Duta Masjarakat
Duta Masjarakat adalah koran milik Partai
Nahdlatul Ulama. Koran ini digagas oleh KH A. Wahid Hasjim, setelah NU keluar
dari Masjumi dan menjadi partai politik sendiri.
Seperti koran pada zamannya, Duta Masjarakat diterbitkan untuk kepentingan menyebarkan gagasan-gagasan dan aspirasi partai menjelang Pemilu 1955. Nama Duta Masyarakat (DM) menjadi satu-satunya yang telah dipilih dalam rapat PBNU waktu itu.
DM awalnya bermodalkan sebuah percetakan tua milik PBNU di Jalan Sasak 23 Surabaya dan gedungnya yang terletak di Senayan Jakarta. Karena percetakan ini tidak memadai, dibelilah percetakan baru dengan cara kredit. Percetakan di Senayan ini berada di bawah Yayasan Mu’awanah, nama yang digunakan Wahid Hasjim untuk mengenang jasa-jasa KH Mahfudz Siddiq, ketua PBNU yang pada akhir hidupnya dikenal sebagai perintis gerakan Mu’awanah (tolong menolong). Dengan modal Yayasan Mu’awanah, A.A. Achsien, Zainul Arifin, dan Jamaluddin Malik mendirikan PT Timbul yang menerbitkan harian DM bekerjasama dengan N.V. Pertjetakan.
DM diluncurkan pertama kali tanggal 2 Januari 1954. Adapun tujuan diterbitkannya harian ini menurut surat edaran yang ditujukan kepada Pengurus Cabang NU se-Indonesia adalah:
“...sebagai terompet dan alat penghubung diantara kita sehingga kita dapat gambaran yang terang terhadap berbagai persoalan yang timbul dalam berbagai lapangan dan dapat dipegang pula sebagai bahan pertimbangan dalam menghadapi persoalan seperti saat ini...”
DM berkantor di Menteng Raya, Jakarta, Tromol Pos 166. Berhaluan Islam dan mengantongi izin terbit tanggal 31 Oktober 1958 No. 81/109/PPDSIDR/958 beserta SIPK 1602/A/1575. Asa Bafagih duduk sebagai Pemimpin Redaksi dibantu A. Zakaria, dan A. Hasan Sutardjo, M. Djunaidi, Dachlan Rasjidi, dan Husin Bafagih sebagai Staf Redaksi.
Asa Bafagih adalah jurnalis berpangalaman, yang bersama rekannya Adam Malik dan Suadi Tasrif berperan menyiarkan kemerdekaan Indonesia tahun 1945 ke seluruh negeri melalui kantor berita Domei milik Jepang, tempat mereka bekerja sebelumnya. Asa yang banyak berkelana ke luar negeri ini adalah sosok di balik Induk Karangan, tajuk DM yang berfungsi sebagai penyampai pokok pikiran dan sikap harian terhadap segala peristiwa yang terjadi dan dimuat dalam beritanya.
Belakangan susunan dewan redaksi ini berubah menjadi Haji Achmad Sjalela, Chamid Widjaya, dan S.W. Subroto, Sementara penanggung jawabnya Aminuddin Aziz. Saifuddin Zuhri mengetuai dewan redaksi yang beranggotakan Mahbub Djunaidi dan Aminiddun Aziz.
Saifuddin Zuhri, yang kemudian menjadi menteri agama, adalah organisatoris yang ulung dan kiai yang penulis. Di tangannya DM menjadi lebih profesional dan benar-benar menjadi lidah partai.
Penerusnya, Mahbub Djunaidi adalah kolomnis dan sastrawan yang cemerlang. Di bawah kepemimpinannya, DM menjadi koran yang elegan dan berwibawa. Ia, sebagaimana NU, adalah pendukung tulus Soekarno, tetapi pada saat yang sama tidak kehilangan kritisisme terhadap kepemimpinan ‘demokrasi terpimpin’ yang dijalankan pemimpin besar tersebut. Prinsip keseimbangan dalam berpolitik yang dijalankan NU dan juga menjadi semboyan DM, dijalankan dengan lincah dan hebat.
DM memiliki semboyan “Menggalang Kerjasama Islam-Nasional.” Semboyan ini mewakili keinginan partai untuk menghapuskan atau setidaknya menengahi kontestasi politik yang keras antara, baik aliran kiri maupun aliran kanan, golongan sipil maupun militer. Semboyan DM tersebut tidak terlepas dari kecenderungan politik nasional yang sangat sektarian saat itu.
Di samping berisi berita untuk dan tentang partai, DM juga mencoba untuk mengetengahkan berita yang murni informasi kepada pembacanya. Hal ini mengingat pembacanya yang terdiri dari berbagai kalangan, di samping anggota partai sendiri. Mereka adalah pemimpin-pemimpin partai, para menteri, perwakilan negara asing, perwakilan partai di luar negeri, pihak tentara, polisi, jawatan-jawatan, dan lain-lain dalam masyarakat.
Perbandingan jumlah pelanggan DM antara yang berada di dalam dan luar kota adalah sebesar 59% dan 41%. Angka ini relatif berimbang jika dibandingkan dengan prosentase penyebaran surat kabar yang lain. Posisi ini hanya bisa dicapai oleh surat kabar berhaluan sosialis seperti Pedoman, Keng Po dan liberal seperti Merdeka, Times of Indonesia, Indonesian Observer serta Bintang Timur yang juga mempunyai massa pembaca yang berimbang dengan prosentase yang tidak terpaut jauh. Abadi yang merupakan surat kabar berhaluan agama dengan tiras terbesar, justru lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat luar kota.
Dalam pembiayaannya, di samping subsidi harga kertas koran dari pemerintah, DM juga mendapat sokongan dari partai hingga kurang lebih 50%. Selain itu, DM berupaya mendapatkan pemasukan dari iklan. Salah satu pemasok iklan terbesar adalah Presdir DM sendiri yaitu Jamaluddin Malik, salah seorang dari sedikit konglomerat Indonesia pada masa itu. Usahanya meliputi impor dan distribusi perfilman yang mempunyai cabang di Surabaya, Balikpapan, dan Samarinda dan merupakan pemasok suku cadang elektronik seperti motor, generator diesel, alat-alat pertanian, serta mengekspor hasil bumi seperti kopi, teh, karet, dan lain sebagainya. Di samping itu, dia juga mempunyai kontak dagang dengan luar negeri seperti Inggris, Jepang, dan Filipina. Selain itu, ada pula perusahaan keturunan Tionghoa yang memasang iklan pada edisi awal DM seperti Oey Gwan Tjiang Trading Company Limited.
Otoritas PBNU terhadap DM memang dominan, karena media ini merupakan suara partai. Tak heran jika segala tindakan yang diambil DM senantiasa berkaitan dengan kebijakan partai. DM juga mempunyai legalitas untuk mencari pola distribusi melalui kekuatan partai seperti dengan surat-surat instruksi.
Keterkaitan yang kental ini juga bisa dilihat dari jabatan redaksional yang memenuhi struktur pengelola DM. Orang-orang seperti Saifuddin Zuhri, A.A. Achsien, A. Syaichu merupakan orang-orang yang aktif di partai NU sekaligus menjabat sebagai Dewan Redaksi DM. Kalaupun tidak secara langsung terlibat dalam struktur, paling tidak orang tersebut dikenal dekat dengan sumber-sumber paling berkompeten di lingkungan NU.
Dalam situasi politik dan ekonomi yang tidak menentu era itu, adalah biasa surat kabar menghentikan penerbitannya, untuk kemudian terbit lagi setelah segala sesuatunya dianggap memungkinkan. DM pada masa-masa sesudah pemilu senantiasa melalui fase-fase pasang surut.
Kesulitan yang dialami DM, menurut PBNU, di samping faktor ekstern juga berpangkal dari faktor intern. Harian yang banyak dibaca kalangan luar NU, termasuk politisi negeri ini ternyata kurang mendapat perhatian dari warganya sendiri. PBNU telah beberapa kali mengeluarkan instruksi, namun pelanggan dari kalangan partai NU sendiri masih belum bisa mencapai 50% dari jumlah total pelanggan secara keseluruhan. Alasan yang sering dikemukakan antara lain DM kurang pedas, terlalu dingin, dan sebagainya.
Menjawab kritik warga ini, PBNU memberi alasan bahwa tulisan DM yang kurang pedas itu memang sejalan dengan garis kebijaksanaan NU yang senantiasa menggunakan politik “billatie hiya achsan”, dengan tetap teguh memegang prinsip akhlaqul karimah. DM sengaja tidak menggunakan cara-cara yang main hantam untuk menarik simpati dari kalangan luar NU. Dengan simbolik, PBNU melalui surat yang ditandatangani KH Idham Khalid sebagai ketua umum dan H. Saifuddin Zuhri sebagai sekjen mengatakan:
...Ingatlah bahwa tujuan membidik dengan peluru, ialah agar supaya mengenai sasarannya dengan tepat, sekalipun letusan peluru tidak berbunyi sama sekali! Kami bukanlah orang yang memuaskan hatinya sendiri karena letusan peluru itu sangat nyaring sekedar nyaring, tetapi tidak mengenai sasarannya, apalagi yang meledak sebelum dibidikkan dan berakibat mengenai diri kita sendiri...!
Untuk masalah keterlambatan edisi seperti dikeluhkan warga, PBNU mengembalikan persoalan pada esensi sebuah koran partai. Koran partai sebagai konsumsi warga, tidak harus dicari semata-mata dari sisi aktualnya, tapi yang paling utama adalah mengerti sikap dan perasaan yang hidup di kalangan partai, seperti tersirat pada pemberitaan dan uraian tajuk-tajuknya.
Di akhir pemerintahan Orde Lama, DM masih bisa eksis di saat media massa lain banyak tumbang karena pembredelan. Pada masa transisi antara Orde Lama dan Orde Baru, DM juga banyak dimanfaatkan oleh para budayawan Manikebu ketika berkonfrontasi dengan kalangan PKI dan Lekra. Meskipun pada akhirnya DM bisa meraih posisi prestisius sebagai satu dari sedikit media partai peninggalan Orde Lama yang masih hidup, harian ini tak bisa meloloskan diri dari restriksi negara. Setelah memberitakan hasil pemungutan suara pada Pemilu 1971 dari hasil investigasi di TPS-TPS (Tempat Pemungutan Suara), DM harus mulai mewaspadai hidupnya. Angka yang diperoleh di TPS dan sumber resmi yang dikeluarkan pemerintah dimuat dalam DM.
Tentu saja ini menimbulkan situasi yang kontroversial, karena angka hasil investigasi dan sumber resmi pemerintah tidak sama. Menurut Anshari Sjams, Pemimpin Redaksi terakhir DM menggantikan Mahbub Junaidi, kolomnis yang juga anggota DPR, pangkal persoalan inilah yang akhirnya membuat DM dibredel. Edisi terakhir DM yang berhasil ditemukan di perpustakaan Nasional bertanggal 30 Oktober 1971.
(Hairus Salim Hs)
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar