Jumat, 16 Desember 2016

Cak Nun: Mr. VVVVVIP, Muhammad SAW



Mr. VVVVVIP, Muhammad SAW
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Khatam sudah 41 tulisan dibacakan. Cocoknya sekarang “khataman”. Tapi sebentar. Kok 41 tho? Dulu di awal katanya 33, satuan angka populer terutama dalam dunia wirid. Kemudian berubah jadi 40. Apakah itu disesuaikan dengan “jagat” Patangpuluhan? “Mistik” 40-an? Akhirnya malah jadi 41. Dari khazanah apa ini 41?

Tanpa memperlihatkan kepada 40 sahabat-sahabatnya, aslinya Markesot sangat kelelahan dengan 41 tulisan itu. Legalah sekarang. Fajar semakin mempertipis kegelapannya. Pagi segera tiba. Kelelahan itu membuat Markesot menguras ruang kepalanya, lantas mengisinya dengan hal-hal yang enteng.

Enteng gimana misalnya, Sot? Dongeng anak-anak. Yes. Dongeng anak-anak. Seakan diperintah, berpuluh-puluh dongeng langsung mengalir masuk ke dalam pikiran Markesot. Ia tersenyum-senyum sendiri, tapi ia tahan agar tak kelihatan. Memang Markesot dulunya adalah seorang pendongeng.

Pernah dulu sebelum zaman Patangpuluhan ia mendongengkan kisah, atau mengisahkan dongeng, terserahlah mana yang tepat, tentang Joko Lanjaran. Awalnya seolah ada kemiripan dengan Joko Bodho, tapi sangat berbeda.

Sama-sama disuruh Simboknya pergi ke pasar untuk membeli kacang, juga sama-sama membeli bijihnya. Tapi si Bodho hanya membeli 1 kacang, sedangkan si Lanjaran memborong 41 bijih kacang.  Bodho dimarahi Simboknya kok cuma beli sebijih kacang. Kemudian dibuang di kebun belakang. Ternyata langsung tumbuh, memanjang dengan sangat cepat menembus langit. Si Bodho memanjatnya. Ternyata sulur kacang yang memanjang ke langit itu berakhir di sebuah taman sangat indah. Ternyata taman itu bagian dari sebuah Kerajaan Dewa-Dewi.

Si Bodho terpana tapi juga bengong. Ketika dengan wajah bodoh ia menoleh ke kanan kiri kemudian memandang semua arah, mendadak di belakangnya muncul seorang Dewi yang sangat cantik jelita. Pastilah si Bodho tidak sanggup menggambarkan tingkat keindahan yang ia tidak pernah menjumpai sebelumnya.

Dan ternyata Sang Dewi itu melamarnya. Menggandeng tangannya, mengajak menemui Raja Dewata dan Permaisuri, yakni Bapak dan Ibunya. Singkat kata beberapa saat kemudian Joko Bodho dilantik menjadi Putra Mahkota di Keraton Kahyangan.

***

Siapapun yang mendongengkan kisah ini biasanya mengakhiri dengan sejumlah pemaknaan dan hikmah. Misalnya bahwa manusia tidak boleh merendahkan orang bodoh. Karena sebodoh apapun, seseorang akan berangkat ke masa depan dengan nasibnya. Dan yang disebut nasib ini tidak memiliki kewajiban untuk setia atau menuruti pemikiran dan rancangan manusia. Nasib adalah sebuah rahasia yang asal usulnya dari langit.

Oleh penguasa langit, kebodohan manusia bisa dikawinkan dengan nasib yang indah. Sementara orang pandai bisa saja dikawinkan justru dengan nasib yang buruk dan berat. Para pendongeng atau penutur kisah biasanya menyimpulkan bahwa jarak antara nasib dengan kepandaian sangat jauh dibanding jarak antara nasib dengan kejujuran.

Adapun siapa penguasa langit yang menggenggam hak mutlak untuk menentukan nasib manusia, bergantung kepada pengenalan manusia di bumi atas entah siapa di langit sana. Pengenalan itu bisa melalui informasi yang didapatkan dari pengalaman peradaban manusia berabad-abad. Bisa diperoleh dari penelitian dunia batin. Bisa diambil dari informasi Agama. Bahkan bisa juga dipetik dari kemerdekaan berkhayal.

Ada juga pemaknaan yang sifatnya mempertanyakan dan mengkritik. Misalnya Joko Bodho adalah lambang keputus-asaan rakyat kecil, yang selama hidup bergenerasi-generasi selalu diperdaya oleh orang-orang pandai. Selalu dikibuli. Dijadikan alas kaki. Diinjak. Dimanfaatkan ketika diperlukan, kemudian dibuang ketika sudah tidak produktif sebagai alat kepentingan orang pandai.

Maka si Bodho adalah figur eskapistik. Tokoh fiktif. Produk khayal orang-orang yang kalah. Semua pemaknaan dan hikmah itu beredar dan berputar-putar terus melewati rentang waktu dan mengendarai kurun demi kurun. Sampai kemudian tiba zaman di mana seluruh faktor itu: Joko Bodho, kacang, bijih, Dewi, kahyangan, nasib, penguasa langit, rakyat kecil, dan semua yang terkandung dalam bangunan kisah dan dongeng itu — diletakkan di tataran paling bawah, bahkan dipendam, dikubur, sesekali diingat dengan ejekan dan pikiran yang merendahkan.

***

Bisa jadi karena itu maka Markesot tidak pernah menuturkan kisah Joko Bodho, melainkan Joko Lanjaran. Tentu banyak lagi kisah-kisah lain: Kinjeng Dom, Thok-thok Kerot, Kasan Kusen, Rojo Tikus, Joko Kendhil, Man Dolin, dan banyak lagi.

Adapun Joko Lanjaran pulang dari pasar membawa 41 bijih kacang. Sampai di rumah, Simboknya tidak ada. Entah ke mana, mungkin sedang membantu nutu pari di salah satu rumah tetangga. Ketika Si Lanjaran berjalan sekitar rumah mencari Simboknya, kakinya terantuk tanah brongkalan. Ia terjatuh, bungkusan bijih kacangnya tumpah ke tanah.

Sebagaimana dalam kisah Joko Bodho, bijih kacang itu langsung bersemi dan tumbuh. Tentu lebih teateral, karena jumlahnya 41. Si Lanjaran terpana, tapi juga panik. Melihat sulur-sulur kacang begitu banyaknya menjulur naik ke atas, menuju angkasa, menggapai langit, dengan pergerakan yang sangat cepat. Si Lanjaran melompat ke salah satu sulur. Dan tanpa memanjat ia terikut pergerakannya naik, terus naik.

Tak pernah terbayangkan si Mas Lanjaran ini akan terbang sangat tinggi melewati seluruh hamparan galaksi-galaksi, sehingga tiba di langit lapis dua. Pergerakan kacang tak berhenti. Tapi ketika menuju lapis langit tiba, Si Lanjaran melihat bahwa yang naik bersamanya tinggal 31 sulur. Yang 11 berhenti di langit lapis dua. Seterusnya Si Lanjaran melihat lagi tanpa mengerti maknanya: tinggal 21 tatkala akan menyentuh langit lapis tiga. Kemudian tinggal 11 menjelang langit 4, dan tinggal sulur kacang yang ia naiki sendiri naik hampir mencapai langit lapis lima.

Kabarnya ada tujuh lapisan langit. Berarti masih ada dua langit lagi. Beberapa saat Si Lanjarang menatap ke wilayah yang diperkirakannya menuju arah lapis langit yang keenam dan ketujuh. Kemudian ia melihat dirinya sendiri. Menatap kakinya, sehingga tampaklah ruang maha luas yang tadi dilewatinya. Si Lanjaran merasa ngeri. Sangat ngeri. Ia sendirian di tempat yang ia sama sekali tidak paham dan tak pernah ia mimpikan atau bayangkan. Maka mendadak Si Lanjaran pingsan.

“Karena Joko Lanjaran kehilangan kesadaran, maka terpaksa saya gantikan”, kata Markesot melanjutkan kisah dongengnya.

Ketika itu salah seorang yang mendengarkan mengejar, “Lantas bagaimana, Cak Sot? Sampeyan terus ke mana? Kan Sampeyan gandholan sulur kacang yang sudah tidak bergerak lagi”

Markesot menjawab, “Ya saya tetap di sini sama kamu”

“Lho, katanya di langit kelima”

“Untuk sampai ke langit berapapun kamu tidak harus pergi ke mana-mana, cukup masuk ke dalam dirimu sendiri. Karena seluruh jagat raya adalah bagian dari dirimu”

“Lho mosok yang sangat besar merupakan bagian dari yang sangat kecil”

“Yang kecil itu benda. Kalau kamu hanya badan, darah, daging, tulang, kamu kecil. Maka Tuhan memuaikan manusia dengan nafsu. Kemudian Tuhan kasih yang lebih besar dari pemuaian nafsu sehingga mampu menguasainya, yaitu kerjasama antara hatimu dengan akalmu. Sesudah itu kamu ditawari oleh Tuhan untuk mengisi hatimu dengan iman dan mengolah akalmu dengan kreativitas yang berupa mujahadah, ijtihad dan jihad. Kalau kamu berhasil dengan perjuangan iman dan jihad-ijtihad-mujahadah dalam kehidupanmu, maka Tuhan menghormatimu dengan anugerah karomah. Lima kan jumlahnya? Para Nabi, Rasul dan kekasih-kekasih rahasia Allah dibukakan langit lapis enam. Sedangkan yang mendapat undangan khusus ke lapis tujuh adalah yang termulia dari ahsani-taqwim, yakni Mr. VVVVVIP Muhammad SAW”. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar