Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mencatat sebuah riwayat tentang Imam Ibrahim at-Taimi yang kedatangan tamu ketika ia sedang membaca mushaf. Berikut riwayatnya:
حدثنا
عبد الله حدثنا أبي حدثنا وكيع عن الأعمش قال: كنت عند إبراهيم وهو يقرأ في المصحف
فاستأذن عليه رجل فغطاه وقال: لا يراني هذا أني أقرأ فيه كل ساعة
Abdullah bercerita kepada kami, ayahku bercerita, Waki’ bercerita, dari
al-A’masy, ia berkata:
“Aku di samping Ibrahim (at-Taimi) dan dia sedang membaca mushaf, kemudian
seseorang meminta izin (menemuinya), lalu dia menutup mushafnya, dan berkata:
“(Agar) orang ini tidak melihatku membaca mushaf setiap saat” (Imam Ahmad bin
Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 437).
****
Ada banyak hal yang hilir mudik di hati dan pikiran manusia. Kebaikan dan keburukan selalu bergantian hadir. Bahkan terkadang hadir secara bersamaan, saling mempengaruhi, mengalahkan dan menguasai. Dalam kisah di atas, jika kita renungkan dalam-dalam, kita akan menemukan sebuah upaya penjagaan hati dari pengaruh buruk hawa nafsu, bahkan dalam hal ibadah sekalipun.
Banyak dari kita, baik sadar atau tidak, sering menyengaja untuk mendapatkan
citra “saleh” dengan ibadah kita. Jika pun tidak, kita melakukan pembiaran
tentang anggapan tersebut dan bangga akannya. Inilah yang berusaha dihindari
oleh Imam Ibrahim at-Taimi. Ia menjaga dirinya agar tidak tercitrakan “saleh”
oleh orang lain. Berbeda dengan kita. Kebanyakan dari kita, gemar mengerjakan
shalat sunnah saat berada di masjid, tapi sangat jarang melakukannya saat
berada di rumah.
Dari kisah di atas, kita bisa temukan, paling tidak, dua hal penting. Pertama,
upaya menghindari kesenangan dipuji karena ibadahnya, dan kedua, pengajaran
tentang luasnya ruang lingkup ibadah.
Kita bahas yang pertama terlebih dahulu. Penghindaran dari hal-hal semacam itu
sangat penting dilakukan oleh seorang hamba, khususnya para pelaku ibadah.
Sebab, harapan untuk dianggap “saleh” lebih sering mengenai pelaku ibadah,
karena pelaku maksiat tidak terlalu peduli akan hal itu. Karenanya, mungkin,
jika kita yang berada di posisi Imam Ibrahim at-Taimi, kita akan terus membaca
mushaf, menampilkan citra kesalehan kita, sehingga tamu akan mempersepsikan
kita seperti itu. Sebuah persepsi yang akan menyenangkan diri kita. Imam Bilal
bin Sa’d mengatakan:
لا
تكن وليّ الله في العلانية وعدوّه في السرّ
“Jangan kau menjadi wali Allah dalam keramaian, dan (menjadi) musuh-Nya dalam
kesendirian.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 1992, h. 461).
Yang kedua, ruang lingkup ibadah dalam Islam sangat luas. Dengan melakukan ini, Imam Ibrahim at-Taimi sedang mengajarkan kepada kita bahwa ibadah tidak terbatas pada shalat, puasa, membaca Al-Qur’an dan seterusnya. Ia berkata: “(Agar) orang ini tidak melihatku membaca mushaf setiap saat.” Ini menunjukkan bahwa cakupan ibadah sangat luas, tidak melulu soal ritual. Jangan sampai cakupan ibadah hanya dipahami sebagai hal-hal tertentu saja.
Dengan kata lain, apa yang dilakukan Imam Ibrahim at-Taimi, menutup mushaf dan
mempersilakan tamunya masuk adalah bentuk ibadah kepada Allah. Ia memberikan
perhatian penuh (full attention) kepada tamunya sebagai wujud ikrâmudl dlaif
(pemuliaan tamu). Rasulullah bersabda (HR. Imam al-Bukhari):
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan
tamunya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia
menyambung silaturrahmi. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaknya ia berkata baik atau diam.” (Imam Ibnu ‘Allan, Dalîl al-Fâlihîn li
Thuruq Riyâdl al-Shâlihîn, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, juz 3, h. 189)
Tidak sedikit dari kita masih memandang ibadah non-ritual tidak sepenting
ibadah ritual. Pandangan semacam itu seringkali terjadi begitu saja, tanpa
diniatkan atau disengaja. Tiba-tiba saja, di pikiran kita, tertanam cara
pandang seperti itu. Bahkan mungkin, kita sendiri tidak sadar bahwa kita
memiliki pandangan itu.
Itu artinya, jika diuraikan, menerima tamu dan memuliakannya tidak kalah
penting dari membaca mushaf. Dan itu yang dilakukan Imam Ibrahim at-Taimi. Di
samping upayanya menjinakkan riya dan ujub, ia juga sedang mengamalkan ibadah
lain yang tidak kalah keutamaannya, memuliakan tamu dan menyambung
silaturrahim. Sebuah ibadah yang berkaitan langsung dengan iman kepada Allah
dan hari akhir. Imam al-Qadi ‘Iyadl mengatakan:
لا
خلاف أن صلة الرحم واجبة في الجملة وقطيعتها معصية كبيرة
“Tidak ada perselisihan bahwa, secara umum, menyambung silaturrahmi (atau
ikatan kekerabatan) adalah wajib, dan memutuskannya adalah maksiat yang besar.”
(Imam Ibnu ‘Allan, Dalîl al-Fâlihîn li Thuruq Riyâdl al-Shâlihîn, juz 3, h.
189)
Artinya, selain menjaga dirinya dari riya, Imam Ibrahim at-Taimi juga menjaga
dirinya dari maksiat yang besar. Apalagi dalam kisah di atas, ia berposisi
sebagai orang yang disilaturrahim (objek), bukan orang yang bersilaturrahim
(subjek). Bayangkan, alangkah indahnya jika memuliakan tamu, berakhlak baik,
menghindari riya, memuliakan tetangga, membantu sesama, menjaga lingkungan dan
lain sebagainya, menjadi ritual keseharian kita. Sampai-sampai, kita merasa
tidak tenang jika belum melakukannya.
Pertanyaannya, sudahkan kita berupaya untuk itu?
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan,
Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar