemerintahan untuk tidak menyerang atau menyalahkan presiden terkait dengan manuver Dipo. Boleh saja istana kepresidenan mengeluarkan pernyataan seperti itu. Masalahnya, Parpol anggota koalisi mau percaya atau tidak dengan pernyataan itu.

 

Sulit untuk percaya begitu saja bahwa presiden sama sekali tidak mengetahui sedikit pun tentang apa yang sudah dilakukan Sekretaris Kabinet dalam kasus ini. Alasan utamanya, manuver Dipo sama sekali tidak tercantum dalam daftar tugas sekretaris kabinet. Alasan berikutnya, apa yang dilakukan Dipo melahirkan beberapa risiko bagi presiden dan pemerintahannya; mulai dari rusaknya soliditas kabinet, suasana tidak kondusif di sejumlah kementerian hingga potensi retaknya koalisi Parpol pendukung pemerintah.

 

Karena dikenal sebagai figur pemimpin yang lebih mengutamakan keseimbangan pemerintahannya, Presiden SBY tidak mungkin menolerir anak buahnya melakukan manuver seperti yang dilakukan Dipo. Lalu, mengacu pada risiko politik tadi, tidak mungkin juga Dipo tidak melapor atau berkonsultasi dengan presiden. Bisa disimpulkan bahwa bagi presiden SBY, risiko politik dari manuver Dipo Alam itu terukur alias sudah diperhitungkan. Mudah-mudahan saja perhitungannya akurat sehingga tidak muncul ekses.

 

Jelas bahwa dari manuver Dipo Alam itu bisa dimunculkan kesimpulan lain; yakni para pembantu terdekat presiden dibolehkan untuk tidak fokus pada deskripsi tugas dan fungsinya. Apa yang dilakukan Dipo sangat jauh dari tugas utamanya sebagai sekretaris kabinet. Karena itu, jangan heran kalau presiden kecolongan dalam kasus grasi Ola.  Yang menimbulkan aroma tidak sedap dan bau busuk karena diduga melibatkan jaringan mafia narkoba internasional. []

 

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

(Ngaji of the Day) Memahami Nahwu Dengan Pendekatan Filsafat


Memahami Nahwu Dengan Pendekatan Filsafat

Oleh: Mohamed Abul Fadlol Af


Nahwu merupakan kumpulan kaidah-kaidah linguistik klasik bangsa Arab. Dalam perjalanannya, ilmu nahwu telah mengalami proses panjang dalam peletakan, perkembangan dan segala perdebatan. Menurut satu versi historis, ilmu nahwu untuk pertama kali muncul pada masa khalifah Ali Bin Abi Thalib lewat perantara Abu al-Aswad al-Dualy. Munculnya ilmu nahwu dilatarbelakangi oleh semakin meluasnya kesalahan-kesalahan dalam berbahasa Arab menurut standar fasih, atau yang biasa kita sebut sebagai “Lahn”. Hal ini disebabkan kondisi sosial masyarakat Arab pada saat itu yang mulai bercampur dengan bangsa “Ajam” pasca meluasnya wilayah Islam ke negara-negara sekitar.


Dalam kitab Qawaid al-Asasiyah karangan Sayyid Ahmad al-Hasyimi misalnya, diriwayatkan bahwa putri Abu al-Aswad salah dalam mengucapkan shighat ta’ajub ketika melihat gemerlap bintang di langit. Kalimat yang seharusnya dipakai adalah “Ma ahsana as-sama” namun diucapkan rafa’ sehingga menjadi “Ma ahsanu as-sama”. Selain itu juga diriwayatkan kesalahan bahasa yang lain seperti seorang Ajam yang salah dalam membaca surat at-Taubah ayat 3. Pembacaan yang benar adalah dengan membaca rafa’ pada lafadz “Rasuluhu” dalam ayat “Innallaaha bariiun min al-musyrikiina wa rasuuluhu” namun orang ajam tersebut membacanya dengan jer. Sehingga makna yang dihasilkan sangat berbeda dan kontradiksi dengan makna asli yang dimaksudkan. Oleh karena itu ilmu nahwu dicetuskan dengan tujuan menjaga lisan dari kesalahan dalam pengucapan, baik dalam bahasa sehari-hari atau dalam pelafadzan ayat al-Qur'an.


Di setiap pesantren, ilmu nahwu merupakan mata pelajaran primer yang wajib dikuasai santri. Karena dengan ilmu ini, khazanah keilmuan Islam yang sangat luas dapat diselami secara mendalam. Jelas saja, keilmuan Islam dari zaman klasik sampai sekarang diwariskan dalam bentuk buku yang berbahasa Arab atau yang lebih populer disebut dengan “Kitab kuning”. Tanpa nahwu, seseorang tidak akan bisa membaca kitab kuning, sehingga wajar jika nahwu memperoleh julukan “Abu al-Ilmi” bersanding dengan sharaf sang “Ummu al-Ilmi”. Oleh karena itu, indikator keberhasilan santri dalam belajar ditandai dengan penguasaan terhadap gramatikal Arab ini.


Di sisi lain, kebanyakan santri sering mengeluh karena banyak hafalan yang harus disetorkan untuk memenuhi standar kompetensi yang dicanangkan pesantren, yakni nadzam-nadzam nahwu seperti Imrithy atau Alfiyah. Hal ini menyebabkan santri terkadang merasa jenuh dengan materi nahwu. Lebih dari itu, keberadaan nahwu mulai terpinggirkan karena santri-santri lebih menyukai diskusi teologi. Apalagi ketika seorang santri telah melewati tingkatan Alfiyah, nahwu serasa kurang penting dan menarik untuk dipelajari.


Filsafat itu penting


Perkembangan filsafat dari zaman klasik sampai dengan postmodern telah memberikan sumbangan tak ternilai untuk kelangsungan kehidupan manusia. Masa kejayaan dinasti Abbasiyah sendiri tidak lepas dari campur tangan filosof-filosof hebat. Misalnya, Ibnu Rusyd, Ibnu Shina, Ibnu Khaldun, Ibnu Razi, al-Ghazali, dan masih banyak lagi. Karena dengan filsafat, manusia mampu menemukan hal yang awalnya tidak mungkin menjadi mungkin. Filsafat merupakan metode berfikir secara radikal dan sistematis yang melahirkan berbagai disiplin pengetahuan. Di masa dinasti Abbasiyah, para filosof Islam berhasil melahirkan temuan-temuan baru dalam bidang sains, dan teknologi. Sehingga nama-nama mereka masyhur sampai ke daratan Eropa. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Islam adalah kiblat pengetahuan dunia pada waktu itu.


Namun di kalangan pesantren, filsafat kurang begitu populer. Ini disebabkan karena adanya anggapan bahwa filsafat selalu menyesatkan pemikiran agama. Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya benar dan tidak pula sepenunya salah. Memang, al-Ghazali dalam kitabnya Tahafuth al-Falasifah membatasi filsafat dalam dimensi ketuhanan. Namun, perlu diketahui juga bahwa filsafat tidak hanya berkutat tentang masalah ketuhanan. Karena objek filsafat secara umum ada tiga macam. Yaitu ketuhanan (teologis), alam (kosmologis) dan manusia (antropologis). Jadi, meskipun tidak berfilsafat dalam wilayah sakral, setidaknya santri-santri bisa berfilsafat dalam wilayah profan, yakni alam dan manusia. Kesimpulannya, tidak ada alasan bagi santri untuk tidak berfilsafat. Oleh karena itu, pembelajaran filsafat untuk santri harus sesegera mungkin diselenggarakan.


Untuk mencapai tujuan ini tentunya tidak lepas dari kendala. Filsafat merupakan jenis keilmuan non agamis, jadi sangat tidak mungkin dimasukkan dalam kurikulum pesantren. Oleh karena itu diperlukan trik-trik khusus agar filsafat dapat diterima di pesantren, salah satunya adalah dengan menjadikan nahwu sebagai objek filsafat. Hal ini sangat mungkin, karena pada dasarnya ada persamaan mendasar antara nahwu dengan filsafat, yaitu menggunakan penalaran.


Al-Jabiri dalam kitabnya Takwin al-Aql al-Araby mengatakan “Jika filsafat adalah mukjizat bagi bangsa Yunani, maka tata bahasa adalah mukjizat bagi bangsa Arab”. Dengan filsafat, pengetahuan yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Dengan nahwu, pengetahuan yang awalnya belum dipahami menjadi terberdaya. Menurut penulis, nahwu harus “berselingkuh” dengan filsafat, meninggalkan sharaf. Sehingga dua mukjizat ini bisa bersinergi untuk menghasilkan pengetahuan baru dengan cara yang berbeda.


Nahwu feat Filsafat


Unsur pokok dalam nahwu adalah Isim, Fi’il dan Huruf. Karena ketiganya merupakan hal pertama yang ditetapkan dan disepakati di awal peletakan nahwu. Maka, ketiga kalimat inilah yang menjadi pondasi pokok agenda realisasi nahwu sebagai objek filsafat.


Dalam kategori derajat, Isim menempati urutan teratas, karena Isim bisa membentuk kalam tanpa adanya Fi’il dan Huruf. Isim adalah kalimat yang independen. Isim juga merupakan kalimat yang Qiyamuhu qinafsihi. Fakta lain, isim tidak terikat dengan waktu. Dan sifat-sifat ini hanya dimiliki oleh Allah, sehingga dapat disimpulkan bahwa Isim adalah bentuk dari filsafat ketuhanan.


Sedangkan Fi’il menempati urutan kedua. Ini disebabkan karena Fi’il tidak bisa membentuk kalam sendirian tanpa adanya Isim. Ketiadaan isim berarti ketiadaan jumlah fi’liyah. Sebab lain, kalimat Fi’il merupakan cetakan dari Isim (mashdar). Fi’il juga terikat dengan waktu, sangat berbeda dengan Isim. Jika kita berfikir secara mendalam (radikal), maka kita akan sampai kepada satu kesimpulan bahwa substansi Fi’il ada dalam alam. Karena alam tidak bisa berdiri sendiri. Alam juga merupakan hasil ciptaan Allah sang maha kuasa. Alam terikat dengan waktu sedangkan tuhan tidak. Adanya alam merupakan bentuk representasi bagi eksistensi tuhan. Fi’il merupakan simbol dari filsafat alam.


Yang terakhir adalah Huruf. Kalimat ini paling rendah derajatnya. Karena Huruf tidak bisa membentuk kalam tanpa adanya Isim dan Fi’il. Bahkan tanpa adanya kalimat lain, makna aslinya tidak bisa ditentukan. Sama halnya dengan manusia, yang eksistensinya akan dipertanyakan tanpa adanya tuhan dan alam. Jenis terakhir adalah filsafat kemanusiaan.


Harapan

Manusia tidak bisa mengukur keberadaan tuhan lewat dzat. Namun manusia bisa berfikir lewat ciptaannya untuk menemukan keberadaan tuhan. Nahwu bisa dijadikan argumentasi atas keberadaan tuhan, meski dalam wilayah sendiri. Isim, Fi’il dan Huruf merupakan sebuah gambaran kehidupan, dimana satu sama lain saling berkaitan dan tak terpisahkan. Penjelasan di atas hanya sebuah pengantar, dan belum mewakili secara keseluruhan. Dengan menjadikan nahwu sebagai objek filsafat, selain akan melahirkan istilah baru, juga akan membuat santri lebih antusias dan tidak cepat bosan dengan materi nahwu yang disampaikan, serta media untuk memperkuat iman kita kepada allah SWT.


Berangkat dari sini, semoga pesantren bisa melahirkan kader-kader intelektual agamis yang mampu mengembalikan kejayaan Islam yang sekarang direbut bangsa barat. Tentu untuk merealisasikan hal tersebut tidaklah mudah. Namun, dengan kemauan yang keras, apapun bisa dilakukan. Harapan penulis adalah pesantren mampu menelurkan kader ummat layaknya Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Ibnu Shina, dan al-Ghazali, yang sampai sekarang belum terwujud. Tasawuf yes, filsafat yes. Wallahu a’lam bi al-Shawab. []


* Alumni pesantren al-Anwar Sarang Rembang