Perjuangan Mendirikan Muslimat NU
Ketika gerakaan perempuan marak tahun 1990-an
orang tidak pernah lagi menengok bahkan melupakan bagaimana pergerakan wanita
Indonesia, terutama di lingkungan NU terbentuk. Seolah pergerakan wanita hanya
sebagai bagian dari agenda demokrasi yang digerakkan oleh negara-negara Barat.
Sementara sejarah pergerakan wanita NU
memiliki akar kesejarahan panjang dengan pergunulan yang amat sengit yang
akhirnya memunculkan berbagai gerakan wanita baik Muslimat, fatayat hingga
Ikatan pelajar putri NU.
Sejarah mencatat bahwa kongres NU di Menes
tahun 1938 itu merupakan forum yang memiliki arti tersendiri bagi proses
katalisis terbentuknya organisasi Muslimat NU. Sejak kelahirannya di tahun
1926, NU adalah organisasi yang anggotanya hanyalah kaum laki-laki belaka.
Para ulama NU saat itu masih berpendapat
bahwa wanita belum masanya aktif di organisasi. Anggapan bahwa ruang gerak
wanita cukuplah di rumah saja masih kuat melekat pada umumnya warga NU saat
itu. Hal itu terus berlangsung hingga terjadi polarisasi pendapat yang cukup
hangat tentang perlu tidaknya wanita berkecimpung dalam organisasi.
Dalam kongres itu, untuk pertama kalinya
tampil seorang muslimat NU di atas podium, berbicara tentang perlunya wanita NU
mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki dalam menerima didikan agama
melalui organisasi NU. Verslag kongres NU XIII mencatat : Pada hari Rebo ddo :
15 Juni 1938 sekira poekoel 3 habis dhohor telah dilangsoengkan openbare
vergadering (dari kongres) bagi kaoem iboe. Tentang tempat kaoem iboe dan kaoem
bapak jang memegang pimpinan dan wakil-wakil pemerintah adalah terpisah satoe
dengan lainnja dengan batas kain poetih.
Sejak kongres NU di Menes, wanita telah
secara resmi diterima menjadi anggota NU meskipun sifat keanggotannya hanya
sebagai pendengar dan pengikut saja, tanpa diperbolehkan menduduki kursi
kepengurusan. Hal seperti itu terus berlangsung hingga Kongres NU XV di
Surabaya tahun 1940.
Dalam kongres tersebut terjadi pembahasan
yang cukup sengit tentang usulan Muslimat yang hendak menjadi bagian
tersendiri, mempunyai kepengurusan tersendiri dalam tubuh NU. Dahlan termasuk
pihak-pihak yang secara gigih memperjuangkan agar usulan tersebut bisa diterima
peserta kongres. Begitu tajamnya pro-kontra menyangkut penerimaan usulan
tersebut, sehingga kongres sepakat menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah
untuk diputuskan.
Sehari sebelum kongres ditutup, kata sepakat
menyangkut penerimaan Muslimat belum lagi didapat. Dahlanlah yang berupaya
keras membuat semacam pernyataan penerimaan Muslimat untuk ditandatangani
Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahab Hasbullah. Dengan adanya
secarik kertas sebagai tanda persetujuan kedua tokoh besar NU itu, proses
penerimaan dapat berjalan dengan lancar.
Bersama A. Aziz Dijar, Dahlan pulalah yang
terlibat secara penuh dalam penyusunan peraturan khusus yang menjadi cikal
bakal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU di kemudian hari.
Bersamaan dengan hari penutupan kongres NU XVI, organisasi Muslimat NU secara
resmi dibentuk, tepatnya tanggla 29 Maret 1946 / 26 Rabiul Akhir 1365.
Sebagai ketuanya dipilih Chadidjah Dahlan
asal Pasuruan, isteri Dahlan. Ia merupakan salah seorang wanita di lingkungan
NU itu selama dua tahun yakni sampai Oktober 1948. Sebuah rintisan yang sangat
berharga dalam memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya di lingkungan NU,
sehingga keberadaannya diakui dunia internasional, terutama dalam
kepeloporannya di bidang gerakan wanita. (BA-MDZ)
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar