إن لم أُحسن في دُعائي لك يا الله، أنت أعلم بما في قلبي فاستجب لِي.
Yaa gusti Allah... Aku tak pandai dalam berdo'a kepada-Mu, namun Engkau Maha Tahu apa yang ada di dalam hatiku. Maka kabulkanlah.
Al Faatihah...
إن لم أُحسن في دُعائي لك يا الله، أنت أعلم بما في قلبي فاستجب لِي.
Yaa gusti Allah... Aku tak pandai dalam berdo'a kepada-Mu, namun Engkau Maha Tahu apa yang ada di dalam hatiku. Maka kabulkanlah.
Al Faatihah...
"Jangan sampaikan padaku kabar duka, aku muak mendengarnya."
🌙💫🥱
Pada satu kesempatan sowan ke salah seorang kiai (yang kebetulan dulu mengajar saya), beliau menyampaikan sebuah pesan dengan berikut,
"من لم يعرف
الأصول حرم عن الوصول"
Artinya: "Siapa yang melupakan asalnya, maka sulit untuk mencapai
kesuksesan."
Melalui pesan itu, sang kiai ingin menyampaikan, bahwa seorang santri (murid),
di mana pun dan kapan pun, jangan sampai melupakan guru yang dulu pernah
mengajar dan membimbingnya. Hubungan guru dan murid (kiai dan santri), tidak
selesai begitu saja setelah proses belajar rampung. Tapi, sampai kapan pun,
hubungan ruhani akan terus terkoneksi. Kendati jarak memisah begitu jauh.
Jangan sampai, guru yang dulu pernah mengajarnya, hanya karena alasan sudah
selesai dari interaksi belajar, dilupakan begitu saja. Dalam literatur
pesantren, keberkahan menjadi taruhannya. Jika murid sudah tidak lagi ingat
terhadap sang guru, keberkahan bisa berkurang, atau bahkan "tidak
mberkahi" (tidak berkah hidupnya).
Ibarat kacang yang lupa pada kulitnya. Padahal, kacang akan terbentuk menjadi
kacang dalam sebuah kulit yang membungkusnya sampai menjadi betul-betul kacang
yang bisa dinikmati banyak orang. Tapi, kacangnya yang bisa dimakan, sementara
kulit dibuang dan menjadi sampah. Begitu pun seorang murid. Bisa memperoleh
ilmu dan suatu pencapaian hidup, tidak lepas dari peran seorang guru yang dulu
membekalinya ilmu dan doa setiap saat.
Dalam tradisi pesantren, salah satu upaya untuk menjaga dan memperkuat hubungan
kiai dan santri adalah dengan sowan. Sowan merupakan tradisi bersilaturahmi
kepada kiai. Meski seorang santri sudah tidak lagi di pesantren, ia akan tetap
menjaga dan memperkuat hubungan dengan kiainya dengan tradisi sowan tersebut.
Mengenai hubungan guru dengan seorang murid, Imam Al-Ghazali menjelaskan,
يَحْتَاجُ
المُرِيدُ إِلَى شَيْخٍ وَأُسْتَاذٍ يَقْتَدِي بِهِ لَا مَحَالَةَ لِيَهْدِيهِ
إِلَى سَوَاءِ السَّبِيلِ، فَإِنَّ سَبِيلَ الدِّينِ غَامِضٌ، وَسُبُلَ
الشَّيْطَانِ كَثِيرَةٌ ظَاهِرَةٌ. فَمَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يَهْدِيهِ،
قَادَهُ الشَّيْطَانُ إِلَى
طُرُقِهِ لَا مَحَالَةَ. فَمَنْ سَلَكَ سُبُلَ البَوَادِي المُهْلِكَةِ بِغَيْرِ خَفِيرٍ فَقَدْ خَاطَرَ بِنَفْسِهِ وَأَهْلَكَهَا، وَيَكُونُ المُسْتَقِلُّ بِنَفْسِهِ كَالشَّجَرَةِ التي تَنْبُتُ بِنَفْسِهَا فَإِنَّهَا تَجِفُّ عَلَى القُرْبِ، وَإِنْ بَقِيَتْ مُدَّةً
وَأَوْرَقَتْ لَمْ تُثْمِرْ، فَمُعْتَصَمُ المُرِيدِ شَيْخُهُ، فَلْيَتَمَسَّكْ بِهِ
Artinya: "Seorang murid harus memiliki sosok syaikh dan guru yang diikuti
dan menuntunnya ke jalan yang banar. Jalan agama begitu terjal, sementara
begitu banyak jalan-jalan setan. Barang siapa yang tidak memiliki guru, maka
setan akan menyesatkan jalannya. Seperti orang yang melewati sebuah pedalaman
berbahaya tanpa pemandu, maka akan sangat mengancam keselamatannya. Orang yang
tanpa guru, laksana pohon yang tumbuh tanpa diurus. Dalam waktu dekat akan
mati. Andai pun pohon itu hidup dalam waktu yang lama, tak akan berbuah.
Penjaga murid adalah gurunya. Berpeganglah padanya." (lihat Ihya
'Ulumiddin, juz 1, hal 98)
Dari pesan Al-Ghazali di atas, setidaknya kita bisa mengambil dua poin penting
terkait hubungan seorang guru dan murid. Pertama, guru adalah petunjuk jalan
bagi murid. Ibarat orang yang sedang menjelajahi hutan rimba yang baru saja
dijejakinya. Tanpa petunjuk, sangat mungkin tersesat. Bahkan, nyawa bisa menjadi
taruhannya.
Syekh Ahmad Ali al-Rifa'i (w. 1182 M), salah seorang ulama Syafi'iyyah
pembentuk tarekat Ar-Rifa'iyyah, berpesan,
مَنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ
Artinya: "Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan."
(lihat Al-Kasyfu 'an Haqiqoh as-Shufiyyah, hal 321)
Kedua, guru merupakan orang yang merawat si murid. Tanpa perawatan guru melalui
ilmu yang diajarkan serta upaya-upaya zahir dan batin yang diberikannya, tidak
mungkin seorang murid mampu meraih apa yang hendak dicapainya. Al-Ghazali
menganalogikannya bagaikan pohon yang tumbuh tanpa perawatan. Pasti akan mati
kekeringan. Jika pun hidup, mustahil berbuah.
Poin yang kedua ini senada dengan pesan Syekh Abu 'Ali ad-Daqqaq (w. 412 H),
salah seorang ulama sufi. Beliau mengatakan,
"Pohon yang tumbuh secara liar (tumbuh sendiri dan tidak ada yang
merawatnya), jika pun hidup, tidak akan berbuah. Andaikan berbuah, sebagaimana
pohon yang tumbuh di pedalaman dan gunung, rasanya tidak seperti buah di
kebun”. (lihat Al-Mausu'ah al-Muyassarah, hal 1772)
Syekh Az-Zarnuji dalam kitab Ta'lim al-Muta'allim mengisahkan tentang putra
seorang Harun al-Rasyid (khalifah kelima dari kekhalifahan Abbasiyyah yang
memerintah antara tahun 786 hingga 803).
Suatu ketika, Harun al-Rasyid menyuruh putranya untuk berguru kepada Imam
Al-Ashmu'i (w. 831 M). Pada satu kesempatan, Sang Khalifah melihat putranya
sedang membantu mengucurkan air dari wadah untuk wudhu gurunya. Melihat
kejadian itu, Sang Khalifah menegur Imam Al-Ashmu'i.
"Saya meminta anda untuk mendidik putra saya, mengapa engkau tidak
menyuruhnya untuk mengucurkan dengan tangannya saja (Bukan melalui
wadah)?"
Bayangkan. Seorang Harun al-Rasyid saja, tetap menyuruh putranya untuk
menghormati sang guru dengan maksimal. Bahkan, tidak cukup dengan membantu
mengucurkan air untuk wudhu gurunya dengan wadah. Tapi harus dengan tangan
putranya langsung.
Demikianlah, betapa penting kedudukan guru bagi seorang murid. Guru adalah
orang yang berilmu. Menghormati guru, berarti menghormati ilmu itu sendiri.
Salah satu bentuk penghormatan kepada guru adalah dengan tetap memuliakannya.
Kapan pun dan di mana pun. []
Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS
Kempek Cirebon