Rabu, 28 Desember 2016

Azyumardi: Memberantas Terorisme



Memberantas Terorisme
Oleh: Azyumardi Azra

"Terrorism will spill over if you don't speak up." (Malala Yousafzai, Peraih Nobel Perdamaian 2014)

Indonesia tampaknya masih jauh dari bebas ancaman terorisme. Meskipun Indonesia disebut kalangan internasional sebagai salah satu negara paling berhasil memberantas terorisme, jelas mereka yang siap melakukan aksi terorisme masih bergentayangan di berbagai penjuru negeri ini.

Gejala ini terlihat jelas dari sejumlah peristiwa terkait terorisme sepanjang Desember 2016. Beberapa rencana teror dapat digagalkan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Keberhasilan Densus 88 menggagalkan aksi terorisme mencegah jatuhnya korban sia-sia sekaligus menyelamatkan negara dari dampak terorisme yang sangat merugikan.

Penggagalan rencana aksi terorisme terakhir terjadi pada 25 Desember ketika Densus 88 menggerebek rumah apung di Waduk Jatiluhur yang berisi terduga teroris. Densus 88 juga melakukan penggerebekan di beberapa tempat lain di Jawa Barat. Jaringan sel teroris ini berencana meledakkan bom menjelang pergantian tahun. Dua terduga teroris tewas karena melakukan perlawanan.

Rabu (21/12), Densus 88 melakukan operasi di rumah kontrakan terduga teroris di Kampung Curug, Setu, Tangerang Selatan. Dua dari tiga teroris tewas dalam baku tembak. Hari yang sama, Densus 88 juga menangkap terduga teroris di tiga lokasi: Payakumbuh, Sumatera Barat; Deli Serdang, Sumatera Utara; dan Batam, Kepulauan Riau. Sepuluh hari sebelumnya, Sabtu (10/12), Densus 88 juga menggerebek rumah kontrakan terduga teroris di Bintara, Bekasi. Terkait terduga teroris itu, aparat kepolisian juga melakukan penangkapan di Solo.

Ketiga peristiwa ini menambah panjang daftar aksi dan rencana aksi teror sepanjang 2016. Aksi terorisme 2016 dimulai dengan bom bunuh diri di sekitar Plaza Sarinah, Jakarta, 14 Januari, yang menewaskan 4 pelaku dan 4 warga sipil. Setelah itu terjadi beberapa aksi teror relatif kecil.

Meskipun sepanjang 2016 tidak terjadi aksi teror yang menewaskan korban dalam jumlah besar, jelas rencana aksi teror untuk menewaskan warga dalam jumlah besar tetap ada. Hal itu terungkap dari 40 terduga teroris yang ditangkap Densus 88 di beberapa tempat.

Lagi-lagi, walau tidak terjadi aksi teror berskala besar, penting dicermati gejala baru yang berkembang. Pertama, adanya calon pengebom bunuh diri perempuan, Dian Yulia Novi, yang tertangkap dalam kasus Bintara. Kedua, semakin banyak di antara terduga teroris yang berusia di bawah usia 18 tahun (Kompas, 24/12).

Gejala ini mengindikasikan bahwa perekrutan calon teroris kian meluas; mencakup perempuan dan anak-anak. Kedua kelompok ini jelas merupakan bagian masyarakat paling rawan terkontaminasi paham dan praksis ekstrem, radikal, dan teroristik.

Kenapa terorisme bertahan di Tanah Air? Tak ada penjelasan tunggal yang memadai menjelaskannya. Terorisme merupakan amalgamasi dan kombinasi berbagai faktor yang bekerja menjerumuskan orang tertentu -termasuk ke dalam "kelompok rawan"-ke dalam paham dan praksis teroristik. Meskipun demikian, beberapa faktor utama dapat diidentifikasi. Selama faktor-faktor utama ini tidak atau belum bisa diatasi, bisa diduga bakal selalu ada orang yang terjerumus ke dalam paham dan praksis terorisme.

Faktor utama adalah berlanjutnya kekerasan dan perang di dunia Arab, terutama terkait Islamic State/IS (atau DaulahIslamiyah/DaIs yang sebelumnya dikenal ISIS/Islamic State of Iraq and Syria (Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS). Sejak NIIS muncul pada 2013, cukup banyak kalangan Muslim di berbagai penjuru dunia-tak hanya di dunia Muslim, termasuk di Indonesia, juga di dunia Barat- yang berbaiat kepada pemimpin NIIS, Abu Bakar al-Baghdadi, yang mengklaim sebagai pendiri khilafah atau daulah Islamiyah.

Kekalahan atau kemunduran gerak IS di sejumlah tempat bukan membuat surut keinginan kalangan Muslim tertentu, melainkan masih banyak yang ingin bergabung dengan IS. Gejala ini terlihat dari intersepsi yang dilakukan aparat keamanan, baik di Turki, Indonesia, maupun negara lain.

Di Indonesia, mereka yang ingin bantu IS membangun jaringan kelompok yang mereka sebut Jamaah Ansharut Daulah (Kelompok Pembela Daulah). Banyak terduga teroris yang digerebek Densus 88 berafiliasi dengan JAD. Jelas, JAD bukan satu-satunya kelompok radikal dan teroristik di Tanah Air.

Mengingat IS, konflik dan perang lain yang terus membara di dunia Arab menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi segelintir orang melakukan "jihad" teroristik, tidak ada jalan lain kecuali mengakhiri pertumpahan darah di kawasan itu. Upaya menciptakan perdamaian-yang tampaknya mesti lewat pendekatan militer-menjadi keharusan.

Terkait faktor utama ini adalah berkembang atau bertahannya teologi atau ideologi kekerasan yang mencakup takfiri, hijrah, dan jihad. Teologi ini menjadi justifikasi keagamaan untuk melakukan aksi teror.

Dalam konteks itu, Indonesia sepatutnya bisa memainkan peran lebih besar dalam membangun kembali perdamaian di dunia Arab atau kawasan Muslim lain-seperti Afganistan-yang menjadi sumber ilham atau motif bagi orang tertentu untuk jihad te- roristik. Indonesia tidak perlu terlibat dalam aksi militer, tetapi melakukan diplomasi total dengan penggunaan soft power.

Pada saat sama, kaum Muslim arus utama, pemimpin, dan politisi perlu bersuara lantang melawan terorisme. Bukan sebaliknya mengeluarkan pernyataan bernada merestui (condoning) terorisme semisal bahwa pemberantasan terorisme sekadar "pengalihan isu" atau "konspirasi Barat".

Pemberantasan terorisme bukan hanya tanggung jawab Densus 88, melainkan juga pemimpin dan warga pencinta damai secara keseluruhan. Jika tidak, seperti ditegaskan Malala Yousafzai, Muslimah muda asal Pakistan, peraih Nobel Perdamaian 2014, terorisme dapat meluber ke mana-mana. []

KOMPAS, 27 Desember 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Teman Serikat Kemitraan/Partnership (untuk Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar