Akidah Islam: Histori Awal
dan Alur Mayoritas
Oleh: Ahmad Biyadi
Faktor Munculnya Perbedaan
Seperti dalam ramalan bahwa Islam akan
terpecah dalam begitu banyak aliran. Perbedaan keyakinan terjadi tidak lama
setelah ramalan diucapkan. Pada abad pertama, di masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib mulai muncul benih golongan pemberontak yang kemudian dikenal dengan
Khawarij.
Faktor politik menjadi alasan utama mereka
memberontak. Tapi itu berujung pada perdebatan pemikiran, utamanya tentang
status pelaku dosa besar, apakah masih dianggap muslim ataukah kafir. Seiring
waktu, golongan ini menyinggung ranah teologi tentang bagaimana status pelaku
dosa besar. Apakah mereka muslim ataukah telah kafir. Perdebatan pun muncul.
Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar diimbangi oleh golongan Murji’ah
yang ‘kebablasan’ dengan berpendapat perbuatan dosa sama sekali tak berpengaruh
pada status kafir atau muslim.
Perdebatan itu merembet pada tema-tema
tentang takdir, kekuatan manusia, dan sifat Tuhan, yang membawa para tokoh pada
akhir abad pertama hijriah dalam perbedaan pendapat. Sejak saat itu, banyak di
antara mereka memunculkan pemikiran-pemikiran baru tentang tema-tema tersebut.
Hingga muncullah pendapat-pendapat yang kerap kali ada kemiripan dengan
keyakinan di luar Islam. Misalnya di Persia, ada keyakinan bahwa manusia adalah
penguasa terhadap dirinya dan Tuhan sama sekali tidak berhak menentukan
perbuatan manusia. Keyakinan ini menyusup dan berbuah menjadi paham Qadariyah.
Kemudian lawan dari paham ini muncul dan dikenal dengan paham Jabariyah atau
Jahmiyah.
Pengkultusan kepada tokoh yang dilakukan oleh
orang Yahudi diusung oleh seorang penyusup yang pura-pura masuk Islam bernama
Abdullah bin Saba’ dan akhirnya memunculkan paham Syiah. Seiring waktu, Syiah
terus berkembang dan akhirnya melahirkan banyak aliran sempalan, satu di antaranya
adalah Batiniyah yang pernah berkuasa di berbagai belahan negara Islam.
Begitulah, aliran-aliran itu muncul dan
berusaha menabrak keyakinan-keyakinan yang telah ada pada mayoritas umat Islam
saat itu. Para ulama berusaha melakukan penolakan dan bantahan. Sehingga
sebagian besar dari golongan itu kalah dan dibasmi oleh pemerintah, seperti
Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah. Sebagian lagi justru dapat mengambil alih
kekuasaan dan terus berkembang dalam waktu yang lama, bahkan mungkin hingga
saat ini, misalnya Bathiniyah dan Syiah.
Mungkin saja aliran-aliran itu telah musnah
berabad-abad yang lalu. Tapi pola pemikiran dan keyakinan salah mereka bisa
saja muncul di suatu titik sejarah dengan berbagai macam perkawinan silang
keyakinan. Misalnya keyakinan tentang pengkultusan seseorang yang pernah
dilakukan oleh Bathiniyah, dengan menganggap pemimpinnya adalah seorang nabi,
muncul kembali dengan wajah baru; Ahmadiyah.
Otoritas kuasa bagi manusia dan Tuhan tak
memiliki wewenang dalam menciptakan perbuatan manusia seolah berenkarnasi dan
hidup kembali dengan nama baru; Islam Liberal. Keyakinan itu dulu pernah
diusung oleh golongan yang pernah menguasai pemerintahan, yaitu Muktazilah.
Tentu saja, Islam Liberal bukan 100 % Muktazilah.
Begitulah sejarah teologi Islam hidup.
Keyakinan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, bertabrakan dengan banyak
sekali lempengan keyakinan yang berasal dari luar Islam. Sehingga para ulama
sejak masa awal berusaha melakukan penolakan dan pembentengan dengan
menjelaskan kesalahan dan perbedaan keyakinan mereka dengan apa yang ada pada
masa Rasulullah saw.
***
Mehamami Makna Salaf
Sangat logis bahwa yang paling pantas
menafsiri al-Quran adalah orang yang membawa al-Quran itu sendiri, Nabi
Muhammad saw. Beliaulah yang paling memahami apa yang dimaksud dalam al-Quran.
Jelas.
Dan sangat rasional bahwa yang paling
mengerti pada apa yang dikehendaki Nabi saw adalah para sahabatnya. Mereka
paham betul pada kondisi sosiologis-psikologis saat itu, karakter lawan bicara
(mukhâtab) dalam teks hadis, dan hal-hal lain yang tak tertulis dalam teks.
Saksi sejarah jelas lebih paham dari sekadar peneliti sejarah.
Pun begitu dengan tabiin dan tabi tabiin.
Mereka hidup saat Islam masih belum (banyak) digempur oleh bidah-bidah dari
luar Islam.
Selain itu, mereka juga memiliki karakter
bahasa Arab yang masih murni, sehingga lebih kuat dalam memahami nash al-Quran
dan Hadis, misalnya intensitas penekanan kata perintah, atau konotasi makna
dari suatu kata.
Dalam sebuah Hadis sahih Rasulullah saw
bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah zamanku, lalu orang-orang setelahnya,
lalu orang-orang setelahnya. Kemudian datanglah golongan-golongan yang
persaksiannya mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya” Tiga
generasi awal itulah yang disebut dengan salaf, yaitu masa Rasulullah saw
beserta sahabat, masa tabiin, dan masa tabi tabiin. Merekalah golongan yang
dipastikan baik oleh Rasulullah saw. Sehingga golongan manapun yang berusaha
untuk sama dengan mereka, juga akan berada dalam kebaikan seperti mereka.
Golongan-golongan itu disebut dengan pengikut salaf atau salafi. Maka salafi
bukanlah nama dari suatu golongan tertentu seperti yang diklaim oleh kaum
Wahhabi, melainkan nama dari golongan manapun yang berusaha untuk meniru tiga
generasi awal umat Islam.
Perubahan Sistematis
Tiga generasi itu, meski tak lebih dari tiga
abad, telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan di sana-sini.
Perubahan-meski beragam-membentuk satu warna; mempertahankan kebenaran agar
Islam tetap sama seperti awal munculnya.
Dalam ranah akidah, awalnya para sahabat
tidak berani untuk bertanya tentang hal-hal ghaib yang tak bisa diketahui
kecuali dari wahyu, semisal qadhâ’-qadr dan rûh. Namun di masa tabiin, seiring
dengan masuk Islamnya orang-orang non-arab yang telah memiliki keyakinan
nyeleneh sebelumnya, para sahabat banyak melakukan perdebatan tentang tema-tema
‘sakral’ itu. Tidak lain, demi menjaga akidah yang benar.
Dalam ranah fikih, sebuah hadis tentang
larangan banyak tanya, membuat para sahabat enggan bertanya tentang hukum yang
belum ada penjelasannya, karena takut terjerembab pada ancaman dosa di hadis
tersebut. Penggunaan akal (baca ra’yu) dalam memutuskan hukum juga merupakan
hal yang aneh saat itu. Namun, saat Islam telah menyebar ke berbagai negara,
mau tidak mau, akal digunakan dalam ‘memperlebar’ hukum fikih. Abdullah bin
abbas ra misalnya, setelah hijrah ke Iraq justru dikenal dengan pakar ra’yu
dalam memutuskan hukum, padahal di Makkah beliau sangat enggan menggunakannya,
bahkan juga melarangnya. Sekali lagi, itu tidak lain untuk menjaga syariat
Islam agar tetap sesuai dengan ‘keinginan langit’.
Selanjutnya di masa tabiin-atau
tabiit-tabiin-muncullah al-fiqh al-fardi (hukum fikih terhadap kasus fiktif).
Imam Abu Hanifah dikenal dengan sebagai pelopornya. Dan akhirnya Imam Syafii
melakukan kodifikasi aturan mengolah fikih (baca ushul fikih) pertama kali yang
sebenarnya telah diterapkan sejak masa Nabi saw. Lalu di masa ulama khalaf
(ulama setelah salaf), muncul pula al-qawâid al-fiqhiyah (benang merah dari
beberapa hukum yang telah ditetapkan oleh ulama fikih). Itu semua sangat
penting perannya dalam menjaga fikih, agar hukum Islam tidak ditetapkan secara
serampangan oleh orang yang tidak paham. Karena tentu saja, fikih bukanlah
hukum ciptaan manusia yang bisa ditetapkan atas dasar kesepakatan, tapi fikih
adalah aturan Tuhan (baca: nash).
Dalam ranah tasawuf, memang istilah-istilah
seperti fanâ’, jadzb, syathh, tidak muncul pada tiga generasi itu, bahkan kata
tasawuf sendiri pun juga masih dipertentangkan berasal dari mana. Namun, itu
tidak berarti tasawuf hanya buatan atau campuran filsafat Yunani. Imam Malik
yang tergolong seorang tabiit tabiin mengungkapkan, “Siapa yang [melaksanakan]
fikih tapi tidak bertasawuf, maka dia fasik. Dan siapa yang bertasawuf tapi
tidak [melaksanakan] fikih, maka dia kafir zindiq.” Perkataan Imam Malik ini
menunjukkan bahwa penggunaan kata tasawuf memang telah ada sejak masa salaf,
lebih-lebih tentang perilaku tasawuf itu sendiri.
Seorang sahabat bernama Suhaib ar-Rumi
ditahan oleh Quraisy Makkah, hingga dia tidak bisa menyusul Rasulullah saw ke
Madinah, kecuali menyerahkan seluruh hartanya. Maka ia tinggalkan harta, demi
mencari ridha Allah dengan berhijrah ke Madinah. Maka turunlah ayat, “Dan di
antara orang-orang ada seorang yang menjual dirinya demi mencari ridha Allah”
(QS. Al-Baqarah [2]: 207)
Kisah Suhaib ini adalah contoh bagaimana para
sahabat melakukan banyak cara demi mencari ridha Allah. Dan itu merupakan ruh
dari tasawuf.
Barulah pada masa pasca salaf,
istilah-istilah dalam dunia tasawuf muncul. Ragam pembahasan tentang sifat dan
hati mulai marak. Tujuannya adalah sama seperti apa yang dilakukan oleh para
sahabat, yaitu menyucikan hati dan ikhlas mencari ridha ilahi.
Membangun Benteng
Ketika Nabi saw masih ada, dialog dan
perdebatan tentang akidah menjadi hal yang tabu. Pemahaman terhadap ayat
al-Quran dan hadis yang mutasyabih jarang-kalau enggan berkata tidak ada-yang
memiliki pemikiran nyeleneh. Akan tetapi, seiring waktu, dengan semakin
banyaknya orang masuk Islam, dan kian banyaknya ‘pemikiran’ baru di benak
mereka, maka dialog, penjelasan, penakwilan, dan perumusan keyakinan dilakukan
sebagai langkah antisipatif agar tidak terjadi kesalahan dalam meyakini akidah
Islam.
Sejak masa sahabat saja, banyak dari mereka
melakukan dialog dan perdebatan terhadap orang yang salah keyakinan. Ambil saja
sebagai contoh, Ali bin Abi Thalib ra yang berdialog dengan seorang bapak tua
dari Syam tentang Qadha dan Qadar. Padahal terdapat perintah Hadis Nabi saw
untuk tidak berdialog tentang Qadar (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Misalnya juga
penakwilan Abdullah bin Abbas ra terhadap kata ayd (Adz-Dzariyat [17]: 47)
dengan makna kekuatan dan Mujahid ra yang menakwil kata wajhullâh (al-Baqarah [2]:
115) dengan kiblat.
Belum lagi dialog dan bantahan yang dilakukan
oleh tokoh-tokoh tabiin semacam Hasan al-Basri, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman
bin Yasar, Atha’ bin Abi Rabbah, Thawus bin Kaisan, dan lain sebagainya.
Lalu saat pemerintah dikuasai kelompok
Muktazilah dan memaksakan pemikirannya sekitar tahun 260 H, plus golongan
Qadariyah yang juga merajalela dengan keyakinan menyimpangnya, semisal bahwa
kebaikan adalah ciptaan Allah, sedangkan keburukan adalah dari setan. Maka Abu
Hasan al-Asyari-dan dilanjutkan oleh muridnya al-Maturidi-tampil memberikan
penolakan pemikiran dengan banyak melakukan dialog dan perdebatan. Mereka
menjelaskan bagaimana keyakinan para sahabat dan tabiin serta bukti al-Quran,
Hadis, dan data histori. Maka dari itu muncullah ilmu kalam yang mencakup
rumusan-rumusan akidah seputar sifat Allah, qadhâ’-qadr, dan hal lain. Rumusan
ini tidak lebih dari sekadar terminologi (pengistilahan) terhadap keyakinan
yang telah ada sejak masa Nabi saw, seperti halnya ilmu nahwu sebagai terminologi
gramatika bahasa Arab.
Selanjutnya pada kisaran abad ke-3 sampai 5
hijriah, ilmu filsafat mencuat ke permukaan. Informasi tentang filsafat Yunani
kian hangat di dunia pemikiran Islam. Pemahaman tentang Tuhan, sifat-Nya, agama
sebagai bagian sosilogis masyarakat, alam semesta, sains, dan lain sebagainya
banyak berseberangan dengan apa yang ada pada Islam. Maka Imam Ghazali hadir
sebagai penyeleksi ilmu filsafat-setelah sebelumnya beberapa ulama melakukan
penolakan dan bantahan. Imam Ghazali memilah mana bagian filsafat yang sesuai
dengan pemikiran Islam dan mana yang tidak. Rumusan beliau menjadi rujukan
untuk memasukkan filsafat ke dalam dunia Islam. Hingga saat ini, filsafat telah
beradaptasi dengan Islam dan menjadi bagian dari studi keilmuan Islam.
Begitu pula dengan ulama kontemporer. Islam
bergesekan dengan pemikiran baru yang jarang dibahas dalam ilmu kalam
sebelumnya, semisal kesetaraan gender, pluralisme, reinkarnasi, atau juga
pemikiran lama yang tampil dengan wajah baru, semisal takdir di tangan manusia,
kematian Tuhan, ateisme. Para ulama melakukan penolakan, perumusan, penjelasan
pemikiran Islam tentang topik-topik tersebut agar semua itu bisa lebur pada
pemikiran Islam yang benar.
Walhasil, begitu ragamnya perubahan yang
terjadi pada tiga generasi itu telah melahirkan konsep-konsep dalam berbagai
segmen kehidupan islami. Konsep itu tak lain adalah untuk menyelaraskan
perilaku umat di zaman berikutnya agar sama dengan Islam saat pertama kali
turun. Dan siapapun yang bergerak untuk memahami konsep itu lalu
mempraktekkannya dalam kehidupan, maka dialah salafi atau pengikut salaf.
Wallahu a’lam. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar