Balada Gratifikasi
Importasi
Kamis, 07/02/2013 11:31
Aneka Krisis 2012 adalah pelajaran yang telah
disajikan oleh garam, beras, gula, jagung, kedelai dan sapi. Melalui fakta
pembangunan yang terang benderang, segala targeting indah potensi swasembada
susunan kabinet KIB-II, telah dicederai sendiri oleh KIB-II.
Bunuh diri terjadi melalui beragam kebijakan
kontradiktif, yang tidak sekedar bermakna kontraproduktif, tetapi bermakna
penggembosan dengan modus pemikiran yang nyaris seragam, mulai degaramisasi
sampai desapinisasi.
Memasuki 2013 membawa kenangan bahwa Bangsa Agraris Indonesia sepertinya tidak pernah lepas dari krisis pangan. Blunder kebijakan, atau lebih tepatnya pembijakan importasi, terjadi silih berganti bagai sebuah audisi campursari. Pembijakan itupun berpotensi melahirkan balada gratifikasi importasi yang nggegirisi ketika ternyata dikapling-kapling sebagai ATM politisi dan birokrasi. Pembijakan importasi menyajikan banyak indikasi bahwa urusan pangan RI sarat demoralisasi.
Memasuki 2013 membawa kenangan bahwa Bangsa
Agraris Indonesia sepertinya tidak pernah lepas dari krisis pangan. Blunder
kebijakan, atau lebih tepatnya pembijakan importasi, terjadi silih berganti
bagai sebuah audisi campursari. Pembijakan itupun berpotensi melahirkan balada
gratifikasi importasi yang nggegirisi ketika ternyata dikapling-kapling sebagai
ATM politisi dan birokrasi. Pembijakan importasi menyajikan banyak indikasi
bahwa urusan pangan RI sarat demoralisasi.
Demoralisasi Pembijakan Importasi
Disebut demoralisasi karena jelas bahwa degaramisasi sampai desapinisasi, sepenuhnya terjadi akibat: (i) inkonsistensi kebijakan yang disebutkan, yaitu target pembangunan yang digembosi sendiri; (ii) keseluruhan pengingkaran pembangunan dimaksud, nyaris terjadi seragam: keputusan KIB-II yang didikte segelintir nekolim, komprador, yaitu segelintir orang yang menjadi kepanjangan tangan pemanfaatkan RI.
Faktanya? Madura kebanjiran garam import, surplus beras tetapi import, penghapusan cukai kedele import, tebu rakyat kebanjiran gula mentah import, jagung berbasis benih import, dan membengkaknya lagi kuota sapi import. Kemudahan importasi diputuskan bukan sekedar berbasis penawaran-permintaan, tetapi berbasis pesanan dan tekanan komprador. Maraknya kisruh pangan pokok, diramaikan pula oleh krisis abadi importasi sejumlah produk horti hari-hari ini. Legitimasi semua balada pembijakan itu adalah fakta dan data pasar sulapan yang mudah direkayasa.
Importasi memang urusan dagang biasa akibat beda harga yang hakekatnya halal. Dalam proses bernegara dan hubungan antar negara, importasi berpotensi moral hazard, kebejatan kebijakan yang terjadi karena berkait dengan konsesi dan lisensi untuk bisa meraup rejeki dari beda harga dalam importasi. Rente ekonomi yang luar biasa tinggi dalam importasi, mengakibatkan makin berharganya konsesi dan lisensi. Tidak berlebihan kalau urusan keduanya disiasati para importir dan komprador dengan kekuatan uang, politik dan kekuasaan untuk menjinakkan pengatur importasi.
Krisis telah terjadi melalui penjinakan dengan dukungan rekayasa pasar, mobilisasi pelaku ekonomi, menggerakkan pekerja dan pelaku usaha tingkat basis, gratifikasi birokrasi dan politisi, bahkan sampai rekayasan legislasi. Itulah modus pembenaran importasi. Kalau hari ini terungkap gratifikasi importasi daging sapi, sebenarnya barulah sebuah fakta mini yang teramat kecil, sebagai upeti atas konsesi sekitar 10 persen saja dalam importasi sapi. Bagaimana yang 90 persen importasi sapi?
Bagaimana pula dengan komoditas pangan lainnya? Realitasnya, importasi komoditas lain ini tidak kalah jumlahnya dengan importasi daging sapi yang hanya 85.000 ton. Statistik importasi menunjukkan bahwa importasi beras 2011 mencapai hampir 2 juta ton dan 2012 mencapai 1,3 juta ton, importasi kedele yang setahunnya mencapai 1,6 juta ton, dan importasi garam yang tempoh hari sampai 65 persen dari total konsumsi dalam negeri. Gejalanya, mirip dengan urusan benih jagung, industri gula rafinasi dan gula mentah, gandum dan terigu, dan puluhan horti, yang terperangkap hobi importasi yang super memprihatinkan bagi pembangunan sektor pangan dalam negeri.
Keprihatinan PBNU
Sebagai pemilik konsesi NKRI, sungguh masuk akal ketika PBNU memperkarakan ini dalam berbagai pembijakan importasi karena menilai bahwa demoralisasi telah terjadi, dan setidaknya berada tiga tingkatan: (i) kemunafikan: karena program pembangunan yang digembosi sendiri; (ii) ketidakadilan: basis penggembosan pembangunan adalah syahwat rejeki importasi; dan (iii) krisis kemashlatan: kesejahteraan ummat tani dikebiri, padahal justru merupakan tugas utama Pemimpin.
Kecuali tingginya potensi demoraliasi atau moral hazard yang telah disampaikan, tidak kalah pentingnya adalah krisis kerangka pikir yang jangka pendek dan sangat parsial. Persoalan tata-niaga pangan adalah urusan jangka panjang, berkenaan dengan kepentingan bangsa dan kedaulatan-kemandirian, serta berimplikasi multidimensi. Selama ini pemikiran tentang imoportasi selalu insidental dan finansial semata.
Keputusan importasi seharusnya tidak berdimensi tunggal dengan potensi syahwat rente. Ketika faktanya ada beda, maka adalah tugas Negara untuk menjawab: mengapa terjadi disparitas harga. Bukan justru ikut mengambil manfaat pribadi dan kelompok, melalui jual diri kewenangan dan kekuasaan pengaturan importasi. Beda harga bukan semata isu finansial karena dalam perbedaan tsb ada pengaruh: subsidi-proteksi, kebijakan tataniaga, kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan legal, dsb.
Dalam keprihatinan importasi, sudah waktunya PBNU mendesak Pemerintah bahwasanya urusan importasi pangan bukan sekedar finansial dan insidental, karena berkaitan dengan kemashlahatan, kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi PBNU, dalam sebutir pangan terdapat urusan politik dan sosial, urusan kedaulatan, urusan hak asasi, urusan keadilan, dan bahkan urusan spiritualitas.
Untuk tidak menjadi semakin politisnya gratifikasi daging sapi, sudah waktunya pula PBNU sebagai pengawal moral terdepan NKRI, mendesak dilakukannya auditing lebih menyeluruh oleh KPK terhadap pembijakan importasi untuk semua komoditi. Indikasi teoritis dan implementatifnya sudah super jelas. Hanya fakta legalnya yang sembunyi.
PBNU sebagai pengawal NKRI, pasti tidak akan pernah membiarkan urusan pangan NKRI ini terkontaminisasi rente, syahwat, dan aneka gratifikasi... na’udzu billaaah...
* Ketua PBNU, guru besar Pertanian UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar