Jangan Putar Balik
Jarum Amandemen UUD
Belakangan ini kita
banyak berita tentang adanya gerakan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli setelah
UUD tersebut diubah (diamandemen) sampai empat kali. Padahal dulunya untuk
mengubah UUD itu susahnya setengah mati. Di masa lalu UUD 1945 yang asli,
meminjam istilah yang dipergunakan Syafii Maarif, diberhalakan; siapa pun yang
berbicara amandemen atas UUD 1945 menjadi tak aman, tak nyenyak tidur, dan
diancam sebagai pelaku subversi.
Perjuangan
untuk bisa mengubah UUD 1945 memakan waktu lama dan perlu banyak pengorbanan
yang berpuncak pada Reformasi 1998 yang spektakuler itu. Setelah itu demokrasi
tumbuh, UUD bisa diamandemen sesuai dengan fitrahnya. Berkat reformasi yang
menjebol tembok penghalang dilakukannya amandemen, sekarang ini siapa pun boleh
mempersoalkan UUD yang sedang berlaku tanpa harus takut ditangkap.
UUD
1945 Asli Timbulkan Otoritarianisme
Alasan
amandemen UUD karena secara real politik dan akademis UUD 1945 yang asli tak
pernah dan tak mungkin melahirkan pemerintahan demokratis. Tak bisa dibantah
oleh siapapun bahwa sepanjang sejarah Indonesia pada periode-periode berlakunya
UUD 1945 di Indonesia, selalu tampil pemerintahan otoriter dan antidemokrasi.
Jika
dilihat dari periode sistem politik, UUD 1945 pernah berlaku dalam tiga periode
yang berbeda, yaitu periode 1945-1959, periode 1959-1966, dan periode
1966-1998/1999. Untuk periode pertama pernah berlaku tiga UUD yaitu UUD 1945,
Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950.
Ketika
UUD 1945 berlaku pada era Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) dan era Orde Baru
(Demokrasi Pancasila) pemerintah yang tampil selalu otoriter-repressif.
Memang
ada sedikit yang secara artifisial tampak aneh yakni pada periode pertama
berlakunya UUD 1945 (1945-1949) yang merupakan empat tahun pertama sistem
politik parlementer (1945-1949) yang ternyata melahirkan sistem politik yang
demokratis. Namun dapat ditegaskan bahwa demokrasi dapat muncul ketika itu
justru karena UUD 1945 tidak diberlakukan di dalam praktik ketatanegaraan
melalui Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat
Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945. Kedua maklumat tersebut tidak
memberlakukan UUD 1945 tanpa mencabutnya secara resmi sehingga terbukalah
sistem politik yang demokratis itu.
Konstitusionalitas
Maklumat itu sendiri bisa dikaitkan dengan konvensi ketatanegaraan karena
langsung diterima rakyat. Bisa juga dianggap sebagai hak dan kewenangan asli
Presiden/Wakil Presiden sebagai Dwitunggal yang pada saat itu memang memegang
kekuasaan MPR, DPR, dan DPA selama belum ada lembaga-lembaga yang dibentuk
berdasarkan UUD.
UUD
Produk Situasi
Kita
dapat mengatakan bahwa upaya kembali ke UUD 1945 yang asli tak dapat diterima
atas dasar informasi sejarah dan ilmu konstitusi. Dari aspek sejarah, sejak
awal UUD 1945 memang sudah dimaksudkan sebagai UUD interim dan itu bukan hanya
diucapkan oleh Bung Karno pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 ketika
menyebutnya sebagai "UUD darurat yang dibuat secara kilat" tetapi
juga ditulis di dalam UUD 1945 yakni di dalam Aturan Tambahan Pasal I dan Pasal
II.
Di
dalam Aturan Peralihan itu ditegaskan bahwa setelah enam bulan berahirnya
Perang Asia Timur Raya (Perang Pasifik) Presiden mengatur segala hal yang
ditentukan di dalam UUD, termasuk membentuk MPR (dengan pemilu); dan dalam enam
bulan setelah dibentuk MPR bersidang untuk menetapkan UUD. Meski kata
"menetapkan" di sana dapat diartikan menetapkan yang sudah ada tetapi
jelas konteksnya untuk mengubah agar sifat interim, darurat, dan kilatnya itu
menjadi hilang.
Pembuat
UUD 1945 (yang tergabung di dalam PPKI) tak pernah sombong untuk mengatakan
bahwa UUD yang dibuatnya sudah sempurna dan tak bisa diubah. Malah dengan
rendah hati mereka membuka jalan agar UUD itu tak sulit untuk diubah. Di dalam
pidato-pidato dan kesepakatan mereka ungkapkan bahwa UUD 1945 dibuat
"darurat" sebagai syarat formal agar Indonesia merdeka dengan
memiliki konstitusi, di dalam pasal 37 diberi cara mengubah UUD 1945, dan di
dalam Aturan Tambahan diperintahkan agar MPR membicarakan dan menetapkan UUD
yang tepat untuk Indonesia.
Para
pembuat UUD 1945 dulu tahu persis bahwa tak ada di dunia ini UUD yang tak bisa
diubah. Pakar konstitusi KC Wheare di dalam bukunya Modern Constitutions
mengatakan bahwa UUD suatu negara adalah resultante atau produk kesepakatan
dari situasi politik, sosial, ekonomi pada waktu tertentu. Jika situasi,
tuntutan, dan kebutuhan masyarakat berubah maka UUD sebagai resultante juga
dapat berubah. Oleh sebab itu, kata Wheare, di dalam setiap UUD harus ada pasal
yang mengatur perubahan.
Maka
boleh saja kita sekarang menyoal dan mengusulkan perubahan UUD yang sedang
berlaku, tetapi perubahannya bukan dengan memutar balik jarum sejarah melainkan
membuat resultante atau kesepakatan berdasar situasi dan kebutuhan-kebutuhan
yang baru. Kalau sangat diperlukan, mari kita lakukan amandemen kelima; tak
perlu terlalu melankolis untuk kembali ke UUD 1945 yang asli. []
Moh.
Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar