Selasa, 30 April 2019

(Do'a of the Day) 24 Sya'ban 1440H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma innii as'aluka min khairi maa sa'alaka minhu nabiyyuka muhammadun shalallaahu alaihi wa sallama.

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan yang dimohonkan oleh Nabi-Mu, Muhammad SAW.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18.

(Tokoh of the Day) Habib Utsman Al-Aydrus, Caringin, Bandung - Jawa Barat


Manaqib Habib Utsman Al-Aydrus, Tokoh NU Jawa Barat


Beberapa hari lalu ada acara periingatan Haul Habib Utsman Al-Aydrus di Pondok Pesantren Assalam, Sasak Gantung, Kota Bandung. Habib Utsman merupakan pendiri pesantren tersebut. Di dalam peringatan tersebut, salah seorang putranya, KH Habib Syarief Muhammad Al-Aydarus menceritakan riwayat singkat ayahandanya sebagai berikuit:

Habib Utsman merupakan murid Mama Ajengan KH Syatibi Gentur, Cianjur. Meskipun dia seorang habib, ia sangat tawadhu kepada gurunya tersebut. Saat menjadi santrinya, sebelum subuh, Habib Utsman, selalu mengisi air bak untuk wudhu dan mandi gurunya itu.

Habib Utsman lahir tahun 1910 dan wafat 1985. Semasa hidupnya, berdasarkan catatan pribadinya, ia telah mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari 6.000 kali. Menurut putranya, yakni KH Habib Syarief Muhammad Al-Aydarus, sang ayah setiap hari khatam Al-Qur’an minimal satu kali dan khusus di bulan puasa Ramadhan mengkhatamkan Al-Qur’an 60 kali. Artinya, sehari khatam 2 kali.

Habib Utsman sangat menyayangi anak-anak yatim piatu dan dhuafa. Kepada anak yatim piatu rasa sayang itu terpancar dari perhatian khusus yang diberikan. Tercatat ada 13 hal perhatian Habib Utsman kepada mereka, di antaranya: santunan yatim piatu di 10 Muharam, menyekolahkan dan juga membiayai anak-anak yatim piatu untuk belajar di sekolah dan pondok-pondok pesantren, setiap hari mengusap dan mencium kepala anak-anak yatim piatu di seputar Assalaam. 

Selanjutnya, melaksanakan khitanan massal khususnya untuk anak yatim piatu serta masyarakat luas sejak tahun 1952 dan berlanjut hingga hari ini, selalu mengajak anak-anak yatim untuk menemui para ulama dan memohon doa dari para ulama sholeh untuk anak-anak yatim piatu karena banyak ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Ghazali dan lain-lain, ternyata yatim saat kecil. 

Habib Utsman juga menulis buku yang hasil penjualannya khusus diperuntukkan bagi anak-anak yatim piatu, serta setiap sebulan sekali di Assalaam diadakan acara makan bersama para yatim piatu dan dhuafa. Selain itu, ia juga mendorong berdirinya Rumah Tahfidz khususnya untuk yatim piatu (banyak ulama dan hafidz yang telah dihasilkan), dan lain-lain.

Saat ini Assalaam Bandung telah berkembang demikian pesat dengan berbagai aktivitasnya dari unit kelompok bermain, PAUD, TK, SD, SMP, MTs, SMA, SMK, pesantren, majelis taklim, biro haji dan umrah, panti yatim, jamaah perempuan WPWA, dan lain lain.

Habib Utsman Al-Aydarus adalah seorang ulama multitalenta. Ia menguasai beberapa bahasa asing secara otodidak. Ia juga salah satu tokoh di belakang berdirinya Universitas Nahdlotul Ulama di Bandung yang sekarang menjadi Uninus. Ia pun termasuk tokoh NU di Jawa Barat dan pernah menjabat sebagai Rais Syuriyah selama dua periode yaitu tahun 1960 sampai dengan 1970.

Habib Utsman dan murid-muridnya juga membina pengajian ibu-ibu di hampir 200an masjid di seputar Bandung di masa hidupnya. Serta menulis banyak buku-buku tentang ibadah yang berbahasa Sunda di antaranya Rarakatan Shalat dan lain-lain.

Allah SWT banyak mengabulkan doa Habib Utsman Al-Aydarus. Pernah terdapat seorang anak umur 8 tahun yang terkena kanker otak dan divonis dokter dari Rumah Sakit Singapura dan Jerman bahwa anak tersebut tidak akan bisa bertahan hidup lebih dari 2 bulan setelah diagnosa.

Orang tua anak tersebut disarankan oleh dr. Misbah (salah seorang dokter kepresidenan) untuk meminta saran para ulama di Jakarta. Orang tua itu mendatangi KH Syafi’i Hadzami, tokoh NU Jakarta. Orang tua disarankan menemui Habib Utsman Al-Aydarus di Bandung.

Orang tua itu pun membawanya ke Bandung. Habib Utsman membacakan Shalawat Nariyah sebanyak 4444 kali di sebuah ruangan khusus dan memberikan air yang telah dibacakan shalawat Nariyyah tersebut untuk diminumkan dan dipercikkan pada kepala anak yang terkena kanker otak itu.

Sungguh ajaib, seminggu kemudian anak tersebut pulih dan sembuh kembali. Kanker otaknya hilang begitu saja atas izin Allah SWT.

Orang tua anak tersebut karena penasaran memeriksakan keadaan anaknya ke Rumah sakit di Singapura dan Jerman, maka terkejutlah para dokter-dokter yang sebelumnya mendiagnosa anak tersebut hingga berkali-kali mereka membandingkan foto rontgen antara sebelum anak tersebut dibacakan Shalawat Nariyah oleh Habib Utsman dan sesudahnya.

Diceritakan setelah sembuh anak tersebut tumbuh dewasa dan menjadi salah satu dosen di Universitas Indonesia serta meninggal dunia dalam usia 52 tahun.

Makam Habib Utsman Al-Aydarus terletak di daerah Taman Pemakaman Assalam di dekat Pasar Induk Caringin Bandung. Di kompleks pemakaman tersebut tersebut banyak dimakamkan mulai para habaib serta ulama dan murid-murid Habib Ustman, di antaranya juga terdapat pusara tokoh nasional H. Mahbub Djunaidi (tokoh NU, Ketua Umum pertama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.)

Demikianlah sekelumit kisah Habib Ustman Al-Aydarus yang dapat kami sarikan dari ceramah Putra beliau Habib Syarief Muhammad Al-Aydarus pada Acara Haul ke 32 Habib Utsman Al Aydarus (29 Maret 2016, di Masjid Assalaam, Sasak Gantung Kota Bandung). []

(Wahyul Afif Al-Ghafiqi)

(Ngaji of the Day) Sejarah Puasa Ramadhan


Sejarah Puasa Ramadhan

Puasa bagi umat Islam memiliki makna yang sangat mendalam dalam rangka penghambaan manusia kepada Allah SWT. Puasa tidak hanya ibadah yang memerlukan peran fisik, tetapi juga memerlukan kesehatan batin, bahkan mampu menyempurnakan batin menjadi hamba yang bertakwa.

Takwa yang merupakan muara akhir dari perintah puasa dijelaskan dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Sesuai pembahasan tema di atas, potongan ayat كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ (...sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian...) ini merupakan titik awal mengupas sejarah puasa, khususnya puasa Ramadhan. Singkatnya, ibadah puasa juga telah menjadi kewajiban umat-umat terdahulu yang menerima wahyu.

Pakar Tafsir Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an (2000) menjelaskan, dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua  agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya.

Ini berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiat-nya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.

Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat Islam dan umat-umat terdahulu? Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan berhubungan seks.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut dari zaman dulu hingga sekarang menjadi tantangan manusia dalam kehidupan. Sebab, hal itu mempengaruhi sisi-sisi kehidupan lainnya sehingga berpuasa adalah ibadah yang tepat.

Sejarah kewajiban puasa Ramadhan tidak terlepas dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke negeri Yatsrib (Madinah). Sebab peristiwa tersebut merupakan titik pijak penyempurnaan syariat Islam di kemudian hari. Puasa Ramadhan diwajibkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya pada bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriah dengan cara dan model yang dilakukan umat Islam hingga kini.

Affandi Mochtar dan Ibi Syatibi dalam buku Risalah Ramadhan (2008) mengungkapkan, sebelum ayat yang mewajibkan puasa turun, umat Islam biasa berpuasa wajib pada 10 Muharram atau Hari Asyura. Ketika Nabi Muhammad hijrah dan tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi juga berpuasa pada 10 Muharram tersebut.

Orang-orang Yahudi menyatakan, pada 10 Muharram Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari serangan Raja Fira’un. Kemudian Nabi Musa berpuasa pada 10 Muharram sebagai tanda syukur kepada Allah. Lalu, Nabi Muhammad memerintahkan uma Islam agar berpuasa pada tanggal 10 Muharram.

Pada awalnya umat Islam diwajibkan berpuasa sampai waktu maghrib. Setelah berbuka mereka masih diperbolehkan makan, minum, dan melakukan hubungan seks suami-istri hingga kemudian melakukan shalat Isya dan tidur.

Setelah melakukan shalat Isya dan tidur, mereka tidak diperbolehkan lagi untuk makan, minum, atau berhubungan seks hingga tiba saatnya waktu berbuka. Namun, praktik ini benar-benar menyulitkan umat Islam sehingga tidak sedikit yang melanggar larangan tersebut.

Lalu, Allah SWT menurunkan sebuah ayat yang dijelaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 187 yang menyatakan, umat Islam diperbolehkan makan, minum, dan berhubungan intim dengan para istrinya sepanjang malam bulan puasa hingga terbit fajar. Tentu saja ayat tersebut disambut gembira oleh umat Islam kala itu sembari memanjatkan syukur atas kasih sayang Allah SWT. []

Sumber: NU Online

(Ngaji of the Day) Pentingnya Khusyu' dalam Wudhu agar Khusyu' dalam Shalat


Pentingnya Khusyu' dalam Wudhu agar Khusyu' dalam Shalat

Kajian tata cara shalat khusyu' sudah sering dibahas di berbagai forum. Iya, kajian itu memang tepat dan bahkan seharusnya dipelajari setiap Muslim. Secara normatif, bobot shalat seseorang ditakar dengan seberapa khusyu' atau konsentrasinya dalam shalat. 

Shalat yang tidak disertai dengan khusyu'  adalah ibarat tong yang tidak ada isinya sama sekali. Apabila dilihat dari luar tampak tong dengan berdiri tegar. Namun tong tersebut ternyata kosong. Artinya, tidak ada ruhnya. Sedangkan nyawa shalat itu adalah kekhusyu’an. Semakin khusyu', berarti shalat seseorang semakin berbobot. 

Salah kaprah juga jika ada orang yang kemudian menjawab, isi lebih penting dari pada tong, maka tong tidak diperlukan sehingga tong bisa dibuang. Meskipun ada orang yang bisa berkonsentrasi mengingat Allah tanpa harus menjalankan shalat lalu menjadikan ia boleh meninggalkan shalat, ini  jelas tidak tepat. Pemahaman tersebut bertentangan dengan ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. 

Selama hidup, setelah Rasul mendapatkan wahyu menjalankan shalat, beliau tak pernah sekalipun meninggalkannya kecuali shubuh tanggal 27 Rajab setelah malam Isra' Mi'raj. Sebab malaikat Jibril belum mengajarkan tatat cara melaksanakan shalat. 

Dengan demikian, Rasulullah pemilik kualitas khusyu' paling sempurna saja masih tetap  melaksanakan shalat, apa lagi umatnya? 

Sungguh beruntung orang yang diberikan Allah subhânahȗ wa ta'âlâ sebuah karunia bisa menjalankan shalat dan sekaligus bisa menjalankannya dengan khusyu'. Allah berfirman: 

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ 

Artinya: "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalat mereka." (QS Al Mu'minun: 1-2). 

Sebagaimana kita ketahui, target utama perintah Allah saat Nabi Muhammad diisra'-mi'râj-kan adalah pemberian tugas menjalankan shalat lima waktu. 

Dengan adanya perintah shalat ini, baru kemudian ada syarat rukun shalat yang wajib dipenuhi. Di antaranya adalah, orang yang akan menjalankan ritual ibadah shalat harus suci dari hadats. Sehingga di sini terjadi hubungan sebab-akibat, orang yang wudhu, mandi dan tata-cara bersucinya sah, akan berdampak shalat yang sah. Begitu pula sebaliknya. Orang yang wudhunya tidak sah, akan menyebabkan shalat tidak sah. 

Abi Said Al Khudri pernah mendengarkan hadits dari Rasulullah yang menyatakan bahwa bersuci merupakan kuncinya shalat. Jika wudhu yang jadi kuncinya saja tidak tepat, maka shalatnya otomatis terkena dampaknya. 

Demikian ilustrasi korelasi antara wudhu dengan shalat dilihat dari sisi ibadah lahiriah (fisik). 

Adapun secara batiniah, Imam asy-Sya'rani menyatakan, konsentrasi dalam shalat ditentukan sesuai kadar kekhusyuan hati seseorang dalam wudhunya. Dan ini memang sudah terbukti.

وقال الامام الشعرانى: الحضور فى الصلاة بقدر الحضور فى الوضوء وقد جرب  ذلك

Artinya: "Imam asy-Sya'rani berkata hudlȗr (hadirnya hati) dalam shalat sesuai dengan kadar hudlȗr dalam wudhu. Dan ini sungguh telah diujicobakan." (Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki, Abwâb al-Faraj, Dârul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1971, halaman 12)

Dengan demikian, dapat disimpulkan, wudhu mempunyai peranan penting dalam shalat seseorang. Jika wudhunya tidak sah, mengakibatkan shalat tidak sah. Tidak cukup demikian, jika wudhu tidak khusyu', shalat seseorang juga tidak akan bisa mencapai derajat khusyu'. Wallahu a'lam. []

Sumber: NU Online

Buya Syafii: Sistem Pemilu yang Membunuh


Sistem Pemilu yang Membunuh
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Berdasarkan sumber Republika pekan yang lalu, korban meninggal dunia KPPS plus aparat negara yang bertugas baru berada pada angka 20 orang (lih. "Resonansi", 23 April 2019, hlm. 9). Empat hari kemudian, pada 27 April, menurut KPU, anggota KPPS yang menjadi korban meninggal dunia ada pada angka 272 (naik jadi sekitar 1.400 persen) dan yang sakit sebesar 1.878.

Ini bukan angka kematian yang main-main. Tinggi sekali. Siapa yang harus memikul dosa? Tentunya ini adalah dosa kolektif. Tetapi yang lebih besar dosanya adalah MK dan para pengusul sistem pemilu serentak ini dengan dalih efisiensi dan biaya lebih murah.

Jelas para pengusul dan hakim MK pada 2014 itu tidak berpikir jauh dengan mengabaikan manajemen pelaksanaan yang ruwet dan sangat melelahkan. Publik pun waktu itu mengamini saja gagasan pemilu serentak ini.

Sekiranya korban tidak mencapai angka setinggi itu, keruwetan pelaksanaan pemilu mungkin tidak akan memicu keguncangan psikologis seperti sekarang ini. Negara dan para pengusul tidak cukup hanya minta maaf dan memberikan santunan kepada keluarga korban, tetapi harus berjanji untuk tidak mengulang kesalahan fatal yang merenggut nyawa para petugas ini. Sistem pemilu wajib diubah segera.

Sekiranya korban meninggal dunia dalam jumlah itu akibat jatuhnya pesawat terbang, misalnya, jagat raya pasti akan heboh berbulan-bulan. Namun, jika karena korban pemilu hanyalah dinilai ringan karena meninggal dunia dalam menjalankan tugas negara. Cara berpikir yang semacam ini adalah sesat dan keliru setelah diuji dalam pelaksanaan.

Oleh sebab itu, UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan pelaksanaannya di lapangan jangan dibiarkan menggantung terlalu lama, demi menghormati korban nyawa yang setinggi itu. Kita semua harus belajar dari kesalahan fatal dalam merumuskan sesuatu UU dan risiko pelaksanaannya di lapangan.

UU ini dengan persetujuan DPR RI ditekan Presiden Joko Widodo tanggal 15 Agustus 2017 dan diundangkan oleh Menkumham Yasonna H Laoly pada 16 Agustus 2017. UU ini sangat gemuk dengan 573 pasal plus penjelasan dan empat lampiran.

Memang dalam UU ini tidak dimuat tentang sistem pemilu serentak yang dilaksanakan pada 2019 ini, karena hal itu berdasarkan Keputusan MK No 14/PUU-XI/2013 tentang pemilu serentak yang diputuskan pada 23 Januari 2014 dengan Ketua MK Hamdan Zoelvan ketika itu.

Keputusan MK ini disambut gembira oleh berbagai pihak. Effendi Gazali sebagai salah seorang pengusul berkata: “Ini merupakan kemenangan rakyat, tetapi kita kecewanya putusan ini ditunda-tunda pembacaannya.”

Ada lagi komentar pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin yang menyambut dengan riang keputusan MK ini: “Saya kira semua dimenangkan dengan keputusan ini dan tidak ada yang kalah.” Anggota DPR Fraksi PDI-P Trimedya Panjaitan malah menilai “keputusan MK ini cukup negarawan, arif, dan bijaksana.”

Nah, sekarang, karena ternyata pemilu serentak itu telah menjadi sistem pembunuh terhadap anggota KPPS, apakah komentar dan pujian di atas tidak perlu dicabut kembali dan sampaikan penyesalan yang mendalam.

Ternyata para penegak hukum, pakar, dan elite politik telah melakukan kesalahan karena tidak mampu memperkirakan pelaksanaannya di lapangan yang demikian sulit, ruwet, dan sangat melelahkan.

Nyawa manusia yang melayang dalam jumlah ratusan itu semestinya, menyadarkan elite bangsa ini untuk ekstra hati-hati dalam membuat keputusan politik dan hukum publik, yang menyangkut masalah besar tentang nasib bangsa dan negara.

Para hakim MK yang menyandang kedudukan sebagai negarawan pada masa sekarang dan pada masa yang akan datang harus benar-benar bijak, cerdas, dan hati-hati dalam mengabulkan atau tidak mengabulkan usulan judicial review yang diajukan oleh mereka yang mengaku para pakar komunikasi, tata negara, dan siapa pun yang menjadi pengusul. Cukup sekali ini saja korban pelaksana pemilu yang telah merenggut nyawa manusia demikian banyak.

Terakhir, sekali lagi, pemilu serentak yang relatif aman dan damai ini, jika tidak dicederai oleh pelaksanaan di lapangan yang telah membunuh demikian banyak warga bangsa, bisa saja diteruskan pada pemilu-pemilu yang akan datang. Namun, dengan korban nyawa yang demikian masif maka sistem pemilu ini wajib ditinjau, dipelajari, dan diubah segera.

Nyawa manusia jangan lagi dikorbankan oleh sistem pemilu serentak yang semula demikian dielu-elukan: efisien dan lebih murah! Saya juga kecewa berat karena paslon 01 dan 02 seperti membisu atas kematian yang tragis dan dramatis ini. []

REPUBLIKA, 30 April 2019