Jumat, 16 Desember 2016

Azyumardi: Melawan Ekstrimisme dan Islamo-Fobia (2)



Melawan Ekstrimisme dan Islamo-Fobia (2)
Oleh: Azyumardi Azra

Jika ekstrimisme keagamaan pada satu pihak dan Islamo-fobia pada pihak lain terus bertahan dan berkecenderungan meningkat, lantas apa yang harus dilakukan? Apakah kecenderungan ini dapat dikurangi jika belum dapat diatasi secara keseluruhan?

Dalam pembicaraan di berbagai forum konferensi, seminar dan simposium tentang subjek ini terungkap bahwa ekstrimisme keagamaan dan Islamo-fobia tidak berdiri sendiri. Ia banyak terkait dengan situasi domestik negara tertentu dan juga dengan dinamika politik, ekonomi dan sosial-budaya di level internasional. Karena itu memang sama sekali tidak mudah mengatasinya.

Keadaan politik, ekonomi, sosial-budaya dan agama yang kacau di banyak negara Muslim—khususnya di Dunia Arab, Asia Selatan dan Afrika—jelas menjadi faktor utama tumbuh dan menguatnya ekstrimisme agama. Konflik politik dan perang yang terjadi beberapa tahun terakhir -— di tengah kegagalan democratic opening di Dunia Arab —- yang beramalgamasi dengan sektarianisme agama dan kabilahisme membuat ekstrimisme mencapai tingkat yang tidak pernah ada sebelumnya. Ini terlihat dalam pertumbuhan ISIS di wilayah Syria dan Irak.

Celakanya, ekstrimisme politik dan agama di kawasan ini menyebar ke tempat-tempat lain; tidak hanya di Dunia Muslim, tapi juga ke Eropa dan Amerika. Hasilnya, terjadi globalisasi ekstrimisme yang menciptakan masalah serius dalam keamanan dan sekuriti.

Kondisi ekonomi yang mengalami krisis atau kemerosotan di beberapa negara Eropa Selatan seperti Yunani atau Italia hanya meningkatkan Islamo-fobia yang memang sudah ada sejak lama di Eropa atau di Dunia Barat secara keseluruhan. Kedatangan jutaan pengungsi dari Libya, Syria, Afghanistan, Somalia dan seterusnya ke Eropa—kemudian juga diterima dalam jumlah terbatas di AS, Kanada dan Australia—hanya meningkatkan Islamo-fobia.

Akhirnya para pengungsi bisa diterima di sejumlah negara. Sayang terjadi kasus-kasus tidak menyenangkan. Misalnya, terjadinya kasus memalukan ketika ‘oknum-oknum’ pengungsi di awal tahun baru 2016 melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan lokal Jerman dan Prancis.

Dengan demikian, terjadi interplay, saling memengaruhi antara berbagai faktor yang bekerja meningkatkan ekstrimisme agama dan Islamo-fobia sekaligus. Melihat interplay dan dinamika berbagai faktor internal dan internasional, sekali lagi, sulit terlihat jalan keluar dari masalah berat dan serius ini.

Karena itu upaya ‘memerangi’ ekstrimisme agama dan Islamo-fobia sama sekali tidak mudah. Sebaliknya melibatkan proses yang kompleks dan rumit yang memerlukan penanganan serius dan terencana baik pada tingkat domestik maupun internasional.

Pada tingkat pemerintahan, jelas perlu kerja sama internasional untuk menangani berbagai masalah yang menjadi sumber ekstrimisme agama dan Islamo-fobia. Berbagai negara dapat bertukar pengalaman dalam mengembangkan kehidupan yang harmonis, toleran dan hidup berdampingan secara damai.

Tetapi masalah ekstrimisme agama dan Islamo-fobia juga memerlukan peran masyarakat, khususnya masyarakat sipil atau masyarakat madani (civil society). Masyarakat sipil bukan hanya dapat menjadi mitra pemerintah dalam isu terkait, sekaligus pula bisa meningkatkan perannya dalam proses de-ekstrimisasi dan de-Islamo-fobiaisasi.

Masalahnya kemudian, tidak semua negara memiliki civil society yang aktif dan dinamis untuk meresponi berbagai perkembangan tidak menguntungkan baik di negara tertentu maupun di tingkat internasional. Dalam keadaan seperti ini, sering terlihat, banyak negara yang tidak memiliki civil society harus bekerja sendiri melalui birokrasi pemerintahan

Di sini banyak negara seolah tidak berdaya mengatasi perkembangan tidak kondusif. Negara-negara ini akhirnya terjerumus menjadi ‘negara gagal’ (failed states) karena ketidakmampuan menegakkan hukum dan ketertiban guna menciptakan keharmonisan dan kedamaian.

Di tengah keadaan domestik banyak negara dan juga dunia internasional yang cenderung buram (gloomy), Indonesia berada dalam posisi sangat baik untuk berada di garis terdepan. Secara domestik, Indonesia stabil secara politik dan ekonomi. Sebagai negara sangat majemuk, Indonesia mampu bertahan dalam kesatuan dan persatuan.

Karena itulah banyak kalangan internasional, baik pemerintahan negara maupun masyarakat mengharapkan Indonesia memainkan peran lebih besar dalam menghadapi ekstrimisme dan Islamo-fobia. Indonesia sebagai negara besar bukan hanya dalam ukuran teritori, jumlah penduduk, demografi Muslim dan sekaligus demokrasi sepatutnya memikul tanggung jawab dan peran lebih besar pula.

Sebab itu, cukup kuat alasan agar pemerintah RI merevitalisasi aktivisme Indonesia dalam kancah internasional. Presiden Jokowi tetap bisa melanjutkan pembangunan infra-struktur, tapi pada saat yang sama juga membangun kembali postur Indonesia yang gagah pada tingkat internasional. Dengan begitulah Indonesia dapat menjadi negara besar seperti sering ditekankan Presiden Jokowi. []

REPUBLIKA, 15 December 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar