Hukum Shalat dengan Shaf
Campur Lelaki dan Perempuan
Syariat sejak awal telah memberikan
ketentuan-ketentuan khusus bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah, baik
berupa kewajiban ataupun kesunnahan. Hal ini tak lain agar segala ibadah yang
dilakukan dapat dijalankan dengan benar dan sempurna. Salah satu ketentuan
pelaksanaan ibadah yang diatur oleh fiqih adalah tentang penempatan shaf
shalat.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan:
خير
صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها
“Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah
shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf
yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf yang
paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang
paling awal.” (HR Muslim)
Berdasarkan hadits di atas dapat dipahami
bahwa laki-laki semestinya menempati posisi terdepan dalam shaf shalat jamaah.
Sebaliknya, bagi perempuan dianjurkan menempati shaf yang paling belakang,
sekiranya jauh dari shaf lelaki. Lalu ketika antara laki-laki dan perempuan
bercampur dalam satu barisan shaf, apakah shalatnya tetap dihukumi sah? Atau
justru shalatnya menjadi batal?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, patut
kita simak penjelasan Imam Nawawi dalam menafsirkan alasan di balik
keutamaan menempati shaf paling belakang bagi para wanita:
وإنما
فضل آخر صفوف النساء الحاضرات مع الرجال لبعدهن من مخالطة الرجال ورؤيتهم وتعلق
القلب بهم عند رؤية حركاتهم وسماع كلامهم ونحو ذلك
“Diutamakannya shaf akhir bagi para wanita
yang hadir bersamaan dengan lelaki dikarenakan hal tersebut menjauhkan mereka
dari bercampur dengan laki-laki, melihatnya lelaki (pada mereka), dan
menggantungnya hati para wanita kepada lelaki ketika melihat gerakan lelaki dan
mendengar ucapan lelaki dan semacamnya.” (Abu Zakaria Yahya bin Syaraf
an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 13, hal. 127)
Berdasarkan hal tersebut, tidak heran jika
Imam al-Ghazali mewajibkan adanya penghalang yang mencegah pandangan lelaki
terhadap perempuan, agar tidak terjadi percampuran antara laki-laki dan
perempuan yang diharamkan oleh syariat. Berikut penjelasan beliau:
ويجب
أن يضرب بين الرجال والنساء حائل يمنع من النظر فإن ذلك أيضا مظنة الفساد والعادات
تشهد لهذه المنكرات
“Wajib untuk menempatkan penghalang antara
laki-laki dan perempuan yang dapat mencegah pandangan, sebab hal tersebut
merupakan dugaan kuat (madzinnah) terjadinya kerusakan dan norma umum
masyarakat memandang ini sebagai bentuk kemungkaran.” (Al-Ghazali, Ihya’ ulum
ad-Din, juz 3, hal. 361)
Dapat disimpulkan bahwa bercampurnya
laki-laki dan perempuan pada saat shalat berjamaah tanpa adanya penghalang
adalah sebuah larangan, terlebih ketika itu dilakukan pada satu barisan shaf.
Bahkan Imam al-Mawardi menganjurkan agar imam dan makmum laki-laki tidak bubar
terlebih dahulu selepas melaksanakan shalat jamaah, untuk menghindari
percampuran (ikhtilath) antara laki-laki dan perempuan. Dalam kitab al-Hawi
al-Kabir beliau menjelaskan:
وإن
كان معه رجال ونساء الامام فى الصلاه ثبت قليلا لينصرف النساء ، فإن انصرفن وثب
لئلا يختلط الرجال بالنساء
“Ketika terdapat laki-laki dan perempuan yang
bersamaan dengan imam dalam shalat maka imam menetap (di tempatnya) sejenak
agar jamaah perempuan bubar terlebih dahulu, ketika jamaah perempuan sudah
bubar maka imam berdiri (untuk bubar). Hal tersebut dilakukan agar tidak
bercampur antara laki-laki dan perempuan.” (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz
23, hal. 497)
Sedangkan tentang keabsahan shalatnya, mayoritas
ulama berpandangan bahwa shalat berjamaah dengan shaf campur pria-wanita dalam
satu baris tetap sah. Hanya saja secara hukum taklifi dihukumi makruh yang
dapat menghilangkan fadhilah shalat jamaah. Sedangkan menurut mazhab Hanafi,
shalat berjamaah dengan formasi campur dalam satu barisan semacam itu batal
untuk jamaah laki-laki, sedangkan shalat yang dilakukan jamaah perempuan tetap
sah.
Perincian hukum di atas secara tegas
dijelaskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah:
وصرح
الحنفية بأن محاذاة المرأة للرجال تفسد صلاتهم . يقول الزيلعي الحنفي : فإن حاذته امرأة مشتهاة في صلاة مطلقة - وهي التي لها ركوع
وسجود - مشتركة بينهما تحريمة وأداء في مكان واحد بلا حائل ، ونوى الإمام إمامتها
وقت الشروع بطلت صلاته دون صلاتها ، لحديث : أخروهن من حيث أخرهن الله (2) وهو
المخاطب به دونها ، فيكون هو التارك لفرض القيام ، فتفسد صلاته دون صلاتها .
وجمهور
الفقهاء : (المالكية والشافعية والحنابلة) يقولون : إن محاذاة المرأة للرجال لا
تفسد الصلاة ، ولكنها تكره ، فلو وقفت في صف الرجال لم تبطل صلاة من يليها ولا من
خلفها ولا من أمامها ، ولا صلاتها ، كما لو وقفت في غير الصلاة ، والأمر في الحديث
بالتأخير لا يقتضي الفساد مع عدمه
“Mazhab Hanafiyah menegaskan bahwa sejajarnya
posisi perempuan dengan barisan shaf laki-laki dapat merusak (membatalkan)
shalat mereka (para laki-laki). Imam Az-Zayla’i al-Hanafi mengatakan, ‘Jika
perempuan yang (berpotensi) mendatangkan syahwat sejajar dengan lelaki dalam
shalat mutlak yakni shalat yang terdapat rukun ruku’ dan sujud, dan keduanya
bersekutu dalam hal keharaman dan melaksanakan shalat di satu tempat yang tidak
ada penghalangnya, lalu imam niat mengimami perempuan tersebut pada saat
melaksanakan shalat maka shalat lelaki tersebut batal, tapi tidak batal bagi
perempuan.’ Hal ini berdasarkan hadits, ‘Kalian akhirkan mereka (perempuan)
seperti halnya Allah mengakhirkan mereka.’ Lelaki pada hadits tersebut
merupakan objek yang terkena tuntutan syara’ (al-mukhatab) bukan para wanita,
maka lelaki dianggap meninggalkan kewajiban menegakkan tuntutan tersebut hingga
shalatnya menjadi rusak (batal) namun tidak bagi shalat para perempuan.
Sedangkan mayoritas ulama fiqih (mazhab
Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mengatakan, “Sejajarnya shaf perempuan dengan
laki-laki tidak sampai membatalkan shalat, hanya saja hal tersebut makruh. Jika
perempuan berdiri di shaf laki-laki maka tidak batal shalat orang yang ada di
sampingnya, di belakangnya ataupun di depannya; dan juga tidak batal shalat
yang dilakukan oleh dirinya, seperti halnya ketika mereka (perempuan) berdiri
pada selain shalat. Perintah dalam hadits untuk mengakhirkan shaf (perempuan)
tidak menetapkan batalnya shalat ketika tidak melakukannya.” (Kementrian Wakaf
dan Urusan Keislaman Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 6,
hal. 21)
Walhasil, meskipun shalat dengan shaf campur antara
laki-laki dan perempuan dalam satu barisan tetap sah menurut mayoritas ulama,
tapi keabsahan shalat bukan berarti aman dari hukum haram, bila dalam
pelaksanaannya melanggar aturan syara’, misalnya seperti terjadi campur baur
antara laki-laki dan perempuan hingga menimbulkan berbagai macam fitnah dan
sejenisnya. Terlebih ketika jamaah wanita berada persis di samping jamaah
laki-laki, sebab dalam keadaan demikian sangat memungkinkan bersenggolan bahkan
bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang menurut mayoritas ulama
dapat membatalkan shalat. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di
Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar