Melawan
Ekstrimisme dan Islamo-Fobia (1)
Oleh:
Azyumardi Azra
Judul
Resonansi kali ini,penulis pinjam dari Konperensi World Forum for Muslim
Democrats (WFMD) III yang diselenggarakan Sasakawa Peace Foundation (SPF),
Tokyo pada akhir bulan lalu (24-25/11/2016). Judul persisnya: ‘Consolidating
Democracy in Fighting Extremism and Islamophobia’.
Tema
semacam ini yang dikaitkan dengan demokrasi, sekuriti dan Islam nampaknya masih
favorit di banyak tempat baik di dalam maupun luarnegeri. Sejak Oktober lalu,
penulis Resonansi ini menjadi narasumber beberapa konperensi, simposium dan seminar
dengan tema yang hampir sama.
Di
samping Konperensi SPF tadi, daftarnya antara lain mencakup Konperensi
Internasional ‘Global Terrorism: The Way Forward’, UNS Surakarta (26/10/16);
Simposium ‘Islamophobia and Violent Extremism’, UI Depok dan Kemlu RI
(30/10/16) dan terakhir Konperensi Internasional ‘Islam, Democracy, and the
Challenges of Pluralism and Security’, Kemlu, Dewan Pers Indonesia, dan
Institute for Peace and Democracy (IPD, 6-7/12/16).
Tidak
ragu lagi, ekstrimisme agama—dan juga politik—tidak hanya sekedar bertahan,
tapi cenderung meningkat. Ekstrimisme agama berlanjut di kalangan segelintir
Muslim baik di negara-negara mayoritas Muslim terutama di Dunia Arab, Afrika
dan Asia Selatan. Belum ada tanda dan indikasi kuat berakhirnya ekstrimisme
yang menghasilkan pertikaian, konflik dan perang sesama Muslim yang telah
mengorbankan banyak nyawa, harta benda dan warisan kebesaran peradaban Islam di
masa silam.
Ekstrimisme
agama tidak hanya menyangkut Islam, tapi juga terkait agama Buddha misalnya.
Ketika Donald Trump memenangkan Pemilu AS, Bhiksu Budha Myanmar, Ashin Wiranu
secara terbuka menyatakan, dia mendapat mitra baru [Trump] untuk melenyapkan
Muslim dari bumi Myanmar. Wiranu sendiri pernah disebut majalah Time sebagai
‘The Face of Buddhist Terror’ (20/6/2013).
Profesor
Imtiyaz Yusuf, gurubesar Universitas Mahidol, dalam Konperensi SPF Tokyo
mengungkapkan panjang lebar pertumbuhan ekstrimisme di kalangan kepemimpinan
dan komunitas Budhis Myanmar. Dinamika ini turut menghasilkan kekerasan dan
terorisme berkepanjangan terhadap kaum Muslim Rohingya.
Menurut
Imtiyaz yang juga Direktur Pusat Dialog Buddhis-Muslim Dialog Universitas
Mahidol Bangkok, ekstrimisasi dan radikalisasi bhiksu Myanmar banyak
terinspirasi radikalisme Budhisme Srilanka. Wajah agama Budha yang disebut BBC
London sebagai ‘The Darker Side of Buddhism” berhasil mengusir banyak orang
Tamil dari negara pulau tersebut.
Meski
gejala ekstrimisme kalangan bhiksu Myanmar dan di beberapa negara lain seperti
Thailand misalnya terus meningkat, Imtiyaz Yusuf menyarankan tetap perlunya
dialog Buddhist-Muslim. Dia melihat adanya cukup banyak komonalitas di antara
ajaran Budha dan Islam khususnya menyangkut perdamaian, toleransi dan saling
menghargai di antara para penganut kedua agama.
Ektrimisme
agama jelas tidak berdiri sendiri. Baik di kalangan Muslim maupun Budhis dan
juga agama-agama lain—seperti Kristen Protestan—ekstrimisme banyak terkait
dengan politik dan ‘nativisme’ agama dan sosial-budaya. Meningkatnya politik
‘sayap kanan’ (ultra right) di Eropa dan Amerika Serikat misalnya memberi
momentum bagi kian menguatnya ekstrimisme agama.
Dalam
Islam, ekstrimisme banyak terkait dengan paham dan praksis ‘Islam murni’ yang
dipraktekkan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Paham dan praksis yang sering
disebut sebagai ‘Salafisme’, dalam bentuk paling keras diwakili paham dan
praksis ‘Wahabiyah’.
Upaya
penyebaran paham dan praksis Wahabiyah secara internasional menciptakan
berbagai masalah. Wahabisme sering dipandang bertanggung atas peningkatan
ekstrimisme bukan hanya di negara-negara Muslim seperti Indonesia, tetapi juga
di kalangan komunitas Muslim di Eropa dan Amerika Utara.
Peningkatan
ekstrimisme di kalangan Muslim yang tidak jarang disertai kekerasan dan
terorisme di –negara-negara Muslim sendiri—termasuk Indonesia--maupun di Eropa
dan AS ibarat menuangkan bensin ke nyala api Islamo-fobia di kedua benua ini.
Islamo-fobia yang secara historis sudah ada sejak waktu lama dan kemudian
sempat menyurut seusai Perang Dunia II, sejak awal milenium baru 2000 kembali
bangkit.
Krisis
keuangan dan ekonomi yang melanda AS dan sejumlah negara Eropa sejak paroan
kedua dasawarsa 2000-an, mendorong politisi ultra-kanan dan kalangan masyarakat
di kedua wilayah ini menjadikan imigran—yang sebagian besar Muslim—sebagai
‘kambing hitam’. Pihak terakhir ini mereka anggap telah ‘merampok’ banyak
pekerjaan sehingga membuat sulit bagi warga pribumi mendapatkan pekerjaaan.
Peningkatan
ekstrimisme keagamaan dan politik jelas tidak menguntungkan. Sebaliknya, gejala
ini meningkatkan tensi dan ketegangan di antara para warga—baik di lingkungan
domestik maupun internasional, sehingga membuat kian sulit membangun peradaban
dunia yang damai, adil dan berkeadaban. []
REPUBLIKA,
08 December 2016
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar