Pentingnya Khusyu' dalam
Wudhu agar Khusyu' dalam Shalat
Kajian tata cara shalat khusyu' sudah sering
dibahas di berbagai forum. Iya, kajian itu memang tepat dan bahkan seharusnya
dipelajari setiap Muslim. Secara normatif, bobot shalat seseorang ditakar
dengan seberapa khusyu' atau konsentrasinya dalam shalat.
Shalat yang tidak disertai dengan
khusyu' adalah ibarat tong yang tidak ada isinya sama sekali. Apabila
dilihat dari luar tampak tong dengan berdiri tegar. Namun tong tersebut
ternyata kosong. Artinya, tidak ada ruhnya. Sedangkan nyawa shalat itu adalah
kekhusyu’an. Semakin khusyu', berarti shalat seseorang semakin berbobot.
Salah kaprah juga jika ada orang yang
kemudian menjawab, isi lebih penting dari pada tong, maka tong tidak diperlukan
sehingga tong bisa dibuang. Meskipun ada orang yang bisa berkonsentrasi
mengingat Allah tanpa harus menjalankan shalat lalu menjadikan ia boleh
meninggalkan shalat, ini jelas tidak tepat. Pemahaman tersebut
bertentangan dengan ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Selama hidup, setelah Rasul mendapatkan wahyu
menjalankan shalat, beliau tak pernah sekalipun meninggalkannya kecuali shubuh
tanggal 27 Rajab setelah malam Isra' Mi'raj. Sebab malaikat Jibril belum
mengajarkan tatat cara melaksanakan shalat.
Dengan demikian, Rasulullah pemilik kualitas
khusyu' paling sempurna saja masih tetap melaksanakan shalat, apa lagi
umatnya?
Sungguh beruntung orang yang diberikan Allah
subhânahȗ wa ta'âlâ sebuah karunia bisa menjalankan shalat dan sekaligus bisa
menjalankannya dengan khusyu'. Allah berfirman:
قَدْ
أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Artinya: "Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalat
mereka." (QS Al Mu'minun: 1-2).
Sebagaimana kita ketahui, target utama
perintah Allah saat Nabi Muhammad diisra'-mi'râj-kan adalah pemberian tugas
menjalankan shalat lima waktu.
Dengan adanya perintah shalat ini, baru
kemudian ada syarat rukun shalat yang wajib dipenuhi. Di antaranya adalah,
orang yang akan menjalankan ritual ibadah shalat harus suci dari hadats.
Sehingga di sini terjadi hubungan sebab-akibat, orang yang wudhu, mandi dan
tata-cara bersucinya sah, akan berdampak shalat yang sah. Begitu pula
sebaliknya. Orang yang wudhunya tidak sah, akan menyebabkan shalat tidak
sah.
Abi Said Al Khudri pernah mendengarkan hadits
dari Rasulullah yang menyatakan bahwa bersuci merupakan kuncinya shalat. Jika
wudhu yang jadi kuncinya saja tidak tepat, maka shalatnya otomatis terkena
dampaknya.
Demikian ilustrasi korelasi antara wudhu
dengan shalat dilihat dari sisi ibadah lahiriah (fisik).
Adapun secara batiniah, Imam asy-Sya'rani
menyatakan, konsentrasi dalam shalat ditentukan sesuai kadar kekhusyuan hati
seseorang dalam wudhunya. Dan ini memang sudah terbukti.
وقال
الامام الشعرانى: الحضور فى الصلاة بقدر الحضور فى الوضوء وقد جرب ذلك.
Artinya: "Imam asy-Sya'rani berkata
hudlȗr (hadirnya hati) dalam shalat sesuai dengan kadar hudlȗr dalam
wudhu. Dan ini sungguh telah diujicobakan." (Sayyid Muhammad bin Alawi Al
Maliki, Abwâb al-Faraj, Dârul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1971, halaman 12)
Dengan demikian, dapat disimpulkan, wudhu
mempunyai peranan penting dalam shalat seseorang. Jika wudhunya tidak sah,
mengakibatkan shalat tidak sah. Tidak cukup demikian, jika wudhu tidak khusyu',
shalat seseorang juga tidak akan bisa mencapai derajat khusyu'. Wallahu a'lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar