Siapa sangka jika kaliber Imam Nawawi (w. 676), ulama tersohor bermazhab Syafi'i yang menulis sebanyak kurang lebih 40 karya ilmiah terkenal, lebih memilih hidup menyendiri. Baginya, memiliki istri tidak lebih berarti dibanding ngaji, ngaji dan ngaji.
Saya sih sempat berpikir. Se-'alim Imam Nawawi, tidakkah berpikir untuk
mempunyai keturunan guna meneruskan gen keulamaannya?
Salah satu karomah yang dimiliki Imam Nawawi adalah jarinya bisa mengeluarkan
cahaya saat sedang menulis, sebagai penerang kala mati lampu. Hal demikain juga
dimiliki oleh Imam Rafi’i, tapi bukan jarinya yang bercahaya, melainkan pohon
yang berada di sampingnya.
Konon, Imam Nawawi juga diakui sebagai seorang Wali Qutub. Al-Habib Umar bin
Abdurrahman al-Athas (termasuk wali Qutub Hadramaut) pernah menitip pesan untuk
Syekh Ali Baros (penyususn Ratib Al-Athas), supaya membaca kitab Minhaj karya
Imam Nawawi. Sebab, Penulisnya adalah seorang wali Qutub dan yang membacanya
mendapat jaminan futuh (terbuka pikirannya).
Kejombloan Imam Nawawi ini bahkan dibukukan oleh Syeikh Abu Ghuddah –murid dan
khodim dari Syeikh Zahid Kautsari yang merupakan mufti terakhir dari
kekhalifahan Turki Ustmani– dalam risalahnya yang berjudul Al Ulama Al Uzzab
Alladhina Atsarul Ilma A’la Zawaj.
Tidak hanya Imam Nawawi. Dalam risalahnya itu, Syeikh Abu Ghuddah juga menyebutkan daftar ulama-ulama jomblo lainnya. Seperti Imam Dhahabi sang sejarawan handal, Imam Ibnu Jarir at-Thobari sang sejarwan terkemuka abad pertengahan, sang pakar nahwu dan bahasa yang beraliran muktazilah Imam Zamakhsary dan masih banyak lagi.
Jadi, buat para jomblowan-jomblowati yang dimuliakan Allah, tidak usah khawatir. Pilihan anda-anda semua adalah langkah ulama-ulama besar yang tidak diragukan ketokohan dan kebesarannya.
Kembali ke Imam Nawawi. Kita bisa menemukan ketegasan prinsip beliau dalam
mudoqqimah (bagian pembuka) kitab Al-Majmu' (kitab komentar dari kitab
Al-Muhadzzab).
Dalam kitab itu, Imam Nawawi secara tegas menyatakan dukungan atas 'mazhab
jomblonya'. Dengan mengutip beberapa argumen ulama. Seperti Al-Khatib
al-Bagdadi (ulama ahli hadis dan sejarawan) yang berpesan demikian,
يستحب
للطالب أن يكون عزبا ما أمكنه، لئلا يقطعه الاشتغال بحقوق الزوجة، والاهتمام
بالمعيشة، عن إكمال طلب العلم.
Artinya, "Seorang penuntut ilmu dianjurkan untuk menjomblo sebisa mungkin.
Agar fokus belajarnya tidak terganggu oleh kesibukan rumah tangga dan repot
mencari nafkah." (lihat Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, juz 1, hal. 35)
Juga ucapan seorang sufi besar Ibrahim di Adham berikut,
"من تعود
أفخاذ النساء لم يفلح "
Artinya: "Barangsiapa yang disibukan dengan mulus paha para wanita, maka
tidak akan bahagia." (Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, juz 1, hal. 35)
Berikutnya, Imam Nawawi juga mengutip ucapan Sufyan at-Tsauri (seorang mujtahid
mutlak berkebangsaan Kufah) yang, bagi saya, cukup menggelikan,
إذا
تزوج الفقيه فقد ركب البحر، فإن ولد له فقد كسر به.
Artinya, "Ketika seorang fakih (orang yang menguasai ilmu agama) menikah,
maka ia telah menaiki perahu mengarungi lautan. Ketika sudah memiliki anak,
berarti telah ia hancurkan perahu itu." (Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab,
juz 1, hal. 35)
Ini adalah analogi yang sangat menarik dari Tsufyan at-Tsauri. Menurutnya,
seorang fakih ketika menggauli istrinya, seolah sedang menaiki perahu mengarungi
lautan luas yang begitu indah dengan segala pesonanya. Tapi, ketika sudah
melahirkan seorang anak, ia telah hancurkan perahu itu. Otomatis si-fakih
tenggelam di tengah lautan dalam.
Dalam Muqoddimah kitab Majmu'-nya, Imam Nawawi melanjutkan,
قلت:
هذا كله موافق لمذهبنا، فإن مذهبنا أن من لم يحتج إلى النكاح استحب له تركه، وكذا
إن احتاج وعز عن مؤنته.
Artinya, "Saya menegaskan. Semua ucapan ulama di atas (yang menganjurkan
membujang), sesuai prinsip kami. Bahwa, orang yang tidak membutuhkan menikah,
sunah menjomblo. Begitupun bagi yang merasa butuh, tetapi belum punya
biaya". (Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, juz 1, hal. 35)
Namun, jangan salah paham. Bukan berarti Imam Nawawi mengingkari anjuran
menikah sebagai sunah rasul. Dalam karya-karya ilmiahnya, sebagaimana ulama
pada umumnya, tetap menuliskan bab nikah sebagai anjuran dalam Islam.
Berikut saya kutip dari kitab Al-Majmu’ pada bagian bab nikah. Secara tegas
beliau sampaikan bahwa hukum asal menikah adalah boleh.
(أما الاحكام)
فان النكاح مشروع بالكتاب والسنة كما أوردنا من نصوصهما وقد اختلف الفقهاء في كونه
واجبا أو جائزا فمذهبنا جوازه
Artinya, "Terkait hukumnya, nikah telah disyari'atkan dalam al-Qur'an dan
hadits sebagaimana telah kami paparkan teksnya masing-masing. Para fuqaha (ahli
hukum Islam) berbeda pendapat, apakah nikah itu wajib, atau boleh. Kalau mazhab
kami (Syafi'i), boleh." (lihat Al-Majmu' Syarah al-Muhadzzab, juz 17, hal.
202)
Kesimpulannya. Imam Nawawi adalah termasuk orang yang tidak membutuhkan
menikah. Justru seandianya menikah, menurutnya, fokus pengabdiannya terhadap
untuk ilmu agama akan terganggu. Berkat tirakat jomblonya itu, ia bisa fokus
menulis banyak karya ilmiah yang representatif dan dirujuk banyak kalangan. []
Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS
Kempek Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar