Tahun Konsolidasi Sarat Gaduh
Oleh: Bambang Soesatyo
Tahun 2015 sarat gaduh. Dibuka dengan episode Polri
versus KPK jilid II dan ditutup dengan mundurnya Ketua DPR akibat skandal ”Papa
Minta Saham”.
Semua kegaduhan itu menjadi bagian tak terpisah dari
proses konsolidasi pemerintahan baru pimpinan Presiden Joko Widodo- Wakil
Presiden Jusuf Kalla. Selain faktor kegaduhan akibat ulah sejumlah figur atau
tokoh, tahun ini pun sarat masalah atau tantangan. Ketidakpastian global
menyebabkan pertumbuhan ekonomi nasional mengalami perlambatan.
Posisi rupiah pun mengalami tekanan di hadapan
sejumlah valuta utama dunia. Terhitung sejak awal 2015 hingga pekan kedua
September, depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sudah mencapai
15,87 persen. Selain itu, ada dua faktor lokal yang ikut menekan ekonomi dalam
negeri.
Pertama, masih rendahnya harga komoditas unggulan
Indonesia di pasar internasional. Kedua, kegagalan pemerintah memaksimalkan
faktor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai motor pertumbuhan,
yang ditandai dengan lambannya penyerapan anggaran sepanjang 2015. Bahkan,
hampir semua pemerintah daerah juga gagal memaksimalkan anggaran.
Hingga akhir 2015, sekitar Rp270 triliun anggaran
pembangunan daerah hanya bisa diendapkan di sejumlah bank karena banyak pejabat
daerah takut mengeksekusi proyekproyek pembangunan yang anggarannya telah
disetujui. Peristiwa lain yang harus masuk dalam catatan penting tahun ini
adalah kebakaran hutan dan lahan gambut. Kerugian negara akibat musibah ini
ditaksir Rp200 triliun lebih.
Menurut Pusat Data dan Informasi Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), luas area kebakaran hutan dan lahan sepanjang
tahun 2015 mencapai 2.089.911 hektar. Rangkaian masalah itu memunculkan
sejumlah ekses yang tentu saja menghadirkan ketidaknyamanan bagi sebagian besar
rakyat Indonesia. Masyarakat harus menghadapi beberapa kali gejolak harga
kebutuhan pokok, karena ketersediaan beras hingga daging ayam dan daging sapi
bermasalah.
Depresiasi rupiah yang berkelanjutan pun membuat
masyarakat pesimis karena dihantui krisis ekonomi. Gelombang pemutusan hubungan
kerja (PHK) terjadi pada sejumlah subsektor usaha manufaktur akibat melemahnya
konsumsi atau permintaan dalam negeri. Itulah beberapa catatan penting yang
patut digarisbawahi pemerintah sebelum menapaki awal tahun 2016.
Sangat penting bagi Presiden Joko Widodo untuk
meyakinkan rakyat bahwa konsolidasi pemerintahannya sudah selesai, agar 2016
dan tahun-tahun selanjutnya bisa berkonsentrasi penuh mengelola semua aspek
dari agenda pembangunan nasional.
Menguji Presiden
Presiden sudah mengawali pemerintahannya dengan
langkah cukup mantap, ketika memutuskan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
pada pekan kedua November 2014. Keputusan strategis ini ibarat modal awal
pemerintahannya untuk mengarungi 2015 yang sarat tantangan itu. Sayang, segala
sesuatunya tidak berjalan mulus karena proses konsolidasi pemerintahan Jokowi
penuh rintangan.
Gangguan terhadap proses konsolidasi itu muncul pada
Januari 2015, dipicu oleh persoalan siapa yang akan ditunjuk Presiden untuk
menjabat Kepala Polri (Kapolri). Sosok perwira pilihan Presiden, Komisaris
Jenderal Polisi Budi Gunawan (BG), langsung dimentahkan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam hitungan jam setelah Presiden mengumumkan nama
BG sebagai calon Kapolri, Ketua KPK (saat itu) Abraham Samad ”mengganggu”
Presiden dengan mengumumkan BG sebagai tersangka atas dugaan transaksi
mencurigakan atau tidak wajar. Akibatnya, Presiden harus menghadapi tekanan
dari dua arah yang saling berlawanan. Publik pun bisa merasakan betapa tidak
mudahnya presiden mengonsolidasi pemerintahannya.
Komunitas pendukung Jokowi, termasuk sejumlah
politisi, mendesak presiden mempertahankan pilihannya dan melantik BG. Dari
arah lain, presiden justru didesak membatalkan pencalonan BG. Eskalasi
kegaduhan pun menjadi tak terhindarkan ketika elite PDIP melakukan serangan
balik terhadap Abraham Samad, memanfaatkan apa yang disebut sebagai laporan
publik yang tertuang dalam sebuah artikel berjudul ”Rumah Kaca Abraham Samad” .
Artikel ini memuat tuduhan kepada Samad karena
menjadikan KPK sebagai alat lobi politik untuk mencalonkan diri sebagai
cawapres 2014. Berangkat dari artikel itu, Pelaksana Tugas Sekjen PDI
Perjuangan Hasto Kristyanto memberi perincian tentang manuver politik Samad
menuju Pemilu Presiden 2014. Menurut Hasto, Samad melakukan enam kali pertemuan
dengan petinggi PDI Perjuangan. Bahkan Samad juga menemui mantan Kepala Badan
Intelijen Negara AM Hendropriyono dan mantan Deputi Tim Transisi Andi
Widjajanto.
Samad akhirnya dinonaktifkan dari jabatannya. Karena
diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai ketua KPK, Samad kemudian memenuhi
panggilan pemeriksaan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri sebagai
tersangka. Kasus Samad dilaporkan Direktur Eksekutif KPK Watch Yusuf Sahide.
Tidak berhenti sampai di situ, Samad pun harus
merespons masalah lain, karena dia dilaporkan telah melakukan pemalsuan dokumen
kependudukan. dengan tersangka awal seorang perempuan bernama Feriyani Lim.
Persoalan yang dihadapi KPK tidak berhenti di Abraham Samad. Polisi juga
menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto untuk perkara rekayasa keterangan
palsu saat menjadi pengacara dalam perkara Pemilukada 2010.
Tim Mabes Polri menangkap Bambang Widjojanto di
sebuah jalan raya di Depok pada Jumat, 23 Januari 2015. Saat itu, wajah KPK
benar- benar tampak babak belur. Setelah penangkapan Bambang, pimpinan KPK
lainnya juga dilaporkan ke pihak berwajib oleh beberapa orang. Benar-benar
gaduh dan tegang. Efektivitas kepemimpinan Presiden Jokowi saat itu benar-benar
diuji, bahkan mengalami ujian berat.
Hal itu terjadi bertepatan dengan peringatan 100 hari
kepemimpinannya, Imbauan bernada perintah presiden untuk tidak menahan pimpinan
KPK tidak sertamerta ditaati. Seolah ada kekuatan lain di negara ini yang lebih
berkuasa dari Presiden RI. Situasi serupa juga terlihat oleh publik ketika
presiden harus menyikapi konflik internal yang melanda Partai Golkar dan PPP
(Partai Persatuan Pembangunan).
Kehendak Presiden agar Kementerian Hukum dan HAM
bersikap objektif-proporsional tidak ditaati. Dalam kasus Golkar, kementerian
Hukum dan HAM malah tergesagesa mengakui kepengurusan hasil Munas Ancol, tanpa
mempertimbangkan dokumen keabsahan Munas Ancol. Begitu juga pada kasus PPP.
Akibatnya jagat perpolitikan nasional pun ikut menabuh gaduh.
Dampak Nomenklatur
Dari rangkaian kegaduhan itu, terlihat bahwa tidak
semua pembantu Presiden menunjukan loyalitas tunggal kepada Presiden.
Sebaliknya, dalam proses mengonsolidasi kekuasaannya, Presiden Jokowi terpaksa
harus merasakan ada pembantu atau menteri yang menunjukkan loyalitas ganda,
loyal kepada Presiden dan loyal juga kepada pimpinan partai politik dari mana
sang menteri berasal.
Jika saja para pejabat tinggi negara itu hanya loyal
kepada Presiden, kegaduhan sepanjang 2015 ini bisa diminimalisasi. Akan tetapi
aspek loyalitas itu masih menjadi persoalan. Pasca reshuffle kabinet, giliran
para menteri berbuat gaduh dengan bertengkar di ruang publik. Respek beberapa
menteri terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi terbilang minim.
Publik tentu masih ingat ketika seorang menteri
dengan lantang menantang wakil presiden berdebat terbuka. Atau, menteri malah
mengecam program prioritas kelistrikan yang telah ditetapkan presiden.
Nomenklatur kementerian/ lembaga (K/L) yang bertele- tele juga mengganggu
konsolidasi pemerintahan Jokowi. Dampaknya sangat serius terhadap efektivitas
koordinasi pemerintah pusat dengan daerah.
Konsolidasi sejumlah K/L dirasakan sangat lambat
setelah penggabungan maupun pemecahan instansi. Kelambanan lebih disebabkan
oleh sulitnya pengisian jabatan. Kevakuman sementara itu tentu saja memberi
pengaruh cukup signifikan terhadap aspek penyerapan anggaran. Komunikasi pusat
dan daerah pun bisa terhenti sementara sambil menunggu rampungnya konsolidasi
K/L.
Di tengah ragam rintangan dan masalah, presiden terus
membangkitkan optimisme publik. Presiden memastikan pembangunan nasional tidak
lagi Jawa sentris, melainkan Indonesia sentris. Dia berupaya merealisasikan
proyek pembangunan infrastruktur strategis di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi
hingga Papua berupa ruas jalan tol dan jalur kereta api. Untuk meyakinkan dunia
usaha dan investor asing, Presiden juga terus mengupayakan terwujudnya iklim
berusaha yang kondusif.
Sejak awal September 2015 hingga jelang akhir tahun
2015, Presiden sudah menerbitkan delapan paket deregulasi kebijakan ekonomi.
Tujuannya mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi,
debirokratisasi, penegakan hukum dan kepastian usaha.
Untuk menguatkan keyakinan semua elemen masyarakat,
pemerintah berencana menurunkan harga BBM pada awal tahun 2016, mengikuti tren
turunnya harga minyak dunia. Kalau tidak ada kegaduhan lagi, kebijakan BBM awal
2016 itu bisa menjadi stimulus yang menggerakkan roda perekonomian nasional. []
KORAN SINDO, 29 Desember 2015
Bambang Soesatyo | Anggota Komisi III DPR RI, Presidium Nasional
KAHMI dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia