Kamis, 08 Desember 2016

Azyumardi: Langkah dan Isyarat Jokowi



Langkah dan Isyarat Jokowi
Oleh: Azyumardi Azra

Dua peristiwa besar pekan lalu di Tanah Air yang terjadi pada hari yang sama, Jumat (2/12), mengandung banyak makna tak kurang pentingnya bagi Presiden Joko Widodo. Kedua peristiwa itu memberikan pesan penting kepada sejumlah pihak yang belakangan ini menjadi sumber peningkatan suhu politik, sekaligus menjadi tantangan dan ujian serius bagi kepemimpinan Presiden Jokowi.

Kedua peristiwa itu menjadi berita besar tak hanya di media domestik, tetapi juga di media internasional. Peristiwa pertama menjadi fokus perhatian terkait anggapan tentang peningkatan tekanan kalangan Muslim garis keras terhadap Presiden Jokowi. Peristiwa kedua merupakan kejutan menghebohkan media, khususnya internasional.

Peristiwa pertama adalah Aksi Super Damai 212 sangat masif yang bisa dipastikan memecahkan rekor jumlah massa yang memadati kawasan Monas, Medan Merdeka, Kebon Sirih, Thamrin, dan sekitarnya. Seca- ra retrospektif, bayangkan apa yang dapat terjadi apabila di antara massa menyemut itu ada provokator.

Aksi Super Damai 212 menghadirkan massa yang lebih tafakur mengumandangkan zikir, doa, dan tausiah (wasiat atau nasihat keagamaan) daripada pernyataan dan provokasi membakar. Massa juga bersikap damai kepada rerumputan, taman, pepohonan, dan lingkungan. Sampah pun langsung dibersihkan sendiri oleh kelompok massa yang tampaknya juga bertugas khusus memungut sampah.

Tak kurang pentingnya kehadiran Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, serta sejumlah menteri dan pejabat tinggi dalam aksi itu. Presiden tidak hanya ikut shalat Jumat, tetapi juga memberikan sambutan, berterima kasih, dan mengapresiasi unjuk rasa damai disertai seruan takbir (Allahu Akbar) tiga kali dalam dua kesempatan.

Peristiwa kedua adalah penangkapan 10 orang-termasuk sejumlah nama penting aktivis dan purnawirawan TNI-pada dini hari menjelang Aksi Super Damai 212. Menurut Polri, mereka merencanakan makar terhadap pemerintahan Presiden Jokowi.

Kehebohan media internasional terutama terkait penangkapan Rachmawati Soekarnoputri. Secara tersirat media internasional membayangkan, Presiden Jokowi tidak memiliki "nyali" menangkap Rachmawati, aktivis politik, putri Soekarno, proklamator dan presiden pertama RI.

Tak kurang pentingnya, Rachmawati adalah adik Megawati Soekarnoputri, presiden kelima RI, sekaligus Ketua Umum PDI-P, partai utama pengusung Jokowi dalam Pilpres 2014. Orang tidak tahu pasti apakah Presiden Jokowi sebelumnya menginformasikan atau berkonsultasi dengan Megawati tentang penangkapan sang adik.

Meski kemudian segera dibebaskan, mereka tetap dijadikan Polri sebagai tersangka perencana makar. Mereka umumnya adalah figur kritis terhadap pemerintah sejak masa Presiden Soeharto, mulai dari Sri Bintang Pamungkas sampai "aktor figuran" yang belum banyak dikenal publik.

Dalam kedua peristiwa besar itu, Presiden Jokowi membuat jelas dan tegas: dia memiliki nyali besar (has the gut) mengambil keputusan dan tindakan. Dengan nyali besarnya, Presiden Jokowi menyelesaikan sejumlah masalah yang menjadi sumber rumor dan isu peningkatan tensi politik dalam masyarakat belakangan ini.

Banyak kalangan, baik pemimpin maupun peserta Aksi Super Damai 212, tidak membayangkan Presiden Jokowi "berani" menyambangi mereka. Apalagi, pada pagi harinya di tengah kedatangan massa ke kawasan Monas, Presiden Jokowi pergi blusukan ke proyek persiapan Asian Games di Senayan. Sama dengan kegiatan Presiden yang blusukan ke proyek pembangunan di kawasan Bandara Cengkareng saat terjadi "aksi 411".

Menentang arus terbuka atau tersembunyi di bawah permukaan yang menganggap Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian- yang agaknya dengan persetujuan Presiden Jokowi-"terlalu mengalah" ketika bersedia mengakomodasi tuntutan para pemimpin Aksi Super Damai 212 untuk tetap berunjuk rasa. Penulis mendapat banyak pertanyaan bernada gugatan dari media internasional tentang Polri yang "menyerah" (give in) kepada orang-orang yang mereka sebut garis keras yang ujung-ujungnya ingin mengubah Indonesia menjadi "negara Islam" (daulah Islamiyah) atau khilafah.

Sebaliknya, pihak terakhir ini juga bersedia melakukan aksi yang dipusatkan di dalam lingkungan Monas. Mereka juga bersedia mengubah substansi yang semula merupakan aksi protes menjadi doa, zikir, tausiah, dan shalat Jumat bersama.

Terlepas dari sikap mereka yang menganggap Polri dan Presiden Jokowi "memberi angin" kepada para pemimpin Aksi Super Damai 212, sikap sejumlah pihak terkait menunjukkan budaya khas Indonesia-baik politik maupun keagamaan-yang memberi ruang memadai untuk akomodasi dan kompromi. Ini bisa disebut win-win-solution.

Bayangkan apabila para pemangku kepentingan tidak ada yang bersedia bersikap akomodatif dan kompromistis. Yang terjadi adalah zero-sum-game yang dapat berujung pada kekerasan seperti terjadi di banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim lain, semacam Mesir, Suriah, Irak, Arab Saudi, Afganistan, atau Pakistan.

Meskipun menampilkan sikap akomodatif menghadapi Aksi Super Damai 212, Presiden Jokowi juga menyampaikan pesan lain yang jelas dan tegas; tidak ada kompromi terhadap mereka yang terindikasi makar.

Dengan kedua bentuk sikap berbeda, Presiden Jokowi menegaskan, dia sepenuhnya memegang kendali (full grip of situation). Presiden yang menguasai keadaan-tanpa harus bersikap otoriter, apalagi diktatorial-jelas sangat urgen demi menjaga keutuhan dan persatuan negara-bangsa Indonesia serta melanjutkan pembangunan guna peningkatan kesejahteraan warga. []

KOMPAS, 6 Desember 2016
Azyumardi Azra | Profesor Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar