Senin, 31 Agustus 2020

(Do'a of the Day) 11 Muharram 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma inni a'uudzu bika minal kufri wal faqri.

 

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran dan kefakiran.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 51.

Sekolah Pandemi



Azyumardi: Asa Indonesia 75 Tahun

Asa Indonesia 75 Tahun

Oleh: Azyumardi Azra

 

Dirgahayu Indonesia 75 tahun. Umur yang sudah melebihi usia harapan hidup rata-rata warga Indonesia (71,39 tahun pada 2019), bahkan usia rata-rata warga dunia (72 tahun). Dilihat dari rentang usia manusia, Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan lagi negara usia muda, melainkan sudah dewasa.

 

Dalam usia 75 tahun kemerdekaan, semakin susah menemukan generasi Angkatan 45, yaitu mereka yang ikut berjuang jiwa raga menegakkan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Perjuangan mereka berlanjut dalam revolusi kemerdekaan, kemudian melintasi masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.

 

Apa yang mungkin dikatakan warga Angkatan 45 yang mengalami Indonesia masa kini? Bagi mereka, Indonesia dewasa ini dalam banyak segi beyond imagination—tidak pernah terbayangkan. Meski masih terbelakang dalam bidang tertentu, pencapaian Indonesia kontemporer tetap membanggakan.

 

Tanpa harus merinci kemajuan dalam berbagai lapangan kehidupan yang beyond imagination, Indonesia berada dalam posisi penuh harapan dan menjanjikan.  Dalam asa itu, Indonesia, menjelang 100 tahun kemerdekaan pada 2045, diyakini menjadi negara dengan ekonomi terbesar keempat atau kelima di dunia.

 

Itulah proyeksi institusi kredibel semacam Forum Ekonomi Dunia atau PricewaterhouseCooper (PwC). Proyeksi itu dibuat bukan berdasarkan angan-angan ”menggantang asap”. Inilah proyeksi atas dasar kalkulasi dan analisis cermat yang harus disyukuri.

 

Waktu 25 tahun menuju 2045 tak terlalu lama. Generasi milenial hari ini bakal menjadi saksi hidup apakah asa itu terwujud atau tidak pada 2045. Inilah ”mimpi Indonesia” (Indonesian dream) 25 tahun ke depan.

 

Lalu datanglah wabah Covid-19 sejak awal Maret lalu yang sampai  Agustus ini terus meningkat: belum ada tanda-tanda melandai. Jika negara seperti Jepang, Inggris atau Spanyol kini menghadapi gelombang II Covid-19, entah apa yang terjadi dengan Indonesia jika pelandaian nanti diikuti gelombang II.

 

Wabah Covid-19 menimbulkan disrupsi dan kekacauan dalam berbagai aspek kehidupan, baik  kesehatan, politik, ekonomi, sosial-budaya, maupun agama. Pandemi Covid-19 menjadi faktor utama setback yang dialami Indonesia dalam usia 75 tahun. Setback yang dampaknya berlangsung bertahun-tahun ke depan jelas membuat semakin sulit mewujudkan ”mimpi Indonesia.

 

Sementara disrupsi akibat wabah Covid-19 entah kapan bisa teratasi, banyak pencapaian dalam beberapa dasawarsa terakhir menyusut. Tantangan yang dihadapi menjadi berlipat ganda, berjalin berkelindan seperti benang kusut yang tidak mudah diselesaikan. Kerumitan semua masalah memerlukan penanganan simultan.

 

Menghadapi tantangan dan masalah akibat disrupsi Covid-19 beserta berbagai dampak penyakit politik, ekonomi, hukum, dan sosial-budaya yang ditimbulkannya, apa yang semestinya bisa dilakukan?

 

Jelas tidak ada penyelesaian instan yang dapat menyelesaikan berbagai masalah yang semakin berat dihadapi pemerintah. Sebagai pengendali kekuasaan dan perjalanan negara-bangsa, segenap aparat pemerintah perlu memiliki komitmen, kecepatan, ketegasan, dan kesungguhan dalam menyelesaikan berbagai masalah.

 

Untuk itu, para pejabat publik mulai dari tingkat tertinggi sampai level terbawah, sekali lagi,  harus memperkuat sense of crisis. Mereka tidak bisa bekerja dalam irama biasa-biasa saja—business as usual.

 

Mengatasi wabah Covid-19 dan memulihkan ekonomi jelas menjadi prioritas utama pemerintah. Menghadapi kedua masalah berat ini, kalangan pemerintah menyebutnya sebagai harus menyeimbangkan ”rem dan gas”.

 

Menginjak rem kebebasan warga untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 dan pada saat yang sama menekan gas pemulihan ekonomi jelas tidak mudah. Bukan tidak mungkin keduanya gagal dicapai: pandemi Covid-19 tidak bisa diatasi, tetap meningkat, sementara ekonomi juga tidak bisa dipulihkan.

 

Pemerintah perlu berbalik kembali untuk lebih dahulu menyelesaikan sumber masalah, yaitu pandemi Covid-19. Pemerintah pusat dan daerah perlu kembali mengintensifkan berbagai cara untuk memutus rantai penyebaran  Covid-19: meminimalkan kemunculan episentrum dan kluster baru Covid-19 yang terus berkecambah. Jika Covid-19 bisa direm, barulah usaha pemulihan ekonomi bisa ”tancap gas”.

 

Jika asa Indonesia 75 tahun masih dapat digelorakan, prasyarat apa yang diperlukan?

 

Pemerintah jelas memainkan peranan kunci dalam mengatasi berbagai masalah. Namun,  untuk mampu mewujudkan peran itu, perlu kinerja istimewa untuk menyelesaikan masalah-masalah berat. Di sini pemerintah  mulai dari tingkat pusat sampai daerah harus kembali melakukan konsolidasi dan revitalisasi.

 

Dalam konsolidasi pemerintahan, pemerintah pusat juga mesti meninggalkan kecenderungan melakukan resentralisasi. Gejala resentralisasi, misalnya, dilakukan pemerintah pusat lewat deregulasi yang puncaknya adalah dengan pengajuan RUU Cipta Kerja. Bermaksud menghapuskan berbagai regulasi di daerah yang dianggap menghambat investasi, RUU Cipta Kerja mereduksi otonomi daerah yang telah diterapkan  21 tahun terakhir.

 

Termasuk dalam konsolidasi pemerintah ialah rekonsolidasi dan revitalisasi demokrasi. Meski Indeks Demokrasi Indonesia 2019 naik menjadi 74,92 dari  sebelumnya 72,39, sejumlah indikator masih buruk dalam aspek kebebasan sipil, seperti masih adanya ancaman penggunaan kekerasan atas kebebasan berpendapat.

 

Selain itu, perlu revitalisasi masyarakat sipil yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami marjinalisasi. Masyarakat sipil cenderung tidak lagi mendapat respek dan tempat sepantasnya dari pemerintah dan DPR. Kedua pihak ini dalam sejumlah kasus pengesahan undang-undang, tidak lagi melibatkan masyarakat sipil.

 

Jika asa Indonesia masih bisa digelorakan, hal ini memerlukan konsolidasi penegakan hukum. Pemberantasan korupsi harus kembali menjadi salah satu agenda  pokok. Jangan lagi terulang kasus buron terpidana cessie Bank Bali, Joko S Tjandra, di mana  aparat hukum diduga justru memfasilitasinya. Mereka yang seharusnya menegakkan hukum menjadi ”tongkat membawa rebah”.

 

Asa Indonesia 75 tahun yang tidak kurang pentingnya adalah penciptaan keadilan ekonomi. Setelah 75 tahun merdeka, janji keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh dari kenyataan. Ketidakadilan ekonomi yang kian merajalela juga menimbulkan ketidakadilan sosial dan politik, yang dapat memicu keresahan dan gejolak sosial dalam skala luas.

 

Keadilan ekonomi bisa diwujudkan tidak hanya dengan mengambil kebijakan afirmatif untuk pemberdayaan ekonomi warga miskin, tetapi haruslah juga dengan menghapuskan berbagai struktur ekonomi dan politik tidak adil dan menindas.

 

Selama struktur-struktur ketidakadilan dan kekerasan ini bertahan, sulit untuk menyalakan asa kejayaan Indonesia 100 tahun menuju 2045. []

 

KOMPAS, 13 Agustus 2020

(Ngaji of the Day) Hizib Nawawi: Penyusun, Keutamaan, dan Cara Mengamalkannya

Hizib Nawawi: Penyusun, Keutamaan, dan Cara Mengamalkannya

 

Sebagian dari hizib (kumpulan dzikir) yang cukup populer di kalangan masyarakat adalah Hizib Nawawi. Nama “Hizib Nawawi” dinisbatkan kepada sang penyusun hizib ini yang tak lain adalah salah satu wali quthb di zamannya, Syekh Abi Zakaria Yahya bin Syarafuddin an-Nawawi, atau yang biasa dikenal dengan Imam an-Nawawi.

 

Imam an-Nawawi merupakan pembesar ulama fiqih mazhab Syafi’i. Karyanya dalam bidang fiqih banyak menghiasi jendela khazanah keislaman, seperti kitab Minhaj ath-Thalibin, Raudhah ath-thalibin, dan al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab. Beliau juga terkenal sebagai ulama yang pakar dalam bidang hadits. Dua karyanya dalam bidang hadits banyak diajarkan di berbagai lembaga pendidikan yang tersebar di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Dua karya itu adalah kitab al-Arba’in an-Nawawiyah dan Riyadh as-Shalihin.

 

Sedangkan dalam tema dzikir dan wirid, beliau mengarang kitab al-Adzkar an-Nawawiyah yang di dalamnya menyebutkan berbagai macam dzikir sekaligus sumber dalil pengambilannya.

 

Hizib Nawawi sejatinya merupakan himpunan dzikir-dzikir yang istiqamah diamalkan oleh Imam an-Nawawi setiap harinya. Lalu kumpulan dzikir tersebut dikumpulkan menjadi satu, hingga masyhur dikenal dengan nama Hizib Nawawi.

 

Hizib Nawawi ini merupakan bacaan istiqamah berbagai tarekat, salah satunya tarekat al-Qadiriyah al-‘Aliyah. Hizib ini dinilai dapat menjaga dan membentengi seorang salik (orang yang menggapai jalan Allah) dari keburukan nafsu, setan, dan tipu daya keduanya.

 

Faedah membaca Hizib Nawawi disebutkan dalam kitab al-Kunuz an-Nuraniyah:

 

وهو من المجربات العظيمة للحفظ من السحر والعين وشر الشيطان والجان، ولتفريج الكروب، ولرد كيد الظالمين وبغى الباغين، وحسد الحاسدین، والدخول تحت كنف الله وستره وحمايته -ومن فضائله أنه يكسو قارئه حلةً من البهاء والنور والجلال والجمال

 

“Hizib ini termasuk hizib yang mujarab untuk menjaga dari sihir, tipuan mata (bagian dari sihir), dan keburukan setan dan jin. Hizib ini juga berfaedah untuk menghilangkan kesusahan, menolak tipu daya orang-orang yang zalim, menolak aniaya para penganiaya dan kedengkian para pendengki serta agar ternaungi dalam naungan dan perlindungan Allah. Sebagian fadhilah (keutamaan) yang lain, hizib ini akan menghiasi pembacanya dengan kemuliaan, cahaya, keagungan, dan keindahan” (Sayyid Mukhlif Yahya al-‘Ali al-Hudzaifi al-Husaini, al-Kunuz an-Nuraniyah, hal. 179-180).

 

Cara membaca Hizib Nawawi ini, secara umum dapat diamalkan dengan lima cara:

 

Pertama, dibaca dua kali sehari, yakni di pagi hari setelah shalat subuh sampai waktu dhuha dan malam hari setelah waktu maghrib sampai masuk waktu isya’.

 

Kedua, dibaca tiga kali sehari, yakni seperti dua waktu di atas ditambah lagi pada saat masuk waktu sahur.

 

Ketiga, dibaca lima kali sehari, yakni setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu.

 

Keempat, dibaca tujuh kali sehari, yakni lima kali setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu ditambah dengan setelah melaksanakan shalat dhuha dan menjelang tidur.

 

Kelima, dibaca 14 kali, yakni dibaca tujuh kali saat pagi dan sore dan tujuh kali saat malam.

 

Lima cara di atas dapat diamalkan sepenuhnya sesuai dengan kecenderungan dan kemantapan kita. Namun cara pengamalan yang paling utama adalah cara ketiga, yang berfaedah akan memberikan penjagaan dan keamanan pada pembacanya.

 

Semoga dengan mengamalkan hizib ini, kita mendapatkan fadhilah dan keberkahan dari Imam an-Nawawi serta menjadikan kita semakin bersemangat dalam menjalankan ibadah kepada Allah Swt. Amin yaa Rabbal ‘Alamin. []

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember

Haedar Nashir: Indonesia Bernyawa

Indonesia Bernyawa

Oleh: Haedar Nashir

 

Dalam gempita perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-75 dengan templat logo milenial nirsensitivitas sosial. Tiba-tiba terlintas suara berat Bung Karno didampingi Hatta kala memproklamasikan kemerdekaan Indonesia yang mengguncang semesta:

 

Proklamasi

“Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

 Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

 Atas nama bangsa Indonesia.

 Soekarno/Hatta.”

 

Gelegar teks bersejarah yang dibacakan dengan sepenuh jiwa raga itulah yang mengentak dunia dan menjadi penanda Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara MERDEKA. Merdeka dengan huruf kapital. Merdeka dari penjajahan asing yang merampas Tanah Air dan menyengsarakan rakyat Indonesia ratusan tahun lamanya.

 

Seluruh rakyat di pelosok Tanah Air kala itu merayakan dengan sukacita dan kesyukuran atas kemerdekaan yang ditebus sangat mahal iu. Kemerdekaan yang dengan bijak oleh para pendiri bangsa dipersaksikan sebagai “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”.

 

Kini, setelah waktu berlalu jauh dari hari bersejarah itu. Jika dalam setiap perayaan 17 Agustus selalu dipekikkan “merdeka”. Apakah Indonesia hari ini benar-benar merdeka dari ketergantungan asing dan praktik kekuasaan domestik yang membelenggu?  Kala dikumandangkan “Hidup Indonesia”, apakah Indonesia “benar-benar hidup” saat ini? 

 

Nyawa Indonesia

 

Mr Soepomo ketika berpidato di BPUPKI menyatakan, setelah merdeka kita ingin membangun Indonesia bukan ragad fisik semata, tetapi membangun Indonesia yang “bernyawa”. Indonesia yang memiliki jiwa. Sebagaimana bagian dari frasa lagu Indonesia Raya: “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya”. 

 

Hampir semua tokoh kemerdekaan dan pendiri bangsa di majelis tertinggi tersebut bicara nilai-nilai mendasar. Sebagai dasar negara sebagai nilai fundamental sekaligus jiwa bagi Negara Indonesia yang sedang diperjuangkan kemerdekaannya. Pikiran-pikiran mendasar itulah yang di kemudian hari dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945, termasuk dalam batang tubuh UUD 1945.

 

Adakah nilai-nilai mendasar Indonesia itu saat ini menjiwai alam pikiran, sikap, dan tindakan para elite dan warga bangsa? Bagus orang-orang berslogan  “Aku Indonesia”, “Aku Pancasila”, “NKRI harga mati”, “Aku cinta Indonesia”. Namun, adakah jiwa keindonesiaan di dalamnya? Jangan sampai slogan hampa makna, tidak bernyawa.

 

Nyawa Indonesia termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak tersentuh amendemen yang sangat liberal. Adakah Indonesia hari ini semakin mendekati atau sejiwa dengan tujuan menjadi negara dan bangsa yang benar-benar telah merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur di dunia nyata. Cita-cita nasional yang memang berat untuk diwujudkan, tetapi setidaknya tidak dikalahkan oleh kebijakan-kebijakan pragmatik jangka pendek. 

 

Apakah Indonesia saat ini benar-benar merdeka dari neokolonialisme dan neoliberalisme seperti pernah dicemaskan Bung Karno puluhan tahun silam? Elite dan warganya benar-benar bersatu lahir dan batin. Benar-bernar berdaulat dari segala cengkeraman politik, ekonomi, dan budaya domestik maupun asing.  Benar-benar berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Benar-benar makmur mayoritas rakyatnya. Lima pertanyaan dasar tersebut patut dijawab ketika para petinggi dan penduduk negeri merayakan Indonesia merdeka.

 

Para penyelenggara negara apakah ingat perintah konstitusi dasar. Bahwa setiap Pemerintah Negara Indonesia memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum.  Mencerdaskan kehidupan bangsa. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sudahkan semua itu dijalankan dan menjadi komitmen utama para pejabat negara.

 

Bacalah dengan saksama substansi Pancasila di dalamnya. Negara dan bangsa Indonesia ini harus benar-benar ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ber-Persatuan Indonesia. Ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Serta mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila dalam kata kerja, bukan kata benda dan retorika. 

 

Saksikan Indonesia di dunia nyata. Sistem kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia praktiknya oligarkis. Adakah sistem kekuasaan elite tersebut dengan jiwa Indonesia merdeka?. Siapa yang dapat menghentikan jika eksekutif dan legislatif berkongsi mengegolkan RUU yang bermasalah? Tidak ada, suara Tuhan pun mungkin tidak akan didengar. Padahal, Bung Hatta mengingatkan, kemerdekaan bukan sekadar terlepas dari jajahan Belanda, melainkan masyarakat Indonesia juga harus melepaskan diri dari jajahan para kaum ningrat (elite) yang berusaha menguasai rakyat Indonesia!

 

Kehilangan Indonesia

 

Indonesia menjadi negeri merdeka seperti sekarang ini diperjuangkan dengan pengorbanan jiwa para pejuang dan pendiri bangsa. Hatta untuk sebuah nama INDONESIA perlu proses panjang sejak Adolf Bastian memperkenalkannya pada 1884. Para tokoh kebangkitan nasional serta Kongres Pemuda 1928 lebih memilh Indonesia daripada nama Swarnadwipa, Dwipantara, Insulinda, Melayunesia, dan Nusantara. Nama Indonesia pun bermakna, bernyawa.

 

Kita saat ini merindukan Indonesia yang beryawa dalam jiwa Pembukaan UUD 1945 dan spirit para pejuang bangsa. Indonesia yang bersumberkan nilai Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa yang hidup dalam kesadaran kolektif bangsa di seluruh penjuru negeri. Bukan Indonesia kata-kata. Apalagi, sekadar ragad fisik dan berlogo  “merchandise”.

 

Pastikan jiwa yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan seluruh sumber nilai keindonsiaan itu dilaksanakan dengan sesungguh-sungguhnya oleh seluruh penyelenggara negara. Pastikan lima sila dalam Pancasila dijiwai dan dijalankan, bukan sekadar bermain di perundang-undangan, yang salah kaprah dan membakar gundah. Bukan Pancasila yang bersemi dalam jiwa-jiwa kerdil dan congkak kuasa.

 

Pastikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia terwujud untuk memotong mata rantai kesenjangan sosial sebagai masalah utama bangsa. Pastikan siapa yang menguasai tanah dan sumber daya alam di negeri tercinta ini.

 

Kita tidak tahu nasib penduduk bumiputra dan rakyat kecil, apakah masih bisa punya tanah hanya untuk sejengkal, yang dulu para nenek moyangnya berkorban nyawa untuk kemerdekaan negeri ini. Adakah negara melindungi Tanah Air yang kaya raya itu untuk hajat hidup terbesar rakyat?

 

Pastikan kekayaan negara dan sumber daya alam dijamin untuk sebesar-besarnya hajat hidup rakyat sebagaimana pasal 33 UUD 1945. Apakah kekayaan flora, fauna, dan yang terkandung di perut bumi Indonesia tidak dieksploitasi oleh tangan-tangan rakus dan tidak bertanggung jawab.

 

Diekspor mentah dan murah tanpa berpikir kepentingan domestik dan nasib generasi mendatang. Amanahkah para petinggi dan aparat negara dari pusat sampai daerah dalam menjaga kepentingan bangsa dan tumpah darah Indonesia yang sangat berharga itu.

 

Apakah pendidikan Indonesia benar-benar sebagai strategi mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai jalan kebudayaan mendidik akal budi dan menyiapkan manusia Indonesia yang beriman-bertakwa, berkahlak mulia, ceras berilmu, dan berkeahlian sebagai insan berbudi luhur untuk menjadi aktor peradaban masa depan Indonesia. Bukan pendidikan sebagai pabrik produksi insan modular yang terputus nalar sejarah dan kebudayaannya dari jati diri keindonesiaan. 

 

Kaum milenial dan generasi Z memang harus diberi ruang kreasi dan inovasi bagi kemajuan Indonesia. Namun, jangan manjakan mereka dengan ruang kreasi serba-indrawi yang membuat mereka ahistoris dan terasing jati diri keindonesiaan yang bersumberkan pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur yang hidup di Bumi Pertiwi Indonesia. Pemanjaan yang berlebihan akan menjadikan mereka “the lost generation” laksana anak salah asuhan.

 

Hari ini kita merindukan Indonesia yang tidak gemerlap luar, tetapi kehilangan jiwa autentik. Kita nyaris tidak begitu mengenali Indonesia yang didirikan para pendiri negara 75 tahun silam. Indonesia yang berjiwa Pembukaan UUD 1945. Bukan Indonesia yang penuh jargon verbal yang dangkal, tetapi luruh sukma dan tak berdaya-hidup.

 

Indonesia yang sarat ritual simbolis nirmakna fundamental. Indonesia yang warga dan elite negerinya terputus dari sejarah, kebudayaan, dan nilai-nilai luhur 1945. Indonesia yang tidak bernyawa! []

 

REPUBLIKA, 14 Agustus 2020

Haedar Nashir | Ketua Umum PP Muhammadiyah

(Ngaji of the Day) Awal Mula Al-Wala wal Bara dalam Aqidah Islam

Awal Mula Al-Wala wal Bara dalam Aqidah Islam

 

Orang yang berkembang dalam tradisi Asy’ariyah (peletak dasar teorisasi teologi Ahlussunnah wal Jamaah, 873 M-935 M) sedikit kesulitan untuk mencari dari mana asal al-wala wal bara ini secara teoritis dalam kaitannya dengan keimanan. Pasalnya, para ulama Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) tidak memasukkan al-wala wal bara ke dalam aqidah Aswaja.


Secara umum, aqidah yang harus diyakini oleh umat Islam menurut pandangan aqidah Aswaja hanya berkaitan dengan sifat Allah, sifat para rasul, takdir, malaikat, alam kubur, dunia ghaib, syafaat rasul, telaga Al-Kautsar, surga, neraka, dan alam akhirat, (Zaini Dahlan, tanpa tahun: 1-15) dan (Al-Baijuri, tanpa tahun: 1-77).


Sayyid Sa‘id Abdul Ghani melalui karyanya, Haqiqatul Wala wal Bara fi Mu’taqadi Ahlissunnah wal Jamaah sedikit membantu untuk melacak awal mula kaitan al-wala wal bara dan keimanan. Ia mengutip penjelasan Syekh Ibnu Taimiyah (661 H/1263 M-728 H/1328 M) atas Surat Al-Mujadalah ayat 22 dalam kitab Al-Iman.


“Allah mengabarkan bahwa kau (Muhammad) takkan menemukan seorang yang beriman mencintai mereka yang menentang Allah dan rasul-Nya karena keimanan menafikan cinta tersebut sebagaimana satu kutub menafikan kutub lain yang berseberangan dengannya. Jika terdapat keimanan, maka lawan dari keimanan menjadi tiada, yaitu menjadikan musuh Allah sebagai teman dekat. Jika seseorang mencintai musuh Allah dengan hatinya, maka itu menjadi tanda bahwa pada hatinya tidak terdapat keimanan yang pasti,” (Ghani, 1998 M: 649).

 

Kami menemukan al-wala wal bara secara teoritis yang paling awal ‘diperkenalkan’ oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri 'Mazhab Wahabi,' (1115 H/1701 M-1206 H/1793 M). Pandangan al-wala wal bara dari Muhammad bin Abdul Wahhab ini diberi anotasi oleh pemuka Wahabi, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (1925 M-2001 M) dalam Syarah Ushulut Tsalatsah.


Muhammad bin Abdul Wahhab dalam buku tersebut menyampaikan doktrin berisi tiga hal penting yang wajib diperhatikan dan diamalkan oleh seorang Muslim dan Muslimah. 


Pertama, Allah pencipta sekaligus pemberi rezeki. Allah tidak membiarkan manusia begitu saja, tetapi mengutus para rasul-Nya. Siapa yang mematuhi mereka, maka ia akan masuk surga. Tetapi siapa yang mendurhakai mereka, ia masuk ke neraka (Al-Muzammil ayat 15-16).


Kedua, Allah tidak rela disekutukan dalam penyembahan-Nya dengan apa dan siapa pun termasuk malaikat muqarrabun dan nabi utusan dalam sekutu (Al-Jin ayat 18).


Ketiga, siapa yang menaati rasul dan mengesakan Allah, maka ia tidak boleh menjadikan mereka yang menentang Allah dan rasul-Nya sebagai teman dekat sekali pun ia kerabat dekat (Al-Mujadalah ayat 22) (Wahab, 2001: 29-35).


Al-Muzammil ayat 15-16:

 

إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ رَسُولًا فَعَصَىٰ فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيلًا

 

Artinya, “Sungguh Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Makkah) seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang rasul kepada Fir'aun. Maka Fir'aun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa dia dengan siksaan yang berat.”


Al-Jin ayat 18:


وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا 


Artinya, “Sungguh masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.”

 

Al-Mujadalah ayat 22:


لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ


Artinya, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Mereka kelak dimasukkan oleh-Nya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, sungguh hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”

 

 

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (1925 M-2001 M) menambah deretan ayat al-wala wal bara di samping ayat yang disebutkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, yaitu Surat Ali Imran ayat 118, Al-Maidah ayat 51 dan 57, At-Taubah ayat 23-24, dan Al-Mumtahanah ayat 4. (Al-Utsaimin, 2001: 34-36).


Ali Imran ayat 118:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ


Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya."

 

Surat Al-Ma’idah ayat 51:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ 


Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sungguh orang itu termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”


Surat Al-Ma’idah ayat 57:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ


Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman."


At-Taubah ayat 23.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ


Artinya, Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.


At-Taubah ayat 24:


قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ


Artinya, “Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.


Al-Mumtahanah ayat 4:


قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ۖ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ


Artinya, “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: ‘Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah’. (Ibrahim berkata): ‘Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali".


Menurut Al-Utsaimin, tindakan al-wala (loyalitas terhadap orang-orang yang menentang Allah) menunjukkan kelemahan iman mereka kepada Allah dan rasul-Nya. Pasalnya, akal sehat sulit menerima loyalitas seseorang akan sesuatu yang menjadi musuh kekasihnya. Loyalitas terhadap orang-orang kafir dapat mengambil bentuk pertolongan dan pembelaan terhadap mereka atas kekufuran dan kesesatan. Cinta terhadap mereka juga dapat berbentuk tindakan yang menyebabkan mereka senang. Cinta terhadap mereka dapat berbentuk aneka jalan.


Semua ini dapat menafikan keimanan seseorang sama sekali, atau menafikan kesempurnaan iman seseorang. Oleh karena itu, seorang Muslim harus memusuhi, membenci, dan menjauhi mereka yang menentang Allah dan rasul-Nya meski mereka adalah kerabat sendiri. Namun demikian, perintah ini tidak menghalanginya untuk menasihati dan mengajak mereka ke jalan yang benar, (Al-Utsaimin, 2001: 36).


Aqidah al-wala wal bara dengan demikian lebih dekat pada konsep aqidah yang diperkenalkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan kalangan Wahabi sesudahnya. Al-wala wal bara ini yang dalam pandangan kalangan Wahabi untuk mengukur dan menilai keimanan orang lain, dan tidak jarang menghakimi orang lain, mengeksklusi bahkan mengeksekusi dan mempersekusi, hingga merundung (bully) orang lain, sekalipun kerabat dekat dan keluarga sendiri. 


Sesungguhnya tidak ada masalah dengan semua ayat di atas dan al-wala wal bara sebagai perintah agama. Hanya saja letak problematisnya adalah penempatan al-wala wal bara ke dalam aqidah Islam sebagai alat ukur keimanan orang lain dan legitimasi untuk praktik eksklusi terhadapnya.


Dengan kata lain, masalahnya terletak pada pemahaman dan pelaksanaannya yang keliru karena melewati batas. Oleh karena itu, penempatan al-wala wal bara ke dalam aqidah Islam perlu diuji secara keilmuan dan secara sejarah. Wallahu a‘lam. []

 

Sumber: NU Online

Nasaruddin Umar: Jejak dan Derap Peradaban Islam: Kimiya al-Sa'adah

Jejak dan Derap Peradaban Islam

Kimiya al-Sa'adah

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Antara sufi-ilmuan dan filsuf-ilmuan ternyata bukan hanya dibedakan oleh pandangan kosmologis tetapi juga berbeda dalam pandangan dunia (world views). Sufi-ilmuan seperti Jabir Ibn hayyan menganalogikan martabat wujud material dan wujud non material. Logam biasa (yang bercampur dengan unsur lain) berbeda dengan logam mulia. Logam mulia (emas) kualitasnya istimewa, tidak berkarat, warnanya terarang dan hidup, harganya lebih mahal, dan dapat memberikan kepuasan kepada banyak orang jika sudah dibentuk menjadi perhiasan. Analoginya terhadap wujud non material, seperti jiwa misalnya, jiwa yang biasa masih terkontaminasi dengan berbagai kotoran, tetapi setelah dilakukan penempahan, pembersihan, dan penyucian maka jadilah jiwa yang suci-bersih, jiwa yang memberikan pencerahan terhadap pemiliknya dan orang-orang lain yang diajak berinteraksi. Amat jauh bedanya antara jiwa yang kotor dengan jiwa yang bersih, seperti jauhnya perbedaan antara logam biasa dengan logam murni (emas), dan antara batu dengan permata. Di sinilah peran Kimia secara holistic: Mengubah suatu substansi ke substansi lain yang lebih mulia.

 

Imam Al-gazali yang bernama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali lahir pada tahun 450H/1058M di Thus, Khurasan, Iran. Ia seorang ulama, ahli fikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Beliau pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada tahun 505H/ 1111M. Imam Al-Gazali Ia menulis banyak buku, yang paling popular kitab Ihya' 'Ulum al-Din, 4 jilid dan salahsatu di antaranya ialah Kimiya al-Sa'adah. Buku terakhir ini merupakan pengembangan konsep Alkimia Jabir ibn Hayyan menjadi lebih mendalam. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ke dalam beberapa versi. Satu versi menerjemahkannya dengan "Kimia Kebahagiaan" dan yang lainnya menerjemahkan "Kimia Hati" dan "Kimia Rohani". Buku ini tipis tetapi memberikan inspirasi bagi setiap orang untuk melakukan transformasi spiritual. Inti buku ini ialah bagaimana mengubah jiwa yang rendah, gelap, dan buruk menjadi jiwa yang bersih, suci, dan agung.


Al-Gazali menulis buku Kimiya al-Sa'adah kelihatannya diinspirasi oleh karya-karya Jabir ibn Hayyan yang dikenal sebagai bapak Alkimia dan Kimia. Menurut pandangan Imam Al-Gazali, kalau dalam ilmu kimia memerlukan peroses tertentu untuk mengubah suatu substansi yang rendah menjadi substansi lebih mulia (emas) dan mungkin membutuhkan laboratorium khusus untuk itu, maka demikian pula halnya jiwa, memerlukan menempaan berupa zuhud, mujahadah, dan riyadhah.


Zuhud diartikan sebagai upaya untuk memiliki diri sendiri sehingga tidak gampang didekte oleh dtarik dunia, seperti harta, tahta, status, dan nafsu kebinatangan. Orang yang menjalani praktek zuhud (zahid) tidak mesti harus menjauhi dunia apalagi membencinya. Akan tetapi faktor dunia bukan lagi menjadi referensi utama di dalam menentukan langkah di dalam menjalani kehidupan. Ia begitu tulus, ikhlas, pasrah (tawakkal), sabar, dan istiqamah menempuh kehidupan. Mujahadah ialah melakukan kesungguhan hati, pikiran, dan badan di dalam upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah Swt. Ia seperti tidak kenal lelah dan jenuh mencari dan terus mencari jalan kedekatan itu, dan mungkin pada saatnya menjumpai apa yang ia cari. Riyadhah ialah menjalani upaya rutinitas spiritual dengan penuh ketulusan menyatakan kehambaannya kepada Tuhan. Baginya sudah tidak ada lagi bedanya antara yang peritah wajib dan perintah sunnat, dan Haram dan makruh, semuanya diperlakukan sama dengan penuh kenikmatan tanpa beban di dalam menjalaninya. []

 

DETIK, 14 Juni 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

(Ngaji of the Day) 4 Dlarar yang Menyebabkan Pangan dan Obat Menjadi Haram

4 Dlarar yang Menyebabkan Pangan dan Obat Menjadi Haram


Produk yang baik atau thayyib, tidak berbahaya untuk diri manusia. Thayyib menjadi salah satu penentu status halal suatu produk, karena Allah menghalalkan hal-hal yang baik. Kita pun mengenal istilah halalan thayyiban. Allah berfirman:

 

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ...

 

Artinya: “Mereka menanyakan padamu, “Apa yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, dihalalkan bagi mereka thayyibat (segala yang baik)...” (QS Al Maidah ayat 4)

 

Menentukan produk itu thayyib perlu juga memastikan apakah ia berbahaya atau tidak. Dalam artian, produk yang berbahaya, niscaya tidak thayyib – dan produk yang tidak thayyib, bisa menjadi tidak halal.

 

Sebagai bagian dari kriteria halal-haram pangan, obat dan kosmetika, KH. Ali Mustafa Yaqub menjelaskan masalah keamanan produk dan dampak bahayanya melalui konsep adl-dlarar. Produk yang halal mesti tidak dlarar – membahayakan penggunanya. Kaidah fiqih menyebutkan:

 

الضرر يزال

 

Artinya: “Bahaya itu mesti dihilangkan.”

 

Secara kebahasaan, dlarar adalah turunan kata dari dlarra – yadlurru – dlurran wa dlarar, dengan makna “menimpakan kepada orang lain sesuatu yang menyakitkan dan tidak disukai”. Lewat pemahaman makna ini, unsur dlarar produk adalah kandungan yang tidak disukai, menimbulkan penyakit dan kerugian, serta efek buruk lainnya.

 

Bahaya seperti apa yang dimaksud dapat memengaruhi status halal? KH. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Kriteria Halal -Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut Al Quran dan Hadits memerinci beberapa kategori dlarar yang mungkin terkandung dalam suatu barang atau produk.

 

Pertama, bahaya dari segi prinsip syariat Islam. Prinsip syariat Islam ini dikenal sebagai maqashid asy-syariah. Suatu produk dipandang mengandung dlarar jika membahayakan lima hal ini: agama, jiwa, keturunan, harta, akal. Kelima prinsip ini diperkenalkan oleh Imam Al-Syatibi dalam karyanya al-Muwafaqat sebagai al-kulliyat al khams (lima prinsip universal).

 

Sebagai contoh, akan membahayakan agama jika kita mengonsumsi produk yang dilarang secara tegas oleh nash. Begitupun jiwa akan terancam jika kita menenggak racun yang membuat kita segera mati. Terkait keturunan, jika kita memakai produk yang dapat menimbulkan kecacatan pada janin, hal itu tidak dapat dibenarkan.

 

Kedua, kategori bahaya dari efek yang ditimbulkan. KH. Ali Mustafa Yaqub menjelaskan setidaknya ada dua jenis efek bahaya: yang muncul cepat dan lambat. Semisal pada konsumsi gula yang tinggi, efeknya dalam jangka panjang adalah kegemukan atau mungkin diabetes.

 

Ketiga, kategori dlarar berdasarkan kondisi penggunanya. Bahaya ini bisa bersifat mutlak karena efek kerusakannya yang nyata, dan dapat pula bersifat relatif, yaitu dalam kondisi-kondisi tertentu. Semisal pada penderita diabetes, konsumsi gula dikurangi. Begitupun pembatasan konsumsi air pada penderita gagal jantung. Air dan gula berlebihan, menjadi dlarar pada pasien tersebut.

 

Keempat, bahaya berdasarkan sifatnya. Dampak bahaya ada yang dapat diamati langsung secara indrawi, seperti kondisi sakit atau hilangnya akal. Selain itu, bahaya juga bisa bersifat “maknawi”, yakni berbahaya bagi kondisi agama seseorang – seperti makan daging babi yang tegas diharamkan untuk muslim.

 

Setidaknya dapat dipahami bahwa unsur bahaya dalam suatu produk turut menentukan status halalnya. Jika produk itu tidak aman kendati halal secara dzat, ia bisa “diharamkan” pada kondisi tertentu. Status “haram” ini juga dapat ditetapkan akibat pengolahan produk yang berbahaya dan tidak aman karena menggunakan senyawa kimia yang tidak pada tempatnya.

 

Bagi produsen pangan dan obat, penting dicermati bahwa ketika suatu bahan dan komposisi dipandang berbahaya untuk kesehatan masyarakat, mungkin bisa dikatakan bahwa senyawa ini halal. Tapi ketika ia tidak tepat guna, tidak sesuai standar dan prosedur, apalagi terlarang, bukankah membahayakan dan menyakiti orang itu tidak dibenarkan?

 

Dari sudut pandang kriteria dlarar dan unsur bahaya dalam produk ini, apa yang baik dan buruk bagi diri seseorang mesti menjadi pertimbangan dalam memilih produk. Hal ini diharapkan memicu masyarakat untuk cermat dan tepat menggunakan pangan dan obat meskipun barangnya halal secara dzat serta telah dinyatakan aman dan halal oleh lembaga ahli terkait. Wallahu a’lam. []

 

Muhammad Iqbal Syauqi, alumnus Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Jumat, 28 Agustus 2020

(Do'a of the Day) 08 Muharram 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma 'aafinii fii badanii, allaahumma 'aafinii fii sam'ii, allaahumma 'aafinii fii basharii.

 

Ya Allah, selamatkanlah badanku. Ya Allah, selamatkanlah pendengaranku. Ya Allah, selamatkanlah penglihatanku.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 51.

(Khotbah of the Day) Memaknai Puasa di Bulan Muharram

KHUTBAH JUMAT

Memaknai Puasa di Bulan Muharram


Khutbah I

 

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم}، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ

 

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

 

Saat ini kita berada di bulan Muharram tahun baru Hijriah 1442. Disebut bulan Muharram, karena Allah mengharamkan peperangan dan konflik di bulan ini. Selain itu, bulan ini juga termasuk salah satu dari bulan-bulan yang mulia, yaitu Muharram, Dzulhijjah, Dzulqa’dah, dan Rajab. Sebagaimana firman Allah dalam surat at-Taubah:36:

 

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

 

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu (lauhul mahfudh). Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS at-Taubah: 36)

 

Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir al-Fakhrir Razi menjelaskan bahwa perbuatan maksiat di bulan haram lebih dahsyat siksanya. Begitu pula ketaatan kepada Allah lebih banyak pahalanya. Beliau menyatakan:

 

وَمَعْنَى الْحَرَمِ: أَنّ الْمَعْصِيَةَ فِيْهَا أَشَدُّ عِقَاباً ، وَالطَّاعَةُ فِيْهَا أَكْثَرُ ثَوَاباً

 

“Maksud dari bulan haram adalah sesungguhnya kemaksiatan di bulan-bulan itu memperoleh siksa yang lebih berat dan ketaatan di bulan-bulan tersebut akan mendapat pahala yang lebih banyak.”

 

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

 

Di bulan Muharram ini kita disunnahkan untuk mengerjakan beberapa amal kebaikan, salah satu amalan yang baik adalah memberikan kelapangan dan kebahagiaan pada keluarga di hari Asyura. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir, juz 10 halaman 77:

 

مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ لَمْ يَزَلْ فِي سَعَةٍ سَائِرَ سَنَتِهِ

 

“Barang siapa yang melapangkan keluarganya di hari Asyura, maka ia selalu dalam kelapangan di tahun tersebut” (HR ath-Thabrani).

 

Maksudnya di hari Asyura kita dianjurkan untuk bersedekah dengan harta halal pada keluarga dengan mencukupi segala kebutuhannya, sehingga dapat membuat hati seluruh anggota keluarga menjadi tenang dan bahagia.

 

Selain itu, di bulan Muharram ini kita disunnahkan untuk berpuasa di hari Asyura. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim:

 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالُوا: هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي أَظْهَرَ اللهُ فِيهِ مُوسَى، وَبَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ، فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ»

 

Dari Ibnu Abbas RA, beliau berkata: Rasulullah hadir di kota Madinah, kemudian beliau menjumpai orang Yahudi berpuasa di bulan Asyura, kemudian mereka ditanya tentang puasanya tersebut, mereka menjawab: hari ini adalah hari dimana Allah memberikan kemenangan kepada Nabi Musa AS dan Bani Israil atas Fir’aun, maka kami berpuasa untuk menghormati Nabi Musa. Kemudian Nabi bersabda: Kami (umat Islam) lebih utama dengan Nabi Musa dibanding dengan kalian, Kemudian Nabi Muhammad memerintahkan untuk berpuasa di hari Asyura.

 

Di hari Asyura ini segenap umat Islam disunnahkan untuk melaksanakan puasa. Bahkan Nabi juga memberikan penjelasan tentang keutamaan bagi orang yang berpuasa di hari Asyura. Sebagaimana hadits sahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibnu Majah, Juz 1 halaman 553:

 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ»

 

Berpuasa di hari Asyura, sesungguhnya saya mengira bahwa Allah akan menghapus kesalahan di tahun yang telah lalu (HR Ibnu Majah).

 

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

 

Yang perlu kita ketahui, puasa yang bagaimana yang akan mendapatkan keutamaan dan pahala dari Allah ?

 

Puasa sunnah Asyura merupakan puasa sunnah yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad . Namun kita juga perlu tahu bahwa esensi puasa tidak hanya menahan diri dari makan, minum, dan sebagainya. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah juz 1 halaman 539:

 

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ

 

“Banyak orang berpuasa, puasanya hanya mendapatkan lapar” (HR Ibnu Majah).

 

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin juz 1 halaman 236 menjelaskan, banyak orang berpuasa, tapi ia tidak puasa. Maksudnya adalah orang yang puasa, menahan diri dari lapar dan dahaga, namun tidak dapat mengendalikan anggota badannya. Ia tidak dapat mengendalikan mulutnya dari menggunjing orang lain, mencela orang lain, dan tidak dapat mengendalikan diri dari maksiat. Inilah yang disebut orang puasa, namun tidak puasa.

 

Selanjutnya, Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Syekh Zainuddin al-Manawi dalam kitab Faidlul Qadir juz 3 halaman 459 menjelaskan bahwa hakikat puasalah yang diterima dan diberikan pahala secara sempurna, bukan orang yang hanya menahan makan, minum, dan hal yang membatalkan puasa. Kesempurnaan puasa diperoleh oleh orang yang dapat menahan diri dari hal yang dibenci Allah . Yaitu seseorang yang dapat menahan lisan dari ujaran tercela, menahan mata dari pandangan hina, menghindarkan telinga dari pendengaran yang terlarang, dan menahan segenap anggota tubuh dari kemaksiatan. Dengan mengetahui hakikat puasa, semaksimal mungkin kita melatih diri dengan optimal, karena puasa secara hakiki merupakan dasar ibadah dan kunci untuk menjernihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah .

 

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

 

Mengapa kita perlu berpuasa? Menurut Abdurrahman bin Khalaf dalam kitab Bulughul Ghayah juz 1 halaman 74, beliau menjelaskan bahwa puasa memiliki pengaruh yang luar biasa dalam menjaga kesehatan jiwa dan raga. Beberapa penelitian tentang kesehatan menjelaskan bahwa puasa berguna untuk menjaga kesehatan, seperti menurunkan gula darah, mengurangi peradangan, meningkatkan kesehatan jantung, meningkatkan kesehatan otak, menurunkan berat badan, dan memperbaiki suasana hati. Puasa juga berpengaruh terhadap kesehatan jiwa, karena puasa mendidik seseorang tidak hanya menahan makan dan minum, namun mendidik untuk menahan diri dari penyakit hati, seperti menggunjing, mencela dan berbuat dusta. Puasa merupakan sarana yang ampuh untuk meningkatkan kesehatan tubuh, kesehatan jiwa, dan yang lebih utama menjadi orang yang bertaqwa dan mendekatkan diri kepada Allah yang maha kuasa.

 

Dengan Kesehatan jiwa dan raga, jasmani dan rohani, harapannya di bulan yang mulia ini kita menjadi manusia yang bertakwa, menjadi manusia yang semakin baik, baik secara vertical maupun horizontal, baik kepada Allah dan baik kepada sesama manusia. Karena pahala di bulan mulia ini lebih banyak. Sebaliknya selalu menghindari terhadap gunjingan, permusuhan, perceraian, kejahatan lainnya. Karena kejahatan dan kejelekan di bulan mulia ini lebih dahsyat siksanya. Na’udzubillah. Semoga kita dapat menjadi orang yang selalu diberi rahmat Allah dalam kebaikan dan dijauhkan dari kejelekan. Allahumma Aamiin.

 

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ: أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

 

Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

 

 

Dr. Rustam Ibrahim, Dosen IAIN Surakarta. Wakil Katib Syuriah PCNU Boyolali; Youtube: Dr. Rustam Ibrahim