Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi asy-Syafi’i atau yang biasa disapa Imam al-Ghazali tentu bukan nama yang asing di kalangan umat Islam. Ulama kelahiran Thus tahun 450 H, wafat 14 Jumadil Akhir 505 H, ini merupakan seorang filsuf dan teolog Muslim yang andal.
Gelar "hajjatul islam" beliau dapatkan sebab kegigihannya dalam
melawan keyakinan-keyakinan syubhat dalam masalah aqidah, dan sikap telatennya
dalam membantah kerancuan cara berpikir filsuf. Semua itu tidak diraih dengan
gampang. Bersama saudaranya, al-Ghazali yang yatim sejak kecil memang memiliki
semangat dan ketekunan yang luar biasa dalam mencari ilmu.
Di antara kitab Imam al-Ghazali yang sering dijadikan referensi oleh umat
Islam, utamanya warga NU adalah Faishalut Tafriqah bainal Islam waz Zindiqah.
Dalam kitab tersebut al-Ghazali menjelaskan secara panjang lebar terkait
kesalahan-kesalahan dalam tuduhan kafir terhadap suatu golongan. Kitab ini
dikarang setelah karya monumentalnya, Ihya Ulumiddin, dan sebelum menulis kitab
ragam cara berpikir tentang aqidah, yaitu al-Munqid minadl Dlalal.
Lahirnya kitab Faishalut Tafriqah bainal Islam waz Zindiqah bermula ketika
teman al-Ghazali melapor bahwa lawan al-Ghazali dalam diskusi ilmu kalam telah
mengeluarkan vonis kafir dan sesat terhadap sang hujjatul islam.
Imam al-Ghazali merespons dengan rasa prihatin, serta merasa bertanggung jawab
untuk meluruskan kesalahan-kesalahan dalam gampangnya vonis kafir kepada orang
lain yang tidak sepaham dengannya. Oleh sebab itulah, Imam al-Ghazali menulis
kitab kitab Faishalut Tafriqah bainal Islam waz Zindiqah.
Fenomena Tuduhan Kafir
Imam Al-Ghazali (1058 M– 1111 M) dalam pengantar kitab Faishalut Tafriqah
bainal Islam waz Zindiqah mengungkap keresahannya perihal tuduhan kafir pada
umat Islam. Cendikiawan Muslim saat itu salah dalam mengategorikan mana masalah
pokok keyakinan (aqidah), dan mana cabang dari keyakinan.
Menurutnya, betapa banyak perdebatan antara tokoh Muslim namun minim dalam
memberikan kontribusi untuk meyakinkan umat Islam pada kebenaran. Sedangkan
umat Islam dilanda berbagai fitnah tentang aqidah. Dan banyaknya para pendakwah
yang menganggap dirinya ada pada kebenaran, namun nyatanya ada dalam kesalahan,
bahkan orang-orang yang mengajak terhadap persatuan dalam bingkai keislaman
acap kali diacuhkan dan dijauhkan. Umat Islam menjadi bingung tanpa tahu
kebenaran. Semua nasihat para ulama diabaikan, bahkan tidak dianggap kebenarannya.
Padahal, pemicu terjadinya masalah tersebut disebabkan masalah kecil yang
dibesar-besarkan.
Yang cukup mengherankan, menurut al-Ghazali, mereka yang mengeluarkan fatwa
“paling benar” dan “paling Islam”, melarang umat Islam untuk mengikuti fatwa-fatwa
yang dikeluarkan oleh ulama selain kelompok dari golongannya yang mangaku
paling benar. Bahkan jika ada yang mengajak pada kebenaran tapi bukan dari
kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai “paling Islam” harus
ditinggalkan, tidak boleh diikuti.
Kritik untuk Kelompok yang Sering Mengeluarkan Tuduhan Kafir
Imam Al-Ghazali mengajak pada para pendakwah untuk bisa menebarkan sikap
tasamuh dalam berdakwah, serta mengedepankan persatuan. Melalui kitab kitab
Faishalut Tafriqah bainal Islam waz Zindiqah beliau menyampaikan, menjadi tokoh
Islam itu berarti menjadi penunjuk umat dalam meraih hidayah, baik di suatu
desa ataupun kota. Ia mesti menyampaikan dengan kata yang lemah-lembut penuh
hikmah, merapatkan barisan, serta berpegang teguh pada agama Allah yang kokoh.
Dalam kitab tersebut ia juga memberikan standar agar tidak mudah menjustifikasi
orang lain keluar dari Islam. Karena bagaimanapun, orang-orang yang masih iman
terhadap kenabian Rasulullah ﷺ, dan mengakui setiap kepastian dalam agama
yang sudah menjadi aturan Islam secara pasti, tetap dihukumi sebagai orang
Islam yang wajib dijaga darahnya, jiwanya, dan hartanya. Sebagaimana sabda
Rasulullah dalam sebuah hadits:
مَنْ
صَلَّى صَلاتَنَا، وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا، وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا، فَذَلِكَ
الْمُسْلِمُ الَّذِي لَهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ، فَلا تُخْفِرُوا
اللَّهَ فِي ذِمَّتِهِ
Artinya, “Barang siapa shalat sebagaimana shalat kita, menghadap arah kiblat
kita, dan memakan sembelihan kita, maka dia adalah seorang Muslim, ia mempunyai
perlindungan dari Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kamu mendurhakai Allah
dengan mencederai perlindungan-Nya” (HR Anas bin Malik).
Yang terpenting dalam masalah aqidah adalah tetap menyampaikan pokok dan cabang
dalam aqidah sebagaimana pokok dan cabang perihal ibadah, agar umat Islam tahu
perbedaannya secara pasti antara orang yang tersesat dan orang yang diangap
bid’ah; serta bisa membedakan antara orang yang kekal dalam neraka dan yang
sekadar melintasinya. Karena, tidak sepantasnya umat Islam menganggap kafir
suatu kelompok hanya karena pemahaman dalam aqidah tidak sama dengannya.
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa problem tuduhan kafir pada umat Islam yang
berbeda paham bukanlah sesuatu yang baru terjadi. Bahkan Imam al-Ghazali
menjadi sasaran tuduhan itu sebagai konsekuensi dari kegigihan beliau dalam
menjawab dan membantah edukasi syubhat kepada orang-orang yang menganggap
dirinya sebagai kelompok “paling Islam”.
Imam al-Ghazali juga menyampaikan bahwa munculnya tuduhan kafir terhadap
suatu golongan disebabkan mereka tidak paham koridor dan standar
takfir (menuduh kafir) secara khusus. Beliau juga menyampaikan bahwa
perbedaan amaliah dalam masalah ibadah tidak sampai berujung pada kekafiran.
Menariknya, dalam kitab yang yang berjumlah 127 halaman itu Imam al-Ghazali
membahas masalah penting bagi umat Islam dengan sangat rinci, mulai dari pokok-pokok
aqidah, sampai cabang-cabangnya, meski secara eksplisit pembahasan itu sudah
disinggung dalam kitab Ihya’ Ulumiddin pada pembahasan tauhid, dan dalam kitab
al-Munqid minadl Dlalal. []
Sunnatullah, santri Pondok Pesantren Al Hikmah Bangkalan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar