Jumat, 30 Januari 2015

(Do'a of the Day) 09 Rabiul Akhir 1436H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Subhaanal malikil qudduusi rabbil malaa'ikati warruubi, jallalatis samaawati wal ardha bil 'izzati wal jabaaruuhi.

Maha Suci Allah, Penguasa Yang Maha Quddus, Tuhan Yang disembah oleh para malaikat. Engkau penuhi langit dan bumi dengan kemuliaan dan keperkasaan-Mu.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 5, Bab 16.

Pomade Style


(Ponpes of the Day) Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, Mandailing Natal – Sumatera Utara



Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, Mandailing Natal – Sumatera Utara

Sejarah Dan Profil Pesantren Purba Baru

Ponpes Musthafawiyah yang lebih dikenal dengan nama Pesantren Purba Baru didirikan pada tahun 1912 oleh Syeikh Musthafa bin Husein bin Umar Nasution Al-Mandaily. Pesantren ini berlokasi di kawasan jalan lintas Medan – Padang, Desa Purbabaru, Kabupaten Mandailing Natal (MADINA), Sumatera Utara Indonesia.

Awalnya pesantren ini didirikan di Desa Tanobato, Kabupaten Mandailing Natal. KarenaTanobato dilanda banjir bandang pada tahun 1915, Musthafawiyah dipindahkan oleh pendiri ke Desa Purba Baru hingga kini.

Sang pendiri dan pengasuh pertama, yang belajar ilmu agama selama 13 tahun di Makkah itu, meninggal pada November 1955. Pimpinan pesantren berpindah kepada anak lelaki tertuanya, H. Abdullah Musthafa.

Pada tahun 1960 dibangun ruang belajar semipermanen. Pada tahun 1962, ruang belajar yang dibangun dari sumbangan para orang tua santri berupa sekeping papan dan selembar seng setiap orangnya ditambah tabungan H. Abdullah Musthafa Nasution. Bangunan ini diresmikan Jenderal Purnawirawan Abdul Haris Nasution. Para santri putra dilatih kemandiriannya dengan membangun pondok tempat tinggal mereka. Ribuan pondok yang terhampar di Desa Purbabaru ini menjadi pemandangan unik di jalan lintas Sumatra.

Lama pendidikan disini 7thn. Jumlah staf pengajar tercatat 200 orang, berasal dari berbagai pendidikan di luar negeri, khususnya dari Kairo, India, dan Makkah. Jumlah staf pengajar itu tentu tidak sepadan dengan jumlah santri yang ribuan.

Para alumni banyak bertebaran di seluruh Indonesia, khusunya di Sumut, Sumbar, Aceh, Riau. Di antara mereka ada juga yang melanjutkan studi ke Mesir, Suriah, Yordania, India, Makkah, Maroko, Sudan, Pakistan.

Jumlah murid pesantren awalnya hanya sekitar 20 orang dan pada 1916 jumlahnya meningkat menjadi 60 orang. Saat ini 7.000 orang.

Pimpinan Pesantren Purba Baru

1. Syeikh Musthafa bin Husein bin Umar Nasution Al-Mandaily (1912-1955)
2. Syeikh Abdullah Bin Musthafa binHusein Nasution (1955-)
3. H Bakri bin Abullah bin Musthafa Bin Husein bin Umar Nasution (pengasuh saat ini)

Profil Biografi Syeikh Musthafa Bin Husein Bin Umar Nasution Al-Mandaily

Syaikh Musthafa Husein Nasution atau Muhammad Yatim adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara dari pasangan Husein dan Halimah. Beliau lahir di Desa Tano Bato pada tahun 1303/1886. Sebelum beliau mengembara ke Makkah dalam rangka menuntut ilmu agama, beliau dibimbing oleh Syekh Abdul Hamid Hutapungkut Julu selama kurang lebih tiga tahunan. Atas bimbingan Syaikh Abdul Hamid inilah muncul semangat pada diri Muhammad Yatim (Syekh Musthofa) untuk memperdalam ilmu agamanya di Makkah.

Setelah lima tahun di Makkah beliau sempat berkeinginan untuk berpindah belajar di mesir, tetapi keinginan itu beliau gagalkan karena banyaknya orang-orang yang menasehatinya agar tetap dan istiqomah belajar di Makkah. Beliau-pun akhirnya mantap dan berkonsentrasi untuk terus belajar di Masjidil Harom di dalam bimbingan ulama-ulama terkemuka. Diantaranya adalah, Syekh Abdul Qodir al-Mandily, Syekh Ahmad Sumbawa, Syekh Sholeh Bafadlil, Syekh Ali Maliki, Syekh Umar Bajuned, Syekh Ahmad Khothib Sambas dan Syekh Abdur Rahman.

Setelah kembali ke Tanah Air, beliau getol memperjuangkan Islam ‘alaa Ahlissunnah wal Jama’ah dengan berda’wah kepada masyarakat dan mendirikan Pondok Pesantren sebagai tempat belajar anak-anak bangsa yang akhirnya pondok pesantren tersebut di kenal dengan Pondok Pesantren Musthofawiyah atau lebih dikenal dengan Pesantren Purba yang mempunyai hampir 10 ribu santri dari berbagai suku dan propinsi di Indonesia bahkan dari negara tetangga Malaysia.

Syekh Musthafa Husein Nasution ini sangat gigih dalam mengembangkan fiqh ‘alaa madzhab Imam Syafi’i. Hal ini dapat di lihat dari Pesantren beliau sekarang ini yang masih mempertahankan tradisi-tradisi pesantren yang sudah sejak awal telah dirintis dan ditekankan oleh beliau. Mulai dari paham keagamaan, kitab-kitab yang dipelajari, hingga dengan cara berpakaian dan tempat tinggal santri. Dalam ilmu fiqh, kitab-kitab yang dipelajari seperti Matan Ghayah Wa Taqrib, Hasyiijah Bajuri, Hasyiyah asy-Syarqawi dan lain-lain. Dalam bidang aqidah, kitab-kitab yang dipelajari seperti Kifayatul Awam, Hushnul Hamidiyyah, Hasyiyah Dusuki Ala Ummil-Barahin dan lain-lain.

Akidah, Madzhab Dan Sistem Pendidikan Pesantren

PAHAM keagamaan yang dikembangkan Pontren Mushtafawiyah adalah akidah ahlu sunnah wal jamaah dan bermazhab Syafii. Akidah tersebut diajarakan kepada santri-santriwati melalui kitab Kifayatu Awam , Hushnul Hamidiyyah, Hasyiyah Dusuki Ala Ummi Al-Barahin dan lain-lain.

Kitab-kitab ini juga yang dipelajari oleh pendiri pesantren ketika belajar di Madrasah Shalatiyah dan Masjidil Haram di Makkah. Menyebarkan dan mengajarkan ajaran ahlu sunnah wal jamaah menjadi salah satu misi pesantren, tutur ahli Nahwu ini.

Sementara untuk fiqhnya, pesantren mengajarkan fiqh mazhab Imam Syafii, sebagaimana umumnya pesantren di Indonesia. Kitab-kitab fiqh yang dipelajari meliputi Matan Ghayah Wa Taqrib, Hasyiyah Bajuri, Hasyiyah Syarqawi Ala Tahrir dan lain-lain.

Alumnus Pesantren Musthafawiyah Muhammad Husni Ginting, dalam salah satu tulisannya, mengatakan tidak heran jika KH Sirajuddin Abbas memasukkan nama Syeikh Musthafa Husein di dalam bukunya Keagungan Mazhab Syafii sebagai penyebar Mazhab Syafiiyyah di Indonesia.

Ajaran akidah ahlu sunnah dan fiqh mazhab Syafii ini, sambung Muhammad Yakub, juga disebarkan kepada masyarakat umum melalui para santri yang berceramah saat liburan. Apalagi sekarang ini muncul berbagai paham keagamaan yang meresahkan masyarakat, ujarnya.

Akan tetapi, yang menjadi ciri khas Pontren Musthafawiyah adalah penguasaan kitab kuning. Yaitu, kitab-kitab agama klasik karya para ulama terdahulu yang tidak berbaris dan kertasnya berwarna kuning.

Untuk dapat membaca dan memahami kitab tersebut, jelas Muhammad Yakub, para santri harus menguasai ilmu-ilmu alat terlebih dahulu, dan ini yang paling yang diutamakan. Ilmu alat mencakup nahwu, sharaf, manthiq, balaghoh, lughot hingga imlak, terang ustadz yang juga alumni Mushtafawiyah ini.

Semua ilmu alat ini, ujarnya, dipelajari dari kitab yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Muhammad Yakub Nasution menegaskan, begitu juga pelajaran lainnya, dipelajari dengan menggunakan kitab kuning sampai kitab tertinggi yang disesuaikan dengan tingkatannya.

Dikatakannya, kurikulum pengajaran kitab kuning yang dipakai mengacu pada kurikulum Madrasah As-Shalatiyah Al-Hindiyah, Makkah, tempat pendiri pesantren mengenyam pendidikan.

Di tingkat perlombaan penguasaan kitab kuning, Pesantren Musthafawiyah telah membuktikan salah satu yang terbaik di Indonesia. Terbukti, sebagaimana dikatakan Muhammad Yakub Nasution, pada Musabaqoh Qiraatul Kutub (MQK) tingkat nasional tahun lalu yang digelar Departemen Agama di Kalimantan, Pesantren Musthafawiyah menduduki peringkat kedua.

Sekarang ini(terhitung sejak tahun ajaran 1985/1986),mata pelajaran yang ditawarkan adalah 80 % pelajaran agama islam dan 20 % untuk pelajaran umum. Keterangan jenis pelajaran yang diajarkan dipesantren ini terlihat sebagai mana dalam tabel berikut:

No
Pejaran Agama
Pelajaran Umum
1
Tafsir
Bahasa Indonesia
2
Hadits
3
4
5
Tarikh Islam
6
7
8
Keterampilan
9
10
11
12
13
Ilmu Falak
Tata Buku
14
Ilmu Bayan
Hitung Dagang
15
Ilmu Balaghah


Sumber:

Buya Syafii: Utang dan Air Mendidih



Utang dan Air Mendidih
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Usai salat zuhur di masjid Nogotirto, Jogjakarta, pada 30 Desember 2014, sahabat saya H. Hartoyo, pensiunan Pertamina, berkisah tentang mimpi anak sulungnya yang cukup mengerikan berkaitan dengan utang neneknya pada sebuah bank yang belum sempat terbayar sampai saat wafatnya. Jumlahnya hanyalah Rp 3 juta, dan itu pun bukan utang pribadinya, tetapi utang adiknya atas nama dia.

Ketika menceritakan kembali isi mimpi anak tentang ibunya ini, tangan Bung Hartoyo masih gemetar. Begitu mencekam, begitu menakutkan, sehingga anak Hartoyo menjerit sambil terbangun. Komentar Hartoyo: “Ternyata ada hubungan batin antara anak dan neneknya yang sudah wafat.” Tidak mustahil, karena memang ada mimpi penting untuk menyadarkan orang dari kealpaan.

Apa yang terlihat oleh anak Hartoyo dalam mimpi itu dan apa pula tafsiran Hartoyo terhadap mimpi itu? Inilah gambarannya yang saya turunkan dari hasil tuturan Hartoyo: Ada sebuah bak besar berisi air yang sedang mendidih, panas sekali. Di dalamnya terapung ibu kandung Hartoyo yang sedang berteriak minta tolong. Sambil menangis, anak Hartoyo mengadu kepada bapaknya tentang apa yang dilihatnya dalam mimpi itu.

Hartoyo ternyata cepat tanggap. Ini, katanya, pasti bertalian dengan masalah ibunya yang semasa hidup yang tidak diceritakan kepada anak-anaknya. Benar, ternyata ada utang adik ibunya sejumlah di atas. Hartoyo segera menghubungi pihak bank untuk melunasi utang itu. Setelah utang dilunasi, lagi anak Hartoyo bermimpi bahwa neneknya mengucapkan terima kasih kepada Hartoyo, anak kandungnya itu.

Kita tidak tahu pasti takwil sebuah mimpi, tetapi tuturan Hartoyo di atas penting untuk direnungkan. Bukankah, jika seorang Muslim/Muslimah wafat, sebelum dimakamkan, pihak keluarga tentu tidak lupa menanyakan kepada para pelayat tentang kemungkinan si mayat punya utang atau tidak. Jika ada utang, hendaklah pihak keluarga diberi tahu agar semua masalah dunia itu diselesaikan segera atau direlakan, demi perjalanan arwah si mayat ke alam lain tidak terhambat oleh utang yang masih belum terbayar. Kesulitan sebagian kita adalah kebiasaan berutang sampai menumpuk, tetapi tidak cepat dibayar, sehingga menjadi kumulatif.

Biasanya jika utang sudah berlapis-lapis kepada banyak pihak lagi, lama-lama kepekaan batin seseorang menjadi tumpul, skrup ubun-ubunnya menjadi longgar. Namanya menjadi gunjingan di mana-mana. Seolah-olah utang bukan lagi sebuah beban yang dapat membuat kepalanya jadi pusing tujuh keliling. Dalam situasi yang semacam ini, pilihan terbaik dan terhormat bagi yang bersangkutan adalah agar cepat sadar dan berdo’a kepada Allah sambil berusaha agar diberi rejeki tambahan untuk secepatnya melunasi utang.

Allah Maha Mendengar jeritan seorang hambaNya yang sedang dililit utang. Rasanya pintu rezki akan terbuka lebar dengan syarat  kita bersedia memulihkan kepekaan batin untuk secepatnya membayar utang itu. Jangan dibiarkan larut tersandung oleh tumpukan utang yang dapat sangat merepotkan pihak keluarga jika sewaktu-waktu kita didatangi malaikat maut.

Dulu kami pernah pula punya utang untuk keperluan anak dan untuk membayar uang muka rumah KPR (kredit perumahan rakyat) dan angsuran bulanannya setelah sekitar 20 tahun hidup dalam rumah sewaan sampai pindah berkali-kali. Maklumlah nasib pegawai negeri dengan penghasilan yang serba kurang. Saya sekeluarga baru bernafas secara ekonomi sejak tahun 1990 karena diminta mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia selama dua tahun atas dorongan alm. DR Imaduddin Abdurrahim.

Rampung di Malaysia, ada saja pintu rezki yang dibukakan Allah. Pernah mengajar di Institute of Islamic Studies, bagian dari Universitas McGill, Kanada, atas rekomendasi Menteri Agama alm Munawir Sjadzali. Tak selang beberapa tahun kemudian diminta pula oleh Pak Akbar Tandjung (Mensekneg ketika itu) untuk menjadi anggota DPA tahun 1998 s/d 2003. Sekarang saya tidak miskin dan tidak kaya, sedangan saja, tetapi tanpa utang dan kami sudah punya rumah pribadi. Alhamdulillah, Allah Maha Pemberi Rezki yang tak putus-putusnya sampai hari ini. Ada do’a yang baik: “Allâhumma a’ûzdubika min al-dain” (Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari jeratan utang). []

REPUBLIKA.CO.ID, 06 January 2015
Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

(Ngaji of the Day) Zakat Harta Simpanan dan Penyalurannya



Zakat Harta Simpanan dan Penyalurannya

Pertanyaan:

Saya ingin mengeluarkan zakat maal dari uang simpanan saya yang insyaAllah sudah sampai nisab dan haulnya. Apakah boleh saya berikan dalam bentuk sembako kepada yang berhak menerimanya ataukah harus berwujud uang?

Seandainya boleh, manakah yang lebih afdhal diantara keduanya dan adakah dalilnya? Mohon pencerahannya pak Ustad supaya kami mantap hati dalam pengamalannya. Semoga pencerahannya bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi saya dan menjadi simpanan pahala yang berlimpah bagi Pak Ustad. Terimakasih. Wassalamu’alakum Wr. Wb.

(Muhidin)

Jawaban:

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah Swt. Kami memberikan apresiasi yang luar biasa atas kesadaran Bapak dalam membayar zakat, yang tentunya itu lahir dari keimanan yang kuat.

Para ulama berbeda pendapat mengenai soal boleh atau tidaknya membayar zakat uang atau emas dengan harta atau benda lain yang senilainya (qimah), atau bukan dari jenisnya. Misalnya zakat disalurkan dalam bentuk sembako. Ada yang mengatakan tidak boleh, ada yang mengatakan boleh.

Perselisihan pendapat ini lahir pada dasarnya karena perbedaan dalam melihat hakikat dari makna zakat itu sendiri. Kalangan yang tidak memperbolehkannya lebih cendrung memaknai zakat sebagai bentuk ibadah semata dan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karenanya, harus mengikuti ketentuan yang sudah ditetapkan dalam nash.

Sedang kalangan yang memperbolehkan cenderung melihat zakat sebagai hak yang ditetapkan dalam harta orang-orang kaya untuk kalangan fakir-miskin. Dengan kata lain, zakat adalah hak material (haqqun maliyyun) yang diperuntukkan untuk menutupi kekurangan kalangan fakir-miskin. Karenanya, menurut mereka diperbolehkan membayar zakat dengan yang senilainya. Salah satu dalil mereka adalah apa yang dilakukan Mu’adz bin Jabal Ra kepada penduduk Yaman:

 وَقَالَ طَاوُسٌ: قَالَ مُعَاذٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَهْلِ اليَمَنِ ائْتُونِى بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِى الصَّدَقَةِ ، مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ ، وَخَيْرٌ لأَصْحَابِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ --رواه البخاري

“Thawus berkata, bahwa Mu’ad bin Jabal berkata kepada penduduk Yaman: Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian- khamish (pakaian yang panjangnya sekitar lima dira’)  atau baju lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Dan hal tersebut lebih mudah bagi kalian dan lebih baik bagi para shahabat Nabi saw di Madinah” (H.R. Bukhari)

Dalam pandangan mereka, dalil di atas menunjukkan bahwa Mu’adz menarik zakat sesuatu yang senilai dengannya, bukan dengan gandum dan jagung sesuai dengan ketetapan yang berlaku.

Hemat kami, kedua pandangan yang saling bertentangan yang lahir dari cara pandangan yang berbeda dalam melihat zakat tidak perlu dipertentangkan dengan tajam. Sebab, zakat pada dasarnya mengandung dua pengertian sekaligus. Yaitu disamping sebagai bentuk ibadah kepada Allah, zakat juga mengandung pengertian sebagai hak yang ditetapkan dalam harta orang-orang kaya untuk kalangan fakir-miskin.      

Karena itu, maka kedua pendapat di atas bisa digunakan sepanjang membawa kemaslahatan. Artinya, kita bisa memilih pendapat yang pertama jika memang hal itu dianggap yang paling membawa kemaslahatan bagi si penerima zakat. Sama halnya pilihan terhadap pendapat yang kedua. Jadi dalam perbedaan pendapat ini acuannya adalah kemaslahatan.

Penjelasan tersebut, jika ditarik ke dalam konteks pertanyaan di atas, maka zakatnya uang tetap diberikan berupa uang dengan mengacu kepada pendapat pertama dan didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Namun boleh juga—dengan mengacu kepada pendapat kedua—zakatnya uang diganti, misalnya dengan sembako yang senilai, dengan catatan hal itu dipandang lebih membawa kemanfaatan dan kemaslahatan bagi orang-orang yang berhak menerima zakat.    

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bisa menjadi bahan pertimbangan yang berarti. Dan semoga dengan berzakat, harta Bapak bisa menjadi bersih dan berkah. []

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU