Atribut
Natal dan Kebinekaan Kita
Oleh:
Zuhairi Misrawi
DI bumi
Pancasila, perayaan Natal yang hampir bersamaan dengan tahun baru selalu
mempunyai makna sangat penting. Natal menandakan kasih Yesus akan selalu
bersemayam di bumi pertiwi. Hampir seluruh warga turut serta merasakan aroma
keindahan dan keda-maian dalam Natal.
Saya yang
tumbuh dalam tradisi Islam, setiap hari Natal mengucapkan selamat Natal dan
bertandang ke beberapa kolega, baik umat Kristen Protestan maupun Katolik. Gus
Dur--panggilan akrab al-maghfur lahu KH Abdurrahman Wahid--semasa hidupnya
selalu menelepon para tokoh dari Kristen dan Katolik untuk mengucapkan selamat
Natal.
Bahkan,
ada sikap toleransi sangat indah, dan ini berbeda dengan negara-negara
mayoritas muslim lainnya. Barisan Serbaguna (Banser) Gerakan Pemuda Ansor
Nahdlatul Ulama dalam beberapa tahun terakhir turut menjaga keamanan,
kenyamanan, dan kedamaian perayaan Natal di beberapa gereja di Tanah Air.
Bahkan, di antara mereka ada yang wafat karena menjadi korban bom bunuh diri di
gereja saat perayaan Natal. Hal tersebut membuktikan perayaan Natal di negeri
ini sudah menjadi bagian dari perayaan yang dapat meng-inspirasi bangsa untuk
selalu menebarkan kasih kepada sesama.
Sama
halnya saat perayaan Idul Fitri yang juga menginspirasi seluruh warga untuk
menjadikan halalbihalal sebagai jalan memperkuat solidaritas kebangsaan dan
kemanusiaan. Saya yakin seluruh perayaan umat agama-agama lain, seperti Hindu,
Buddha, dan Konghucu telah mengingatkan kita tentang pluralitas dan kebinekaan
yang melekat pada bangsa ini. Kebinekaan adalah kekayaan negeri ini untuk
mewujudkan kebersamaan dan toleransi.
Namun,
sangat disayangkan masih muncul fatwa agama yang mengusik kebinekaan, khususnya
saat perayaan Natal. Sejak lama, Majelis Ulama Indonesia (MUI)--dan ditegaskan
kembali dalam beberapa tahun terakhir--mengeluarkan fatwa tentang haramnya
meng-ucapkan selamat Natal kepada umat kristiani.
Selama
belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir, saya melihat para ulama di sana
mengucapkan selamat Natal kepada umat kristiani. Mereka juga berkunjung ke
gereja. Hampir sebagian besar dunia Arab tidak mengharamkannya. Pemimpin
Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khomenei setiap tahun mengucapkan selamat Natal
kepada umat kristiani. Islam adalah agama yang membawa rahmat kepada semesta
alam. Karena itu, mengucapkan selamat Natal adalah manifestasi rahmat terhadap
umat kristiani. Satu-satunya negara yang mengharamkan ucapan selamat Natal
hanya Arab Saudi karena mereka bernaung pada Wahabisme.
SEDANGKAN
kita, sebagian besar umat Islam di Indonesia, menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah
yang cenderung moderat dan toleran. Yang teranyar, fatwa soal larangan
menggunakan atribut Natal, yang disertai dengan sweeping di beberapa daerah.
Alasannya, hendaklah kita tidak meniru identitas dan atribut agama lain, karena
jika melakukan itu, kita dianggap sama dengan mereka.
Sekali
lagi, fatwa ini membuat kita bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dengan MUI?
Tidakkah para ulama membaca sejarah Islam yang dengan gamblang menjelaskan
betapa Kristen, Yahudi, dan Islam dapat hidup berdampingan dengan damai sejak
zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan dalam sejarah Islam, Pendeta Buhaira dan
Waraqah bin Naufal merupakan tokoh Kristen yang meminta Abu Thalib agar menjaga
keponakannya karena kelak akan menjadi seorang nabi, pemimpin agung bagi
umatnya.
Philip K
Hitty dalam The History of Arab menegaskan bahwa Yahudi, Kristen, dan Islam
adalah agama orang-orang Arab. Pada hakikatnya, Arab bukan hanya identitas bagi
orang Islam. Arab adalah bumi bagi agama-agama samawi sehingga tradisi dan
kebudayaan di antara mereka saling menyempurnakan. Tesis Philip K Hitty masih
relevan hingga kini. Di hampir seluruh belahan dunia Arab kita akan menemukan
atribut Natal. Pohon Natal dan topi Sinterklas selalu meramaikan perayaan
Natal. Di Iran, saya melihat hampir di setiap hotel ada pohon Natal. Di Mesir
orang-orang menggunakan topi Sinterklas. Mereka ikut menebarkan kebahagiaan
kepada seluruh warga Mesir. Begitu pula di Libanon, Irak, Suriah, dan negara
Arab lainnya.
Toh,
meskipun para ulama dan pemimpin muslim di berbagai negara muslim tersebut ikut
menyemarakkan perayaan Natal, tidak ada kekhawatiran bagi mereka perihal
peleburan identitas dan keyakinan. Mereka sadar bahwa setiap agama mempunyai
syariat berbeda, tapi tidak menutup mata untuk merayakan perbedaan dengan membangun
toleransi dan merayakan keragaman.
Atribut
Natal bukan bagian dari keyakinan, melainkan hanya budaya yang turut
menyemarakkan. Iman yang kuat bukan menolak keragaman, melainkan justru
menjadikan perbedaan sebagai kekuatan untuk membangun kebersamaan dan
persaudaraan. Justru kita merayakan keragaman untuk mewujudkan kedamaian.
Pada
intinya, perayaan Natal adalah berbagi kebahagiaan tentang kelahiran Yesus yang
membawa kasih ke muka bumi. Natal merupakan momen yang harus dirayakan bersama
sehingga kasih Yesus dapat membawa negeri pada kedamaian dan kasih sayang yang
tak terbatas. Mari kita jaga kebinekaan negeri ini dengan fondasi kasih dan
kedamai-an yang kukuh. []
MEDIA
INDONESIA, 20 December 2016
Zuhairi
Misrawi | Intelektual Muda NU dan Ketua Moderate Muslim Society
Tidak ada komentar:
Posting Komentar