Kamis, 31 Desember 2015

(Do'a of the Day) 19 Rabiul Awwal 1437H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Ilaahii sallimil ummah
Minal aafaati wan niqmah
Wa min hammin wa min ghummah
Bi ahlil badri yaa Allah.

Ilaahii naj jinaa waksyif,
Jamii' adziyyatiw washrif.
Nakaa-idal 'iddaa walthuf,
Bi ahlil badri yaa Allaah.

Yaa Allah ya Tuhanku, selamatkanlah umat
Dari semua bencana dan siksaan
Dan hilangkanlah kesedihan dan kesusahan
Lantaran tawasul kami dengan ahlu badr (yang dijamin Allah masuk surga).

Ya Allah, Tuhanku, selamatkanlah kami,
Hilangkanlah semua siksaan yang menyakitkan.
Selamatkan kami dari tipu muslihat musuh dan kasihanilah kami,
Lantaran tawassul kami dengan Ahlul Badr (yang dijamin Allah masuk surga).

Allaahumma shalli wa sallim wa baarik 'alaihi.
Ya Allah, limpahkanlah rahmat, salam dan berkah kepada Nabi SAW.

Toleransi Sejak Dulu Kala


BamSoet: Tahun Konsolidasi Sarat Gaduh



Tahun Konsolidasi Sarat Gaduh
Oleh: Bambang Soesatyo

Tahun 2015 sarat gaduh. Dibuka dengan episode Polri versus KPK jilid II dan ditutup dengan mundurnya Ketua DPR akibat skandal ”Papa Minta Saham”.

Semua kegaduhan itu menjadi bagian tak terpisah dari proses konsolidasi pemerintahan baru pimpinan Presiden Joko Widodo- Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selain faktor kegaduhan akibat ulah sejumlah figur atau tokoh, tahun ini pun sarat masalah atau tantangan. Ketidakpastian global menyebabkan pertumbuhan ekonomi nasional mengalami perlambatan.

Posisi rupiah pun mengalami tekanan di hadapan sejumlah valuta utama dunia. Terhitung sejak awal 2015 hingga pekan kedua September, depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sudah mencapai 15,87 persen. Selain itu, ada dua faktor lokal yang ikut menekan ekonomi dalam negeri.

Pertama, masih rendahnya harga komoditas unggulan Indonesia di pasar internasional. Kedua, kegagalan pemerintah memaksimalkan faktor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai motor pertumbuhan, yang ditandai dengan lambannya penyerapan anggaran sepanjang 2015. Bahkan, hampir semua pemerintah daerah juga gagal memaksimalkan anggaran.

Hingga akhir 2015, sekitar Rp270 triliun anggaran pembangunan daerah hanya bisa diendapkan di sejumlah bank karena banyak pejabat daerah takut mengeksekusi proyekproyek pembangunan yang anggarannya telah disetujui. Peristiwa lain yang harus masuk dalam catatan penting tahun ini adalah kebakaran hutan dan lahan gambut. Kerugian negara akibat musibah ini ditaksir Rp200 triliun lebih.

Menurut Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), luas area kebakaran hutan dan lahan sepanjang tahun 2015 mencapai 2.089.911 hektar. Rangkaian masalah itu memunculkan sejumlah ekses yang tentu saja menghadirkan ketidaknyamanan bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Masyarakat harus menghadapi beberapa kali gejolak harga kebutuhan pokok, karena ketersediaan beras hingga daging ayam dan daging sapi bermasalah.

Depresiasi rupiah yang berkelanjutan pun membuat masyarakat pesimis karena dihantui krisis ekonomi. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi pada sejumlah subsektor usaha manufaktur akibat melemahnya konsumsi atau permintaan dalam negeri. Itulah beberapa catatan penting yang patut digarisbawahi pemerintah sebelum menapaki awal tahun 2016.

Sangat penting bagi Presiden Joko Widodo untuk meyakinkan rakyat bahwa konsolidasi pemerintahannya sudah selesai, agar 2016 dan tahun-tahun selanjutnya bisa berkonsentrasi penuh mengelola semua aspek dari agenda pembangunan nasional.

Menguji Presiden

Presiden sudah mengawali pemerintahannya dengan langkah cukup mantap, ketika memutuskan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada pekan kedua November 2014. Keputusan strategis ini ibarat modal awal pemerintahannya untuk mengarungi 2015 yang sarat tantangan itu. Sayang, segala sesuatunya tidak berjalan mulus karena proses konsolidasi pemerintahan Jokowi penuh rintangan.

Gangguan terhadap proses konsolidasi itu muncul pada Januari 2015, dipicu oleh persoalan siapa yang akan ditunjuk Presiden untuk menjabat Kepala Polri (Kapolri). Sosok perwira pilihan Presiden, Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan (BG), langsung dimentahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam hitungan jam setelah Presiden mengumumkan nama BG sebagai calon Kapolri, Ketua KPK (saat itu) Abraham Samad ”mengganggu” Presiden dengan mengumumkan BG sebagai tersangka atas dugaan transaksi mencurigakan atau tidak wajar. Akibatnya, Presiden harus menghadapi tekanan dari dua arah yang saling berlawanan. Publik pun bisa merasakan betapa tidak mudahnya presiden mengonsolidasi pemerintahannya.

Komunitas pendukung Jokowi, termasuk sejumlah politisi, mendesak presiden mempertahankan pilihannya dan melantik BG. Dari arah lain, presiden justru didesak membatalkan pencalonan BG. Eskalasi kegaduhan pun menjadi tak terhindarkan ketika elite PDIP melakukan serangan balik terhadap Abraham Samad, memanfaatkan apa yang disebut sebagai laporan publik yang tertuang dalam sebuah artikel berjudul ”Rumah Kaca Abraham Samad” .

Artikel ini memuat tuduhan kepada Samad karena menjadikan KPK sebagai alat lobi politik untuk mencalonkan diri sebagai cawapres 2014. Berangkat dari artikel itu, Pelaksana Tugas Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristyanto memberi perincian tentang manuver politik Samad menuju Pemilu Presiden 2014. Menurut Hasto, Samad melakukan enam kali pertemuan dengan petinggi PDI Perjuangan. Bahkan Samad juga menemui mantan Kepala Badan Intelijen Negara AM Hendropriyono dan mantan Deputi Tim Transisi Andi Widjajanto.

Samad akhirnya dinonaktifkan dari jabatannya. Karena diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai ketua KPK, Samad kemudian memenuhi panggilan pemeriksaan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri sebagai tersangka. Kasus Samad dilaporkan Direktur Eksekutif KPK Watch Yusuf Sahide.

Tidak berhenti sampai di situ, Samad pun harus merespons masalah lain, karena dia dilaporkan telah melakukan pemalsuan dokumen kependudukan. dengan tersangka awal seorang perempuan bernama Feriyani Lim. Persoalan yang dihadapi KPK tidak berhenti di Abraham Samad. Polisi juga menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto untuk perkara rekayasa keterangan palsu saat menjadi pengacara dalam perkara Pemilukada 2010.

Tim Mabes Polri menangkap Bambang Widjojanto di sebuah jalan raya di Depok pada Jumat, 23 Januari 2015. Saat itu, wajah KPK benar- benar tampak babak belur. Setelah penangkapan Bambang, pimpinan KPK lainnya juga dilaporkan ke pihak berwajib oleh beberapa orang. Benar-benar gaduh dan tegang. Efektivitas kepemimpinan Presiden Jokowi saat itu benar-benar diuji, bahkan mengalami ujian berat.

Hal itu terjadi bertepatan dengan peringatan 100 hari kepemimpinannya, Imbauan bernada perintah presiden untuk tidak menahan pimpinan KPK tidak sertamerta ditaati. Seolah ada kekuatan lain di negara ini yang lebih berkuasa dari Presiden RI. Situasi serupa juga terlihat oleh publik ketika presiden harus menyikapi konflik internal yang melanda Partai Golkar dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan).

Kehendak Presiden agar Kementerian Hukum dan HAM bersikap objektif-proporsional tidak ditaati. Dalam kasus Golkar, kementerian Hukum dan HAM malah tergesagesa mengakui kepengurusan hasil Munas Ancol, tanpa mempertimbangkan dokumen keabsahan Munas Ancol. Begitu juga pada kasus PPP. Akibatnya jagat perpolitikan nasional pun ikut menabuh gaduh.

Dampak Nomenklatur

Dari rangkaian kegaduhan itu, terlihat bahwa tidak semua pembantu Presiden menunjukan loyalitas tunggal kepada Presiden. Sebaliknya, dalam proses mengonsolidasi kekuasaannya, Presiden Jokowi terpaksa harus merasakan ada pembantu atau menteri yang menunjukkan loyalitas ganda, loyal kepada Presiden dan loyal juga kepada pimpinan partai politik dari mana sang menteri berasal.

Jika saja para pejabat tinggi negara itu hanya loyal kepada Presiden, kegaduhan sepanjang 2015 ini bisa diminimalisasi. Akan tetapi aspek loyalitas itu masih menjadi persoalan. Pasca reshuffle kabinet, giliran para menteri berbuat gaduh dengan bertengkar di ruang publik. Respek beberapa menteri terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi terbilang minim.

Publik tentu masih ingat ketika seorang menteri dengan lantang menantang wakil presiden berdebat terbuka. Atau, menteri malah mengecam program prioritas kelistrikan yang telah ditetapkan presiden. Nomenklatur kementerian/ lembaga (K/L) yang bertele- tele juga mengganggu konsolidasi pemerintahan Jokowi. Dampaknya sangat serius terhadap efektivitas koordinasi pemerintah pusat dengan daerah.

Konsolidasi sejumlah K/L dirasakan sangat lambat setelah penggabungan maupun pemecahan instansi. Kelambanan lebih disebabkan oleh sulitnya pengisian jabatan. Kevakuman sementara itu tentu saja memberi pengaruh cukup signifikan terhadap aspek penyerapan anggaran. Komunikasi pusat dan daerah pun bisa terhenti sementara sambil menunggu rampungnya konsolidasi K/L.

Di tengah ragam rintangan dan masalah, presiden terus membangkitkan optimisme publik. Presiden memastikan pembangunan nasional tidak lagi Jawa sentris, melainkan Indonesia sentris. Dia berupaya merealisasikan proyek pembangunan infrastruktur strategis di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua berupa ruas jalan tol dan jalur kereta api. Untuk meyakinkan dunia usaha dan investor asing, Presiden juga terus mengupayakan terwujudnya iklim berusaha yang kondusif.

Sejak awal September 2015 hingga jelang akhir tahun 2015, Presiden sudah menerbitkan delapan paket deregulasi kebijakan ekonomi. Tujuannya mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, penegakan hukum dan kepastian usaha.

Untuk menguatkan keyakinan semua elemen masyarakat, pemerintah berencana menurunkan harga BBM pada awal tahun 2016, mengikuti tren turunnya harga minyak dunia. Kalau tidak ada kegaduhan lagi, kebijakan BBM awal 2016 itu bisa menjadi stimulus yang menggerakkan roda perekonomian nasional. []

KORAN SINDO, 29 Desember 2015
Bambang Soesatyo | Anggota Komisi III DPR RI, Presidium Nasional KAHMI dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

(Hikmah of the Day) Kisah Masa Kecil Rasulullah dan Ibunya



Kisah Masa Kecil Rasulullah dan Ibunya

Sebagaimana tradisi suku Quraisy dan kabilah Arab pada umumnya, pada hari kedelapan selepas dilahirkan oleh Siti Aminah, Muhammad kecil harus diungsikan ke pedalaman dan baru akan dikembalikan ke ibunya ketika kelak berusia delapan atau sepuluh tahun. Tentu hal ini membuat Siti Aminah gundah. Tapi, tradisi tetaplah tradisi, mau nggak mau harus tetap dilaksanakan.

Aminah pun sadar, ini penting untuk ia lakukan. Ia pun mengikhlaskan putranya untuk dikirim ke pedalaman. Lagipula ia tahu bahwa tujuan dikirimkannya supaya kemampuan berbahasa sang anak bagus—di pedalaman bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab asli, belum campuran dan bukan bahasa pasar (fush-ha)—dan bisa mencecap udara pedalaman yang bersih, tidak seperti di kota yang dianggap telah tercemar.

Di pedalaman itu, Muhammad kecil diasuh oleh Halimah bint Abi Dzuaib (Halimatus Sa’diyah) selama tiga tahun. Muhammad pun tumbuh menjadi anak yang cepat tanggap, telaten dan jujur. Ia juga kerap membantu temannya yang kesusahan dan selalu bersikap bersahaja walaupun ia terkenal memiliki kecerdasan yang luar biasa dibandingkan anak seumurannya, apalagi ia adalah keturunan salah satu suku terpandang di kabilah Arab. Hal itu membuatnya disukai banyak orang. Tak terkecuali teman sebayanya.

Suatu ketika, saat ia bermain bersama anak-anak lain, ia didatangi oleh dua orang berbaju putih. Ia pun sempat bertanya, tapi tidak dijawab. Dua orang itu berkata dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Muhammad  kecil.

Sontak, hal ini pun membuatnya ketakutan. Tak terkecuali teman-temannya. Mereka pun berlari mendatangi  rumah Halimatus Sa’diyah dan melaporkan peristiwa yang terjadi.

“Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki,” ujar salah seorang dari mereka, agak berteriak.

Halimah pun agak terkaget. Tapi, ia berusaha tetap tenang.

“Apa benar yang kau katakan?”

“Benar. Dan ia telah dibaringkan di sebuah batu, perutnya dibedah sambil dibolak-balikkan.”

Seketika itu pula wajah Halimah pucat. Ia pun berlari menuju tempat yang diceritakan itu. Tak butuh waktu lama, ia pun sampai di tempat yang diceritakan itu.

Di sana, ia melihat Muhammad yang terdiam, Halimah pun berusaha menenangkannya.

“Apa yang telah terjadi, Anakku.”

Muhammad melihat wajah Halimah. Kemudian merangkulnya. Lalu, dengan agak terbata-bata ia menjawab, ”Dua orang itu berbaju putih. Ia berusaha mengambil sesuatu dari tubuhku.”

“Apakah itu?”

“Aku tidak tahu, Ibu.”

Halimah pun merangkulnya sekali lagi. Ia pun sebenarnya ketakutan dan takut jika anak ini sedang kesurupan atau ada keanehan lain yang tidak mengerti. Untuk itu, ia bersepakat dengan keluarganya untuk mengembalikan Muhammad kecil ke Makkah.

Kelak, selepas Muhammad kecil tumbuh dewasa dan diangkat menjadi Rasul, baru ia mengerti bahwa dua orang berbaju putih itu adalah malaikat yang diutus oleh Allah subhanahu wata'ala untuk mencari dan mengangkat keburukan dalam dirinya. []

Diceritakan ulang dari biografi Sejarah Hidup Muhammad karya Mohammad Husain Haekal oleh Dedik Priyanto, alumni Pesantren Attanwir, Talun, Sumberrejo, Bojonegoro.

Yudi Latif: Natal Politik Cinta



Natal Politik Cinta
Oleh: Yudi Latif

Kemunculan pemerintahan Joko Widodo dan M Jusuf Kalla ditandai oleh kegairahan musim semi kesukarelaan yang membangkitkan harapan. Setelah sekian lama jagat politik Indonesia mengalami lesu darah, kemunculan pemimpin yang saat pemilihan dipandang relatif otentik mengembalikan darah segar ke jantung politik. Kehadiran darah segar ini lantas dipompakan ke seluruh tubuh kebangsaan oleh dorongan semangat perubahan, yang digerakkan simpul-simpul relawan yang tersebar di seluruh negeri. Tanpa menunggu komando dan janji imbalan, simpul-simpul relawan ini bergerak serempak, mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan institusi kepartaian. Sontak saja, Indonesia disapu gelombang partisipasi politik rakyat yang masif, energetik, dan kreatif.

Fenomena tersebut menunjukkan sumber utama pesimisme dan apatisme publik terhadap politik di negeri ini tidaklah terletak pada "sisi permintaan" (demand-side) seperti sering didalihkan para politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, serta kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya terletak pada kelemahan "sisi penawaran" (supply-side), dari ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk membangkitkan kepercayaan rakyat. Sekali ada aktor politik yang dapat dipercaya, kegairahan warga untuk terlibat secara politik kembali menguat.

Sayang sekali, bulan madu musim semi pengharapan itu cepat berlalu. "Pembajakan" kekuasaan oleh kekuatan oportunistik dan investor politik serta pertikaian berkepanjangan antarkubu politik, yang menyeret konflik internal dalam lingkaran dalam kekuasaan, meniupkan udara panas ke jantung politik. Mendapati petinggi politik dengan jiwa kenegarawanan yang kering, udara panas itu pun cepat membakar ranting jiwa kering, menimbulkan kebakaran di berbagai lini dengan menyisakan asap tebal di langit kekuasaan.

Ketika pusat kuasa diliputi kekeringan dan asap tebal yang sulit dipadamkan, sandaran terakhir yang kita nantikan adalah kedatangan musim hujan penyegaran. Perayaan Hari Natal bersamaan kembalinya musim hujan semoga bisa membawa hadiah keberkatan bagi bangsa ini. "Natal tidaklah menjadi Natal tanpa sesuatu hadiah," tulis novelis Louisa May Alcott. Dan tiada hadiah lebih berharga daripada cinta. Ia obat bagi yang sakit, lilin bagi kegelapan, harapan bagi kebuntuan.

Kebanyakan penyakit ditimbulkan oleh kalbu yang kusut. Kekusutan jiwa dihantarkan ke dalam tubuh, menimbulkan ketegangan antara hati yang sakit serta tubuh yang sehat, berujung pada kerontokan. Obat yang paling mujarab untuk sakit mental, menurut Sigmund Freud, adalah cinta. Sedemikian kuatnya daya kuratif cinta sehingga Freud memandang "psikoanalisis pada hakikatnya merupakan pengobatan lewat cinta".

Cinta menimbulkan banyak perbedaan. Orang yang bangkit dari keterpurukan kerap menuding kasih orangtua atau gurulah yang memotivasi untuk berubah positif. Secara historis, Christian compassion yang mendorong "Politik Etis" di masa kolonial menghadirkan jalan cinta sebagai koreksi terhadap ketamakan rezim liberalisme. Jalan cinta inilah yang membuka jalan pembebasan Indonesia.

Cinta jualah yang menjadi dasar mengada dan menumbuhkan negara-bangsa Indonesia. Bung Hatta mengingatkan, "Indonesia luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya." Pemerintahan negara semacam itu hanya dapat diselenggarakan mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.

Atas dasar itu, Bung Karno pernah menyesalkan pudarnya jiwa cinta kerakyatan para pemimpin kita. "Berapa orangkah dari alam pemimpin Indonesia sekarang ini yang masih benar-benar 'rakyati' seperti dulu, masih benar-benar 'volks' seperti dulu?" Padahal, menurut Bung Karno, "Dulu itu kita semua adalah 'rakyati', dulu itu kita semua adalah 'volks'. Api pergerakan kita dulu itu kita ambil dari dapur apinya rakyat. Segala pikiran dan angan-angan kita dulu itu kita tujukan kepada kepentingan rakyat. Tujuan pergerakan kita dulu itu ialah satu masyarakat adil dan makmur bagi rakyat. Segala apa-saja sebagai hasil penggabungan tenaga rakyat dulu kita pakai sebagai alat perjoangan. Segenap kekuatan perjoangan kita dulu itu adalah kekuatan rakyat."

Beruntunglah, di tengah kemarau cinta di aras kekuasaan politik, kita masih menyaksikan ketahanan daya cinta di masyarakat. Di tengah cengkeraman korupsi, kekerasan, dan mafioso, negeri ini masih menyimpan banyak pejuang cinta tanpa pamrih, yang dengan kekuatan cintanya mampu menyirami bumi yang kering, merenda kembali dunia yang terkoyak. Bahkan Indonesia dinilai sebagai negara yang paling kreatif dalam menggunakan media sosial untuk gerakan sosial.

Cinta memperoleh pemenuhannya bukan pada apa yang bisa ia dapatkan, melainkan pada apa yang bisa ia berikan. Mencintai sesuatu berarti menginginkannya hidup. "Apa yang kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan teladan baginya. Apa yang kuharap dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan mereka," ujar Lao Tzu.

Ujian cinta dibuktikan oleh pengorbanan, seperti Yesus yang siap mengorbankan diri demi keselamatan warga bumi. Setiap Natal, saatnya mengisi kembali baterai cinta, dengan menghidupkan jiwa pengorbanan, demi kebaikan dan kesuburan negeri tercinta. "Cintailah satu sama lain," ujar Yesus dalam Perjanjian Baru (John 13: 34). Nabi Muhammad menggemakan anjuran ini dengan sabda, "Engkau akan melihat orang beriman dalam perangai belas kasih, saling mencintai serta berbagi kebaikan satu sama lain." []

KOMPAS, 29 Desember 2015
Yudi Latif | Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila