Rabu, 14 Desember 2016

Kang Sobary: Jokowi 'Ngluruk Tanpo Bolo'



Jokowi 'Ngluruk Tanpo Bolo'
Oleh: Mohamad Sobary

DALAM sebuah diskusi yang bersifat akademis, ada peserta yang kelihatannya secara meyakinkan menyatakan bahwa demo itu bagian tak terpisahkan dari demokrasi. Dalam pernyataannya ada semangat menyalahkan aparat keamanan yang mengingatkan bahwa demo tak dilarang selama tak menimbulkan sikap anarkistis.

“Demo sebagai bagian dari demokrasi tak usah dihubung-hubungkan dengan watak anarkistis,” kata peserta diskusi tersebut.

“Bagaimana kalau demo dibiayai? Diskusi akademis seperti ini tak pada tempatnya menyinggung kecurigaan-kecurigaan adanya pihak yang menunggangi massa yang sedang berdemo. Juga kurang pantas berbicara mengenai pihak yang membiayai suatu demo.

Seandainya dugaan atau pernyataan pihak yang didemo bahwa adanya pihak yang membiayai demo itu bukan sekadar ilusi, bukan omong kosong, bagaimana Anda memahami ini?” tanya salah seorang peserta.

“Membiayai demo seperti itu sama dengan membiayai tumbuhnya demokrasi di negeri ini. Jadi membiayai demo baik sekali,” jawabnya.

Bagaimana logika ini bisa muncul dalam benak peserta diskusi tadi? Membiayai demo jelas merusak demokrasi karena demo dilakukan bukan demi aspirasi politik untuk menumbuhkan semangat demokrasi, tetapi demi uang. Membiarkan orang membiayai demo seperti itu akan membuat banyak kalangan selalu siap turun ke jalan untuk melakukan demo, tetapi motivasinya bukan politik, bukan demokrasi, melainkan uang.

Demo, uang. Demo, uang. Dengan begini lalu akan tumbuh kebiasaan, orang menurunkan barisan pendemo, tetapi khalayak sudah tahu bahwa demo telah berubah menjadi suatu perusahaan yang mendatangkan uang. Demo menjadi pekerjaan pokok. Mungkin demo lalu erat hubungannya dengan pengangguran dan kesukaran mencari pekerjaan.

Diskusi itu terjadi sesudah demo besar  4 November dan dekat menjelang demo besar berikutnya tanggal 2 Desember 2016 di Jakarta. Demo demi demo melanda kehidupan kita.

Demo demi demo, biarpun itu merupakan pupuk yang menyuburkan demokrasi, juga merupakan suatu potensi ancaman kekerasan di dalam masyarakat. Ini bukan karena niat menjelekkan demo, melainkan karena pengalaman yang selalu terjadi menunjukkan bahwa hal itu benar.

Kalangan etnik China atau minoritas lain takut trauma yang sudah pernah terjadi akan terjadi lagi. Mungkin ketakutan seperti ini bukan dibuat-buat. Mereka takut karena demo yang demokratis itu bisa berkembang ke arah yang tak kita bayangkan sebelumnya.

Dapatkah dalam situasi politik seperti itu kita bicara bahwa membiayai demo berarti membiayai demokrasi? Demokrasi macam apa kalau di dalamnya bisa muncul aneka macam kekerasan, membakar kota, dan memerkosa orang-orang yang tak berdosa? Ucapan apa yang harus kita berikan kepada orang yang berjasa membiayai demokrasi macam itu? Mengapa demokrasi menimbulkan kebakaran, kematian dan trauma berat bagi korban-korban pemerkosaan?

Dua demo besar yang disebut di atas, terutama demo 2 Desember, disebut sebagai aksi damai dan doa untuk bangsa. Kita pandai memilih ungkapan. Media percaya pada ungkapan polesan itu. Media membesarkan berita: aksi damai. Doa untuk bangsa.

Ini damai yang berisi niat menjatuhkan Presiden? Gosip politik beredar. Namanya juga gosip. Belum tentu semuanya benar. Tapi belum tentu pula semuanya salah. Tapi bagaimana kalau ternyata benar seperti kabarnya diucapkan oleh tokoh hebat dari Yogyakarta yang sudah punya prestasi turut mendalangi langkah politik menjatuhkan Gus Dur dulu?

Tokoh ini dikabarkan—atau digosipkan—telah mengatakan di suatu masjid bahwa bangsa Indonesia mendapat fasilitas Tuhan untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Kita semua menjadi saksi bahwa dia sangat benci dengan Presiden Jokowi.

Gejala apa yang bisa dengan enak dia terjemahkan sebagai fasilitas Tuhan itu? Apa dalam benaknya Tuhan bisa meridai tindak durjana dan aneka macam kekerasan yang memamerkan kebencian terhadap sesama? Bagaimana aksi tersebut bisa pada saat yang sama disebut aksi damai dan doa buat keselamatan bangsa?

Apakah ada kedamaian yang di dalamnya sekaligus terdapat kebencian untuk menjatuhkan presiden yang sah memangku jabatannya? Apa ada kata damai tapi dengki? Lalu logika apa yang bisa dipakai untuk menyebut kedamaian itu ada hubungannya dengan doa untuk keselamatan bangsa?

Ancaman keselamatan bangsa macam apa yang direspons secara massal dengan doa? Siapa yang mengancam dan siapa yang diancam? Kita tahu jawabannya.

Dan tokoh dari Yogya itu niscaya menari-nari dalam hati melihat massa sebanyak itu turun ke jalanan untuk menyambut fasilitas dari Tuhan?

Apa dia ingin menyatakan Tuhan membiayai demo itu? Apa dia juga bisa dengan nyaman berkata bahwa Tuhan bersamanya ketika menari-nari dalam hati mensyukuri banyaknya massa yang penuh damai menyambut turunnya fasilitas Tuhan tadi?

Jokowi tahu situasi. Ketika orang-orang yang jiwanya penuh rasa damai itu salat di Monas, Jokowi memutuskan ikut bersama mereka. Kabarnya—mungkin ini juga gosip—aparat keamanan melarang beliau turun. Tapi Jokowi punya perhitungan sendiri. Sekali memutuskan ikut, tetap ikut.

Peta situasi mungkin sudah diurai dengan baik dan tepat sehingga turun ke lapangan di tengah-tengah mereka menjadi kewajiban yang tak usah ditunda. Jutaan orang dihadapinya dengan tenang. Jokowi ibarat “buruan” masuk ke dalam jaring yang dipasang para pemburu?

Bisa saja dimaknai begitu. Tapi itu bukan satu-satunya makna. Bagaimana kalau kita memberi tafsir bahwa kehadiran Jokowi di tempat penuh damai tersebut sebagai representasi peribahasa Jawa ngluruk tanpo bolo, melabrak barisan musuh yang begitu besar sendirian dengan penuh sikap kesatria?

Ngluruk tanpo bolo itu berbahaya. Maka mungkin Jokowi tetap waspada, tetapi tidak dikuasai kemarahan atau rasa dengki. Marah tak perlu dibalas marah. Dengki tak bisa dibalas dengki. Tapi prajurit yang begitu banyak cukup dihadapi sendiri. Ngluruk tanpo bolo cukup sendiri, dalam keyakinan Tuhan memihak kebenaran dan tak mungkin memfasilitasi segenap penyimpangan. []

Koran Sindo, 10 Desember 2016
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar