Langkah
dan Isyarat Jokowi
Oleh:
Azyumardi Azra
Dua
peristiwa besar pekan lalu di Tanah Air yang terjadi pada hari yang sama, Jumat
(2/12), mengandung banyak makna tak kurang pentingnya bagi Presiden Joko
Widodo. Kedua peristiwa itu memberikan pesan penting kepada sejumlah pihak yang
belakangan ini menjadi sumber peningkatan suhu politik, sekaligus menjadi
tantangan dan ujian serius bagi kepemimpinan Presiden Jokowi.
Kedua
peristiwa itu menjadi berita besar tak hanya di media domestik, tetapi juga di
media internasional. Peristiwa pertama menjadi fokus perhatian terkait anggapan
tentang peningkatan tekanan kalangan Muslim garis keras terhadap Presiden
Jokowi. Peristiwa kedua merupakan kejutan menghebohkan media, khususnya
internasional.
Peristiwa
pertama adalah Aksi Super Damai 212 sangat masif yang bisa dipastikan
memecahkan rekor jumlah massa yang memadati kawasan Monas, Medan Merdeka, Kebon
Sirih, Thamrin, dan sekitarnya. Seca- ra retrospektif, bayangkan apa yang dapat
terjadi apabila di antara massa menyemut itu ada provokator.
Aksi
Super Damai 212 menghadirkan massa yang lebih tafakur mengumandangkan zikir,
doa, dan tausiah (wasiat atau nasihat keagamaan) daripada pernyataan dan
provokasi membakar. Massa juga bersikap damai kepada rerumputan, taman,
pepohonan, dan lingkungan. Sampah pun langsung dibersihkan sendiri oleh
kelompok massa yang tampaknya juga bertugas khusus memungut sampah.
Tak
kurang pentingnya kehadiran Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, serta
sejumlah menteri dan pejabat tinggi dalam aksi itu. Presiden tidak hanya ikut
shalat Jumat, tetapi juga memberikan sambutan, berterima kasih, dan
mengapresiasi unjuk rasa damai disertai seruan takbir (Allahu Akbar) tiga kali
dalam dua kesempatan.
Peristiwa
kedua adalah penangkapan 10 orang-termasuk sejumlah nama penting aktivis dan
purnawirawan TNI-pada dini hari menjelang Aksi Super Damai 212. Menurut Polri,
mereka merencanakan makar terhadap pemerintahan Presiden Jokowi.
Kehebohan
media internasional terutama terkait penangkapan Rachmawati Soekarnoputri.
Secara tersirat media internasional membayangkan, Presiden Jokowi tidak
memiliki "nyali" menangkap Rachmawati, aktivis politik, putri
Soekarno, proklamator dan presiden pertama RI.
Tak
kurang pentingnya, Rachmawati adalah adik Megawati Soekarnoputri, presiden
kelima RI, sekaligus Ketua Umum PDI-P, partai utama pengusung Jokowi dalam
Pilpres 2014. Orang tidak tahu pasti apakah Presiden Jokowi sebelumnya menginformasikan
atau berkonsultasi dengan Megawati tentang penangkapan sang adik.
Meski
kemudian segera dibebaskan, mereka tetap dijadikan Polri sebagai tersangka
perencana makar. Mereka umumnya adalah figur kritis terhadap pemerintah sejak
masa Presiden Soeharto, mulai dari Sri Bintang Pamungkas sampai "aktor
figuran" yang belum banyak dikenal publik.
Dalam
kedua peristiwa besar itu, Presiden Jokowi membuat jelas dan tegas: dia
memiliki nyali besar (has the gut) mengambil keputusan dan tindakan. Dengan
nyali besarnya, Presiden Jokowi menyelesaikan sejumlah masalah yang menjadi
sumber rumor dan isu peningkatan tensi politik dalam masyarakat belakangan ini.
Banyak
kalangan, baik pemimpin maupun peserta Aksi Super Damai 212, tidak membayangkan
Presiden Jokowi "berani" menyambangi mereka. Apalagi, pada pagi
harinya di tengah kedatangan massa ke kawasan Monas, Presiden Jokowi pergi
blusukan ke proyek persiapan Asian Games di Senayan. Sama dengan kegiatan
Presiden yang blusukan ke proyek pembangunan di kawasan Bandara Cengkareng saat
terjadi "aksi 411".
Menentang
arus terbuka atau tersembunyi di bawah permukaan yang menganggap Kepala Polri
Jenderal (Pol) Tito Karnavian- yang agaknya dengan persetujuan Presiden
Jokowi-"terlalu mengalah" ketika bersedia mengakomodasi tuntutan para
pemimpin Aksi Super Damai 212 untuk tetap berunjuk rasa. Penulis mendapat
banyak pertanyaan bernada gugatan dari media internasional tentang Polri yang
"menyerah" (give in) kepada orang-orang yang mereka sebut garis keras
yang ujung-ujungnya ingin mengubah Indonesia menjadi "negara Islam"
(daulah Islamiyah) atau khilafah.
Sebaliknya,
pihak terakhir ini juga bersedia melakukan aksi yang dipusatkan di dalam
lingkungan Monas. Mereka juga bersedia mengubah substansi yang semula merupakan
aksi protes menjadi doa, zikir, tausiah, dan shalat Jumat bersama.
Terlepas
dari sikap mereka yang menganggap Polri dan Presiden Jokowi "memberi
angin" kepada para pemimpin Aksi Super Damai 212, sikap sejumlah pihak
terkait menunjukkan budaya khas Indonesia-baik politik maupun keagamaan-yang
memberi ruang memadai untuk akomodasi dan kompromi. Ini bisa disebut
win-win-solution.
Bayangkan
apabila para pemangku kepentingan tidak ada yang bersedia bersikap akomodatif
dan kompromistis. Yang terjadi adalah zero-sum-game yang dapat berujung pada
kekerasan seperti terjadi di banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim lain,
semacam Mesir, Suriah, Irak, Arab Saudi, Afganistan, atau Pakistan.
Meskipun
menampilkan sikap akomodatif menghadapi Aksi Super Damai 212, Presiden Jokowi
juga menyampaikan pesan lain yang jelas dan tegas; tidak ada kompromi terhadap
mereka yang terindikasi makar.
Dengan
kedua bentuk sikap berbeda, Presiden Jokowi menegaskan, dia sepenuhnya memegang
kendali (full grip of situation). Presiden yang menguasai keadaan-tanpa harus
bersikap otoriter, apalagi diktatorial-jelas sangat urgen demi menjaga keutuhan
dan persatuan negara-bangsa Indonesia serta melanjutkan pembangunan guna
peningkatan kesejahteraan warga. []
KOMPAS, 6
Desember 2016
Azyumardi
Azra | Profesor Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar