Meninggalkan Eksotisme, Menuju Kekuatan
Tropikal
Ketika buah impor dari RRT membanjiri pasar
Indonesia, apa yang harus kita perbuat? Mencegah saja dengan cara melarang atau
mengenakan bea masuk yang tinggi tentu tidak cukup. Apalagi,
ada ketentuan internasional yang tidak sembarangan bisa dilanggar.
Mengimbau agar tidak
menyajikan buah impor memang baik, tapi juga belum cukup. Bersumpah untuk tidak
makan buah impor seperti yang dilakukan dengan gagah berani oleh bupati
Kulonprogo yang dokter itu memang heroik, tapi juga masih perlu jutaan hero
lainnya.
Apa yang bisa
dilakukan BUMN? Sebagai korporasi besar, BUMN bisa membantu banyak. Melalui
aksi-aksi korporasi yang nyata. Misalnya terjun ke agrobuah secara
besar-besaran dengan pendekatan korporasi.
Indonesia sebenarnya
tidak perlu bersaing frontal dengan Tiongkok. Terutama di bidang buah. Dua
negara besar itu bisa ambil posisi saling isi dan saling melengkapi. Tiongkok
dengan empat musimnya memiliki kelemahan pokok: tidak mungkin bisa memproduksi
buah tropis. Sebaliknya, Indonesia, negara tropis yang terbesar di dunia, bisa
menghasilkan buah tropis seberapa banyak pun.
Maka, ketika
Indonesia menjadi pasar buah impor dari Tiongkok, pada dasarnya yang masuk ke
Indonesia adalah sebatas buah nontropis: apel, anggur, jeruk, pir, dan
seterusnya. Seharusnya kita juga bisa menjadikan Tiongkok sebagai pasar yang
besar untuk buah-buah tropis dari Indonesia: pisang, manggis, durian, avokad,
dan seterusnya. Tiongkok tidak mampu menghasilkan jenis buah-buah tersebut.
Sayangnya, kita hanya
bisa marah melihat kenyataan membanjirnya buah impor. Padahal, sebenarnya kita
bisa berbuat banyak tanpa harus marah.
Kadang kita sudah
sangat bangga dengan menyebutkan bahwa kita memiliki kekayaan buah-buah tropis
yang eksotis. Gelar eksotis itu memang memabukkan, tapi juga membelenggu.
Dengan gelar eksotis, berarti kita akan mempertahankan jumlahnya yang terbatas.
Ibarat menjual daerah wisata, ini adalah wisata penyelaman. Menarik, tapi
terbatas. Tidak bisa masal.
Maka, memasalkan buah
tropis adalah kunci penting untuk bisa membalas menyerbu Tiongkok. Kita tidak
bisa menyerbu Tiongkok dengan gelar eksotis itu.
Suatu saat saya
mengunjungi pasar induk yang raksasa di Guangzhou. Saya masuk ke zona
buah-buahan di pasar induk itu. Saya mencari di blok mana ada manggis. Saya mengelilingi
berblok-blok pasar induk itu. Saya mengamati ratusan kontainer yang penuh
berbagai buah Thailand di situ. Saya tidak menemukan manggis dan buah dari
Indonesia lainnya.
Setelah berjam-jam di
situ, saya baru menemukan manggis yang hampir saja tidak kelihatan karena hanya
satu peti kayu kecil. Saya bolak-balik peti itu. Betul. Manggis Indonesia. Saya
temukan pengirimnya: Denpasar, Bali.
Saya juga sudah
mengunjungi pasar induk di Qingdao, Shandong. Juga di Tianjin. Sama. Tidak ada
buah tropis dari Indonesia.
Pengalaman itu terus
terbayang memenuhi pikiran saya. Maka, ketika saya diangkat menjadi menteri
BUMN, saya terus memikirkan apa yang bisa diperbuat. Sampai suatu ketika saya
mendapat tamu istimewa: Rektor IPB Prof Dr Herry Suhardiyanto MSc dan serombongan
doktor dari kampus di Bogor itu.
Pak Rektor mengajukan
ide buah tropis. Wow! Ini dia! Tumbu ketemu tutup!
Langsung saya
ceritakan pengalaman saya itu. Hari itu juga keputusan diambil: BUMN bekerja sama dengan IPB mengembangkan buah tropis besar-besaran.
Ahli-ahli IPB dan Kepala Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB Prof Dr Ir Sobir MSi
menyusun konsep ilmiah dan kajian pelaksanaannya. Termasuk memilih buah tropis
apa saja yang akan dikembangkan.
Saya minta fokus saja
pada tiga atau empat jenis buah dulu. Jangan menanam semua jenis sehingga
kehilangan fokus.
Setelah tiga kali
pertemuan, disepakati mengembangkan tiga jenis dulu: manggis, durian, dan
pisang. IPB sudah memiliki ahli manggis yang cukup kuat di bawah koordinasi Dr
Ir Sobir. Tim Dr Sobir itu sudah menyiapkan jenis-jenis manggis unggulan. Juga
durian unggulan.
Tahun ini juga
pengembangan buah tropis berbasis korporasi itu harus sudah dimulai. Lokasi
awalnya di Jawa Barat di bawah PTPN VIII. Saat tim IPB menyiapkan kajian, direksi PTPN VIII di bawah pimpinan Dirut-nya, Ir Dadi Sunardi,
menyiapkan lahannya.
Penanaman buah tropis
itu tidak akan tanggung-tanggung. Tanaman manggisnya akan mencapai 3.000
hektare (ha). Duriannya juga 3.000 ha. Pisangnya kurang lebih sama.
Kalau program itu
nanti berhasil, inilah perkebunan khas Indonesia, konsep Indonesia, dan untuk
kepentingan Indonesia. Semua perkebunan yang ada selama ini adalah konsep
Belanda, oleh Belanda, dan untuk Belanda: teh, gula, sawit, karet, tembakau
na-oogst. Belanda tidak mewariskan perkebunan buah tropis untuk kita.
Kian tahun perkebunan
buah tropis tersebut harus kian besar. Juga kian luas jangkauannya. Mulai Medan
sampai Papua. Dengan demikian, pasokannya kian panjang.
Menurut ahli dari
IPB, ketika wilayah Medan memasuki masa panen, kebun di Sumsel baru berbuah dan
kebun di Jawa baru berbunga. Medan habis panen, Sulawesi baru kuncup.
Begitulah. Berputar hampir sepanjang tahun. Panjangnya wilayah Indonesia bisa
membuat masa panennya pun panjang.
Teman-teman di PTPN
VIII kini lagi kerja keras menyiapkan sebuah perubahan besar. Dari hanya mengelola teh dan karet, kini harus ahli juga menanam manggis,
durian, dan pisang.
Bagi IPB, ini juga
bersejarah! Menemukan model dan jenis perkebunan khas Indonesia demi Indonesia!
Karena itu, IPB akan me-launching program itu dalam sebuah acara besar di
Bogor.
Saatnya negara tropis
memiliki kekuatan buah tropikalnya! Lupakan kebanggaan eksotisnya! Nikmati
kekuatan serbunya! (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar