Kamis, 28 Februari 2013
Cak Nun: Martin Luther King dan Gus Dur
Martin Luther King
dan Gus Dur
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Peta berpikir Amerika Serikat meletakkan
almarhum Gusdur setataran dan se”wilayah jihad” dengan Martin Luther King Jr.
Consulate General of the United States of America di Surabaya
“memproklamasikan” itu dalam acara “Tribute to Gusdur and Martin Luther King
Jr: Legacy of Pluralism Diversity and Democracy”.
Penyelenggara
menerapkan kearifan nilai yang perlu diteladani, dengan meletakkan saya yang
ber-track-record di wilayah perjuangan kedamaian, pluralisme dan demokrasi –
justru sebagai pendamping pembicara utama, yakni Alissa, putrinya Gusdur
sendiri.
Martin Luther
terkenal dengan ungkapannya “I have a dream”, Gusdur termasyhur dengan
statement “Gitu saja kok repot” yang “njangkungi” Indonesia, dunia dan
kehidupan.
“Jangkung” artinya
tinggi. “Njangkungi” atau menjangkungi artinya mengatasi, membereskan,
mengungguli, mrantasi. Sebesar-besar masalah, setinggi-tinggi persoalan,
“dijangkungi” oleh Gusdur. Martin Luther King masih berposisi “Aku
mendambakan”, Gusdur “sudah mencapai”. Gusdur berbaring sambil senyum-senyum
dan nyeletuk “Gitu saja kok repot”.
Wakil dari komunitas
Konghucu menangis-nangis terharu oleh kasih sayang Gusdur yang membuat mereka
memperoleh ruang dan kemerdekaan menjadi dirinya sendiri di Nusantara. Beberapa
tokoh HMI dan Muhammadiyah, yang ber”nasab” Masyumi, mendatangi saya di pojok
ketika istirahat ngopi: “Cak, Konghucu bagian enak. Kami ini yang dapat asem
kecut. Gusdur tidak pernah bersikap enak kepada semua yang indikatif Masyumi.
ICMI belum berdiri saja sudah dimarah-marahin oleh Gusdur…”
Saya menjawab, “itu
justru karena Gusdur meyakini kalian sudah sangat mandiri dan kuat, sehingga
tidak perlu disantuni, malah dikasih tantangan, kecaman dan sinisme, supaya
bangkit harga diri kalian”.
Peta politik,
perekonomian, kebudayaan dan apapun, sangat dikendalikan oleh konstelasi
kedengkian kelompok, kepentingan sepihak dan kebodohan publik, yang menciptakan
mapping gang-gang dan jejaring inter-manipulasi subyektif golongan. Atas dasar
psiko-budaya politik semacam itu pulalah Reformasi 1998 dipahami dan
dirumuskan. Barang siapa tidak masuk golongan, ia tidak ada. Dan itu legal
konstitusional: kaum independen tidak ada dalam peta politik Indonesia.
Maka kepada
teman-teman yang mengeluh itu saya berfilsafat: “Kalau Anda kain putih, kotoran
sedebu akan direwelin orang. Kalau ada gombal bosok, kotor seperti apapun tidak
dianggap kotoran. Tinggal Anda mau milih jadi kain putih atau gombal”.
HAM
Di samping HAM, ada
WAM: wajib asasi manusia, tapi tidak saya tulis di sini. Yang pasti Martin
Luther King adalah “Mbah”nya semangat HAM, Gusdur penikmat HAM. Martin Luther
berjuang memerdekakan manusia, Gusdur adalah manusia paling merdeka. Kalau
pakai idiom Islamnya Gusdur sendiri: Martin Luther berjuang pada tahap “da’wah
bilisanil qoul” (menganjutkan dengan kata-kata), sedangkan Gusdur “amal
bililasil-hal” (melakukan dan menteladani dengan perilaku).
Andaikan yang
didiskriminasikan di Amerika adalah kulit putih, Martin Luther King tetap
begitu juga perjuangannya. Karena dia bukan memperjuangkan hak-hak kaum hitam
di Amerika, melainkan menempuh perjalanan menuju keadilan universal bagi
seluruh dan setiap ummat manusia. Bukan “hitam”nya yang dibela, melainkan “hak
kemanusiaan”nya. Bukan kulitnya, tapi manusianya.
Atas aspirasi
pluralisme dan anti-kekerasan yang dirintis Gusdur, Pasukan Banser selalu siap
siaga menjaga Gereja-gereja setiap Natal atau hari penting lainnya. Itu
kesetiaan pluralistik model Gus Dur. Sementara Ahmadiyah dan Syiah, juga
Masyumi atau Muhammadiyah, sudah sangat kuat dengan dirinya, tak perlu dijaga.
Yang mereka perlukan adalah pelatihan-pelatihan iman, uji militansi dan
ketahanan juang. Kaum Muslimin memerlukan pukulan-pukulan untuk memperkokoh
keyakinannya.
Gusdur adalah seorang
Bapak yang amat santun kepada tetangganya, namun sangat keras mendidik disiplin
mental anak-anaknya sendiri, dengan hajaran dan gemblengan sedemikian rupa.
Kalau pakai budaya Jombang, agar supaya anak-anak menjadi tangguh mentalnya, ia
perlu “diancup-ancupno ndik jeding” (kepalanya dibenam-benamkan ke air kamar
mandi), “dibatek ilate” (ditarik lidahnya keluar mulut sehingga tak bisa
omong), atau “disambleki mbarek sabuk lulang” (dicambuki pakai ikat pinggang
kulit).
Diskriminasi.
Kehidupan ummat
manusia di permukaan bumi ini, atau mungkin memang selamanya demikian, selalu
hiruk pikuk oleh silang sengkarut diskriminasi, berbagai-bagai jenis, konteks
dan modus diskriminasi. Ada diskriminasi rasial, diskriminasi kultural,
diskriminasi eksistensial, diskriminasi primordial, bahkan diskriminasi
teologis dan natural. Peristiwa diskriminasi penuh ambiguitas,
melingkar-lingkar, berlipat-lipat, letaknya bersama keadilan universial
seringkali berdampingan, bahkan teramu menjadi sebuah kesatuan.
Mungkin sekali
diskriminasi dijelaskan dengan terpaksa menerapkan diskriminasi di sana sini.
Diskriminasi adalah aplikasi ketidakadilan pada konteks-konteks yang berkaitan
dengan identitas, eksistensi, letak keberadaan atau posisi dalam peta
kehidupan. Sedangkan keadilan dan ketidakadilan adalah puncak ilmu dan misteri
yang mungkin saja tak pernah benar-benar bisa dijangkau oleh managemen logika
manusia. Oleh karena itu kita tak boleh pernah berhenti mencari dan
memperjuangkannya.
Sampai hari ini yang kita
capai baru “sorga seseorang adalah neraka bagi lainnya”. Orang Jawa bingung
tidak ada kata asli Jawa untuk “adil”. Yang ada “pas” (akurat, tepat), “empan
papan” (proporsional). Peradaban Jawa sangat beraksentuasi ke kebudayaan
estetika atau “keindahan”, sementara “kebenaran” dan “kebaikan” adalah bagian
dari rangkaian peradaban keindahan Jawa, yang puncaknya adalah “mamayu hayuning
bawana”: memperindah keindahan jagat raya.
Sehingga dalam
praksis budaya masyarakat Jawa muncul etos “jangan mo-limo, nggak enak sama
tetangga”, “silahkan maling, tapi jangan di sini”. Jadi akar masalahnya bukan
pada hakekat kebenaran dan kebaikan, melainkan pada upaya untuk “tampak indah”.
Yang disepakati adalah norma kolektif untuk tampak indah, bukan substansi nilai
kebenarannya. Maka politik pencitraan sangat diterima dengan tenteram oleh
jenis kebudayaan ini, meskipun jelas pencitraan adalah penipuan dan pemalsuan.
Kalau dua anak kita
belikan baju dengan warna yang sama, itu diskriminatif terhadap hak estetika
mereka. Kalau kita bebaskan mereka memilih selera masing-masing, nanti
perbedaan harga antara dua baju itu mengandung diskriminasi. Kita bikin
kurungan kecil untuk burung dara dan kandang sangat besar untuk gajah: terjadi
diskriminasi pada “yang satu dapat gede, lainnya kecil”. Puluhan Parpol tidak
lolos-KPU karena parameter teknis-kwantitatif, sehingga anggota Parpol yang
tidak lulus memperoleh dua wilayah diskriminasi: tidak bisa menggunakan
aspirasi orisinalnya dalam proses bernegara, atau mendiskriminasikan aspirasinya
sendiri dengan menjualnya ke lembaga aspirasi yang bertentangan dengannya.
Kalau yang independen, sekali lagi: tiada.
Diskriminasi
eksistensial bercampur aduk dengan konteks diskriminasi kultural, teologis dan
berbagai-bagai lainnya. Diskriminasi terjadi ketika kerbau diperlakukan sebagai
kambing. Ketika Pemerintah disamakan dengan Negara. Ketika rakyat malah
melayani Pemerintah. Ketika manusia diberhalakan, ketika Tuhan dikategorikan
sebagai dongeng, atau ketika dongeng dituhankan. Ketika sapi kita potong
buntutnya doang karena warung kita jualan sop buntut. Ketika manusia melintas
di depan kamera yang dipotret hanya borok di bokongnya. Ketika bungkus gula di
warung tidak ditulisi “Gula dapat menyebabkan sakit gula”.
Bahasa jelasnya,
sejarah bukan tidak mungkin mencatat tokoh yang banyak melakukan tindakan
diskriminasi justru sebagai tokoh anti-diskriminasi.
Bangsa Amerika sudah
melewati kurun waktu lebih panjang untuk lebih bisa meletakkan Luther King pada
makam sejarahnya, sementara Bangsa Indonesia memerlukan waktu lebih panjang
untuk memastikan posisi Gusdur, apalagi kita sedang mengalami “era abu-abu” di
mana masyarakat mengalami ketidakpastian pandangan tentang tokoh-tokoh
kebangsaan mereka. Kita mengalami ambiguitas pandangan yang sangat serius
kepada Bung Karno, Pak Harto, banyak tokoh nasional lainnya termasuk M. Natsir,
Syafrudin Prawironegoro, atau bahkan Tan Malaka, juga Gusdur. Di Jombang semula
akan diresmikan “Jalan Presiden Abdurahman Wahid”, sekarang kabarnya kata
“Presiden”nya dihilangkan.
Utamanya kaum
Nahdliyin (ummat NU) perlu menggiatkan upaya-upaya ilmiah obyektif, penelitian
yang seksama dan detail mengenai sejarah sosial Gusdur. Secara keseluruhan
Ummat Islam perlu membuktikan kejernihan intelektual dan keadilan sejarah untuk
membuka wacana-wacana adil kesejarahan demi keselamatan generasi mendatang.
Pameo “sejarah itu milik mereka yang menang” perlu ditakar prosentasenya pada
peta pengetahuan sejarah bangsa Indonesia.
Para pecinta Gusdur
juga perlu segera mengeksplorasi upaya penelitian sejarahnya, untuk mendapatkan
ketegasan persepsi tentang Gusdur. Perlu ada semacam “Buku Besar Gusdur”
tentang benar-salahnya beliau selama kepresidenannya dan impeachment atas
kedudukan beliau. Dipertegas data-data sejarah dan fakta-fakta sosial di mana
dan kapan saja Gusdur memperjuangkan keadilan, mendamaikan bangsa, dan
mempertahankan kejujuran kemanusiaan. Dibuktikan secara faktual dan detail
bahwa Gusdur adalah pluralis pemersatu: Pada peristiwa apa, kapan, di mana,
Gusdur mendamaikan dan mempersatukan ini-itu. Supaya punya bahan faktual untuk
tegas menjawab pertanyaan sinis: “Sebutkan apa saja yang tidak pecah setelah
Gusdur hadir”.
Terkadang ada niat
saya bertanya langsung kepada Gusdur di alam barzakh soal ini, tapi kwatir dijawab
“Gitu aja kok repot!”. Di samping itu saya kawatir juga karena di alam sana
Marthin Luther King tinggal sewilayah dengan Gusdur, maka orang-orang
memanggilnya “Gus Martin”.
Tulisan ini dimuat
Opini Kompas, Senin, 25 Februari 2013
Sumber:
(Hikmah of the Day) Kesederhanaan Istri Umar bin Abdul Aziz
Kesederhanaan Istri Umar bin Abdul Aziz
Oleh: Hairuni*
Fatimah sangat terkejut ketika mendengar
berita bahwa telah diangkat khalifah baru, Umar bin Abdul Azis yang tak lain
adalah suaminya sendiri. Namun ia lebih terkejut ketika tahu kalau Sang Raja
baru dikabarkan menolak segala fasilitas istana.
Umar bin Abdul Aziz memilih menunggang
keledai untuk kendaraan sehari-hari, membatalkan acara pelantikan dirinya
sebagai khalifah yang akan diadakan besar-besaran dan penuh kemewahan.
Sungguh Fatimah heran dan tidak percaya mendengar berita tersebut karena ia sangat mengenal siapa suaminya. Sosok yang sangat identik dengan kemewahan hidup mengapa secara tiba-tiba ia hendak berpaling dari kemewahan, padahal tampuk kekuasaan kaum muslimin baru saja di anugerahkan kepadanya?
Keterkejutannya semakin bertambah tatkala melihat suaminya pulang dari dari kota Damaskus, tempat ia dilantik sebagai khalifah umat islam. Suaminya terlihat lebih tua tiga tahun dibandungkan tiga hari yang lalu tatkala ia berangkat ke kota Damaskus. Wajahnya terlihat sangat letih, tubuhnya gemetaran dan layu karena menanggung beban yang teramat berat.
Dengan suara lirih Umar bin Abdul Aziz berkata dengan lembut dan penuh kasih-sayang kepada sang isteri tercinta, “Fatimah, isteriku...! Bukankah engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat dipikulkan kepundakku, menjadi nakhoda bahtera yang dipenuhi, ditumpangi oleh umat Muhammad SAW. Tugas ini benar-benar menyita waktuku hingga hakku terhadapmu akan terabaikan.
Aku khawatir kelak engkau akan meninggalkanku
apabila aku akan menjalani hidupku yang baru, padahal aku tidak ingin berpisah
denganmu hingga ajal menjemputku.”
“Lalu, apa yang akan engkau lakukan sekarang?” tanya Fatimah.
“Fatimah...! engkau tahu bukan, bahwa semua harta, fasilitas yang ada ditangan kita berasal dari umat Islam, aku ingin mengembalikan harta tersebut ke baitul mal, tanpa tersisa sedikitpun kecuali sebidang tanah yang kubeli dari hasil gajiku sebagai pegawai, disebidang tanah itu kelak akan kita bangun tempat berteduh kita dan aku hidup dari sebidang tanah tersebut. Maka jika engkau tidak sanggup dan tidak sabar terhadap rencana perjalanan hidupku yang akan penuh kekurangan dan penderitaan maka berterus-teranglah, dan sebaiknya engkau kembali ke orang tuamu!” jawab Umar bin Abdul Aziz.
Fatimah kembali bertanya,”Ya suamiku...apa yang sebenarnya membuat engkau berubah sedemikian rupa?”
“Aku memiliki jiwa yang tidak pernah puas, setiap yang kuinginkan selalu dapat kucapai, tetapi aku menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi yang tidak ternilai dengan apapun juga yakni surga, surga adalah impian terakhirku,” jawab Umar bin Abdul Aziz lagi.
Aneh. Fatimah yang notabene merupakan wanita yang terbiasa hidup mewah, dengan fasilitas yang disediakan dan pelayanan yang super maksimal, tidak kecewa mendengar keputusan suaminya ia. Ia tidak menunjukan kekesalan dan keputus asaan. Justeru dengan suara yang tegar, mantap ia menegaskan, “Suamiku...! Lakukanlah yang menjadi keinginanmu dan aku akan setia disisimu baik dikala susah atau senang hinga maut memisahkan kita.”
Fatimah merupakan satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara putra khalifah daulah Abbasyiah yang bernama Abdul Malik bin Marwan. Layaknya putri raja, fatimah pun mendapatkan kehormatan dan segala fasilitas yang mewah, hidup dengan penuh kasih sayang dan dimanja oleh kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya. Kebahagiannya menjadi sempurna dengan dipersunting oleh seorang lelaki yang terbaik pada zamannya, dari keluarga yang terhormat yang bernama Umar bin Abdul Aziz, yang hidup penuh dengan keglamoran dan kemewahan meskipun demikian ia merupakan sosok yang relegius dan sangat amanah.
Fatimah yang agung itu menjadi pendukung pertama gerakan perubahan yang akan dilakukan oleh suaminya yakni gerakan kesederhanan para pemimpin dalam kehidupan, demi bakti dan keridaan sang suami yang tercinta. Ia rela meninggalkan kemewahan hidup yang selama ini dinikmatinya, semuanya dilakukan dengan penuh kesadaran, keikhlasan atas pondasi keimanan yang kuat.
Di rumahnya yang baru, Fatimah hidup dengan penuh kesederhanaan. Pakaian yang dikenakan, makanan yang disantap tanpa ada kemewahan dan kelezatan semuanya tidak jauh dengan rakyat biasa padahal status yang mereka sandang adalah raja dan ratu seluruh umat Islam masa itu.
Begitu sederhananya konsep kehidupan yang mereka terapkan, orang yang belum mengenal tidak menyangka bahwa mereka adalah pasangan penguasa umat islam kala itu. Diceritakan, suatu hari datanglah wanita Mesir untuk menemui khalifah di rumahnya. Sesampai di rumah yang ditunjukkan, ia melihat seorang wanita yang cantik dengan pakaian yang sederhana sedang memperhatikan seseorang yang sedang memperbaiki pagar rumah yang dalam kondisi rusak.
Setelah berkenalan si wanita Mesir baru sadar bahwa wanita tersebut adalah Fatimah, isteri sang Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Tamu itu pun menanyakan sesuatu hal, “Ya Sayyidati..., mengapa engkau tidak menutup auratmu dari orang yang sedang memperbaiki pagar rumah engkau?” Seraya tersenyum Fatimah menjawab, “Dia adalah amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz yang sedang engkau cari. []
* Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Fakultas Ushuluddin, Prodi Tafsir Hadits
(Ngaji of the Day) Tiga Tanduk Setan: Inggris, Ibnu Saud, Wahabi
Tiga Tanduk Setan: Inggris,
Ibnu Saud, Wahabi
Oleh : Moh. Achyat Ahmad
Paham Wahabi muncul pada pertengah abad 18 di
Dir’iyyah, sebuah dusun terpencil di Jazirah Arab. Kata Wahabi ini dambil dari
nama pendirinya, Muhammad bin Abdul-Wahhab (1703-1792).
Namun, kendati Ibnu Abdul Wahhab dianggap sebagai Bapak Wahabisme, faktanya Kerajaan Inggris-lah yang membidani kelahirannya dengan gagasan-gagasan Wahabisme, dan merekayasa Muhammad bin Abdul-Wahhab sebagai Imam dan pendiri Wahabisme, untuk tujuan menghacurkan Islam dari dalam, dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah.
Ketika berada di Basra, Irak, Ibnu Abdul-Wahhab muda jatuh dalam pengaruh dan kendali seorang mata-mata Inggris, Hempher, yang sedang menyamar. Ia salah satu seorang mata-mata yang dikirim London untuk negeri-negeri Muslim di Timur Tengah untuk menggoyang Kekhalifaan Utsmaniyyah dan menciptakan konflik di antara kaum Muslim.
Hempher, dengan berbagai pendekatan mengesankan yang dilakukannya, telah berhasil mencuci otak Ibnu Abdul-Wahhab dengan meyakinkannya bahwa orang-orang Islam mesti dibunuh, karena mereka telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar. Mereka semua telah melakukan perbuatan-perbuatan bidah dan syirik.
Hempher juga menciptakan mimpi liar dan mengatakan bahwa dia bermimpi Nabi Muhammad SAW mencium kening (di antara kedua mata) Ibnu Abdul-Wahhab, bahwa dia akan jadi orang besar, dan meminta kepadanya untuk menjadi orang yang dapat menyelamatkan Islam dari berbagai bidah dan takhayul.
Akhirnya, setelah kembali ke Najd, Ibnu Abdul-Wahhab mulai berdakwah dengan gagasan liarnya di Uyayna. Karena dakwahnya yang keras itu, akhirnya ia disusir dari tempat kelahirannya. Kemudian dia pergi berdakwah di dekat Dir’iyyah, di mana sahabat karibnya, Hempher dan beberapa mata-mata Inggris lainnya yang ada dalam penyamaran, ikut bergabung dengannya.
Sebetulnya banyak pihak yang menentang ajaran Ibnu Abdul-Wahhab yang keras dan kaku itu, termasuk ayah kandungnya sendiri dan saudaranya, Sulaiman Ibnu Abdul-Wahhab. Namun dengan uang, mata-mata Inggris telah berhasil membujuk Syekh Dir’iyyah, Muhammad Saud, untuk mendukung Ibnu Abdul-Wahhab.
Akhirnya, pada tahun 1744, Saud menggabungkan kekuatan dengan Ibnu Abdul-Wahhab dengan membangun sebuah aliansi politik, agama, dan perkawinan. Dengan aliansi ini, antara keluarga Saud dan Ibnu Abdul-Wahhab, yang hingga saat ini masih eksis, Wahabisme sebagai sebuah “agama” dan gerakan politik telah lahir!
Sebagai hasil aliansi Saudi-Wahabi pada 1774 ini, sebuah kekautan angtan perang kecil dibangun, yang terdiri dari orang-orang Arab Badui, terbentuk melalui mata-mata Inggris yang melengkapi mereka dengan uang dan persenjataan.
Sampai pada waktunya, angkatan perang ini pun berkembang menjadi sebuah ancaman besar yang pada akhirnya melakukan teror di seluruh Jazirah Arab sampai ke Suriah, dan menjadi penyebab munculnya fitnah terburuk di dalam sejarah Islam.
Sebagai contoh, untuk memberantas apa yang mereka sebut sebagai syirik dan bidah, Saudi-Wahabi telah mengejutkan seluruh dunia Islam pada 1801, dengan tindakan brutal menghancurkan makam Sayidina Husein bin Ali di Karbala, Irak. Mereka juga tanpa ampun membantai lebih dari 4.000 orang di Karbala dan merampok lebih dari 4.000 unta yang mereka bawa sebagai harta rampasan.
Sekali lagi, pada 1081, kaum Wahabi dengan kejam membunuh penduduk tak berdosa di sepanjang Jazirah Arab. Mereka menjajah banyak kafilah peziarah dan sebagian besar di kota-kota Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah, mereka menyerang dan menodai Masjid Nabawi, membongkar makam Nabi.
Para teroris Saudi-Wahabi ini telah melakukan tindak kejahatan yang menimbulkan kemarahan kaum Muslimin di seluruh dunia, termasuk Kekhalifaah Utsmaniyyah di Istanbul. Sebagai penguasa yang bertanggung jawab atas keamanan Jazirah Arab, Khalifah Mahmud II memerintah sebuah angkatan perang Mesir dikirim ke Jazirah Arab untuk menghukum klan Saudi-Wahabi.
Bagaimanapun, beberapa anggota Dinasti Saudi-Wahabi sudah mengatur untuk melarikan diri; di antara mereka adalah Imam Abdul-Rahman al-Saud dan putranya yang masih remaja, Abdul-Aziz. Dengan cepat keduanya melarikan diri ke Kuwait yang dikontrol Kolonial Inggris.
Ketika di Kuwait, Abdul-Rahman dan putranya, Abdul-Aziz memohon uang, persenjataan dan bantuan kepada Inggris untuk merebut kembali Riyadh. Maka, melalui strategi licin, Kolonial Inggris dengan cepat menghancurkan Kekhalifaan Islam Utsmaniyyah dan sekutunya klan al-Rasyid secara menyeluruh, dan Kolonial Inggris pun memberi sokongan kepada Imam baru Wahabi, Abdul-Aziz.
Pada 1902, akhiranya Abdul-Aziz si Imam Wahabi berhasil merebut Riyadh. Salah satu tindakan biadab Imam baru Wahabi ini adalah menteror penduduknya dengan memaku kepala al-Rasyid pada pintu gerbang kota. Abdul-Aziz dan para pengikut fanatik Wahabi-nya juga membakar hidup-hidup 1.200 orang sampai mati.
Imam Wahabi, Abdul-Aziz, yang dikenal di Barat sebagai Ibnu Saud ini, sangat dicintai oleh majikan Inggrisnya. Banyak pejabat dan utusan Pemerintah Kolonial Inggis di wilayah Teluk Arab sering menemui dan mengunjunginya, dan dengan murah hati mereka mendukungnya dengan uang, senjata, dan para penasihat.
Kini, berangsur-angsur Imam Abdul-Aziz dengan bengis dapat menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab di bawah panji-panji Wahabisme untuk mendirikan Kerajaan Saudi-Wahabi ke-3, yang kini disebut “Kerajaan Saudi Arabia”. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
(Do'a of the Day) 17 Rabiul Akhir 1434H
Bismillah irRahman irRaheem
In the Name of Allah, The Most
Gracious, The Most Kind
Rabbanaa waj’alnaa muslimaini laka wamin dzurriyyatinaaa ummatan muslimatan laka.
Ya
Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan
(jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.
Dari
Al Qur’an Surat Al Baqarah (2), ayat (128), Juz 1.
Rabu, 27 Februari 2013
(Tokoh of the Day) KH. Hamim Tohari Djazuli (Gus Miek), Kediri - Jawa Timur
Gus Miek, dari Khataman ke Tempat Perjudian
GUS MIEK adalah seorang yang sangat terkenal
di kalangan guru sufi, seniman, birokart, preman, bandar judi, kiai-kiai NU,
dan para aktivis. Dialah yang membangun tradisi pengajian Sema’an Al-Qur’an
Jantiko Mantab dan pembacaan wirid dzikrul ghafilin bersama beberapa koleganya.
Hamim Tohari Djazuli adalah nama lengkapnya.
Ia dilahirkan pada 17 Agustus 1940 di Kediri dari pasangan KH Jazuli Usman dan
Nyai Radliyah. Nyai Radliyah ini memiliki jalur keturunan sampai kepada Nabi
Muhammad, sebagai keturunan ke-32 dari Imam Hasan, anak dari Ali bin Abi Thalib
dengan Siti Fathimah.
Ayah Gus Miek, KH. Jazuli Usman adalah pendiri pesantren Ploso Kediri. Ia pernah nyantri kepada banyak guru, di antaranya kepada KH Hasyim Asy`ari, Mbah Ma’ruf (KH Ma’ruf Kedunglo), KH Ahmad Shaleh Gondanglegi Nganjuk, KH Abdurrahman Sekarputih, KH Zainuddin Mojosari, KH Khazin Widang, dan Syaikh al-`Allamah al-Aidrus Mekkah.
KH Jazuli Usman nama kecilnya adalah Mas Mas`ud. Dia telah sekolah di STOVIA yang ada di Batavia, tatkala anak-anak seangkatannya belum sekolah. Mas Mas`ud ini anak dari Mas Usman, kepala KUA Ploso, Kediri. Pada saat itu jabatan sebagai kepala KUA sangat bergengsi. Akan tetapi ayah Gus Miek lebih memilih hidup dan mendirikan pesantren.
Sejak kecil, Gus Miek sudah tampak unik. Dia tidak suka banyak bicara, suka menyendiri, dan bila berjalan selalu menundukkan kepala. Akan tetapi Gus Miek juga sering masuk ke pasar, melihat-lihat penjual di pasar, sering melihat orang mancing di sungai. Bila keluarganya berkumpul, Gus Miek selalu mengambil tempat paling jauh.
Pada awalnya Gus Miek disekolahkan oleh KH Jazuli Usman di Sekolah Rakyat, tetapi tidak selesai karena dia sering membolos. Setelah itu Gus Miek belajar Al-Qur’an kepada ibunya, kepada Hamzah, Khoirudin, dan Hafidz. Ketika pelajaran belum selesai Gus Miek sudah minta khataman. Para gurunya jadi geleng-geleng kepala.
Ketika usia Gus Miek masih 9 tahun, dia sudah sering tabarrukan ke berbagai kiai sufi. Beberapa kiai yang dikunjunginya adalah KH Mubasyir Mundzir Kediri, Gus Ud (KH Mas’ud) Pagerwojo-Sidoarjo, dan KH Hamid Pasuruan. Di tempat Gus Ud Pagerwojo Sidoarjo, Gus Miek bertemu dengan KH Achmad Shidiq yang usianya lebih tua. KH Achmad Shidiq ini di kemudian hari sering menentang tradisi sufi Gus Miek, tetapi akhirnya menjadi kawan karibnya di dzikrul ghafilin.
Kebiasaan Gus Miek pergi ke luar rumah menggelisahkan orang tuanya. Akhirnya ayahnya memintnya ngaji ke Lirboyo, Kediri di bawah asuhan KH Machrus Ali, yang kelak begitu gigih menentang tradisi sufinya.
Di Lirboyo Gus Miek bertahan hanya 16 hari dan kemudian pulang ke Ploso. Ketika sadar orang tuanya resah akibat kepulangannya, Gus Miek justru akan menggantikan seluruh pengajaran ngaji ayahnya, termasuk mengajarkan kitab Ihya Ulumuddin.
Tapi beberapa bulan kemudian, Gus Miek kembali ke Lirboyo. Ketika masih di pesantren ini, pada usia 14 tahun Gus Miek pergi ke Magelang, nyantri di tempatnya KH. Dalhar Watucongol, mengunjungi Mbah Jogoreso Gunungpring, KH Arwani Kudus, KH Ashari Lempuyangan, KH Hamid Kajoran, dan Mbah Benu Yogyakarta. Setelah itu Gus Miek pulang lagi ke Ploso.
Di Ploso, di tempat pesantren ayahnya, Gus Miek minta dinikahkan, dan akhirya ia menikah dengan Zaenab, putri KH. Muhammad Karangkates, yang masih berusia 9 tahun. Pernikahan ini berakhir dengan perceraian, ketika istrinya masih berusia sekitar 12 tahun. Pada masa ini Gus Miek sudah sering pergi untuk melakukan dakwah kulturalnya di berbagai daerah, tabarrukan ke berbagai guru sufi, dan mendapatkan ijazah wirid-wirid.
Pada tahun 1960 Gus Miek menikah dengan Lilik Suyati dari Setonogedong. Pernikahan ini atas saran dari KH. Dalhar dan disetujui KH. Mubasyir Mundzir, salah satu guru Gus Miek. Gadis itulah yang menurut gurunya akan sanggup mendampingi hidupnya, dengan melihat tradisi dan kebiasaan Gus Miek untuk berdakwah keluar rumah.
Pada awalnya pernikahan Gus Miek dengan gadis Setonogedong ditentang KH Jazuli Utsman dan Nyai Radliyah. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pernikahan itu disetujui. Saat itu Gus Miek sudah berdakwah ke diskotek-diskotek, ke tempat perjudian, dan lain-lain.
Dari berbagai perjalanan, riyadlah, dan tabarrukan, Gus Miek akhirnya menyusun kembali wirid-wirid secara tersendiri yang didapatkan dari para gurunya. Pada awanya Gus Miek mendirikan Jama`ah Mujahadah Lailiyah tahun 1962. Sampai tahun 1971 jama`ah yang dirintis Gus Miek ini sudah cukup luas.
Pada tahun 1971, para jama`ah Gus Miek dan masyarakat NU menghadapi dilema pemilu. Saat itu semua pegawai negeri diminta memilih Golkar oleh penguasa. Gus Miek sendiri tidak mencegah bila para pengikutnya yang PNS untuk memilih Golkar, karena situasi sosial saat itu di bawah rezim otoriter Soeharto.
Metamorfosis dari komunits yang dibangun Gus Miek, semakin menampakkan bahwa ia mengembangkan tradisi wirid di luar kelompok tarekat yang sudah mapan di kalangan NU. Jama`ah Mujahadah Lailiyah yang dibangunnya berkembang menjadi dzikrul ghafilin. Pada tahun 1971-1973 susunan wirid-wirid dzikrul ghafilin diusahakan untuk dicetak, terutama setelah jangkauan dakwah Gus Miek telah menjangkau Jember.
Bersama-sama KH Achmad Shidiq yang awalnya sangat menentang, tetapi akhirnya menjadi sahabatnya, naskah wirid dzikrul ghafilin berhasil dicetak. Naskah-naskah yang tercetak dibagikan kepada jaringan jama`ah Gus Miek: di Jember di bawah payung KH Achmad Shidiq, di Klaten di bawah payung KH Rahmat Zuber, di Yogyakarta di bawah payung KH Daldiri Lempuyangan, dan di Jawa Tengah di bawah payung KH Hamid Kajoran Magelang.
Di samping mengorganisir dzikrul ghafilin, Gus Miek pada tahun 1986 juga mengorganisir sema’an Al-Qur’an.
Beberapa bulan kemudian sema’an ini dinamakan Jantiko. Tahun 1987 sema’an Al-Qur’an Jantiko mulai dilakukan di Jember. Saat itu KH. Achmad Shidiq sudah menjadi Rais Am Syuriyah PBNU yang diangkat oleh Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984.
Dibandingkan dzikrul ghafilin, jama`ah Jantiko ini lebih cepat berkembang. Pada tahun 1989, Jantiko kemudian diubah namanya menjadi Jantiko Mantab atau Jantiko man taba. Ada juga yang mengartikan Mantab sebagai Majlis Nawaitu Tapa Brata. Dikatakan juga man taba itu berarti siapa bertaubat. Jantiko Mantab ini kemudian berkembang ke berbagi daerah.
Perjuangan Gus Miek dengan dzikrul ghafilin, sema`an Al-Qur’an, dan tradisi sufinya ke tempat-tempat diskotek, tempat perjudian, dan lain-lain, sangatlah tidak mudah. Di tengah-tengah jam`iyah NU yang telah membakukan tarekat mu’tabarah, tradisi sufi Gus Miek mendapatkan perlawanan. Dzikrul ghafilin dianggap berada di luar kelaiman, tidak mu’tabarah. Penentangan datang dari orang yang sangat terkenal, sekaligus pernah menjadi gurunya di Lirboyo, yaitu KH Machrus Ali.
Hanya saja, semua itu bisa dilewati Gus Miek dengan sabar. Yang paling menggemberikan karena KH Achmad Shidiq sebagai orang yang sangat dihormati di NU, yang pada awalnya menentang tradisi sufinya, kemudian bersama-sama mengembangkan dzikrul ghafilin di sekitar Jember dan sekitarnya.
Gus Miek wafat pada 5 Juni 1993. Dia dimakamkan di Pemakaman Tambak Kediri, diiringi ratusan ribu kaum muslimin. Di pemakaman ini pula KH Achmad Shidiq dimakamkan, di sebelah timur makam Gus Miek. Di pemakaman ini pula terdapat tidak kurang dari 22 orang yang kebanyakan menjadi guru sekaligus murid Gus Miek. []
(Nur Kholil Ridwan)
Dahlan: Simpul-Simpul Terlalu yang Akan Berhadiah
Simpul-Simpul Terlalu yang Akan Berhadiah
Para pimpinan PT Jasa Marga (Persero) Tbk
belakangan harus memeras otak lebih keras. Dua tugas khusus amat mendesak untuk
dicarikan jalan keluar: mengatasi kemacetan di jalan tol dan mengubah sistem
pembayaran di pintu-pintu tol.
Begitu khususnya,
sampai-sampai hampir seminggu sekali saya tagih kemajuannya.?Untuk mengatasi
kemacetan, memang tidak gampang. Tapi, setidaknya sudah berhasil
diinventarisasikan di titik mana saja kemacetan itu terjadi dengan parahnya.
Ada dua jenis kemacetan. Yang bisa diselesaikan cepat dengan langkah yang sederhana
dan yang harus melalui jalan yang panjang. Maka, fokus diberikan kepada yang
bisa cepat-cepat dilakukan.
Misalnya, kemacetan
di jalan layang Tomang dari arah Kebon Jeruk. Ternyata, banyak lubang di
ketinggian yang sulit dijangkau itu. Aneh juga, di ketinggian seperti itu bisa
banyak lubangnya. Akibatnya, semua kendaraan melakukan pengereman mendadak.
Macet.
Sudah berbulan-bulan
lubang-lubang tersebut tidak tertangani karena tidak adanya laporan. Malam itu
juga, Kamis malam lalu, semua lubang tersebut ditutup.
Tapi, untuk mengatasi
kemacetan yang parah dari arah Kebon Jeruk ke Tomang setiap pagi (dan
sebaliknya setiap sore), persoalannya lebih rumit. Memang ada hope, tapi harus
menunggu selesainya jalan tol ruas Ulujami–Kebon Jeruk. Jalan tol itu sudah
selesai dibangun, kecuali yang 2,3 km yang tersendat oleh urusan tanah.
Saya akan menemui Pak
Jokowi untuk minta bantuan beliau. Bukan saya tidak mau turun tangan, tapi
urusannya memang hanya bisa diselesaikan oleh Pemprov DKI Jakarta. Apalagi,
pemilik jalan tol Ulujami–Kebon Jeruk itu adalah perusahaan daerah DKI (40
persen) dan Jasa Marga (60 persen). Semoga gubernur baru bisa lebih bikin gol
daripada pejabat sebelumnya.
Yang juga parah
adalah sumbatan di Halim. Kendaraan yang semula mengalir deras, empat lajur
dari arah Bekasi ke Semanggi, tiba-tiba menyempit tinggal satu lajur di Halim.
Bisa dibayangkan betapa macetnya.
Semula dianggap tidak akan ditemukan jalan keluar untuk persoalan itu. Tidak mungkin menambah ruas di situ. Tidak ada lahan. Sebelah jalur tersebut sudah berupa jalan raya arteri yang lalu lintasnya juga padat. Tidak mungkin jalan arteri itu ditutup untuk perluasan jalan tol.
Tapi, sumbatan di
Halim itu benar-benar ??t.e.r.l.a.l.u!??. Karena itu, saya minta terus
dipikirkan. Sampai-sampai, sejumlah staf Jasa Marga hanya bertugas duduk di
atas bukit kecil di dekat sumbatan itu berhari-hari. Untuk menemukan inspirasi
cara apa yang bisa ditempuh.
Akhirnya ditemukan!
Bukit di dekat tempat mencari inspirasi itu dikepras. Dibikinkan turap agar tidak
longsor. Lalu dibuat jalan baru sepanjang 600 meter. Jalan baru itulah yang
disiapkan untuk menjadi jalan arteri pengganti. Sedangkan jalan arteri yang
asli ’’diminta’’ untuk dijadikan lajur tambahan jalan tol.
Inspirasi itu langsung diwujudkan. Siang-malam pengeprasan bukit dan pembuatan jalan arteri dikerjakan. Dalam tiga bulan sudah jadi. Saya sangat menghargai kesigapan Jasa Marga di sini. Juga ide briliannya. Minggu lalu jalur baru tersebut sudah bisa digunakan.
Inspirasi itu langsung diwujudkan. Siang-malam pengeprasan bukit dan pembuatan jalan arteri dikerjakan. Dalam tiga bulan sudah jadi. Saya sangat menghargai kesigapan Jasa Marga di sini. Juga ide briliannya. Minggu lalu jalur baru tersebut sudah bisa digunakan.
Kini kendaraan dari
empat lajur dari arah Bekasi yang semula menjadi satu lajur sudah bisa menjadi
dua lajur. Agak lega. Sementara. Derasnya pertambahan kendaraan yang masuk
jalan tol akan membuat kelegaan itu tidak akan lama.
Dari arah Cibubur
menuju Semanggi juga menyebalkan. Tapi, hanya perubahan kecil yang bisa
dilakukan: pemasangan rubber cone untuk mendisiplinkan kendaraan. Selama ini
lajur kendaraan dari arah Cibubur menuju Semanggi sering ’’diserobot’’ truk
dari arah Cibubur menuju Priok. Dengan pemasangan rubber cone baru itu (juga
sudah berfungsi seminggu yang lalu), kesesakan menuju Semanggi berkurang.
Hanya berkurang. Tetap sesak napas tapi sudah berkurang. Sudah berkurang tapi tetap sesak napas. Bahkan, yang ke arah Priok justru lebih sesak.
Hope untuk jalur dari
arah Cibubur itu baru datang setahun lagi. Menunggu berfungsinya jalan tol dari
Kawasan Berikat Nusantara (KBN) ke Tanjung Priok. Jalan tol baru tersebut
sekarang sedang dikerjakan. Pekerjaan lagi dikebut. Tapi, tetap tidak bisa
seperti sulapan.
Tahun depan, kalau
jalan tol KBN–Priok itu selesai, truk-truk dari arah Cibubur tidak boleh lagi
melewati Cawang. Kendaraan-kendaraan besar tersebut dari arah Cibubur harus
belok ke Cikunir menuju jalan tol baru itu.
Kalau Anda ke Priok
dan melihat pekerjaan jalan tol dengan tiang-tiang penyangga yang amat tinggi,
itulah jalan yang saya maksud. ’’Ini bisa mengurangi arus kendaraan dari
Cibubur menuju Cawang sampai 30 persen,’’ kata Adityawarman, Dirut Jasa Marga.
Titik menyesakkan
lain yang juga sulit ditemukan hope-nya adalah kemacetan dari arah Cawang
menuju Kuningan. Saya tagih terus. Kapan ide brilian di ruas itu bisa
ditemukan.
’’Sebetulnya ada ide
yang cespleng,’’ ujar Adityawarman, orang Palembang yang suka bicara bahasa
Jawa tersebut. Apa itu? ’’Pintu masuk tol di dekat Bukopin (dari arah Cawang)
itu ditutup,’’ ungkapnya.
Jalan tolnya pasti bisa lebih longgar, tapi jalan arterinya akan kian padat. Persoalannya bukan di situ. Menutup pintu tol harus izin sampai ke tingkat presiden. Dan lagi, masyarakat sekitar Cawang yang ingin masuk tol menjadi harus sabar sampai setelah Kuningan.
Jalan tolnya pasti bisa lebih longgar, tapi jalan arterinya akan kian padat. Persoalannya bukan di situ. Menutup pintu tol harus izin sampai ke tingkat presiden. Dan lagi, masyarakat sekitar Cawang yang ingin masuk tol menjadi harus sabar sampai setelah Kuningan.
Saya minta, ide itu
jangan dimatikan. Kalau memang tidak ada lagi ide yang lebih brilian, apa
salahnya kalau izin penutupan tersebut diurus. Tapi, memang harus dipertimbangkan
baik-baik. Kalau perlu libatkan masyarakat. Bahkan, Jasa Marga boleh saja
mengadakan lomba terbuka. Siapa pun yang bisa menyumbangkan ide brilian untuk
penyelesaian kemacetan itu akan diberi hadiah yang besar. Khusus untuk jalan
tol. Bukan jalan umum. Jalan umum di luar wewenang BUMN.
Kita menyadari, tiap
titik kemacetan memerlukan ide segar. Satu orang bisa saja menyumbangkan ide
untuk mengatasi kemacetan di beberapa titik sekaligus. Jasa Marga menyediakan
hadiah. Tiap satu ide yang bisa diterapkan akan mendapat hadiah Rp 100 juta.
Sekali lagi,
syaratnya, bisa dilaksanakan. Bukan ide yang tidak bisa dilaksanakan. Harus
sekelas ide di Halim tadi. Tunggu pengumumannya dari Jasa Marga.
Intinya, sesulit apa
pun persoalan kita, kita tidak boleh menyerah. Termasuk, kesulitan memperbaiki
sistem di gerbang tol. Setelah enam bulan tidak henti-hentinya saya tagih,
akhirnya ditemukan sistem perbaikan itu.
Tanggal 6 Maret bulan
depan, sistem pass-through yang benar-benar pass-through mulai difungsikan. Di
tiga gerbang tol ke arah Cengkareng dulu. Yang lain-lain menyusul.
Selama ini, pemilik
mobil yang sudah memasang alat pass-through pun tetap harus menghentikan
mobilnya di pintu tol. Menunggu bunyi ’’tiiiiiit…’’. Baru palang pintunya
membuka.
Padahal, di negara-negara lain, yang namanya pass-through, ya tidak perlu mobilnya berhenti dulu! Ini yang beberapa kali saya nilai sebagai sistem yang primitif.
Mengatasinya ternyata
tidak sederhana. Itu karena menyangkut kontrak antara dua perusahaan. Untung dua-duanya
BUMN: Jasa Marga dan Bank Mandiri. Maka, saya tugaskan pejabat tinggi
Kementerian BUMN, Dr Ir Irnanda Laksanawan, untuk mengoordinasikan dan
mencarikan terobosan.
Irnanda lantas
melibatkan BUMN yang lain, PT Telkom dan PT LEN Industri. Berhasil. Setelah
pemasangan di tiga titik tanggal 6 Maret nanti, akan terus dilakukan langkah
yang sama di pintu-pintu tol yang lain. Dengan demikian, kita tidak malu lagi:
masak membuat pintu tol seperti di luar negeri saja tidak bisa.
Memang masih ada persoalan: harga alat yang harus dipasang di dalam mobil itu masih terlalu mahal (menurut banyak orang): Rp 650.000. Akibatnya, masih sedikit kendaraan yang mau memasang peralatan pass-through. Itulah yang saya minta untuk dicarikan jalan keluarnya. Salah satunya dengan cara memproduksinya di dalam negeri. PT LEN sudah sanggup mengerjakannya. Alhamdulillah.
Dan saya tidak perlu
lagi melempar kursi. (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
(Ngaji of the Day) Akidah Islam: Histori Awal dan Alur Mayoritas
Akidah Islam: Histori Awal
dan Alur Mayoritas
Oleh: Ahmad Biyadi
Faktor Munculnya Perbedaan
Seperti dalam ramalan bahwa Islam akan
terpecah dalam begitu banyak aliran. Perbedaan keyakinan terjadi tidak lama
setelah ramalan diucapkan. Pada abad pertama, di masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib mulai muncul benih golongan pemberontak yang kemudian dikenal dengan
Khawarij.
Faktor politik menjadi alasan utama mereka
memberontak. Tapi itu berujung pada perdebatan pemikiran, utamanya tentang
status pelaku dosa besar, apakah masih dianggap muslim ataukah kafir. Seiring
waktu, golongan ini menyinggung ranah teologi tentang bagaimana status pelaku
dosa besar. Apakah mereka muslim ataukah telah kafir. Perdebatan pun muncul.
Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar diimbangi oleh golongan Murji’ah
yang ‘kebablasan’ dengan berpendapat perbuatan dosa sama sekali tak berpengaruh
pada status kafir atau muslim.
Perdebatan itu merembet pada tema-tema
tentang takdir, kekuatan manusia, dan sifat Tuhan, yang membawa para tokoh pada
akhir abad pertama hijriah dalam perbedaan pendapat. Sejak saat itu, banyak di
antara mereka memunculkan pemikiran-pemikiran baru tentang tema-tema tersebut.
Hingga muncullah pendapat-pendapat yang kerap kali ada kemiripan dengan
keyakinan di luar Islam. Misalnya di Persia, ada keyakinan bahwa manusia adalah
penguasa terhadap dirinya dan Tuhan sama sekali tidak berhak menentukan
perbuatan manusia. Keyakinan ini menyusup dan berbuah menjadi paham Qadariyah.
Kemudian lawan dari paham ini muncul dan dikenal dengan paham Jabariyah atau
Jahmiyah.
Pengkultusan kepada tokoh yang dilakukan oleh
orang Yahudi diusung oleh seorang penyusup yang pura-pura masuk Islam bernama
Abdullah bin Saba’ dan akhirnya memunculkan paham Syiah. Seiring waktu, Syiah
terus berkembang dan akhirnya melahirkan banyak aliran sempalan, satu di antaranya
adalah Batiniyah yang pernah berkuasa di berbagai belahan negara Islam.
Begitulah, aliran-aliran itu muncul dan
berusaha menabrak keyakinan-keyakinan yang telah ada pada mayoritas umat Islam
saat itu. Para ulama berusaha melakukan penolakan dan bantahan. Sehingga
sebagian besar dari golongan itu kalah dan dibasmi oleh pemerintah, seperti
Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah. Sebagian lagi justru dapat mengambil alih
kekuasaan dan terus berkembang dalam waktu yang lama, bahkan mungkin hingga
saat ini, misalnya Bathiniyah dan Syiah.
Mungkin saja aliran-aliran itu telah musnah
berabad-abad yang lalu. Tapi pola pemikiran dan keyakinan salah mereka bisa
saja muncul di suatu titik sejarah dengan berbagai macam perkawinan silang
keyakinan. Misalnya keyakinan tentang pengkultusan seseorang yang pernah
dilakukan oleh Bathiniyah, dengan menganggap pemimpinnya adalah seorang nabi,
muncul kembali dengan wajah baru; Ahmadiyah.
Otoritas kuasa bagi manusia dan Tuhan tak
memiliki wewenang dalam menciptakan perbuatan manusia seolah berenkarnasi dan
hidup kembali dengan nama baru; Islam Liberal. Keyakinan itu dulu pernah
diusung oleh golongan yang pernah menguasai pemerintahan, yaitu Muktazilah.
Tentu saja, Islam Liberal bukan 100 % Muktazilah.
Begitulah sejarah teologi Islam hidup.
Keyakinan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, bertabrakan dengan banyak
sekali lempengan keyakinan yang berasal dari luar Islam. Sehingga para ulama
sejak masa awal berusaha melakukan penolakan dan pembentengan dengan
menjelaskan kesalahan dan perbedaan keyakinan mereka dengan apa yang ada pada
masa Rasulullah saw.
***
Mehamami Makna Salaf
Sangat logis bahwa yang paling pantas
menafsiri al-Quran adalah orang yang membawa al-Quran itu sendiri, Nabi
Muhammad saw. Beliaulah yang paling memahami apa yang dimaksud dalam al-Quran.
Jelas.
Dan sangat rasional bahwa yang paling
mengerti pada apa yang dikehendaki Nabi saw adalah para sahabatnya. Mereka
paham betul pada kondisi sosiologis-psikologis saat itu, karakter lawan bicara
(mukhâtab) dalam teks hadis, dan hal-hal lain yang tak tertulis dalam teks.
Saksi sejarah jelas lebih paham dari sekadar peneliti sejarah.
Pun begitu dengan tabiin dan tabi tabiin.
Mereka hidup saat Islam masih belum (banyak) digempur oleh bidah-bidah dari
luar Islam.
Selain itu, mereka juga memiliki karakter
bahasa Arab yang masih murni, sehingga lebih kuat dalam memahami nash al-Quran
dan Hadis, misalnya intensitas penekanan kata perintah, atau konotasi makna
dari suatu kata.
Dalam sebuah Hadis sahih Rasulullah saw
bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah zamanku, lalu orang-orang setelahnya,
lalu orang-orang setelahnya. Kemudian datanglah golongan-golongan yang
persaksiannya mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya” Tiga
generasi awal itulah yang disebut dengan salaf, yaitu masa Rasulullah saw
beserta sahabat, masa tabiin, dan masa tabi tabiin. Merekalah golongan yang
dipastikan baik oleh Rasulullah saw. Sehingga golongan manapun yang berusaha
untuk sama dengan mereka, juga akan berada dalam kebaikan seperti mereka.
Golongan-golongan itu disebut dengan pengikut salaf atau salafi. Maka salafi
bukanlah nama dari suatu golongan tertentu seperti yang diklaim oleh kaum
Wahhabi, melainkan nama dari golongan manapun yang berusaha untuk meniru tiga
generasi awal umat Islam.
Perubahan Sistematis
Tiga generasi itu, meski tak lebih dari tiga
abad, telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan di sana-sini.
Perubahan-meski beragam-membentuk satu warna; mempertahankan kebenaran agar
Islam tetap sama seperti awal munculnya.
Dalam ranah akidah, awalnya para sahabat
tidak berani untuk bertanya tentang hal-hal ghaib yang tak bisa diketahui
kecuali dari wahyu, semisal qadhâ’-qadr dan rûh. Namun di masa tabiin, seiring
dengan masuk Islamnya orang-orang non-arab yang telah memiliki keyakinan
nyeleneh sebelumnya, para sahabat banyak melakukan perdebatan tentang tema-tema
‘sakral’ itu. Tidak lain, demi menjaga akidah yang benar.
Dalam ranah fikih, sebuah hadis tentang
larangan banyak tanya, membuat para sahabat enggan bertanya tentang hukum yang
belum ada penjelasannya, karena takut terjerembab pada ancaman dosa di hadis
tersebut. Penggunaan akal (baca ra’yu) dalam memutuskan hukum juga merupakan
hal yang aneh saat itu. Namun, saat Islam telah menyebar ke berbagai negara,
mau tidak mau, akal digunakan dalam ‘memperlebar’ hukum fikih. Abdullah bin
abbas ra misalnya, setelah hijrah ke Iraq justru dikenal dengan pakar ra’yu
dalam memutuskan hukum, padahal di Makkah beliau sangat enggan menggunakannya,
bahkan juga melarangnya. Sekali lagi, itu tidak lain untuk menjaga syariat
Islam agar tetap sesuai dengan ‘keinginan langit’.
Selanjutnya di masa tabiin-atau
tabiit-tabiin-muncullah al-fiqh al-fardi (hukum fikih terhadap kasus fiktif).
Imam Abu Hanifah dikenal dengan sebagai pelopornya. Dan akhirnya Imam Syafii
melakukan kodifikasi aturan mengolah fikih (baca ushul fikih) pertama kali yang
sebenarnya telah diterapkan sejak masa Nabi saw. Lalu di masa ulama khalaf
(ulama setelah salaf), muncul pula al-qawâid al-fiqhiyah (benang merah dari
beberapa hukum yang telah ditetapkan oleh ulama fikih). Itu semua sangat
penting perannya dalam menjaga fikih, agar hukum Islam tidak ditetapkan secara
serampangan oleh orang yang tidak paham. Karena tentu saja, fikih bukanlah
hukum ciptaan manusia yang bisa ditetapkan atas dasar kesepakatan, tapi fikih
adalah aturan Tuhan (baca: nash).
Dalam ranah tasawuf, memang istilah-istilah
seperti fanâ’, jadzb, syathh, tidak muncul pada tiga generasi itu, bahkan kata
tasawuf sendiri pun juga masih dipertentangkan berasal dari mana. Namun, itu
tidak berarti tasawuf hanya buatan atau campuran filsafat Yunani. Imam Malik
yang tergolong seorang tabiit tabiin mengungkapkan, “Siapa yang [melaksanakan]
fikih tapi tidak bertasawuf, maka dia fasik. Dan siapa yang bertasawuf tapi
tidak [melaksanakan] fikih, maka dia kafir zindiq.” Perkataan Imam Malik ini
menunjukkan bahwa penggunaan kata tasawuf memang telah ada sejak masa salaf,
lebih-lebih tentang perilaku tasawuf itu sendiri.
Seorang sahabat bernama Suhaib ar-Rumi
ditahan oleh Quraisy Makkah, hingga dia tidak bisa menyusul Rasulullah saw ke
Madinah, kecuali menyerahkan seluruh hartanya. Maka ia tinggalkan harta, demi
mencari ridha Allah dengan berhijrah ke Madinah. Maka turunlah ayat, “Dan di
antara orang-orang ada seorang yang menjual dirinya demi mencari ridha Allah”
(QS. Al-Baqarah [2]: 207)
Kisah Suhaib ini adalah contoh bagaimana para
sahabat melakukan banyak cara demi mencari ridha Allah. Dan itu merupakan ruh
dari tasawuf.
Barulah pada masa pasca salaf,
istilah-istilah dalam dunia tasawuf muncul. Ragam pembahasan tentang sifat dan
hati mulai marak. Tujuannya adalah sama seperti apa yang dilakukan oleh para
sahabat, yaitu menyucikan hati dan ikhlas mencari ridha ilahi.
Membangun Benteng
Ketika Nabi saw masih ada, dialog dan
perdebatan tentang akidah menjadi hal yang tabu. Pemahaman terhadap ayat
al-Quran dan hadis yang mutasyabih jarang-kalau enggan berkata tidak ada-yang
memiliki pemikiran nyeleneh. Akan tetapi, seiring waktu, dengan semakin
banyaknya orang masuk Islam, dan kian banyaknya ‘pemikiran’ baru di benak
mereka, maka dialog, penjelasan, penakwilan, dan perumusan keyakinan dilakukan
sebagai langkah antisipatif agar tidak terjadi kesalahan dalam meyakini akidah
Islam.
Sejak masa sahabat saja, banyak dari mereka
melakukan dialog dan perdebatan terhadap orang yang salah keyakinan. Ambil saja
sebagai contoh, Ali bin Abi Thalib ra yang berdialog dengan seorang bapak tua
dari Syam tentang Qadha dan Qadar. Padahal terdapat perintah Hadis Nabi saw
untuk tidak berdialog tentang Qadar (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Misalnya juga
penakwilan Abdullah bin Abbas ra terhadap kata ayd (Adz-Dzariyat [17]: 47)
dengan makna kekuatan dan Mujahid ra yang menakwil kata wajhullâh (al-Baqarah [2]:
115) dengan kiblat.
Belum lagi dialog dan bantahan yang dilakukan
oleh tokoh-tokoh tabiin semacam Hasan al-Basri, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman
bin Yasar, Atha’ bin Abi Rabbah, Thawus bin Kaisan, dan lain sebagainya.
Lalu saat pemerintah dikuasai kelompok
Muktazilah dan memaksakan pemikirannya sekitar tahun 260 H, plus golongan
Qadariyah yang juga merajalela dengan keyakinan menyimpangnya, semisal bahwa
kebaikan adalah ciptaan Allah, sedangkan keburukan adalah dari setan. Maka Abu
Hasan al-Asyari-dan dilanjutkan oleh muridnya al-Maturidi-tampil memberikan
penolakan pemikiran dengan banyak melakukan dialog dan perdebatan. Mereka
menjelaskan bagaimana keyakinan para sahabat dan tabiin serta bukti al-Quran,
Hadis, dan data histori. Maka dari itu muncullah ilmu kalam yang mencakup
rumusan-rumusan akidah seputar sifat Allah, qadhâ’-qadr, dan hal lain. Rumusan
ini tidak lebih dari sekadar terminologi (pengistilahan) terhadap keyakinan
yang telah ada sejak masa Nabi saw, seperti halnya ilmu nahwu sebagai terminologi
gramatika bahasa Arab.
Selanjutnya pada kisaran abad ke-3 sampai 5
hijriah, ilmu filsafat mencuat ke permukaan. Informasi tentang filsafat Yunani
kian hangat di dunia pemikiran Islam. Pemahaman tentang Tuhan, sifat-Nya, agama
sebagai bagian sosilogis masyarakat, alam semesta, sains, dan lain sebagainya
banyak berseberangan dengan apa yang ada pada Islam. Maka Imam Ghazali hadir
sebagai penyeleksi ilmu filsafat-setelah sebelumnya beberapa ulama melakukan
penolakan dan bantahan. Imam Ghazali memilah mana bagian filsafat yang sesuai
dengan pemikiran Islam dan mana yang tidak. Rumusan beliau menjadi rujukan
untuk memasukkan filsafat ke dalam dunia Islam. Hingga saat ini, filsafat telah
beradaptasi dengan Islam dan menjadi bagian dari studi keilmuan Islam.
Begitu pula dengan ulama kontemporer. Islam
bergesekan dengan pemikiran baru yang jarang dibahas dalam ilmu kalam
sebelumnya, semisal kesetaraan gender, pluralisme, reinkarnasi, atau juga
pemikiran lama yang tampil dengan wajah baru, semisal takdir di tangan manusia,
kematian Tuhan, ateisme. Para ulama melakukan penolakan, perumusan, penjelasan
pemikiran Islam tentang topik-topik tersebut agar semua itu bisa lebur pada
pemikiran Islam yang benar.
Walhasil, begitu ragamnya perubahan yang
terjadi pada tiga generasi itu telah melahirkan konsep-konsep dalam berbagai
segmen kehidupan islami. Konsep itu tak lain adalah untuk menyelaraskan
perilaku umat di zaman berikutnya agar sama dengan Islam saat pertama kali
turun. Dan siapapun yang bergerak untuk memahami konsep itu lalu
mempraktekkannya dalam kehidupan, maka dialah salafi atau pengikut salaf.
Wallahu a’lam. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Langganan:
Postingan (Atom)