Rabu, 21 Desember 2016

Zuhairi: Atribut Natal dan Kebinekaan Kita



Atribut Natal dan Kebinekaan Kita
Oleh: Zuhairi Misrawi

DI bumi Pancasila, perayaan Natal yang hampir bersamaan dengan tahun baru selalu mempunyai makna sangat penting. Natal menandakan kasih Yesus akan selalu bersemayam di bumi pertiwi. Hampir seluruh warga turut serta merasakan aroma keindahan dan keda-maian dalam Natal.

Saya yang tumbuh dalam tradisi Islam, setiap hari Natal mengucapkan selamat Natal dan bertandang ke beberapa kolega, baik umat Kristen Protestan maupun Katolik. Gus Dur--panggilan akrab al-maghfur lahu KH Abdurrahman Wahid--semasa hidupnya selalu menelepon para tokoh dari Kristen dan Katolik untuk mengucapkan selamat Natal.

Bahkan, ada sikap toleransi sangat indah, dan ini berbeda dengan negara-negara mayoritas muslim lainnya. Barisan Serbaguna (Banser) Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama dalam beberapa tahun terakhir turut menjaga keamanan, kenyamanan, dan kedamaian perayaan Natal di beberapa gereja di Tanah Air. Bahkan, di antara mereka ada yang wafat karena menjadi korban bom bunuh diri di gereja saat perayaan Natal. Hal tersebut membuktikan perayaan Natal di negeri ini sudah menjadi bagian dari perayaan yang dapat meng-inspirasi bangsa untuk selalu menebarkan kasih kepada sesama.
Sama halnya saat perayaan Idul Fitri yang juga menginspirasi seluruh warga untuk menjadikan halalbihalal sebagai jalan memperkuat solidaritas kebangsaan dan kemanusiaan. Saya yakin seluruh perayaan umat agama-agama lain, seperti Hindu, Buddha, dan Konghucu telah mengingatkan kita tentang pluralitas dan kebinekaan yang melekat pada bangsa ini. Kebinekaan adalah kekayaan negeri ini untuk mewujudkan kebersamaan dan toleransi.

Namun, sangat disayangkan masih muncul fatwa agama yang mengusik kebinekaan, khususnya saat perayaan Natal. Sejak lama, Majelis Ulama Indonesia (MUI)--dan ditegaskan kembali dalam beberapa tahun terakhir--mengeluarkan fatwa tentang haramnya meng-ucapkan selamat Natal kepada umat kristiani.

Selama belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir, saya melihat para ulama di sana mengucapkan selamat Natal kepada umat kristiani. Mereka juga berkunjung ke gereja. Hampir sebagian besar dunia Arab tidak mengharamkannya. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khomenei setiap tahun mengucapkan selamat Natal kepada umat kristiani. Islam adalah agama yang membawa rahmat kepada semesta alam. Karena itu, mengucapkan selamat Natal adalah manifestasi rahmat terhadap umat kristiani. Satu-satunya negara yang mengharamkan ucapan selamat Natal hanya Arab Saudi karena mereka bernaung pada Wahabisme.

SEDANGKAN kita, sebagian besar umat Islam di Indonesia, menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah yang cenderung moderat dan toleran. Yang teranyar, fatwa soal larangan menggunakan atribut Natal, yang disertai dengan sweeping di beberapa daerah. Alasannya, hendaklah kita tidak meniru identitas dan atribut agama lain, karena jika melakukan itu, kita dianggap sama dengan mereka.

Sekali lagi, fatwa ini membuat kita bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dengan MUI? Tidakkah para ulama membaca sejarah Islam yang dengan gamblang menjelaskan betapa Kristen, Yahudi, dan Islam dapat hidup berdampingan dengan damai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan dalam sejarah Islam, Pendeta Buhaira dan Waraqah bin Naufal merupakan tokoh Kristen yang meminta Abu Thalib agar menjaga keponakannya karena kelak akan menjadi seorang nabi, pemimpin agung bagi umatnya.

Philip K Hitty dalam The History of Arab menegaskan bahwa Yahudi, Kristen, dan Islam adalah agama orang-orang Arab. Pada hakikatnya, Arab bukan hanya identitas bagi orang Islam. Arab adalah bumi bagi agama-agama samawi sehingga tradisi dan kebudayaan di antara mereka saling menyempurnakan. Tesis Philip K Hitty masih relevan hingga kini. Di hampir seluruh belahan dunia Arab kita akan menemukan atribut Natal. Pohon Natal dan topi Sinterklas selalu meramaikan perayaan Natal. Di Iran, saya melihat hampir di setiap hotel ada pohon Natal. Di Mesir orang-orang menggunakan topi Sinterklas. Mereka ikut menebarkan kebahagiaan kepada seluruh warga Mesir. Begitu pula di Libanon, Irak, Suriah, dan negara Arab lainnya.

Toh, meskipun para ulama dan pemimpin muslim di berbagai negara muslim tersebut ikut menyemarakkan perayaan Natal, tidak ada kekhawatiran bagi mereka perihal peleburan identitas dan keyakinan. Mereka sadar bahwa setiap agama mempunyai syariat berbeda, tapi tidak menutup mata untuk merayakan perbedaan dengan membangun toleransi dan merayakan keragaman.

Atribut Natal bukan bagian dari keyakinan, melainkan hanya budaya yang turut menyemarakkan. Iman yang kuat bukan menolak keragaman, melainkan justru menjadikan perbedaan sebagai kekuatan untuk membangun kebersamaan dan persaudaraan. Justru kita merayakan keragaman untuk mewujudkan kedamaian.

Pada intinya, perayaan Natal adalah berbagi kebahagiaan tentang kelahiran Yesus yang membawa kasih ke muka bumi. Natal merupakan momen yang harus dirayakan bersama sehingga kasih Yesus dapat membawa negeri pada kedamaian dan kasih sayang yang tak terbatas. Mari kita jaga kebinekaan negeri ini dengan fondasi kasih dan kedamai-an yang kukuh. []

MEDIA INDONESIA, 20 December 2016
Zuhairi Misrawi | Intelektual Muda NU dan Ketua Moderate Muslim Society

Tidak ada komentar:

Posting Komentar