Jumat, 30 Desember 2016

(Do'a of the Day) 01 Rabiul Akhir 1438H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma aatinaa fiddunya hasanatan wa fil aakhirati hasanah waa qinaa 'adzaaban naari.

Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 5, Bab 2.

(Khotbah of the Day) Tahun Baru: Merenungi Hakikat Umur



KHOTBAH JUM'AT
Tahun Baru: Merenungi Hakikat Umur

Khutbah I

الحَمْدُ للهِ الّذِي لَهُ مَا فِي السمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَلَهُ الحَمْدُ فِي الآخرَة الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وهو الرّحِيم الغَفُوْر. . أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ الهَادِيْنَ لِلصَّوَابِ وَعَلَى التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ اْلمَآبِ.

اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّوَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Ada pemandangan yang hampir selalu kita temui tiap momen pergantian tahun, yakni banyak orang-orang larut dalam suka cita hingga kadang merasa perlu untuk merayakannya dengan kegiatan-kegiatan khusus. Tahun baru seolah menjadi saat-saat yang paling dinanti. Di detik-detik pergantiannya pun nyaris tiap orang rela berjaga, lalu meluapkan rasa bahagia dengan aneka petasan, kembang api, atau sejenisnya, ketika saat-saat yang ditunggu itu tiba.

Bahagia terhadap momen-momen tertentu merupakan sesuatu yang sangat manusiawi. Begitu pula dalam momen pergantian tahun ini. Yang menjadi pertanyaan, sudah pada tempatnyakah kebahagiaan itu diekspresikan?

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,

Waktu adalah sebuah anugerah. Manusia menerima kesempatan di dunia untuk mencapai tujuan-tujuan akhirat. Sebagaimana Islam ajarkan bahwa kehidupan dunia adalah ladang yang mesti digarap serius untuk masa panen di akhirat kelak. Karena itu sifat waktu dunia adalah sementara, sedangkan sifat waktu di akhirat adalah kekal abadi.

Islam mengutamakan kehidupan akhirat di atas kehidupan dunia. Dua kehidupan tersebut dikontraskan sebagai dua jenis waktu yang sejati dan tidak sejati. Al-Qur’an melukiskan kehidupan dunia dengan istilah “tempat permainan” belaka.

وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ  وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Artinya: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS al-Ankabut: 64)

Kalimat “kehidupan dunia ini merupakan senda gurau dan main-main” bukan berarti kita dianjurkan untuk berbuat seenaknya di dunia ini layaknya sebuah permainan. Redaksi tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa kehidupan dunia ini tidak sejati, tidak kekal, dan penuh dengan tipuan. Karena itu, maknanya justru seseorang harus lebih banyak mencurahkan perhatian kepada kehidupan akhirat.

Lantas apa yang harus dilakukan agar kesempatan hidup di dunia berkualitas? Al-Qur’an telah memberikan garis bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi secara total kepada Allah.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56)

Allah tidak menciptakan jin dan manusia untuk suatu manfaat yang kembali kepada Allah. Mereka diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Dan ibadah itu sangat bermanfaat untuk diri mereka sendiri. Pengertian ibadah itu pun sangat luas, tak sekadar ritual kepada Allah (seperti shalat, puasa, haji, atau sejenisnya) melainkan meliputi pula kebaikan-kebaikan yang membawa kemaslahatan bagi orang lain.

Memanfaatkan umur di dunia ini menjadi sangat penting karena waktu terus berjalan, dan tak akan bisa terulang kembali. Manusia dituntut untuk memaksimalkan waktu atau kesempatan yang diberikan untuk perbuatan-perbuatan bermutu, sehingga tak menyesal di kehidupan kelak. Orang-orang yang menyesal di akhirat digambarkan oleh Al-Qur’an merengek-rengek minta kembali agar bisa memperbaiki perilakunya.

حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ ، لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ

Artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang yang durhaka itu) hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.” (QS Al-Mu’minun: 99-100)

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,

Imam Al-Ghazali mengatakan, ketika seseorang disibukkan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dalam kehidupannya di dunia, maka sesungguhnya ia sedang menghampiri suatu kerugian yang besar. Sebagaimana yang ia nyatakan—dengan mengutip hadits—dalam kitab Ayyuhal Walad:

عَلاَمَةُ اِعْرَاضِ اللهِ تَعَالَى عَنِ الْعَبْدِ، اشْتِغَالُهُ بِمَا لاَ يَعْنِيهِ، وَ اَنﱠ امْرَأً ذَهَبَتْ سَاعَةٌ مَنْ عُمُرِهِ، في غَيرِ مَا خُلِقَ لَهُ مِنَ الْعِبَادَةِ، لَجَدِيرٌ اَنْ تَطُولَ عَلَيْهِ حَسْرَتُهُ

Artinya: "Pertanda bahwa Allah ta'ala sedang berpaling dari hamba adalah disibukkannya hamba tersebut dengan hal-hal yang tak berfaedah. Dan satu saat saja yang seseorang menghabiskannya tanpa ibadah, maka sudah pantas ia menerima kerugian berkepanjangan.”

Dari penjelasan ini, kita patut memikirkan ulang tentang hakikat perayaan tahun baru. Momen tahunan ini seyogianya disikapi secara wajar dan tepat. Kebahagiaan terhadap tahun baru semestinya diarahkan kepada rasa syukur terhadap masih tersisanya usia, bukan uforia kebanggaan atas tahun baru itu sendiri. Sisa usia itu merupakan kesempatan untuk menambal kekurangan, memperbaiki yang belum sempurna, dari perilaku hidup kita di dunia. Tahun baru lebih tepat menjadi momen muhasabah (introspeksi) dan ishlah (perbaikan).

Sebuah kata-kata Syekh Ahmad ibn Atha'illah as-Sakandari dalam al-Hikam ini patut menjadi renungan:

رُبَّ عُمُرٍ اتَّسَعَتْ آمادُهُ وَقَلَّتْ أمْدادُهُ، وَرُبَّ عُمُرٍ قَليلَةٌ آمادُهُ كَثيرَةٌ أمْدادُهُ.

"Kadang umur berlangsung panjang namun manfaat kurang. Kadang pula umur berlangsung pendek namun manfaat melimpah."

Semoga kita menjadi pribadi yang orang-orang yang mampu menunaikan sisa usia kita dengan sebijak-bijaknya, dan terhindar dari perbuatan dan perkataan yang sia-sia. Amiin. Wallahu a’lam bisshawâb.

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ.  إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ


Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Sumber: NU Online

Kisah Den Dur Tremas Berubah Jadi "Debog" kala Ditangkap PKI di Tahun 1948



Kisah Den Dur Tremas Berubah Jadi "Debog" kala Ditangkap PKI


KH Abdurrozak Bin Abdullah Attarmasi (Den Dur)

Jauh sebelum peristiwa G30S PKI bergejolak, pada tahun 1948 telah terjadi satu peristiwa berdarah yang dikenal dengan istilah Affair Madiun. Pada waktu itu para kiai dan tokoh masyarakat menjadi sasaran beringas orang-orang komunis. Pemberontakan diawali dari kota Madiun dan kota Solo, maka Pacitan yang juga termasuk wilayah karesidenan Madiun juga bergolak. Maka kaum agama yang menjadi lawan utama kaum atheis menjadi korban. 

Disaat masyarakat merasakan ketakutan yang luar biasa karena banyaknya peristiwa pembunuhan oleh PKI, pesantren menjadi satu-satunya tempat yang aman untuk mereka berlindung. Namun, PKI jutru menyasar pesantren-pesantren karena dianggap sebagai tempat untuk membangun kekuatan melawan pemberontakan PKI. 

Salah satu Pesantren di Pacitan yang menjadi target operasi PKI adalah Pesantren Tremas. Dimana para pengasuhnya menjadi target utama untuk disika dan dibunuh. Namun ada kejadian menarik saat anggota PKI ingin menagkap salah satu Kiai pesantren Tremas yang bernama KH Abdurrozak Bin Abdullah Attarmasi atau yang dikenal dengan sebutan Den Dur. Den Dur merupakan salah satu adik dari Syech Mahfudz Attarmasi yang kesohor kealimanya itu.

Pada suatu malam  tahun 1948, sekitar empat ratus tentara PKI mengepung kediaman Den Dur yang saat  itu masih bertempat tinggal di lingkungan pesantren Kikil, yang letaknya hanya setengah kilo meter dari pesantren Tremas. 

Saat itu dua orang pimpinan pasukan PKI masuk ke dalam kediaman hendak menangkap Den Dur. Dua orang itu langsung menodongkan senjata api laras panjang ke arah Den Dur. Melihat suasana mencekam  itu, semua yang ada di dalam rumah merasa sangat ketakutan termasuk diantaranya adalah isteri Den Dur dan putera-puteranya antara lain Gus Wakil, Gus Jami’, Amin, Mustaqim serta tiga orang abdi Ndalemnya yang diantara  mereka bernama Slamet.

Namun, Den Dur sama sekali tidak merasa takut oleh ancaman PKI itu. Hingga keduanya terus memaksa Den Dur untuk menyerahkan diri kepada PKI. Akan tetapi, dengan santainya Den Dur justru mengibatkan dua senjata api yang diarahkan kepadanya dan membanting dua orang PKI tersebut. 

Tapi apa boleh buat, malam itu dengan berbekal senjata empat ratus anggota PKI telah mengepung kediaman Den Dur. Mau tidak mau akhirnya Den Dur menyerah. Ratusan PKI memboyong Den Dur ke sebuah Penjara di Pacitan yang jaraknya 11 KM dari kediamanya.

Diceritakan, malam itu Den Dur pergi tanpa membawa bekal apapun. “Den Dur mboten kerso ngasto sangu, namung ngagem sandal teklek mawon (Den Dur tidak mau membawa bekal, hanya pergi memakai sandal yang terbuat dari kayu saja),“ ungkap salah satu abdi ndalemnya yang masih hidup, Mbah Slamet, belum lama ini.

Sebelum dibawa PKI, Isterinya sudah menawarkan aneka macam bekal kepada Den Dur. Namun justru ditolaknya dan Den Dur hanya pergi mengenakan sepasang sandal kayunya. Masyarakat di sekitar pesantren yang mengetahui Kiai yang dihormatinya akan dibawa oleh PKI, mereka pun ikut mengantarkan kepergianya hingga keluar dari lingkungan pesantren. 

Adalah seorang putra Naib Kecamatan Arjosari yang bernama Wahyono juga ikut mengantarkan kepergian Den Dur. Ada kejadian unik saat Den Dur dibawa oleh anggota PKI itu. Dalam pandangan Wahyono sesampainya di jembatan Desa Arjosari, Den Dur justru menghilang.

Anehnya anggota PKI tidak satupun yang menyadari akan hal aneh itu. Mereka merasa seolah-olah Den Dur tetap ada dalam boyongan mereka. Namun Wahyono tetap saja mengikuti rombongan tentara PKI hingga sampai di Pacitan. 

Berdasarkan cerita Wahyono, sesampainya di Pacitan Den Dur hendak dimasukkan ke dalam penjara. Namun anehnya, pintu penjara sama sekali tidak cukup untuk memasukkan tubuh Den Dur ke dalam kamar penjara. Entah pintunya mengecil atau tubuh Den Dur yang menjadi besar. PKI kehabisan akal untuk menaklukkan Den Dur. Akhirnya PKI menyeret Den Dur ke lapangan Alun-alun Pacitan 

Dihadapan empat ratusan anggota PKI, Den Dur diikat disebuah tiang. Dengan kejamnya mereka memberondong tubuh Den Dur dengan senjata mereka. Ribuan peluru ditembakkan ke arah tubuh Den Dur. Mereka terperanjat keheranan. Den Dur yang seluruh tubuhnya tertembus ribuan peluru masih tetap hidup. Padahal, seharusnya Den Dur sudah meninggal.

Sungguh peristiwa aneh itu menambah hawa malam semakin angker dan menakutkan. Di tengah-tengah kota terdengar suara gemuruh ribuan peluru yang dimuntahkan. Sejenak kemudian, mereka bertambah heran bukan main. Tubuh Den Dur tiba-tiba berubah menjadi debog (pohon pisang). Barulah mereka sadar bahwa sosok yang mereka boyong dari kediamanya sampai di penjara Pacitan hingga diberondong ribuan peluru bukanlah Den Dur melainkan hanya sebatang pohon pisang.

Wahyono pulang kemudian pulang ke kediaman Den Dur bersama kawan - kawannya. Dia bahwa Den Dur telah tiada. Sekitar pukul 01.00 WIB Wahyono sampai di kediaman Den Dur, lagi-lagi Wahyono terperanjat keheranan. Den Dur sudah berada di dalam rumah bersama keluarga dan para abdi dalemnya. Lantas Wahyono ikut bergabung dengan Den Dur dan keluarga. 

Dia  menceritakan semua kejadian  yang baru saja disaksikanya. Den Dur dan orang-orang yang ada kediaman saat itu hanya tertawa mendengar cerita Wahyono. Sebenarnya, sesampainya di jembatan Arjosari Den Dur memang benar-benar menghilang dan langsung pulang ke rumahnya. Hanya saja PKI tidak dapat melihat akan hal itu. Malam itu juga masyarakatsekitar pesantren Kikil dan Tremas telah menganggap Den Dur telah meninggal.

Setelah peristiwa itu, PKI masih terus mencari keberadaan Den Dur. Kepada keluarganya, Den Dur berpesan jika ada orang yang mencari atau bertanya tentang keadaannya untuk menjawab bahwa Den Dur telah ditangkap PKI dan dipenjarakan di Pacitan. 

Den Dur merupakan salah seorang Kiai Pesantren Tremas yang memiliki kelebihan dalam ilmu spiritual. Den Dur merupakan Mursyid Thariqah Syadziliyah yang memiliki ribuan murid di penjuru pulau Jawa. Sejak kecil ia biasa dipanggil Den, singkatan dari kata Raden. Bersama kakaknya Kiai Dimyathi, pada usia remaja Den Dur belajar agama selama beberapa tahun kepada kakak tertuanya, yaitu Syekh Mahfudz Attarmasi yang saat itu telah menjadi ulama di Makah Al-Mukarromah. []

(Handoko BU-Zaenal Faizin)