Jumat, 30 Desember 2016

BamSoet: Tertib Hukum Merespons Ketidakpastian Global 2017



Tertib Hukum Merespons Ketidakpastian Global 2017
Oleh: Bambang Soesatyo

Jelang berakhir 2016, Amerika Serikat (AS), Rusia, dan China sudah terperangkap dalam benih-benih konflik. Eskalasi ketidakpastian global pun tak terelakan sepanjang 2017. Sudah barang tentu ketidakpastian global yang tereskalasi itu akan berdampak ke Indonesia. Namun, jika mampu mewujudkan kepastian politik dan tertib hukum, Indonesia niscaya bisa menarik manfaat dari ketidakpastian global itu.

Eskalasi ketidakpastian global bersumbu pada faktor Amerika Serikat yang terbelah pascapemilihan presiden November 2016, yang dimenangkan kandidat Partai Republik, Donald Trump. Faktor lain adalah perilaku kepemimpinan Trump sendiri. Kemenangan Trump yang mengejutkan itu tak hanya membelah AS, tetapi juga menghadirkan sejumlah persoalan baru, baik di dalam negeri AS maupun bagi dunia pada umumnya.

Periode transisi pemerintahan dari Presiden Barack Obama ke rezim Trump diwarnai suasana tidak kondusif di AS. Trump harus memetik buah dari tema-tema rasis yang digaungkannya selama periode kampanye.

Kemenangannya membangkitkan sentimen supremasi kulit putih, kemarahan warga kulit hitam, ujaran kebencian kepada komunitas Yahudi, muslim, dan warga imigran, hingga ancaman sejumlah perusahaan terkemuka AS untuk hengkang dari negeri itu. Rangkaian persoalan ini bagaikan api dalam sekam karena belum tuntas penyelesaiannya.

Persoalan lain yang cukup sensitif dimunculkan komunitas intelijen. Sensitif karena mengarah pada upaya mereduksi legitimasi kemenangan Trump.

CIA (dinas intelijen AS) sudah mengungkap sepak terjang Rusia mengintervensi pemilu 2016 guna membantu kemenangan Trump. Persoalan ini menjadi makin sensitif karena para pembantu Obama di Gedung Putih dan CIA yakin Presiden Rusia Vladimir Putin menjadi otak di balik aksi meretas ribuan e-mail Komite Nasional Partai Demokrat dan Partai Republik. Hanya e-mail petinggi Partai Demokrat yang diungkap ke publik oleh WikiLeaks, termasuk e-mail ketua tim kampanye Hillary Clinton.

Komunitas intelijen menuduh Donald Trump tahu betul tentang aksi peretasan e-mail oleh intelijen Rusia. Maka, Trump pun mengecam Gedung Putih dan CIA. Namun, masalahnya adalah tuduhan kepada Rusia dan Putin diduga sudah menjadi keputusan bulat CIA sebagai institusi, bukan orang per orang atau sekelompok intelijen.

Hasil temuan CIA itu bahkan sudah dipresentasikan secara tertutup kepada sejumlah anggota senat AS. Seorang pejabat AS pun sudah mengeluarkan ancaman bahwa pada waktunya nanti Rusia akan menerima balasan.

Tentu saja isu ini tidak hanya membuat Trump tidak nyaman, tetapi juga berpotensi merusak hubungan AS-Rusia. Sebesar apa skala kerusakan hubungan dua negara superpower itu akan terlihat pada 2017.

Coba mengalihkan perhatian dari isu di dalam negeri, Trump mengusik para pemimpin China di Beijing. China melancarkan protes keras karena Trump melakukan pembicaraan via telepon dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen.

Tidak terima dengan protes Beijing, Trump membuat pernyataan tentang kemungkinan AS mengakhiri Kebijakan Satu China. Jika rezim Trump akhirnya benar-benar mengakui kedaulatan Taiwan sebagai negara terpisah dari China daratan, Beijing sudah pasti tidak akan tinggal diam.

Masyarakat internasional juga masih harus menunggu kejelasan sikap Trump terhadap progres pengembangan senjata nuklir milik Iran dan Korea Utara. Sikap rezim Trump terhadap dua negara itu sedikit-banyak akan berkontribusi pada ketidakpastian global sepanjang 2017. Sesuai jadwal, Trump akan diambil sumpahnya sebagai presiden AS pada 20 Januari 2017.

Itulah faktor-faktor utama yang diperkirakan akan mengeskalasi ketidakpastian global sepanjang 2017. Karena perilaku Trump sudah memerangkap AS, Rusia, dan China dalam benih konflik, Indonesia tentu harus mengamati dengan seksama progres dari persoalan-persoalan yang menyelimuti tiga negara kekuatan utama itu.

Tertib Hukum

Sebab, entah besar atau kecil, dampaknya sudah pasti akan dirasakan oleh Indonesia juga. Memang, untuk Indonesia dan banyak negara lain, dampak langsung ketidakpastian global bukan sesuatu yang baru. Biasanya ditandai dengan fluktuasi nilai tukar valuta, tinggi-rendah suku bunga, arus keluar-masuk dana asing, fluktuasi harga energi, khususnya minyak, hingga arus investasi langsung.

Untuk mereduksi dampak ketidakpastian global itu, Pemerintah Indonesia hendaknya tetap menjaga hubungan baik dengan tiga negara itu. Sudah ada landasan untuk menjaga hubungan baik itu karena Indonesia bersama AS, China, dan Rusia sudah terikat oleh sejumlah program kerja sama di sejumlah bidang.

Khusus dengan China, Indonesia harus mempertahankan sikap dan pendirian terkait potensi konflik di Laut China Selatan. Tegas mempertahankan perairan kepulauan Natuna sebagai bagian tak terpisah dari kedaulatan NKRI, sambil tetap menjaga hubungan baik dengan Beijing.

Dampak ekonomis ketidakpastian global itu, sebagaimana lazimnya, akan ditangani dengan pendekatan atau penyesuaian kebijakan ekonomi. Improvisasi kebijakan-kebijakan seperti itu tentu menuntut suasana dalam negeri yang kondusif. Maka itu, kepastian politik dan tertib hukum harus terjaga demi terwujudnya stabilitas nasional dan ketertiban umum.

Dengan begitu, untuk mengantisipasi ekses dari eskalasi ketidakpastian global sepanjang 2017 itu, tantangan dan beban persoalan yang akan dihadapi sudah cukup jelas. Persoalan-persoalan ekonomi akan direspons oleh para menteri ekonomi di Kabinet Kerja bersama Bank Indonesia (BI). Dan, untuk menjaga kondusivitas dalam negeri, menjadi kewajiban Polri dan institusi penegak hukum lainnya menjaga dan memelihara ketertiban umum.

Harus dipastikan bahwa agenda nasional seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di lebih dari 100 daerah pemilihan pada Februari 2017 berjalan tertib dan damai. Perhatian khusus memang harus diberikan pada agenda Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Proses menuju Pilgub Jakarta menjadi agak panas karena ada kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan kandidat petahana Basuki Tjahja Purnama (Ahok).

Apa pun reaksi publik atas putusan majelis hakim yang menyidangkan kasus ini harus diantisipasi dan dikelola dengan bijaksana oleh Polri. Aksi pengerahan massa untuk merespons vonis majelis hakim kasus Ahok sebaiknya tidak lagi dilakukan.

Karena, pengerahan massa ke pusat pemerintahan dan jantung bisnis Jakarta tidak hanya menimbulkan rasa takut, tetapi juga membuat ibu kota negara menjadi tidak produktif sebab masyarakat enggan melaksanakan kegiatan produktif mereka. Ketidakpuasan kelompok masyarakat atas vonis kasus Ahok hendaknya disalurkan melalui mekanisme hukum yang berlaku.

Tidak kalah pentingnya adalah terus mengamati pergerakan terbaru dari kelompok militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pascakekalahan di Aleppo Timur, Suriah. Jika pasukan Suriah dan Rusia terus menggempur, tidak tertutup kemungkinan pasukan ISIS akan keluar dari kawasan itu.

Dengan begitu, pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte menjadi relevan untuk digarisbawahi, sekaligus faktor pendorong meningkatkan kewaspadaan. Panglima TNI dan Presiden Filipina sudah mengungkap rencana ISIS membangun basis di Filipina Selatan untuk mewujudkan kekhalifahan baru di Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Rencana ISIS itu relevan untuk dikaitkan dengan kembalinya puluhan simpatisan ISIS warga negara Indonesia (WNI) ke Tanah Air. Pertanyaannya, mereka kembali untuk apa? Kembali untuk menjalani kehidupan normal? Atau, kembali untuk mewujudkan rencana ISIS membangun kekhalifahan di Asia Tenggara?

Maka, belajar dari kegagalan Pemerintah Irak dan Suriah melumpuhkan ISIS, Pemerintah Indonesia patut memberi wewenang penuh dan keleluasaan kepada TNI dan Polri untuk mempersempit ruang gerak para simpatisan ISIS di Indonesia. Ketahanan nasional akan menghadapi ujian berat jika rencana ISIS membangun basis di Asia Tenggara tidak segera ditangkal.

Apalagi, ada semacam gelagat bahwa sel-sel terorisme di Indonesia juga memberi respons positif terhadap rencana ISIS membangun basisnya di Asia Tenggara. Kelompok-kelompok teroris itu sudah terang-terangan melampiaskan kebencian pada segenap jajaran Polri.

Sejumlah prajurit Polri telah menjadi target serangan. Jangan lupa bahwa ada WNI yang sangat dipercaya pimpinan ISIS. Sosok WNI itu diduga mendalangi bom Sarinah dan mengotaki rencanakan ledakan bom di Istana Negara baru-baru ini.

Untuk memperkecil atau melumpuhkan potensi ancaman itu, perlakuan hukum terhadap para terduga dan tersangka teroris harus ekstrategas. Termasuk pada mereka yang diduga sebagai simpatisan ISIS di dalam negeri. Para simpatisan ISIS harus dilumpuhkan agar mereka tidak memiliki peluang mewujudkan pembangunan basis ISIS di Asia Tenggara.

Faktor lain yang juga akan meningkatkan kondusivitas di dalam negeri adalah melihat progres dari program pemerintah memberangus pungutan liar (pungli). Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87/2016 sebagai payung hukum bagi Satuan Tugas Sapu Bersih (Satgas Saber) Pungli melaksanakan tugasnya. Belakangan ini kinerja Satgas Saber Pungli lolos dari perhatian publik karena hiruk-pikuk proses persiapan pilkada.

Kerja memberangus pungli tidak boleh terhenti, bahkan harus berkesinambungan. Kerja ini jangan sampai berujung sia-sia seperti sebelumnya. Pemberantasan pungli harus berhasil dan menghadirkan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat di semua pelosok negeri.

Semua elemen masyarakat mendukung dan mengapresiasi kesungguhan pemerintah memberantas pungli. Bagi masyarakat sebagai pelanggan ragam jasa dari pemerintah pusat dan daerah, keberhasilan Satgas Saber Pungli hanya diukur dari dua indikator. Pertama, berkurangnya praktik pungli pada semua lini layanan publik. Kedua, tumbuhnya efek jera dari pegawai negeri sipil dan pegawai daerah melakukan pungli.

Upaya mengurangi praktik pungli tentu saja bergantung pada dua hal, yakni efektivitas kerja Satgas Saber Pungi, dan kesungguhan pengawas internal pada setiap institusi (inspektorat jenderal) meningkatkan efektivitas pengawasan. Dan, jangan lupa bahwa praktik pungli nyaris sudah menjadi kebiasaan tak tertulis. Karena itu, tidak realistis jika diasumsikan pungli bisa diberantas dalam waktu singkat.

Bisa diprediksi bahwa Satgas Saber Pungli memerlukan kerja tahunan untuk mewujudkan keberhasilan yang maksimal. Lebih dari itu, kerja memberantas pungli tidak akan bisa mencapai hasil yang diharapkan jika dilakoni dengan sekadar menangkap dan menjatuhkan sanksi ala kadarnya kepada oknum pelaku pungli. Jauh lebih penting adalah upaya menumbuhkan efek jera.

Maka, pelaku pungli yang terbukti harus diganjar dengan sanksi keras sebab hasil maksimal dari pemberantasan pungli ditentukan oleh efek jera. Para petugas pelayan publik harus dibuat takut atau jera untuk melakukan pungli.

Dan, efek jera ditentukan oleh berapa berat sanksi yang dijatuhkan terhadap oknum yang terbukti melakukan pungli. Kalau ukuran sanksi terbilang ringan, pungli akan sulit dihilangkan, seperti korupsi. Kemungkinan inilah yang perlu dikaji pemerintah agar hasil kerja Satgas Saber Pungli tidak sia-sia nanti.

Keberhasilan mereduksi praktik pungli akan menampilkan wajah birokrasi Indonesia yang ramah dan produktif. Pada gilirannya, investor asing dan lokal akan merasa nyaman dan berani merealisasikan investasi. Presiden sudah berhasil mempromosikan potensi investasi di berbagai negara dan meraih begitu banyak komitmen investasi asing di dalam negeri.

Jika bisa menjaga stabilitas politik dan tertib hukum, bukan tidak mungkin Indonesia justru bisa mendapatkan manfaat berupa arus masuk investasi langsung di tengah ketidakpastian global sepanjang 2017. Selamat Tahun Baru 2017. []

Koran Sindo, 29 Desember 2016
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar