Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
EFEKTIVITAS Instruksi presiden (Inpres) No.
2/2013 tentang penanganan konflik dan keamanan langung diuji beberapa hari setelah
diterbitkan. Mengacu pada rusuh pascapengumuman pemenang Pemilihan Gubernur
Sulawesi Selatan (Sulsel), Inpres ini nyata-nyata tidak efektif menjaga
stabilitas dan ketertiban umum.
Ketika memberi pembekalan pada rapat kerja
pemerintah tahun 2013, Senin (28/1) di Jakarta, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) mengumumkankan, "Hari ini saya mengeluarkan Inpres
Nomor 2 Tahun 2013…”. Dengan terbitnya inpres ini, presiden minta aparat
keamanan tidak ragu lagi bertindak, dan Polri tidak terlambat mengantisipasi
gangguan keamanan. Aparat keamanan diberi wewenang menangani konflik
komunal atau aksi kekerasan dengan tegas dan tuntas.
Tiga hari kemudian, tepatnya Kamis (31/1),
situasi keamanan dan ketertiban kota Makassar tak menentu. Walaupun dikatakan
masih kondusif, suasana kota mencekam karena suhu politik sedang memanas,
mengiringi rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel di sebuah hotel. Hari
itu, warga Sulsel akan tahu siapa pemenang pemilihan Gubernur yang pemungutan
suaranya dilaksanakan beberapa hari sebelumnya.
Sekitar pukul 16.00 WITA, kerusuhan akhirnya
meledak pascapleno rekapitulasi penghitungan suara Pemilukada Sulsel 2013.
Ribuan orang bersenjata batu, parang, dan panah terlibat bentrok, Beberapa kali
terdengar bunyi tembakan. Ada tiga korban luka dalam bentrokan antarmassa
pendukung calon gubernur di Jl Lasinrang, Makassar. Menurut calon gubernur
nomor urut satu, Ilham Arief Sirajuddin, kerusuhan pecah karena polisi setempat
tidak tegas.
Keamanan dan ketertiban umum di kota Makassar
memang sudah pulih. Tetapi, skala kerusuhan itu semestinya bisa diturunkan.
Karenanya, dalam konteks efektivitas dan implementasi Inpres
No.2/2013, rusuh di Makassar itu otomatis melahirkan pertanyaan tentang
kesigapan dan cara aparat keamanan setempat mengantisipasi berbagai kemungkinan
yang tidak diinginkan.
Mencegah bentrok antarkelompok massa, atau
memperkecil skala kerusuhan, tentunya akan jauh lebih baik dibandingkan dengan
bertindak melerai dua kelompok massa yang sedang menggelar bentrok berdarah.
Langkah preventif itu diyakini sangat bisa dilakukan, dan sudah pasti
akan efektif, bila kepala daerah dan aparat keamanan setempat mengenali
betul karakter warga, membangun suasana dialogis dengan semua elemen
masyarakat, dan membangun kesadaran bersama akan pentingnya menjaga keamanan
dan ketertiban umum.
Selain itu, Kepala daerah dan jajarannya
hingga di tingkat kelurahan serta RT/RW harus mau membangun sinergi dengan
aparat keamanan pada radius terdekat. Misalnya, Polsek atau pos polisi
terdekat. Dengan pendekatan yang sederhana seperti ini, jajaran Pemerintah
daerah dan aparat keamanan setempat akan berkemampuan merekam dinamika
masyarakat dari waktu ke waktu, termasuk potensi gangguan terhadap keamanan dan
ketertiban umum.
Dari rekaman dinamika masyarakat itulah
Kepala daerah dan pimpinan aparat keamanan setempat bisa merumuskan
langkah-langkah preventif guna menghilangkan potensi bentrok antarkelompok
warga. Begitu juga ketika harus menyiapkan kekuatan dan peralatan sebagai
antisipasi manakala bentrok antarkelompok benar-benar tak dapat dihindarkan.
Skala kerusuhan di Makassar mestinya bisa
diperkecil oleh jajaran Pemda dan aparat keamanan setempat, karena sudah ada
peristiwa-peristiwa kecil yang mendahuluinya. Apalagi, latarbelakangnya terkait
dengan pelaksanan dan hasil Pemilukada. Pengalaman mengajarkan bahwa selalu
saja ada elemen warga yang tidak puas atas jalannya Pemilukada, melampiaskan
ketidakpuasan mereka dengan cara-cara di luar koridor hukum.
Ditambah lagi dengan faktor karakter
warga. Seperti halnya Jakarta, Makassar termasuk kota yang paling sering
diwarnai aksi unjuk rasa yang berujung pada bentrok pengunjuk rasa dengan
aparat keamanan. Kalau faktor-faktor ini sudah diantisipasi dan
dikalkulasi dengan cermat, skala kerusuhan setidaknya bisa diperkecil
sehingga tidak harus membuat suasana kota mencekam.
Mencegah Konflik
Inpres No.2/2013 tentang penanganan konflik
dan keamanan memang dirasakan tidak efektif menjaga stabilitas dan ketertiban
umum di daerah rawan konflik. Sebab, Inpres itu antisipati. Ketika mengumumkan
Inpres itu, Presiden juga menegaskan bahwa Inpres baru ini bertujuan
meningkatkan efektivitas penanganan gangguan keamanan di seluruh tanah air.
Sebagaimana penjelasan Menteri Dalam
Negeri Gamawan Fauzi, Inpres No.2/2013 memosisikan kepala daerah sebagai koordinator
penanganan konflik.
Aparatur negara di wilayah konflik baru
bergerak atau bekerja setelah konflik terjadi atau di tengah bara konflik.
Artinya, aparatur Pemda dan keamanan setempat dalam posisi menunggu terjadinya
konflik. Maka, Inpres No.2/2013 akan berfungsi atau dijalankan pada saat
konflik terjadi.
Oleh karena itu, Inpres No.2/2013 tidak
efektif untuk menjaga stabilitas dan ketertiban umum di wilayah rawan konflik.
Sebab, idealnya. aparatur pemerintah daerah (Pemda) dan kepolisian daerah semestinya
pro aktif mencegah konflik.
Seharusnya, presiden melengkapi Inpres
No.2/2013 dengan menerbitkan instruksi lain yang berisi perintah kepada
semua kepala daerah dan aparat keamanan daerah untuk pro aktif mencegah
terjadinya konflik. Sebagaimana diketahui bersama, dalam tahun-tahun terakhir
ini, terorisme, konflik horizontal, aksi kekerasan oleh sekelompok massa
dan benturan sosial begitu sering terjadi di sejumlah daerah. Masyarakat
merasakan ketidaknyamanan itu, dan mengeluhkan situasi keamanan dan ketertiban
umum yang tidak terjaga.
Kalau ada kepedulian dari pemerintah pusat
dan daerah, serta aparat keamanan pada semua tingkatan, konflik horizontal dan
aksi kekerasan bisa diminimalisir. Sebab, semua tragedi konflik dan aksi
kekerasan tidak terjadi dengan tiba-tiba. Selalu saja ada peristiwa-peristiwa
yang mendahuluinya, yang bisa dijadikan dasar pertimbangan bagi pemerintah
untuk melakukan tindakan preventif, serta mengantisipasi kemungkinan terburuk.
Warga di daerah rawan konflik tidak ingin
lagi diselimuti perasaan was-was. Aparat keamanan pun sudah lelah melerai
konflik. Maka, kewajiban pemerintah mewujudkan keamanan dan ketertiban umum
harus diubah orientasinya. Bukan lagi melerai dengan pendekatan keamanan,
melainkan berorientasi pada langkah-langkah preventif, mencegah terjadinya
gangguan keamanan dan ketertiban umum.
Satu-satunya cara adalah peningkatan
kemampuan aparatur Pemda dan keamanan daerah merekam dinamika masyarakat di
wilayahnya masing-masing. Sebab, dari dinamika masyarakat itulah bisa muncul
indikator-indikator tentang potensi gangguan keamanan dan ketertiban umum.
Apalagi, pemerintah sendiri sudah memiliki
data tentang daerah rawan konflik. Kementerian Dalam Negeri mencatat, Per
2010 terdata 93 konflik dan per 2011 sebanyak 77 konflik. Pada periode
Januari-Agustus 2012, terjadi 89 konflik. Sedangkan menurut Kementerian
Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dari 183 daerah tertinggal, 143 di
antaranya daerah rawan konflik.
Maka, prioritas atau upaya maksimal
pencegahan konflik horizontal semestinya difokuskan pada daerah-daerah yang
telah terdata oleh Kemendagri dan Kementerian PDT itu. Aparatur Pemda dan
keamanan daerah harus mau turun ke bawah, mendata potensi konflik, mengupayakan
dialog serta mendorong pihak-pihak yang bertikai untuk musyawarah mufakat.
Kalau peran aparatur Pemda dan keamanan
daerah efektif mencegah konflik horizontal, stabilitas dan ketertiban umum di
daerah otomatis terjaga alias kondusif. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar