Dapur Umum Muslimat
NU di Tengah Peperangan
Di balik
kesuksesannya memajukan organisasi perempuan sekarang ini, sejarah mencatat
Muslimat Nahdlatul Ulama mempunyai peran signifikan dalam membantu para pejuang
kemerdekaan dalam mengusir tentara sekutu pada perang akbar 10 November 1945 di
Surabaya.
Aboebakar Atjeh dalam
Sejarah Hidup KH A. Wahid Hasjim (Mizan, 2011) mencatat, meletusnya perang 10
November yang digerakkan oleh Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari diikuti oleh kaum
santri dan rakyat Indonesia. Seluruh warga NU mempertaruhkan jiwa dan raga
dengan segala daya dan upaya, baik Nahdliyin dan Nahdliyat.
Di tengah perjuangan
memperoleh legitimasi organisasi dari para kiai, Muslimat NU tidak mau berdiam
diri di tengah peperangan maha penting. Mereka melibatkan diri dengan sejumlah
peran, yaitu membuka dapur umum, ikut dalam kelompok palang merah atau tenaga
medis, mengumpulkan pakaian dan makanan, memberikan penerangan di sana-sini,
membakar semangat pejuang melawan musuh, bahkan ikut berjuang mengangkat
senjata.
Dalam mengasapi dapur
umum, ibu-ibu Muslimat NU agak kesulitan memperoleh bahan makanan karena
bahan-bahan tersebut harus melalui proses pengangkutan dari jarak yang tidak
dekat mengingat kondisi peperangan. Itu kesulitan yang dihadapi oleh ibu-ibu
yang berjuang di dapur umum. Tetapi, upaya pengumpulan bahan makanan itu
sendiri tidak menemui kesulitan berarti. Karena seluruh rakyat turut
menyukseskan para pejuang melawan sekutu.
KH Saifuddin Zuhri
dalam Guruku Orang-orang dari Pesanten (LKiS, 2001) mengungkap, di tengah
kesulitan menyuplai bahan-bahan makanan oleh ibu-ibu Muslimat, tentara
Hizbullah Magelang berhasil merampas truk-truk dari penjajah Jepang. Peristiwa
tersebut diikuti oleh rakyat Magelang yang juga berhasil merebut senjata dari
Jepang.
Adanya truk tersebut,
selain memudahkan mobilisasi tentara Hizbullah, juga memudahkan pengangkutan
bahan makanan yang telah berhasil dikumpulkan ibu-ibu Muslimat NU di berbagai
tempat.
Seluruh laskar rakyat
selain harus mencari senjata, juga masing-masing harus memperoleh makanan
sendiri. Di sinilah peran dan jasa ibu-ibu Muslimat sangat berharga dalam
mengumpulkan, menyediakan, dan memasak bahan makanan untuk para pejuang.
Ibu-ibu Muslimat menggunakan masjid-masjid sebagai tempat mengumpulkan bahan
makanan serta membuka dapur umum.
Penggunaan masjid
sebagai tempat mengumpulkan bahan makanan dan dapur umum oleh ibu-ibu Muslimat
bukan tanpa alasan, karena masjid mempunyai halaman dan ruang yang cukup luas.
Masjid juga sekaligus bisa digunakan oleh para pejuang agar tidak melupakan
Allah SWT. Sebab, tak ada daya dan upaya melainkan pertolongan-Nya, apalagi di
tengah kondisi perang.
Peran ibu-ibu
Muslimat tersebut meneguhkan kemandiriannya, baik dalam membantu kaum lelaki
berperang, maupun terus berupaya menyelesaikan berbagai problem perempuan
secara mandiri. Alasan terakhir menjadi motivasi kuat Muslimat untuk menjadi
bagian dari NU secara resmi.
Akhirnya, pada
Kongres NU XVI di Purwokerto pada Rabiula Akhir 1353 atau tepatnya Maret 1946
berhasil menetapkan Muslimat sebagai bagian dari NU, bernama Nahdlatoel Oelama
Moeslimat (NOM) mengingat organisasi yang diisi ibu-ibu ini penting
keberadaannya saat itu. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar