Miskonsepsi
Ideologi
Oleh:
Yudi Latif
Ada
tendensi sesat pikir dalam memandang pembangunan ideologi Pancasila sebagai
sesuatu yang sejajar dengan bidang-bidang pembangunan lainnya. Apa yang
ditetapkan Komisi Pemilihan Umum untuk menempatkan isu ideologi di sisi sempit
dari tema luas perdebatan calon presiden adalah anak kandung dari kekeliruan
seperti itu.
Padahal,
ideologi Pancasila merupakan dasar falsafah pembangunan (philosophische grondslag),
teropong untuk memandang pembangunan (weltanschauung),
dan bintang penuntun pembangunan (leitstern).
Sebagai dasar, cara pandang, dan panduan pembangunan, Pancasila mestinya
dijadikan paradigma pembangunan yang harus ditempatkan di atas sekaligus
merembesi segala bidang pembangunan lain.
Isu
ideologi seharusnya menjadi tema tersendiri yang ditempatkan sebagai hulu
(urutan pertama) dari serangkaian debat calon presiden. Tema- tema selanjutnya
adalah turunan dari debat ideologi sebagai konsekuensi imperatif ideologis
terhadap bidang-bidang pembangunan di hilirnya.
Miskonsepsi
ideologi seperti itu menjadi pangkal inkonsistensi idealitas dan realitas
pengamalan Pancasila. Kebijakan pembangunan sering kali berjalan
sendiri-sendiri dan sesuka-suka, tanpa keterpaduan dan keajekan dengan
nilai-nilai Pancasila. Isu Pancasila sering dipahami sebatas metode sosialisasi
Pancasila. Secara klise dikatakan, caranya jangan pakai indoktrinasi dan harus
sesuai gaya milenial. Cuma itukah cakupan, kandungan, dan implikasi ideologi?
Pertama-tama
harus dipahami hakikat Pembangunan Nasional sesungguhnya adalah gerak berkelanjutan
dalam peningkatan mutu peradaban bangsa. Ketahanan nasional sebagai daya sintas
suatu bangsa pada dasarnya ditentukan oleh daya (kualitas) budaya dan peradaban
yang tecermin dari kondisi-kondisi yang berlangsung pada tiga ranah utama
kehidupan manusia: ranah mental- spiritual, ranah institusional- politikal, dan
ranah material- teknologikal. Ranah pertama kerap disebut sebagai ranah budaya,
sedangkan ranah kedua dan ketiga disebut sebagai ranah peradaban. Meski
demikian, lazim pula dipahami, dalam istilah peradaban pun terkandung basis
nilai budaya. Karena itu, ketiga ranah itu bisa disebut dalam satu tarikan
napas sebagai ranah peradaban.
Paradigma
Pancasila telah mengantisipasi pentingnya memperhatikan tiga ranah itu. Ranah
mental-spiritual (kultural) basis utamanya adalah sila pertama, kedua, dan
ketiga. Dengan spirit ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan, dikembangkan
daya-daya spiritualitas dalam sosiabilitas yang berperikemanusiaan, egaliter,
mandiri, amanah (berintegritas), beretos kerja yang positif dan kreatif, serta
sanggup menjalin persatuan (gotong royong) dengan semangat pelayanan
(pengorbanan).
Ranah
institusional-politikal basis utamanya sila keempat. Bahwa tatanan
sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi bercita kerakyatan,
cita permusyawaratan dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun
institusi-institusi demokrasi yang memperkuat persatuan (negara persatuan) dan
keadilan sosial (negara kesejahteraan); yang termanifestasi dalam kehadiran
pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan
keadilan.
Ranah
material-teknologikal basis utamanya sila kelima. Bahwa kemandirian dan
kesejahteraan umum hendak diraih dengan mengupayakan perekonomian merdeka;
berlandaskan usaha tolong-menolong (semangat kooperatif), disertai penguasaan
negara atas ”karunia kekayaan bersama” (commonwealth)
serta atas cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak; seraya memberi nilai tambah atas karunia yang terberikan dengan
input pengetahuan dan teknologi.
Pada
akhirnya, tiga ranah tersebut, secara sendiri-sendiri dan secara simultan,
diarahkan untuk mewujudkan visi negara-bangsa: terwujudnya perikehidupan
kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (material dan
spiritual), berlandaskan Pancasila.
Pengembangan
tiga ranah ini memerlukan keandalan tiga agen sosial: rezim pendidikan dan
pengetahuan, rezim politik- kebijakan, rezim ekonomi-produksi. Prioritas rezim
pendidikan-pengetahuan adalah membenahi aspek mental-spiritual dengan
merevitalisasi pendidikan budi pekerti, terutama pada tingkat pendidikan dasar,
dengan orientasi melahirkan generasi baru Indonesia yang berkarakter dan
kreatif dengan jiwa merdeka.
Prioritas
rezim politik-kebijakan adalah menyusun tata kelola pemerintahan dan
kemasyarakatan yang menguatkan persatuan dan keadilan. Kebijakan politik harus
merespons tantangan perbaikan tata kelola budaya (mental-spiritual); tata
kelola sumber daya material dan teknologi; tata kelola demokrasi, hukum dan
pemerintahan.
Prioritas
rezim ekonomi-produksi meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan dengan
mengupayakan inklusi ekonomi serta mengembangkan sektor produktif berbasis
pengetahuan dan teknologi, di mana pengembangan riset dan teknologi harus
beringsut dari lembaga riset menuju ranah industri-perusahaan (terintegrasi ke
dalam sektor produktif).
Dengan
cara-cara seperti itulah, idealitas Pancasila bisa bergerak mendekati realitas.
Tes terakhir dari keampuhan Pancasila teruji ketika setiap sila dan konsepsinya
bisa dibumikan dalam kenyataan semesta Pembangunan. []
KOMPAS, 4
April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar