Membumikan Kepemimpinan
Profetik
Oleh: Wasid Mansyur*
Ingar bingar perayaan Maulid Nabi tampak di
berbagai daerah dengan ragam ekspresi. Semangat ritual tahunan ini menandakan
rasa syukur atas kelahiran Nabi, setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal dalam kalender
Islam.
Mengapa harus disyukuri, sebab Nabi adalah sosok yang patut diteladani atas usahanya menancapkan nilai-nilai etik bagi kehidupan manusia.
Secara hakiki, momentum Maulid ini tidak akan terasa maknanya, bila hanya merasa puas pada ritual semata. Perlu refleksi secara total sudahkan kita benar-benar mencintai Nabi dengan cinta yang sungguh-sunguh. Cinta yang tidak cukup hanya men-senandungkan shalawat, tapi dibuktikan dengan prilaku nyata meneladani etika kenabian dalam kehidupan bermasyarakat.
Salah satu etika kenabian itu adalah persoalan kepemimpinan. Pasalnya, Nabi adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin umat. Kepemimpinannya tidak hanya dirasakan bagi komunitasnya sendiri, tapi juga bagi komunitas lain. Kepemimpinan mengutamakan maslahah, bukan kepemimpinan yang menebarkan mafsadah.
Persoalan kepemimpinan penting dibicarakan di tengah parpol lagi ramai-ramainya mencari calon legislatif yang akan dikontestasikan pada pemilu tahun 2014. Logika popularitas nampaknya menjadi tumpuan parpol dalam menentukan caleg dengan perolehan suara. Tidak salah bila kemudian banyak artis dilamar parpol tertentu demi mendulang suara sebanyak-banyaknya.
Hal lainnya adalah persoalan korupsi yang melilit negeri ini. Kepemimpinan bangsa perlu sosok yang memiliki integritas dalam membangun negeri, bukan mereka yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan memperkaya diri dan mengabdi pada nafsu. Pemimpin korup adalah musuh bersama yang harus singkirkan agar tidak semakin memperpuruk kehidupan berbangsa.
Sebagai bangsa yang beragama, saatnya kita sadar dan tulus untuk belajar dan mengaca diri terhadap model kesuksesan Nabi dalam memimpin umat dengan keragaman agama dan suku di kota Madinah sebagaimana diabadikan dalam perjanjian antar umat (piagam Madinah). Ini penting, agar semangat keberagamaan itu mampu menancapkan nilai-nilai etik bagi kehidupan bermasyarakat.
Harmoni Kepemimpinan
Pemimpin publik harusnya mampu memberikan secerca harapan nyata bagi perubahan masyarakatnya. Pasalnya, hubungan pemimpin dengan masyarakatnya adalah hubungan yang saling mengikat dalam bingkai amanah, bukan sekedar usai kampanye usai pula tanggung jawab sosial. Pemimpin ada sebab masyarakat mau memilih dan menitipkan amanah pada dirinya.
Hubungan ini yang semakin hari melemah dari kultur perpolitikan kita, dengan diwarnai berbagai macam korupsi oleh pejabat publik. Menjangkitnya budaya korup menggambarkan ada problem rapuhnya integritas dalam kepemimpinan bangsa ini sehingga harus dipikir bersama agar kelak tidak terperosot dalam jurang yang sama.
Momentum Maulid patut menjadi renungan bagaimana meneladani kepemimpinan Nabi. Sekalipun Nabi, Muhammad adalah manusia biasa yang kepemimpinannya juga dijalankan dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan dengan ragam perbedaan yang dihadapinya.
Sebagai upaya meneladaninya, ada dua etika kenabian yang layak diteruskan dalam merangkai kepemimpinan masa depan, yaitu kecerdasan (fathanah) dan prinsip tanggung jawab sosial. Etika kenabian ini, menurut penulis, mampu menjadikan Nabi diterima sebagai pemimpin umat dari pada para pimpinan suku yang lain.
Kecerdasan tidaklah diukur oleh jenis kelamin laki-laki atau perempuan, tapi diukur sejauh mana pemimpin itu mampu memiliki rancangan yang jelas dalam menentukan kebijakannya. Rancangan yang dimaksud selalu mengedepankan maslahah bagi masyarakat yang dipimpinya, bukan rancangan asal-asalan, untuk tidak mengatakan sekedar agar anggaran cair.
Pemimpin yang korup acal kali lupa terhadap etika ini. Memang kebijakan yang dibuat telah melalui uji publik dan diskusi panjang, tapi pada tingkatan implementasi kebijakan selalu tunduk pada siapa yang bayar. Akibatnya, lagi-lagi rakyat selalu dirugikan sebagaimana kasus korupsi Hambalang yang sampai hari ini belum tuntas tertangkap siapa sebenarnya dalangnya.
Prinsip tangggung jawab sosial tidak akan ada tanpa sifat sidiq (jujur), tabligh (menyampaikan) dan amanah (dipercaya). Hilangnya transparansi dalam mengawal kepemimpinan berujung pada hilangnya tanggung jawab sosial seorang pemimpin. Akibatnya, kekuasan selalu berselingkuh dengan penguasa sebab dari situ keduanya saling menikmati perselingkuhan.
Etika kepemimpinan ala Nabi pada akhirnya adalah sumber profetik yang telah terpraktikkan sepanjang kehidupannya. Meneladani etika ini adalah keniscayaan bagi Muslim dengan penafsiran masa kini sebab hanya dengan nilai-nilai etik tersebut, menurut penulis, Nabi akhirnya ditempatkan pada posisi pertama di antara 100 tokoh dunia yang paling berpangaruh di dunia sebagaimna disebutkan oleh Michael H. Hart (1978).
*Aktivis Lakpesdam NU Kota Surabaya; Pengurus
Pesma IAIN Sunan Ampel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar