Selasa, 31 Mei 2022

(Do'a of the Day) 01 Dzulqa'dah 1443H

وسامحنا حين نبكي على قضائك رغم إيماننا به، واغفر لنا إذا نفذ صبرنا يا الله.

 

Yaa gusti Allah... Maafkanlah kami ketika kami menangisi ketentuan takdir-Mu meskipun kami percaya sepenuhnya, dan maafkanlah kami jika kami tak kuat untuk bersabar menahannya.

 

Al Faatihah...

(Ngaji of the Day) Salah Kaprah Memahami Ayat Jihad

Sebagian ayat Al-Qur’an berisi anjuran dan kewajiban jihad fisik dalam arti perang (qital atau harb). Semua ayat perang itu berisi perintah bagi Nabi Muhammad saw dan para sahabat untuk memerangi kelompok kafir di masanya.


Adapun berikut ini kami kutip dua ayat jihad (Surat Al-Baqarah ayat 216 dan Surat Muhammad ayat 4) untuk mewakili sekian banyak ayat dengan konten yang sama. Berikut ini adalah Surat Al-Baqarah ayat 216 yang mewajibkan perang:

 

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ  وَعَسٰى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْــًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ  وَعَسٰى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ  وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ


Artinya, “Perang diwajibkan atas kamu, padahal itu tidak menyenangkanmu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu. Padahal itu baik bagimu. Sebaliknya, boleh jadi kamu menyukai sesuatu. Padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui. Sedangkan kamu tidak mengetahuinya.” (Surat Al-Baqarah ayat 216).

 

Adapun berikut ini adalah Surat Muhammad ayat 4 yang memerintahkan pembasmian orang-orang kafir di medan perang.

 

اِذَا لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَضَرْبَ الرِّقَابِۗ حَتّٰى اِذَآ اَثْخَنْتُمُوْهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَۖ فَاِمَّا مَنًّاۢ بَعْدُ وَاِمَّا فِدَاۤءً حَتّٰى تَضَعَ الْحَرْبُ اَوْزَارَهَا ەۛ ذٰلِكَ ۛ  وَلَوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلٰكِنْ لِّيَبْلُوَا۟ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍۗ وَالَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَلَنْ يُّضِلَّ اَعْمَالَهُمْ

 

Artinya, “Apabila kalian bertemu dengan orang-orang yang kafir (di medan perang), maka pukullah batang leher mereka. Selanjutnya apabila kalian telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka. Setelah itu kalian boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai. Demikianlah, dan sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia membinasakan mereka, tetapi Dia hendak menguji sebagian kalian satu sama lain. Orang-orang yang gugur di jalan Allah, Dia tidak menyia-nyiakan amal mereka.” (Surat Muhammad ayat 4).


Dua ayat jihad ini dan ayat sejenis lainnya sudah selesai dan dipahami dengan baik oleh muslim generasi awal. Ayat-ayat jihad atau qital diamalkan dengan baik oleh Rasulullah saw dan para sahabat.

 

Adapun jihad atau perang itu sendiri bukan tujuan, tetapi salah satu sarana, jalan, atau alternatif terakhir yang perlu ditempuh dalam menghadapi orang-orang kafir secara terorganisir yang mengancam kedaulatan dan kemerdekaan suatu daerah. Jihad dan perang bertujuan untuk menciptakan perdamaian, menjaga kondusivitas sebuah kawasan, menghapus penindasan, dan melenyapkan kezaliman sehingga umat Islam bebas menjalankan aktivitasnya baik peribadatan maupun aktivitas muamalah.


Lalu bagaimana dengan sikap kita sekarang ini dalam memahami ayat jihad atau ayat qital? Sementara sebagian orang keliru memahami ayat jihad atau ayat qital. Kekeliruan dalam memahami berujung pada kekeliruan dalam bersikap dan mengamalkannya.

 

Secara umum, kita memerlukan dua hal untuk menghindari kesalahpahaman terhadap ayat-ayat jihad atau ayat qital. Pertama, fahmun nushush (memahami teks Al-Qur’an). Kedua, fahmul waqi (memahami realitas hari ini).


Dalam kaitannya dengan pemahaman teks Al-Qur’an, kita perlu memerhatikan perangkat-perangkat pemahaman yang terdapat dalam ulumul qur’an, ilmu ushul fiqh, dan juga tarikh tasyri‘.


Kita perlu memerhatikan bagaimana asbabun nuzul ayat-ayat perang, keumuman dan kekhususan ayat perang, sejarah hukum perang dalam Islam, dan lain sebagainya. Dari situ, kita akan mendapatkan gambaran yang jelas dan komprehensif perihal kandungan ayat-ayat jihad/qital, tujuan dan hikmah perang, hukum perang, sebab perang, kode etik perang, siapa yang harus diperangi, siapa yang wajib berperang, sistem sosial-politik di masanya, dan siapa yang berwenang mengumumkan perang.

 

Adapun fahmul waqi (pemahaman atas realitas) diperlukan untuk memverifikasi kondisi riil sosial-politik dan sistem komunitas sosial hari ini dengan kaidah atau ketentuan perang yang terdapat pada ayat Al-Qur’an tersebut.


Kesalahpahaman atau kekeliruan pemahaman yang berujung pada kekeliruan bertindak disebabkan keterbatasan pemahaman terhadap ayat perang dan kondisi riil sosial politik hari ini. Ada proses pemahaman yang dilewati ketika salah memahami ayat-ayat perang.
[]

 

Sumber: NU Onlie

Senin, 30 Mei 2022

(Do'a of the Day) 29 Syawwal 1443H

Yaa Tuhan... Hamba tidak meminta banyak, hanya meminta agar Kau gerakkan hati ini untuk terus beribadah kepada-Mu. Selebihnya, terserah Engkau.

 

Al Faatihah...

(Hikmah of the Day) Kisah Sayyidina Umar dan Tobatnya Pemabuk

Suatu hari Amirul Mukminin Sayyidina Umar bin Khattab melewati sebuah jalan di Kota Madinah. Ia berjumpa dengan beberapa orang padanya. Di suatu jalan ia berpapasan dengan seorang pemuda. Sebuah botol di balik pakaiannya tampak dari luar.


“Anak muda, apa yang kaubawa di balik pakaianmu?” tanya Sayyidina Umar bin Khattab.


Pemuda itu terdiam. Ia membawa sebuah botol yang berisi khamar. Ia panik dan bingung harus menjawab apa. Tetapi untuk menjawab dengan jujur “Khamar”, ia–meski mabuk menjadi kesehariannya–pun merasa sungkan dan malu. Ia lalu berdoa dalam hati.


“Ya Allah, jangan Kaupermalukan aku di hadapan Umar. Jangan Kaubuka rahasiaku. Tutupi rahasiaku di hadapannya. Aku bersumpah tidak akan meminum khamar selamanya,” kata pemuda dengan hati penuh harapan.


Pemuda ini lalu membuka mulut. “Wahai Amirul Mukminin, yang kubawa adalah cuka,” katanya.


“Perlihatkan agar dapat kulihat,” kata Sayyidina Umar RA.


Pemuda ini menyerah pasrah. Ia mengeluarkan botol dari balik pakaiannya. Ia membukanya di hadapan Sayyidina Umar. Keduanya menyaksikan cuka yang menjadi isi botol, bukan khamar.


Pemuda ini bersyukur kepada Allah yang telah menyelamatkan mukanya di hadapan Sayyidina Umar. Ia menepati sumpahnya. Ia menjadi orang baik yang meninggalkan sama sekali minumannya.


***


Kisah ini diangkat oleh Imam Al-Ghazali ketika membahas bab tobat dalam karyanya Mukasyafatul Qulub (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2019 M/1440 H), halaman 27-28. Imam Al-Ghazali kemudian mengulasnya secara singkat.


“Perhatikan makhluk yang bertobat kepada Allah karena malu dan sungkan kepada makhluk lainnya. Karena keikhlasannya dalam bertobat, Allah mengganti khamarnya menjadi cuka. Seandainya seorang durjana yang tidak pernah berbuat baik itu bertobat nasuha dan menyesali perbuatannya, niscaya Allah mengganti ‘khamar’ kemaksiatannya dengan ‘cuka’ ketaatan,” kata Imam Al-Ghazali.


Adapun tobat, kata Imam Al-Ghazali, adalah kewajiban bagi setiap muslim. Ketentuan wajib ini dapat ditemukan dalam Surat At-Tahrim ayat 8, Surat Al-Hasyr ayat 18, dan banyak anjuran tobat dalam hadits-hadits Rasulullah SAW. Wallahu a’lam.
[]]

 

Sumber: NU Online

(Ngaji of the Day) Ketika Anak Bertanya tentang Syariah Islam

Menurut penelitian, Psikolog anak Paul Harris, pada usia usia 2-5 tahun, anak-anak akan melontarkan sekitar 40 ribu pertanyaan. Hal itu sebagaimana termaktub dalam artikel This Is The Real Reason Kids Ask ‘Why’ So Much — And What To Do About It, dari Scarymommy.com. Pertanyaan itu muncul sebab terpengaruh pada lingkungan sekitar anak.

 

Pertanyaan dari anak tersebut bukan karena anak ingin mengganggu orang tua semata. Lebih dari itu, anak-anak membutuhkan jawaban dan penjelasan sederhana. Jika pertanyaan dirasa sudah terjawab, anak-anak akan bertanya lanjutan, dan pada akhirnya akan berhenti, sebab jawaban sudah diperoleh.

 

Dalam konteks masyarakat muslim, anak-anak biasanya akan banyak bertanya tentang seputar masalah teologis dan keislaman. Pertanyaan yang muncul dari anak itu terkadang gampang dijawab. Namun, terkadang ada juga pertanyaan yang sulit, yang membuat kening mengernyit.

 

Di antara ragam persoalan yang sering dicelotehkan anak adalah pertanyaan terkait syariat Islam. Jamak terdengar anak bertanya tentang apakah syariat Islam? Pertanyaan itu bisa ia tanyakan sebab mendengar ceramah di televisi atau sekadar pengajian di masjid. Atau sekilas mendengar obrolan orang tuanya.

 

Menerima pertanyaan ini, seyogianya respons orang tua pada anak tersebut akan memberikan pemahaman secara mendasar. Kendati, anak belum mampu memahaminya secara utuh. Orang tua bisa memberikan pemahaman dengan ibarat, dan tamsil untuk memudahkan anak mencerna jawaban.

 

Syariah dari segi pengertian bahasa adalah jalan menuju sumber air. Kenapa dikatakan jalan, sebab manusia dalam kehidupannya, bahkan makhluk hidup secara keseluruhan pasti membutuhkan air untuk kelanjutan hidupnya. Kebutuhan akan air itu dipandang dari segi fisik, sebagai kebutuhan primer. Sebab air adalah sumber kehidupan, dan jalan itu mencapai air itu adalah yang disebut jalan atau syariah.

 

Pun dari agama, syariah dibutuhkan manusia. Syariah merupakan kebutuhan hidup rohani manusia. Dalam definisi ulama, syariah adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah yang berfungsi untuk mengatur hubungan hubungan manusia dan alam. Juga mengatur hubungan sesama manusia. Pun syariah juga untuk mengatur hubungan manusia dan Allah.

 

Syariah Islam itu ditujukan pada manusia yang; Islam, berakal, dewasa, dan yang sadar atau waras. Oleh sebab itu, orang gila tidak wajib menjalankan syariat. Begitu juga dengan anak-anak, belum diwajibkan menjalan syariat. Pun orang yang hilang akal, misalnya orang tidur, pingsan, atau pasien koma di rumah sakit, mereka semua itu tidak dituntut melaksanakan syariat.

 

Secara sederhana, syariat itu terbagi lima; wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah (boleh). Pembagian syariat yang lima itu memiliki konsekuensinya masing-masing. Misalnya, dalam Al-Qur’an sudah ada perintah untuk mengerjakan shalat. Muslim yang memiliki yang dibebankan syariah (dewasa, berakal, sadar), wajib untuk shalat.

 

Lantas dari mana muslim itu tahu shalat itu wajib? Ada dalil qathi—perintah shalat—, dalam Al-Qur’an. Pun misalnya ada larangan mencuri. Ketika seseorang mencuri, maka ia berdosa. Dari mana aturan berdosa bagi mencuri itu datang? Ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang melarangnya. Dari ayat dan hadits itu, ulama menetapkan hukum bahwa mencuri itu merupakan perbuatan haram dan berdosa.

 

Lantas bagaimana orang yang lalai menjalankan syariat? Untuk manusia yang lalai menjalankan syariat maka ia dianggap muslim yang durhaka. Ia dikenakan dosa sebagai ganjaran perbuatannya. Misalnya, muslim yang tak mau puasa, padahal ia dikenakan syariat, maka ia akan dikenakan dosa sebab membantah perintah Allah.

 

Ibarat PR sekolah, guru memerintahkan siswa untuk mengerjakan tugas di rumah. Namun, Andi tak mau mengerjakan tugas tersebut, maka guru tersebut pasti akan menghukum Andi. Kenapa? Ia dianggap durhaka karena tak mengerjakan perintah. Begitu juga dengan shalat dan perintah Allah lain. Manusia yang tidak mau mengerjakan dianggap sudah durhaka pada Allah.

 

Lantas apakah syariat hanya berisi larangan saja? Tidaklah demikian, syariah itu adalah aturan untuk mengatur kehidupan manusia dengan Tuhan, manusia lain, dan dengan alam. Bisa dibayangkan jika manusia tidak ada yang mengatur, maka akan kacau balau.

 

Jika tidak ada “aturan” jangan mencuri, maka bisa dibayangkan betap ngerinya kehidupan? Bisa jadi manusia saling merampok dan merampas. Bayangkan bila tidak ada aturan tidak boleh membabat hutan? Bisa jadi akan terjadi banjir bandang, longsor dan irigasi. Syariah itu intinya untuk mengatur manusia dengan baik. Orang yang menjalankannya akan mendapatkan pahala. Kelak akan masuk surga. Sedangkan bagi yang meninggalkan akan terkena dosa, dan dianggap durhaka—kelak ia akan masuk neraka.

 

Untuk lebih jelas, Imam Imam Al-Ghazali, dalam Kitab Al-Mustashfa, menjelaskan ada lima hal tujuan syariah. Lima tujuan pokok itu selalu ada dalam syariah. Sebab itulah tujuan utama adanya syariah Islam diberlakukan Allah pada manusia. Pendek kata, syariah ujungnya adalah maslahah (kebajikan) bagi manusia. Imam Ghazali berkata;

 

ومقصود الشرع من الخلق خمسة: وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم، فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة، وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة، ودفعها مصلحة

 

Artinya, “Tujuan syariat yang berlaku atas makhluk ini ada 5, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya. Segala kebijakanyang berorientasi pada penjaminan terhadap kelima dasar pokok ini disebut juga sebagai maslahah. Sebaliknya, kebijakan yang meninggalkan kelima asas dasar ini, maka termasuk mafsadah. Oleh karena itu, menolaknya adalah tindakan yang maslahah.”

 

Secara to the point, tujuan Syariah itu diungkapkan oleh Syekh ‘Izuddin bin Abdis Salam. Ia mengatakan tujuan utama syariah adalah maslahat bagi manusia, dan meninggalkan keburukan (kebinasaan).

 

إن الشريعة كلها مصالح إما درء مفاسد أو جلب مصالح

 

Artinya, “Sungguh seluruh syari’at adalah untuk tujuan maslahat, baik dalam bentuk menolak maafsadat maupun menghadirkan kemaslahatan.”

 

Contoh sederhana, membunuh itu menurut syariah Islam hukumnya haram, maka seorang muslim dilarang membunuh orang lain. Nah, larangan untuk membunuh adalah bertujuan menyelamatkan manusia. Jadi dalamnya, ada kemaslahatan (kebaikan) yaitu menyelamatkan nyawa manusia. Pendek kata, perintah syariah Islam itu mengandung kemaslahatan. []

 

Ustadz Zainudin Lubis, pegiat kajian Islam. tinggal di Ciputat.

(Ngaji of the Day) Mata Rantai Aqidah Salaf dan Ahlussunnah wal Jamaah

Imam Al-Ghazali memberikan panduan bagi orang awam agar tetap berpegang pada mazhab salaf dalam beriman. Menurutnya, mazhab salaf adalah mazhab yang benar dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang berkaitan dengan keimanan.

 

اعلم أن الحق الصريح الذي لا مراء فيه عند أهل البصائر هو مذهب السلف أعني مذهب الصحابة والتابعين وها أنا أورد بيانه وبيان برهانه

 

Artinya, “Ketahuilah, kebenaran nyata yang tanpa perdebatan menurut ahli bashirah (ulama) adalah mazhab salaf, yaitu mazhab para sahabat dan tabi’in. Di sini saya coba mengemukakan penjelasan dan penjelasan argumentasinya.” (Lihat Imam Al-Ghazali, Iljamul ‘Awam ‘an Ilmil Kalam pada Majmu’atu Rasa’ilil Imam Ghazali, Kairo, Al-Maktabah At-Taufikiyyah: tanpa tahun], halaman 320).

 

Orang awam, menurut Imam Al-Ghazali, harus memerhatikan tujuh petunjuk berikut ini agar tidak keliru dalam masalah aqidah. Pasalnya, persoalan aqidah merupakan masalah pokok agama atau ushulud din yang memerlukan kehati-hatian.

 

فأقول حقيقة مذهب السلف وهو الحق عندنا أن كل من بلغه حديث من هذه الأحاديث من عوام الخلق يجب عليه فيه سبعة أمور: التقديس، ثم التصديق، ثم اعتراف بالعجز، ثم السكوت، ثم الإمساك، ثم الكف، ثم التسليم لأهل المعرفة

 

Artinya, “Saya mengatakan, hakikat mazhab salaf adalah mazhab yang benar menurut kami di mana setiap orang awam–ketika menerima salah satu dari sekian banyak informasi (baik Al-Qur’an maupun hadits)–wajib melakukan tujuh hal ini, yaitu, taqdis, tashdiq, i’tiraf bil ajzi, sukut, imsak, kaff, taslim li ahlil makrifah,” (Lihat Imam Al-Ghazali, Iljamul ‘Awam: 320).

 

1. Taqdis, yaitu meyakini kemahasucian Allah dari jisim atau fisik dan turunannya.

 

2. Tashdiq, yaitu mengimani perkataan Nabi Muhammad SAW. Apa yang disampaikan oleh Rasulullah adalah benar. Apa yang dikatakan Rasulullah SAW adalah hak. Rasulullah SAW sendiri itu benar atas apa yang dikatakan dan dimaksud olehnya.

 

3. I’tiraf bil ajzi (pengakuan atas kelemahan), yaitu mengakui dan menginsafi bahwa ia tidak mampu memahami maksudnya dan hal itu di luar kecakapan dan profesinya.

 

4. Sukut (diam), yaitu tidak menanyakan maknanya dan tenggelam berlarut-larut membicarakannya, serta mengajukan pertanyaan mengenai hal itu adalah bid’ah. Ia meyakini bahwa pembahasan berlarut-larut dapat membahayakan keyakinannya dan atau bisa jadi menjatuhkannya ke dalam kekufuran tanpa sepengetahuannya.

 

5. Imsak (menahan diri), yaitu ia tidak mengubah atau mengganti bahasanya dengan bahasa lain, penambahan, pengurangan, penggabungan, dan pemisahan. Ia hanya boleh melafalkan sesuai apa adanya redaksi yang diterima, seperti cara pelafalan, i’rab, tashrif, dan shigah.

 

6. Kaff (penangguhan), yaitu menahan batin untuk membahas, membayangkan, dan memikirkannya.

 

7. Taslim li ahlil makrifah (pasrah kepada ahlinya), yaitu ia tidak boleh meyakini bahwa ketidakpahamannya atas sebuah materi keislaman juga dialami oleh rasulullah, para nabi, as-shiddiqin (orang-orang yang benar keimanannya), atau para wali dan ulama.

 

Imam Al-Ghazali menyebut beberapa lafal yang membutuhkan pendekatan atau penyikapan sesuai dengan keterangan di atas, seperti Al-Qur’an dan hadits yang menampilkan Allah dengan sifat-sifat makhluk, yaitu “Allah mencampur tanah Adam dengan tangan-Nya, hati seorang mukmin berada di antara dua jari dari jari Allah yang bersifat Rahman, Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya, Dialah yang maha kuasa di atas para hamba-Nya.”

 

Rambu-rambu salaf ini yang dipegang oleh ulama Ahlussunnah wal Jamaah sepeninggal orang-orang salaf atau kalangan sahabat dan tabi’in. Rambu-rambu tersebut dipertahankan oleh ulama Ahlussunnah wal Jamaah hingga kini. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

(Ngaji of the Day) Perangai Rasulullah yang Layak Diteladani Para Ayah

Tanggal 12 November biasa diperingati masyarakat Tanah Air sebagai Hari Ayah. Peringatan ini dilakukan sebagai wujud penghargaan terhadap para ayah, sekaligus mengingatkan kembali akan kewajiban dan perhatian mereka terhadap keluarga.

 

Sebab faktanya, para ayah tak hanya dituntut sebagai pencari nafkah yang penuh tanggung jawab, tetapi juga menjadi pemimpin, pelindung, dan pemberi teladan yang baik bagi keluarga. Termasuk menjadi pendidik dan penjamin masa depan anak-anaknya.

 

Karena itu, Hari Ayah yang beriringan dengan Hari Kelahiran Nabi pada tahun ini merupakan momentum yang tepat untuk memotret kembali akhlak dan perangai Rasulullah sebagai seorang ayah bagi anak-anaknya sekaligus suami bagi para istrinya. Apa saja pesan beliau untuk para ayah dan para suami?

 

Sebagaimana diketahui, Rasulullah adalah seorang yang sibuk mengurus pemerintahan, memimpin pasukan, menegakkan hukum, bernegosiasi dengan delegasi, mengajar para sahabat, menerima wahyu, dan mendakwahkan Islam, bahkan mengirim surat kepada para raja dan pemimpin dunia.

 

Namun, di sela-sela kesibukannya, beliau ternyata seorang yang bertanggung jawab dan penuh perhatian kepada keluarga, kepada anak-istri, cucu, bahkan anak-anak di sekitarnya. Beliau sosok pelindung dan seorang yang lemah-lembut terhadap keluarga. Hal itu seperti yang diakuinya dalam salah satu hadits:

 

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي

 

“Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarga. Dan aku adalah yang terbaik kepada keluarga” (HR al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban).

 

Rasulullah juga sosok penyayang dan ramah kepada anak-anak. Hal ini diakui langsung oleh Anas ibn Malik yang kesehariannya lebih banyak bersama beliau, “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih sayang kepada keluarga selain Rasulullah .”

 

Keakraban beliau kepada mereka terlihat jelas dalam berbagai kesempatan. Pernah pada suatu ketika, beliau mencium salah seorang cucunya, al-Hasan ibn ‘Ali. Kejadian itu disaksikan langsung oleh al-Aqra‘ ibn Habis. Al-Aqra‘ pun berkomentar, “Aku memiliki sepuluh orang anak, tapi tak ada satu pun yang biasa kucium.” Rasulullah menoleh ke arahnya dan menjawab, ”Siapa yang tak sayang, maka tak disayang,” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Mungkin al-Aqra‘ menduga bahwa laki-laki yang berkarakter kuat adalah mereka yang tak dekat dengan anak-anak. Namun, Rasulullah dengan tegas menepis dugaan itu, sehingga spontan melontarkan jawaban, ”Siapa yang tak sayang, maka tak disayang.” Jawaban itu jelas menunjukkan sikap beliau yang sangat luhur, penyayang, ramah anak, dan tentunya sangat layak diteladani para ayah.

 

Keluhuran, ketawadukan, dan kerendahan hati Rasulullah benar-benar tak bisa dibandingkan dengan siapa pun. Karena keluhurannya beliau tak sungkan membaur dan bergaul dengan anak kecil. Pernah suatu saat beliau menghibur anak Ummu Sulaim bernama Abu ‘Umair yang menangis karena kematian burung kesayangannya.

 

Bentuk lain kasih sayang dan kelembutan Rasulullah kepada anak-anak adalah tidak membebani mereka di luar kemampuannya. Disebutkan, pada saat perang Uhud, beliau kedatangan sejumlah anak yang ingin ikut berperang. Namun, beliau menolak karena mereka masih kecil. Mereka adalah ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khathab, Usamah ibn Zayd, Usaid ibn Zhuhair, Zayd ibn Tsabit, Zayd ibn Arqam, ‘Arabah ibn Aus, ‘Amr ibn Hazm, Abu Sa‘id al-Khudri, dan Sa‘d ibn Habah.

 

Dalam kesempatan lain, Rasulullah bahkan tak ragu untuk meminta air dan membasuh air pipis dari anak kecil yang dibawanya. Perhatian dan perlindungan Rasulullah terhadap anak-anak ini bukan sekadar perlakuan sepintas dan sewaktu-waktu, melainkan berlangsung berulang-ulang, sampai-sampai anak-anak kecil kerap menemui Rasul sepulang bepergian dan mengajaknya bermain atau bergurau dengan mereka. Beliau seakan tak punya keperluan atau kesibukan selain bermain dengan anak-anak (lihat: Raghib al-Sirjani, Nabi Kaum Mustad‘afin, 2011, [Jakarta: Zaman], hal. 38).

 

Kasih sayang dan kelembutan Rasulullah bahkan jauh melebihih kasih sayang dan kelembutan seorang ayah kepada anaknya. Pernah pada suatu saat Abu Bakar meminta izin untuk datang ke rumah Nabi . Namun setiba di rumah Nabi, ia mendengar suara keras putrinya, ‘Aisyah radliyallahu ‘anha, kepada suaminya. Begitu masuk, ia langsung meraih tangan putrinya dan bermaksud menamparnya, sambil berkata, “Tadi aku mendengarmu membentak Rasulullah .” Namun, niatnya itu segera dihalangi oleh Rasulullah .

 

Abu Bakar pun akhirnya pulang membawa kekesalan. Sementara setelah ayah mertuanya pulang, Rasulullah bertanya kepada istrinya, ‘Aisyah, “Bagaimana menurutmu tentangku yang telah menyelamatkanmu dari pria itu?” Selama beberapa hari, Abu Bakar pun tak bicara, sampai kembali meminta izin mendatangi Rasulullah dan mendapati keduanya sudah kembali rukun. Beliau berkata kepada keduanya, “Bawalah aku dalam kedamaian kalian berdua sebagaimana kalian membawaku dalam pertengkaran kalian.” Rasulullah menjawab, “Sudah, sudah kami lakukan.”

 

Di sini terlihat jelas, kasih sayang Rasulullah melebihi kasih sayang seorang ayah. Abu Bakar yang hendak menampar sang putri segera dihalanginya. Itu tak mungkin lahir kecuali dari kasih sayang dan kelembutannya terhadap wanita. Terlihat jelas, Rasulullah adalah seorang yang memahami karakter perempuan. Begitu pula karakter, kebutuhan, dan kondisi psikologis anak-anak.

 

Selain menjadi ayah pilihan, Rasulullah juga dikenal sebagai suami yang lemah lembut dan tak sungkan membantu pekerjaan istrinya. Dalam riwayat Ahmad disebutkan, suatu ketika, Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu anha pernah ditanya perihal aktivitas beliau saat di rumah.

 

‘Aisyah menjawab, “Rasulullah biasa menjahit pakaiannya, memperbaiki sandalnya, dan mengerjakan apa yang dikerjakan kaum pria di rumah.” Kelembutannya itu kemudian ditularkannya kepada para sahabat. Beliau mengajarkan agar mereka selalu berpesan kebaikan terhadap istri mereka. “Berpesanlah kalian kepada para wanita dengan kebaikan. Karena mereka laksana tawanan di sisi kalian.” Demikian yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim. Bahkan, kedekatan hubungan antara laki-laki dan perempuan juga digambarkannya dalam hadits lain sebagaimana yang diriwayatkan al-Tirmidzi, “Perempuan itu adalah saudara kandung laki-laki.” Ini mengisyaratkan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan, termasuk suami dengan istri, harus selalu baik layaknya dua orang yang bersaudara.

 

Rasulullah juga berpesan kepada para suami agar tetap bersabar menghadapi sikap para wanita yang kurang disukai. Hal ini seperti dalam sabdanya:

 

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ

 

“Janganlah marah seorang pria mukmin kepada seorang wanita mukmin. Jika tidak menyukai satu perangai darinya, maka sukailah perangai lainnya,” (Muslim dan Ahmad).

 

Demikian gambaran keluhuran akhlak Rasulullah yang layak diteladani para suami dan para ayah. Semoga kita termasuk orang yang mampu meneladani perangainya. []

 

Sumber: NU Online

Jumat, 27 Mei 2022

(Do'a of the Day) 26 Syawwal 1443H

رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرَا

 

Yaa Tuhan... Ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu aku kecil.

 

Al Faatihah...

(Khotbah of the Day) 4 Golongan yang Diharamkan Masuk Neraka

KHUTBAH JUMAT

4 Golongan yang Diharamkan Masuk Neraka


Khutbah I

 

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ:

 

فَيَاأيُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمْ: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. وقال تعالى: يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ

 

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

 

Setelah melaksanakan shalat lima waktu, kita terbiasa berdoa seperti doa yang ada pada surat Al-Baqarah ayat 201:

 

رَبَّنا آتِنا فِي الدُّنْيا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنا عَذابَ النَّارِ

 

"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari siksa neraka."

 

Pertanyaannya, bagaimana agar kita terhindar dari siksa neraka? Tentu kita akan menjawabnya sesuai dengan tuntunan Rasulullah Nabi Muhammad . Beliau telah memberikan beberapa penjelasan, yang akan menghindarkan kita dari siksa neraka. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab musnadnya Juz 7 halaman 53 sebagaimana berikut:

 

حُرِّمَ عَلَى النَّارِ كُلُّ هَيِّنٍ لَيِّنٍ سَهْلٍ قَرِيبٍ مِنَ النَّاسِ

 

“Diharamkan atas api neraka, setiap orang yang rendah hati, lemah lembut, mudah, serta dekat dengan manusia” (HR Ahmad).

 

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

 

Golongan pertama orang yang tidak masuk neraka adalah orang yang rendah hati, tidak sombong, dan tidak meremehkan orang lain. Menurut Abu Hatim dalam kitab Raudlatul Uqala’ wa Nuzhatul Fudlala’, wajib bagi orang yang berakal untuk rendah hati (tawadhu’) dan menjauhi sikap sombong terhadap orang lain. Orang yang rendah hati akan selalu meningkat derajat dan posisinya. Hal tersebut sesuai dengan Sabda Nabi:

 

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

 

“Tiada orang yang rendah hati karena Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya” (HR Ahmad).

 

Berbeda dengan orang sombong, orang yang menganggap dirinya melebihi terhadap orang lain, merasa dirinya paling benar, ia tidak akan dapat merasakan surga Allah . Sebagaimana Sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim juz 1:

 

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

 

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di hatinya terdapat seberat biji kesombongan.”

 

Mengapa orang yang sombong tidak dapat masuk surga? Menurut Syekh Abdul Aziz dalam kitabnya Mawaridu Dham’an li Durusiz Zaman juz 2, karena sombong menjauhkan seseorang dari akhlak seorang mukmin. Orang sombong tidak bisa mengasihi orang mukmin seperti ia mencintai diri sendiri. Ia tidak memiliki sikap rendah hati, erat dengan ujaran kebencian, sikap dendam, marah, iri, dengki, bahkan ekstremisme. Ia juga sulit menerima nasihat kebaikan, tidak dapat menahan diri dari amarah, mudah mengumpat, dan meremehkan orang lain. Orang sombong dekat dengan sikap tercela. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya:

 

 

n yang Diharamkan Masuk Neraka الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ

 

“Sombong itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain” (HR Muslim).

 

Agar terhindar dari kesombongan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menyisihkan hartanya setiap hari satu dirham untuk memberi makan kepada umat Islam yang membutuhkan serta makan bersama mereka. Selain itu, Gus Baha’ juga memiliki cara agar tidak sombong, yaitu membelanjakan uang pemberian orang fakir, berapa pun jumlahnya, untuk membeli kebutuhan pokok. Hal itu dilakukan agar beliau mengingat pernah makan uang orang fakir. Itu cara beliau agar dapat terhindar dari kesombongan.

 

Kedua, layyin, yaitu orang yang lemah lembut dan santun, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Menurut Imam At-Thabari dalam kitabnya Tafsir At-Thabari juz 6, beliau menyampaikan bahwa sifat lemah lembut dan kasih sayang merupakan rahmat dari Allah untuk umat manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 159:

 

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

 

“Dengan rahmat dari Allah engkau (Nabi Muhammad) lemah lembut terhadap umat, seandainya engkau kaku dan keras hati niscaya umat akan menyingkir darimu.”

 

Imam At-Thabari menjelaskan bahwa dengan rahmat dan kasih sayang Allah terhadap Nabi dan umatnya, Rasulullah menjadi pribadi yang penuh kasih sayang, mudah, dan penuh dengan kebaikan. Nabi selalu menahan diri dari kaum yang menyakitinya, mengampuni orang yang berdosa, dan bersikap lunak terhadap umatnya. Seandainya Nabi bersikap keras dan kaku, tentu umat akan meninggalkan Nabi. Namun Allah memberikan rahmat-Nya kepada Nabi dan umatnya, sehingga dengan rahmat Allah, Nabi mengasihi terhadap umatnya.

 

Tidak hanya itu, sikap lemah lembut dan kasih sayang merupakan prinsip dan pokok dari sebuah kebaikan. terbukti orang yang tidak memiliki sikap lemah lembut dan kasih sayang, ia terhalang untuk melakukan kebaikan. sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahih Muslim juz 4 hlm 2003:

 

مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ، يُحْرَمِ الْخَيْرَ

 

“Barangsiapa tiada memiliki kelembutan, baginya tiada kebaikan” (HR Muslim)

 

Maksudnya orang tidak memiliki sikap lemah lembut dan kasih sayang, ia akan terhalang dari segala kebaikan. karena kebaikan tiada bisa dilakukan kecuali dengan kelembutan dan kasih sayang.

 

Ketiga, sahlun, yaitu orang yang mudah, tidak sulit, ringan baginya memberikan bantuan terhadap orang lain, baik dengan tenaga, pikiran, maupun harta. Ia ringan memberikan sebagian hartanya untuk membantu saudaranya yang membutuhkan, apalagi di masa banyak terjadi musibah saat ini. Bantuan dapat disalurkan secara langsung atau melalui lembaga terpercaya, seperti LAZISNU, BAZNAS, atau lainnya. Tujuannya adalah meringankan saudara kita yang tengah terkena musibah.

 

Mengapa orang yang ringan membantu saudaranya diharamkan masuk neraka? Karena orang mau memudahkan dan membantu kesulitan orang lain, akan diberikan kemudahan oleh Allah , baik di dunia maupun di akhirat kelak, termasuk kemudahan masuk surga dan terhindar dari neraka. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim Juz 4 halaman 2074, Nabi bersabda:

 

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

 

“Barangsiapa menghilangkan kesusahan dari orang mukmin, Allah akan menghilangkan kesusahannya di hari kiamat. Barangsiapa membantu orang yang kesulitan, Allah akan memudahkannya urusannya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi aib orang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu melindungi hambanya selama hambanya menolong saudaranya” (HR Muslim).

 

Keempat, qarib, yaitu akrab, dekat, mengeluarga, pandai berkomunikasi, menyenangkan, dan murah senyum. Selalu menebar salam jika bertemu dengan orang lain. Banyak ajaran Islam yang mengajarkan agar manusia saling akrab, dekat, dan mengeluarga. Sebagaimana Sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari, Juz 1 hlm 12:

 

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

 

“Tidak sempurna iman dari kalian hingga kalian mencintai apa-apa bagi saudaranya sebagaimana ia mencintai apa-apa bagi diri sendiri” (HR al-Bukhari).

 

Nabi juga menganjurkan umatnya untuk saling memberi hadiah. Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Adabul Mufrad, juz 1. Nabi bersabda:

 

تَهَادُوا تَحَابُّوا

 

“Salinglah memberi hadiah, kalian akan saling mengasihi” (HR al-Bukhari).

 

Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin juz 2 menjelaskan bahwa memberikan hadiah kepada saudaranya sangat dianjurkan oleh agama dengan tujuan untuk merekatkan persaudaraan dan kasih sayang. Merekatkan persaudaraan dan persahabatan merupakan salah satu ajaran agama Islam.

 

Dari sini dapat disimpulkan bahwa anjuran Rasulullah agar kita tidak masuk neraka adalah selalu menjadi manusia yang rendah hati, lemah lembut, memberikan kemudahan, dan akrab dengan orang lain. Semoga kita semua selalu mendapatkan rahmat Allah agar kita menjadi manusia yang haram masuk neraka dan dimasukkan surga Allah . Aamiin.

 

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

 

Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

 

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

 

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 

 

Dr. Rustam Ibrahim, Dosen IAIN Surakarta, Wakil Katib Syuriah PCNU Boyolali

 

(Ngaji of the Day) Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 4

وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ


Walladzīna yu’minūna bi mā unzila ilayka wa mā unzila min qablika, wa bil ākhirati hum yūqinūna.


Artinya, “Dan orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan apa yang diturunkan sebelummu. Kepada akhirat mereka yakin.”


Keimanan pada Kitab Al-Qur’an

 

Az-Zuhayli dalam Tafsir Al-Munir mengatakan, mereka yang bertakwa adalah mereka yang membenarkan semua wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dan semua nabi dan rasul. Mereka mempercayai akhirat dengan yakin tanpa keraguan, dan juga percaya kebangkitan jasad dan roh di kubur, hisab, pembalasan, mizan, sirath, surga, dan neraka.


Mereka yang disifatkan demikian, yaitu keimanan kepada hal ghaib, penegakan shalat, penginfakan zakat, keyakinan pada hari akhir, keimanan kepada Al-Qur’an serta kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya (Taurat, Injil, Zabur, dan suhuf). Mereka berjalan di atas cahaya dan petunjuk Tuhan. Mereka menempati kedudukan yang tinggi di sisi-Nya. Mereka peraih derajat yang tinggi di surga yang kekal.

 
Sifat, jalan hidup, dan peraturan mereka dalam kehidupan islami adalah keimanan yang sempurna atas segala hal ghaib yaitu zat Allah, malaikat, akhirat; keimanan pada semua yang dikabarkan Al-Qur’an dan pada semua yang ditunjukkan dalil. Keimanan mereka dibarengi dengan amal saleh, yaitu penegakkan sembahyang wajib, infak di jalan Allah, bantuan sosial untuk fakir dan miskin serta sedekah sunnah, nafkah wajib untuk keluarga, anak, dan kerabat. Keimanan pada wahyu yang diturunkan Allah tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu keharusan beriman secara rinci pada Al-Qur’an dan keharusan beriman secara garis besar kepada kitab dan suhuf samawi sebelum Al-Qur’an. (Az-Zuhayli).


Sebagaimana dimaklum, bahwa semua itu tidak dianggap kecuali tanpa keyakinan dalam keimanan. Banyak ayat menunjukkan bahwa takwa adalah takut untuk menyalahi ketentuan Allah. Takwa merupakan inti dari semua kebaikan. Takwa adalah wasiat Allah untuk manusia terdahulu dan manusia terkemudian. Takwa adalah kebaikan yang dapat ditarik keuntungannya oleh manusia itu sendiri sebagaimana pendapat sahabat Abu Darda. (Az-Zuhayli).


Al-Baghowi dalam Tafsir Ma’alimut Tanzil mengatakan, “Dan orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad)” maksudnya Al-Qur’an. “dan apa yang diturunkan sebelummu” maksudnya Taurat, Injil, dan semua kitab yang pernah diturunkan kepada para nabi alaihimus shalatu was salam. Ayat ini menjelaskan perihal orang beriman di kalangan ahli kitab.


Al-Baidhawi dalam Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil mengatakan serupa. Mereka yang dimaksud dalam Surat Al-Baqarah ayat 4 ini adalah orang beriman dari kalangan ahli kitab, yaitu Abdullah bin Salam dan sahabatnya. Mereka termasuk orang yang beriman pada hal ghaib. Mereka itu orang yang beriman tanpa kemusyrikan dan keingkaran. Ayat 3-4 merupakan rincian dari Surat Al-Baqarah ayat 2 seperti pendapat Ibnu Abbas. Tetapi bisa juga “dan” pada ayat 4 merupakan kata sambung dari ayat 2, “sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa” dari kemusyrikan.


“Apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad)” maksudnya adalah Al-Qur’an seutuhnya dan syariat akhirnya. Meski menggunakan fiil madhi atau verba yang telah lalu, meski sebagian ayat waktu itu masih turun menyusul, penggunaan bentuk kata tersebut melihat dominan pada yang sudah turun dibanding yang belum turun. (Al-Baidhawi)


Pendapat ulama tafsir, kata Ibnu Katsir terbagi menjadi tiga perihal siapa yang dimaksud dalam Surat Al-Baqarah ayat 3-4 seperti dihikayatkan oleh Ibnu Jarir.


Pertama, mereka yang dimaksud dalam Surat Al-Baqarah ayat 3-4 adalah setiap mukmin, mukmin bangsa Arab, mukmin ahli kitab, dan mukmin lainnya sebagaimana pendapat Mujahid, Abul Aliyah, Ar-Rabi‘ bin Anas, dan Qatadah.


Kedua, mereka adalah mukmin dari kalangan ahli kitab.


Ketiga, mereka yang dimaksud dalam Surat Al-Baqarah ayat 3 adalah mukmin bangsa Arab. Sementara yang dimaksud Surat Al-Baqarah ayat 4 adalah mukmin ahli kitab. (Ibnu Katsir)


Ibnu Katsir mengutip hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim berikut ini:


عن أبي بردة عن أبي موسى: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "ثلاثة يؤتون أجرهم مرتين: رجل من أهل الكتاب آمن بنبيه وآمن بي، ورجل مملوك أدى حق الله وحق مواليه، ورجل أدب جاريته فأحسن تأديبها ثم أعتقها وتزوجها


Artinya, “Dari Abu Burdah, dari Abu Musa, Rasulullah SAW bersabda, ‘Ada tiga kelompok yang mendapatkan ganjaran pahala dua kali lipat. Pertama, seorang ahli kitab yang berima kepada nabinya dan beriman kepadaku. Kedua, seorang budak yang menunaikan hak Allah dan hak tuannya. Ketiga, seseorang yang mendidik budak perempuannya, memperbaiki adabnya, memerdekakannya, lalu mengawininya.’”


Keimanan pada Kitab Sebelum Al-Qur’an

 

“Apa yang diturunkan sebelum kamu” adalah Taurat, Injil, dan seluruh kitab sebelumnya. Keimanan kita kepada semua kitab itu secara garis besar merupakan kewajiban fardhu ain. Sedangkan kewajiban kepada “Apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad)” bersifat tafsil atau rinci, dalam arti kita beribadah secara tafsil sebagai bentuk kewajiban karena kewajiban individu akan merepotkan dan merusak pencarian. (Al-Baidhawi)


Adapun “orang yang beriman kepada kitab yang diturunkan kepadamu dan wahyu yang diturunkan sebelummu…” adalah pemeluk agama mana pun dengan arti mereka beriman melalui semua ajaran ketauhidan yang dapat dijangkau akal secara garis besar. Sedangkan hubungan pengamalan atas keimanan berupa ibadah fisik dan ibadah harta dan keimanan tidak ada jalan lain selain melalui wahyu. Kata “inzal” atau turun berarti perpindahan sesuatu dari atas ke bawah, yaitu kedatangan makna-makna melalui kedatangan zat yang mengandung makna tersebut. Turunnya kitab suci kepada para rasul bisa jadi ditangkap secara rohani atau batin oleh malaikat dari Allah atau dipelihara di Lauh Mahfuzh lalu dibawa turun dan disampaikan kepada rasul. (Al-Baidhawi)


Ibnu Katsir dalam Tafsirul Qur’anil Azhim mengutip pandangan Ibnu Abbas bahwa orang yang disebut pada Surat Al-Baqarah ayat 4 adalah mereka yang membenarkan kabar dari Allah yang datang kepada Nabi Muhammad dan kepada rasul sebelum Nabi Muhammad tanpa membedakan para rasul. Mereka tidak mengingkari kabar yang dibawa para rasul dari Tuhan.


Adapun mukmin ahli kitab mendapat keistimewaan. Mereka beriman secara rinci terhadap kitab suci di tangan mereka. Ketika memeluk Islam dan beriman secara rinci kepada kitab Al-Qur’an, mereka mendapat ganjaran dua kali lipat. Adapun kelompok selain ahli kitab hanya beriman kepada kitab-kitab terdahulu secara garis besar sebagaimana keterangan hadits shahih, “Jika ahli kitab bercerita sesuatu kepadamu, jangan kalian benarkan dan jangan kalian dustakan. Tetapi katakanlah, ‘Kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami dan diturunkan kepada kamu semua.’”


Tetapi, keimanan kebanyakan bangsa Arab atas agama yang diutus melalui Nabi Muhammad lebih sempurna, umum, dan lebih luas dibanding keimanan ahli kitab yang memeluk Islam. Mereka meski mendapatkan dua ganjaran pahala dari segi itu, pemeluk Islam selain dari kelompok ahli kitab memiliki kelebihan ganjaran pahala keimanan yang melebihi pahala dua kali lipat yang didapat ahli kitab. (Ibnu Katsir)


Keyakinan atas Akhirat

 

“Akhirat” maksudnya adalah negeri akhir. Sementara dunia disebut demikian karena kedekatannya dengan akhirat. Sedangkan akhirat dinamai demikian karena keberadaannya setelah kehidupan dunia. “Mereka yakin” mereka meyakini bahwa akhirat itu ada. Yakin itu mengetahui. Ada ulama yang mengatakan, yakin itu pengetahuan seseorang berdasarkan dalil. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengatakan, “Allah itu yakin” atau “Ilmu-Nya itu keyakinan” karena ilmu-Nya tidak berdasarkan dalil. (Al-Baghowi).


“Kepada akhirat, mereka yakin,” mereka yakin sehingga hilang anggapan dari kepala mereka bahwa yang akan masuk surga kelak adalah Yahudi dan Nasrani saja dan api neraka menyentuh mereka hanya beberapa hari; perbedaan pandangan di kalangan mereka perihal kenikmatan surga: apakah sejenis dengan kenikmatan dunia atau tidak; dan perbedaan pandangan di tengah mereka perihal kontinuitas dan keterputusan nikmat tersebut.

 

“Kepada akhirat” sengaja diletakkan di depan untuk menentang kalangan ahli kitab selain mereka (Abdullah bin Salam dan pengikutnya) bahwa akidah mereka perihal akhirat tidak sesuai dan tidak bersumber pada keyakinan.

 

Dalam bahasa Arab, kata “yakin” berarti kesempurnaan ilmu dengan menafikan keraguan dan kesamaran berdasarkan analisa dan penetapan dalil. Oleh karena itu, ilmu Allah tidak dapat disifatkan dengan keyakinan dan juga ilmu dharuri atau aksiomatis. Kata “akhirat atau akhirah” adalah bentuk feminin dari “akhir.” Akhirat merupakan penyifatan dari kata “ad-dar” yang juga feminin, “tilkad dārul ākhirah” sehingga penggunaannya yang feminin menjadi  kaprah seperti feminitas kata “ad-duniya.” (Al-Baidhawi)


“Akhirat” sendiri adalah kebangkitan, kiamat, surga, neraka, hisab, dan mizan. Ia dinamai akhirat karena hadir setelah dunia. (Ibnu Katsir)


Menurut Ibnu Katsir, tafsir yang jelas adalah pendapat Mujahid seperti diriwayatkan At-Tsauri bahwa 4 ayat pertama Surat Al-Baqarah menyifatkan orang beriman, 2 ayat berikutnya menyifatkan orang kafir, dan 13 ayat selanjutnya berbicara mengenai orang munafik. Empat ayat di awal bersifat umum bagi setiap orang beriman, baik dari kalangan Arab, Ajam (sebutan orang Arab terhadap bangsa non-Arab), bangsa manusia, bangsa jin.


Satu sifat terpisah saja, kata Ibnu Katsir, tanpa yang lain, tidak sah. Setiap sifat orang beriman itu berkaitan satu sama lain, bahkan menjadi syarat bagi yang lainnya. Keimanan pada hal ghaib, penegakan shalat, dan zakat tidak sah tanpa keimanan pada wahyu atau kabar yang dibawa oleh Nabi Muhammad, keimanan pada kabar yang dibawa rasul sebelum Nabi Muhammad, dan keyakinan pada akhirat sehingga keimanan pada sebagiannya tanpa yang lainnya tidak sah.


Satu kesatuan itu ditunjukkan dalam Surat An-Nisa ayat 136, Al-Ankabut ayat 46, An-Nisa ayat 47, Al-Maidah ayat 68, Al-Baqarah ayat 285, An-Nisa 152, dan banyak ayat lainnya perihal orang yang beriman kepada Allah, para rasul, dan kitab-kitab sucinya. (Ibnu Katsir). Wallahu a‘lam. []

 

Sumber: NU Online