Penegakan Hukum Ala
Film Detektif
Amien Sunaryadi
sebagai salah seorang pemimpin KPK sebenarnya sudah lama mengusulkan kepada
semua pemimpin lainnya agar dugaan korupsi di Bulog segera dibawa ke pengadilan
karena sudah cukup bukti. Namun, sampai berbulan - bulan pemimpin yang lain
tidak menyetujuinya, padahal untuk membawa kasus ke pengadilan di KPK harus
dengan persetujuan semua pemimpinnya secara kolektif
Karena
merasa macet di KPK, diam-diam Amien berinisiatif menawarkan kasus itu ke
Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Hendarman Supandji setuju menerima kasus itu dan
meminta Amien membantunya menggiring ke pengadilan dengan segala skenario yang
diperlukan. Kata skenario ini diberi tanda petik karena penegak hukum harus
bermain kucing - kucingan dengan Widjanarko untuk mengungkap kasus itu.
Ditengarai
kuat bahwa Widjanarko mempunyai orang di kantor KPK karena, setiap kali akan
digeledah, dia sepertinya sudah tahu. Buktinya, sebelum dilakukan
penggeledahan, dia memindahkan barang-barangnya ke tempat lain sehingga
penggeledahan menjadi gagal.
Akhirnya
dijadwalkanlah rencana penggeledahan ke kantor Bulog, tapi sengaja rencana ini
dibiarkan bocor kepada Widjanarko. Namun, dalam waktu yang bersamaan Amien
mengirim orang untuk mengintip ke mana barang-barang bukti itu akan diungsikan
oleh Widjanarko setelah mengetahui rencana penggeledahan itu dari informannya
yang ada di kantor KPK. Penggeledahan menjadi berhasil karena langsung
dilakukan ke tempat penyembunyian barang-barang bukti. Widjanarko sama sekali
tak menduga bahwa tempat itu sudah diketahui oleh penggeledah yang
mengimbanginya bermain kucing-kucingan.
Kita
tahu, kemudian kasus Bulog itu menjadi berita spektakuler, baik karena jumlah
korupsinya yang sangat besar maupun karena keterlibatan orang-orangnya,
termasuk drama penyembunyian dokumen dan uang di ember-ember kamar mandi di
rumah Widjanarko.
Apes
tanpa Backing Politik
Masalah
penegakan hukum terkait dengan banyak aspek. Namun, catatan akhir tahun 2007
ini memfokuskan diri pada masalah korupsi sebagai masalah yang sekarang paling
menggidikkan. Di luar soal korupsi ada aspek-aspek tertentu yang harus secara
jujur dinilai cukup berhasil. Dari kepolisian kita mencatat keberhasilan perang
terhadap terorisme dan perjudian, sedangkan dari Mahkamah Konstitusi kita
mencatat keberhasilannya dalam mengawal konsistensi undangundang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam usianya yang belum lima tahun, MK sudah
berhasil memutus sekitar 120 judicial review yang dari vonis sebanyak itu hanya
ada kira-kira tiga atau empat vonis yang benar-benar kontroversial dan mendapat
banyak protes.
Kutipan
kisah Amien di atas dapat menggambarkan bahwa hampir keseluruhan problem
penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia adalah busuknya birokrasi
penegak hukum dan tengara intervensi politik. Penegakan hukum korupsi tak
efektif, bahkan banyak yang dinilai gagal, karena birokrasi penegak hukum busuk
dari dalam yang ditandai dengan banyaknya antek-antek koruptor di dalamnya.
Penegakan hukum korupsi juga tak efektif karena dalam banyak hal dirasakan
adanya tebang pilih karena intervensi politik.
Ada
kesan kuat bahwa koruptor yang terjerat oleh hukum dan dapat dipenjarakan pada
umumnya adalah mereka yang apes karena tak punya backing politik. Sedangkan
mereka yang punya backing politik, baik karena posisi politiknya sendiri maupun
karena kemampuannya membeli backing, dapat terus tenang-tenang dan berpidato
tentang reformasi ke sana kemari di depan publik. Terkesan kuat bahwa koruptor
yang terjerat oleh hukum pada umumnya bukanlah karena suatu proses penanganan
hukum yang terencana dan sistematis, melainkan karena apes, tak punya backing
politik.
Maka
wajar jika hasil survei Transparency International Indonesia (TII) dalam
beberapa tahun terakhir tetap menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara
yang paling korup dengan corruption perception index (CPI) paling tinggi 2,6.
Pembusukan
Aparat
Bersamaan
dengan intervensi politik, upaya penegakan hukum menghadapi pembusukan dari
dalam aparat penegak hukum sendiri. Para koruptor membangun kolusinya melalui
orang-orang bayaran di aparat penegak hukum untuk menjamin keselamatannya atau
mendapat informasi agar dapat menyelamatkan diri.
Sudah
menjadi rahasia umum, banyak pengacara sekarang ini yang dalam menangani kasus
korupsi tidak lagi mengandalkan kecerdasan dalam membangun argumen hukum.
Namun, mereka menggunakan kolusi politik dan kemampuan untuk membeli aparat
penegak hukum sehingga kasus korupsi bisa diambangkan sampai lenyap dari
perhatian, dibiarkan tenggelam oleh bermunculannnya kasus-kasus lain, atau
diberi SP3 tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Bahkan
ada pengacara yang bangga menceritakan kemampuannya memesan majelis hakim atau
jaksa yang akan menangani perkaranya di pengadilan. Teman saya yang berhenti
sebagai hakim karena kejujurannya menceritakan bahwa di pengadilan-pengadilan
ada juga kebiasaan ijon, yakni pemesanan perkara yang belum masuk ke pengadilan
oleh hakim-hakim tertentu kepada ketua pengadilan agar kalau perkara itu nanti
masuk ke pengadilan dapat diserahkan kepada dirinya. Perkara yang di-ijon pada
umumnya menyangkut korupsi dan sengketa perdata yang nilai uangnya sangat
besar. Di sinilah banyak transaksi perkara dengan segala pengaturannya melalui
mafia peradilan (judicial corruption).
KPK
adalah lembaga penegak hukum yang dengan segala kekurangannya relatif berhasil
melakukan pemberantasan korupsi, terutama jika dibandingkan dengan aparat yang
lain. Tapi, seperti terekam dari cerita Amien di atas, di lembaga baru seperti
KPK pun masih ada antek koruptor. Maka jangan heran kalau banyak orang yang
sinis dan mencibir ketika Ketua MA Bagir Manan mengatakan bahwa di MA sudah
tidak ada mafia peradilan. Jangan juga heran jika banyak kasus besar di
Kepolisian RI, semisal rekening-rekening spektakuler, tak ketahuan lagi
kabarnya karena tak pernah dikasuskan tanpa penjelasan yang dapat diterima.
Ketika
berkunjung ke daerah, saya mendapat laporan ada aparat kejaksaan yang
mencari-cari kasus dengan motif pemerasan, semisal mau memeriksa administrasi
keuangan suatu instansi. Untuk memeras, mereka secara sepihak mau mengambil
alih fungsi Badan Pemeriksa Keuangan dalam memeriksa penggunaan keuangan
negara.
Pemimpin
negarawan
Menakar
situasi di atas, penegakan hukum ala detektif dengan cara luar biasa seperti
penyadapan dan penjebakan tampaknya menjadi pilihan yang masih diperlukan
setelah kita meninggalkan tahun 2007 ini. Cara inilah yang terbukti berhasil
menggelandang Mulyana Kusumah, Irawady Joenoes, Hudori, dan Widjanarko ke
pengadilan.
Namun,
kerja-kerja ala detektif itu tidak akan efektif juga jika politik masih
dibiarkan mempengaruhi penegakan hukum sehingga menimbulkan kesan tebang pilih.
Di sinilah letak pentingnya pemimpin negarawan yang berani tegas tanpa pandang
bulu dan tanpa perhitungan untung-rugi politik sebagai politikus. []
Moh. Mahfud MD, Ketua
Mahkamah Konstitusi RI
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar